Tionghoa Pengaruh warna terhadap kebudayaan bagi masyarakat tionghoa (studi kasus klenteng Avalokitesvara Surakarta) 5885

39 Selain unsur-unsur tersebut, masyarakat juga harus mempunyai cirri-ciri atau kriteria, menurut Marion Levy masyarakat bisa dikatakan sebagai masyarakat yang baik apabila mempunyai kriteria sebagai berikut a. Ada sistem tindakan utama b. Saling setia pada sistem tindakan utama c. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota d. Sebagian atau seluruh anggota baru didapat dari kelahiran atau proses reproduksi.

D. Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa biasa disebut juga China adalah salah satu etnis di indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya tenglang hokkien, tengnang Thiociu, atau Thongnyin hakka. Dalam bahasa mandarin mereka disebut Tangren orang tang. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa- indonesia mayoritas berasal dari China selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang tang, sementara orang China utara menyebut diri mereka orang han hanren. Leluhur orang Tionghoa-indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari China menyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia telah berhubungan erat dengan 40 dinasti-dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian membuat lalu lintas perdagangan barang dari China ke Indonesia atau sebaliknya menjadi semakin lancar. Setelah Negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan dalam salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia sesuai pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturuan China yang ada di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Wacana cung hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang China untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu Negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal China yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan orang China. Sekelompok orang yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900 mereka membuat sekolah di Hindia Belanda, dibawah naungan suatu badan yang diberi nama “Tjung Hwa Hwei Kwan”, bila dilafalkan Indonesia menjadi “Tiong Hoa Hwe Kwan”THHK. THHK dalam perjalanannya bukanhanya memberikan pendidikan budaya dan bahasa China, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan 41 orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah “China” menjadi “Tionghoa” di Hindia Belanda. Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara China, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang merasa perlu untuk keluar berlayar untuk berdagang, tujuan utama saat itu adalah asia tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung dengan angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan sering bermukim di wilayah asia tenggara yang disinggahinya. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada juga pedagang yang pulang ke China untuk kembali berdagang. Orang-orang Tionghoa yang bermukim di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara China, mereka termasuk suku-suku : Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena sejak jaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara China memang telah menjadi Bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagi Bandar perdagangan tersibuk dan terbesar di dunia pada jaman itu. Sebagian besar orang-orang China di Indonesia menetap di pulau jawa. Daerah-daerah lain dimana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain dalam perkotaan adalah di daerah : Sumatra utara, Bangka-belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, dan beberapa tempat di pulau Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. 42 a. Hakka : Aceh, Sumatra Utara, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon, Jayapura. b. Hinan : Riau pekanbaru batam dan Manado. c. Hokkien : Sumatra Utara, Padang, Pekanbaru, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa Bali terutama di Denpasar dan Singaraja, Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado dan Ambon. d. Kantonis : Jakarta, Makassar dan Manado. e. Hokchia : Jawa, terutama di Bandung, Cirebon dan Surabaya. f. Tiochiu : Sumatra Utara, kepulauan Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat khususnya Pontianak dan Ketapang Di tangerang, banten, masyrakat Tionghoa telah menyatu dengan masyarakat sekitar dan telah menyatu lewat perkawinan, sehingga waktu kulit mereka lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Sehingga julukan untuk merka menjadi “China Benteng”. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersamaan dengan iringan paduan campuran music jawa, China, Sunda, dan Melayu. Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di nusantara, para imigran Tiongkok mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti jawa orang China disebut sebagai warga asing yang menetap disamping nama-nama suku bangsa dari nusantara, daratan Asia tenggara dan 43 anak benua india. Dalam prasasti perunggu di tahun 860 dari jawa timur disebut suatu istilah Juru China, yang berkait dengan jabatan orang-orang Tionghoa yang tinggal disana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga mendapat pengaruh dari kain-kain sutra tiongkok. Catatan Ma-Huan ketika ikut dalam expedisi Ceng Ho menyebut secara jelas bahwa pedagang China muslim menghuni ibu kota dan kota-kota Bandar majapahitabad 15 dan membentuk satu dari komponen penduduk kerajaan tersebut. Expedisi CengHo juga meninggalkan jejak di kota semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan terpaksa melepas sauh di Simongan sekarang bagian kota semarang. Wang kemudian menetap karena tidak dapat mengikuti Expedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi cikal bakal masyarakat Tionghoa di kota Semarang. Wang mengabadikan Cengho menjadi sebuah patung disebut “Mbah Ludakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong” serta membangun klenteng klenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. di komplek ini Wang juga di kuburkan dan mendapat julukan “Mbah Juragan Dampo Awang”. Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 telah banyak memberi perubahan bagi warga Tionghoa di Indonesia, walau belum 100 perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukan tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi kepada masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang untuk dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal 44 tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatra Utara, misalnya hal biasa warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien atau menggunakan aksara Tionghoa di depan toko-toko atau rumah mereka. Sekarang warga Tionghoa telah membaur bersama warga pribumi yang lainnya, baik itu di kota-kota besar dan juga di Surakarta. 45 BAB III PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Klenteng Avalokitesvara