dimana ia menunggui di depan loket sinepleks, hanya ditonton oleh lima hingga tujuh pengunjung setiap kali putar yang tengah dipasarkan di Surabaya. Sedangkan di sebelahnya
persis, antrean untuk melihat Ghost, Robinhood dan Kindergaten Cop terus mengular berhari bahkan berminggu-minggu.
291
Kejadian ini bukan kasus pengecualian. Tapi secara tepat menggambarkan betapa sakit perfilman nasional secara menyeluruh. Malah kata “sakit” pun sebaiknya sudah diganti
“ambruk” entah kapan dapat bangkit kembali. Dengan ambruk, tak ada lagi pihak yang dapat memungkiri perfilman Indonesia memang berpenyakit. Bukan hanya setahun dua tahun.
Melainkan menahun.
292
Sebenarnya tanda-tanda zaman akan semakin suram, sudah mulai terlihat sejak tahun 1991 dimana produksi film telah mengalami penurunan dari 115 judul film di tahun 1990
menjadi 57 judul di tahun 1991 dan kembali turun menjadi 37 judul di tahun 1992.
293
B. Pesatnya Kemajuan Teknologi atau Industri Audio Visual Gambaran
suram ini baru satu sisi saja. Ada sisi lain yang belum disinggung: datangnya teknologi VCD yang digunakan semaksimal mungkin oleh produser, distributor, pengecer, maupun penyewa
benda itu. Pada awalnya popularitas VCD ini ditunjang oleh maraknya film impor bajakan yang diperdagangkan dalam piringan kecil itu. Keadaan ini memunculkan pengusaha yang ingin
berdagang secara resmi. Mereka mengajukan izin resmi kepada para pemilik film Amerika untuk mengalihkan dan memperdagangkan film dalam bentuk VCD dengan membayar royalti
291
Lihat, Berita Buana, 17 September 1991, hal. 6.
292
Ibid.
293
Periksa, JB. Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005 Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Sinematek Indonesia, 2005; JB. Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2007 Jakarta: Nalar
bekerjasama dengan Direktorat Perfilman Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, 2007.
selaiknya. Mereka juga mencari film nasional untuk secara legal diperdagangkan dalam bentuk VCD karena sadar film nasional punya pasar tersendiri, seperti dengan mudah dilihat dari
popularitas sinetron di televisi swasta. Mereka menggunakan jalur distribusi serta toko kaset dan CD yang keberadaannya sudah cukup kukuh. Mereka juga membuka jalur atau jaringan
persewaan sendiri bila memungkinkan. Penyebaran dan perkembangan VCD ini memang fenomenal karena berlangsung sangat singkat, hanya sekitar satu hingga dua tahun saja.
294
VCD bajakan ini ternyata tak menyurutkan usaha VCD resmi impor maupun nasional. Kompas pada tahun 1999 menurunkan laporan cukup
panjang tentang keberadaan VCD ini. John A Sheyoputra dari Asosiasi Video-Movie Indonesia AVI memperkirakan saat itu beredar 5.000 judul VCD film. Dari jumlah itu 4.000 judul VCD
bajakan dan 1.000 judul VCD resmi. Kalau setiap judul diproduksi rata-rata 3.000 kopi, maka ada tiga juta kopi yang beredar. Kalau harga satu kopinya Rp 50.000, maka saat itu uang yang
beredar untuk VCD resmi saja sekitar Rp 150 miliar. Padahal, film Titanic saja bisa laku sampai 500.000 kopi. Itu baru yang resmi. Sekitar 4.000 video bajakan konon rata-rata diproduksi
10.000 kopi per judul. Harga jual Rp 12.500 per judul. Dalam bentuk uang jumlah itu berarti Rp 500 miliar.
295
Peredaran uang di atas mungkin hitungan minimal dan tidak termasuk peredaran uang dalam persewaan VCD. Tak aneh rasanya bila peredaran uang dalam
bisnis VCD ini bisa dua kali lipat dari hitungan di atas. Saat ini hitungan-hitungan itu memang harus dikoreksi. Harga jual film dalam bentuk VCD resmi sudah turun menjadi Rp 29.000-Rp
35.000. Bahkan, ada obralan seharga Rp 15.000, sedangkan yang bajakan, boleh dibilang hampir tak ada harganya lagi karena terdesak oleh DVD bajakan yang bisa diperoleh dengan Rp 5.000
per judul. Apa pun yang terjadi, yang jelas sebuah jaringan distribusi dan persewaan sudah
294
JB Kristanto, ” Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia” Kompas, 2 Juli 2005.
295
JB Kristanto, ” Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia”, Ibid,.
terbentuk dan masih berlangsung hingga saat ini.
296
Perdagangan dan jaringan VCD inilah yang jadi tumpuan produser film nasional pertengahan tahun 1990-an meski tidak bisa ditayangkan di Jaringan 21 mereka terus saja
berproduksi. Di samping menjual dalam bentuk VCD, mereka juga menjual hak siar televisi sebagai salah satu bentuk penghasilan. Inilah yang menimbulkan kesan seolah-olah film nasional
sudah mati. Mereka baru betul-betul terpukul ketika krisis ekonomi berlangsung dan hilangnya bioskop kelas bawah di kota besar dan kota kabupatenkecamatan, serta ketika peredaran VCD
mulai direcoki oleh DVD bajakan. Jaringan VCD inilah yang turut mereka kembangkan dan sumbangkan dengan produksi
film mereka, yang lalu digunakan para pembuat film nasional generasi berikutnya yang lebih memahami bahasa penonton baru yang identik dengan pengunjung mal itu, yang tak bisa lagi
diikuti oleh produser maupun para pembuat film generasi tahun 1970-an dan 1980-an. Generasi yang ketinggalan ini umumnya belajar dan magang pada sutradara yang berkarya di zaman itu.
Mereka datang bukan dari kalangan menengah-atas, tapi mayoritasnya dari golongan menengah- bawah. Mereka masih mewarisi budaya anak wayang dari awal pertumbuhan film nasional.
Sebagai contoh bukti penyebab jatuhnya film nasional pada masa 90-an disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah rendahnya perlindungan yang diberikan negara pemerintah
terhadap industri perfilman nasional. Sehingga walaupun diberikan kebebasan untuk berkarya bagi seniman film namun disaat karyanya dikeluarkan, maka muncul persoalan atas perlindungan
atas hasil karya tersebut.
297
Adanya tantangan bagi produk budaya tersebut adalah selain bersaing dengan kompetitornya baik itu film lokal maupun asing, seniman film juga harus
berhadapan dengan pembajakan karya seni. Seperti yang dialami oleh Mira Lesmana dengan
296
Ibid,.
297
Ibid.
film Petualangan Sherina-nya. Film yang diproduksi 1999 ini, diluncurkan dalam dua versi yaitu film layar lebar dan video compact disk VCD. Namun apa yang didapat oleh Mira, filmnya
tersebut telah menjadi ’santapan lezat’ bagi para oknum pembajak. Tepat dua belas hari setelah penayangan perdana film Petualangan Sherina, konsumen dapat menemukan VCD bajakan dari
film ini telah diperjualbelikan padahal VCD original-nya belum keluar.
298
C. Tantangan Televisi