Gambaran Umum Klenteng Avalokitesvara Sejarah Berdirinya Klenteng

45 BAB III PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Klenteng Avalokitesvara

Klenteng Avalokitesvara merupakan Klenteng paling tua yang ada di Surakarta. Klenteng tersebut terletak di jln R.E Martadinata No 14 Surakarta, atau yang lebih sering dikatakan dekat dengan pasar gedhe, sebuah pasar yang dianggap mempunyai sejarah yang berpengaruh di kota Surakarta. Sama seperti tempat agama-agama yang lain, Klenteng ini juga digunakan sebagai tempat ibadah bagi warga Tionghoa yang tinggal di Surakarta. Di dalam Klenteng ini juga terdapat beberapa bagian dan beberapa Dewa, seperti halnya tepat setelah kita masuk terdapat sebuah kolam kecil yang tujuannya digunakan sebagai tempat membersihkan kaki dan tangan. Sesudah melewati kolam tersebut terdapat sebuah meja yang digunakan sebagai tempat sembahyang yang dinamakan Bilekhud, sebelah kanan dan kiri dari Bilekhud terdapat dua ukiran naga dan singa. sebuah pembakar uang kertas yang disebut Jin Li terletak di bagian depan Klenteng. Diruang tengah Klenteng Avalokitesvara tampak banyak patung Buddhis yang berkualitas baik, tiga patung besar di belakang patung Kwan Im pada tembok belakang yang melambangkan San-Zun fo-Zu, semacam Tri Tunggal Buddhis yang disertai sejumlah patung yang lebih kecil. 45 46 Klenteng Avalokitesvara terdapat sebuah lampion yang digunakan sebagai penerangan dan di bawah lampion dituliskan nama seseorang yang dimaksudkan sebagai pengharapan bagi apa yang diinginkan orang tersebut, selain memakai lampion, orang-orang Tionghoa juga memakai lilin untuk media menggantungkan harapan, seperti di Klenteng Avalokitesvara terdapat dua buah lilin yang berukuran besar yang digunakan sebagai pengharapan orang tersebut.

B. Sejarah Berdirinya Klenteng

Pada masa dinasti Tang 618-907 China berhasil mengirim ekspedisi militernya ke China selatan, sejak itu orang China banyak yang menyebar ke Asia Tenggara dan menetap di sana. Pada masa dinasti Sung 907-1127 mulai banyak pedagang-pedagang China yang berdagang di Asia Tenggara termasuk di Indonesia dengan membawa barang dagangan teh dan benda porselin dari China yang indah, kain sutra yang halus dan obat-obatan, sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil bumi Indonesia. Orang-orang China mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan dinasti Tang. Daerah pertama yang di datangi adalah Palembang yang pada masa itu merupakan pusat perdagangan kerajaan sriwijaya kemudian mereka datang ke pulau jawa untuk mencari rempah-rempah. Orang China datang ke Indonesia dengan membawa unsur kebudayaan, termasuk unsur agama, dengan demikian kebudayaan china menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. 47 Keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia umumnya, khususnya dipulau jawa telah tercatat dalam sejarah berabad-abad lamanya. Mereka telah bermukim lama sebelum kadatangan pedagang dari Eropa. Masyarakat Tionghoa yang berada di pulau jawa kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Dengan adanya kegiatan perdagangan ini mereka membuat kelompok hunian yang berdekatan dengan jalur transportasi dan tempat berdagang. Dalam masyarakat Tionghoa dikenal tiga agama yaitu Khong Hu Cu, Tao dan Buddha. Tetapi dalam prakteknya tidak ada fanatisme terhadap salah satu ajaran agama tersebut, dengan kata lain kegiatan agama dilakukan secara bersamaan, ajaran ketiga agama tersebut dikenal dengan nama Tridharma. Kepercayaan terhadap ajaran agama diwujudkan dalam suatu upacara suci dimana upacara tersebut juga melibatkan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan tempat atau bangunan suci yang digunakan sebagai tempat melakukan upacara keagamaan. Semua masyarakat beragama di dunia ini pasti memiliki tempat yang digunakan sebagai tempat upacara keagamaan, demikian juga dengan masyarakat Tionghoa, mereka juga mempunyai tempat keagamaan yang dinamakan Klenteng. Kota Surakarta terdapat sebuah Klenteng yang dianggap sebagai Klenteng yang paling tua. Klenteng tersebut dinamakan Klenteng Avalokitesvara atau Tien kok Sie yang terletak di Jln, R.E Martadinata No 14, tepatnya di sebelah selatan pasar gedhe, sebuah pasar yang menjadi saksi penting perjalanan interaksi sosial masyarakat Surakarta. jawa, china, arab tumpah ruah di pasar itu, 48 semua terlibat dalam transaksi jual beli. Klenteng Avalokitesvara yang sudah berusia 264 tahun tepatnya dibuat tahun 1745, merupakan tempat ibadah Tri Dharma Khong Hu Cu, Tao dan Buddha bangunan ini kental dengan bangunan Tiongkok. Nilai sejarah Klenteng ini membuat banyak pengunjung untuk singgah dan berdo’a. Klenteng ini dulunya dibuat untuk tempat tinggal para pedagang Tiongkok yang singgah di Surakarta, tanah tersebut diberikan oleh pihak kraton Surakarta. Klenteng avalokitesvra mempunyia bermacam- macam Dewa-Dewi yang diagungkan, diantaranya adalah: 1. Tho Ti Kong Fu De Zheng Sen Bagi masyarakat Tionghoa Dewa Tho Ti Kong disebut sebagai Dewa Bumi, Dewa Tho Ti Kong juga disebut sebgai Dewa yang paling tua. Beliau lahir pada tahun 1134 SM pada zaman dunasti Zhou masa kaisar Zhou Wu Wang . Sejak kecil sudah menunjukan bakat sebagai orang pandai dan berhati mulia. Pada masa itu beliau menjabat sebagai Menteri Urusan pemungutan pajak, beliau selalu bertindak bijaksana dan tidak memberatkan rakyat, sehingga rakyat sangat mencintainya. Tho Ti Kong ditampilkan dengan sosok orang tua yang berambut dan berjenggot putih dengan senyum ramah, biasanya Tho Ti Kong tampak menggenggam sebongkah emas di tangan kanannya. 49 2. Thien Shang Shen Mu Mak Co Thien Shang Shen Mu dikenal dengan sebutan Mak Zu atau Mak Co. karena kehidupannya yang sederhana dan suka berbuat baik, orang-orang menyebut dirinya sebagai Lin San Ren yang berarti orang baik. Nama asli dari Dewi Thien Shang Shen Mu adalah Lin Mo Niang, dia dilahirkan pada masa pemerintahan kaisar Tai Zu dari dinasti Song utara. Selama sebulan setelah dilahirkan Lin Mo Niang tidak pernah menangis. Thien Shang Shen Mu dianggap sebagi Dewi pelindung pelaut, sosoknya digambarkan sebagai dewi yang sangat cantik dan berpakain kebesaran seorang permaisuri dan dikawal oleh dua siluman yang pernah ditaklukkannya, yaitu Qian Li Yan dan Sung Fe Er. Mak Co juga bisa menyembuhkan orang yang sakit, karena keahliannya inilah orang-orang pada jaman dulu menyebutnya sebagai Ling Nu gadis mukjizat , Long Nu gadis naga , dan Shen Gu bibi yang sakti . Oleh karena itu di dalam Klenteng Avalokitesvara terdapat air berkah dari Mak co, yang mempunyai tujuan untuk menyembuhkan orang yang sakit. 3. Xuan Tian Shang Ti Xuan Tian Shang Ti adalah Dewa langit pengusir setan. Nama asli Xuan Tian Shang Ti adalah Xuan Wu, ibunya mengandung Xuan Wu selama 14 bulan. Setelah melihat banyak orang-orang yang bertindak semaunya, orang kaya hidup dengan berlebihan dan orang-orang miskin mati kelaparan, itu semua membuatnya ingin menjadi dewa dan meninggalkan kehidupan 50 duniawi. Xuan Tian Shang Ti ditampilkan sebagai seorang Dewa yang mamakai pakaian perang keemasan tangan kanannya memegang pedang dan kakinya tanpa alas menginjak kura-kura dan ular. Wajahnya berwibawa dengan jenggot warna putih dan rambutnya terurai kebelakang. 4. Cai sen Ye Dalam ajaran agama Buddha, Cai Sen Ye merupakn Dewa harta atau Dewa kekayaan. Sosok Dewa kekayaan ini digambarkan dengan panglima perang yang mempunyai wajah seram dengan pakaian perang lengkap, satu tangan menggenggam ruyung dan tangan yang lain menggenggam sebongkah emas menaiki seekor harimau hitam. 5. Cao Kun Kong Di dalam Klenteng Avalokitesvara terdapat seduah dewa yang disebut dewa dapur atau Cao Kun Kong. Cao Kun Kong dulunya adalah seseorang yang suka judi yang selalu kalah sampai hartanya habis untuk berjudi. Sampai pada akhirnya ia pun membujuk istrinya untuk menjual diri kepada seseorang yang kaya raya, uang hasil penjualan istrinya ia gunakan lagi untuk berjudi. Kemudian ia pun sadar akan kebaikan istrinya tersebut, ia pun membenturkan kepala di dinding dapur, istrinya sendiri menguburkan Cao Kun Kong di dapur rumah tersebut dan tiap hari Uposata Cap Go – Ce It dan hari menjelang imlek, istrinya selalu bersembahyang dimakam tersebut. 51 6. Men Sen Meng Sin Dalam kebudayaan Tionghoa Meng Sen dianggap sebagai Dewa pintu yang dapat mengusir hantu atau setan. Ceritanya pada masa kaisar Li Sen Bin naik tahta beliau sering diganggu setan, kemudian dua orang jendral perang terkenal memutuskan untuk menjaga pintu kaisar, mereka adalah Cin Siok Po dan Ut Ti kong. Mereka berdiri di kedua pintu lengkap dengan memakai pakaian perang, pada malam tersebut benar-benar tidak terjadi apa-apa, kaisar juga tidak pernah diganggu roh-roh jahat. Sejak saat itu kaisar tidak pernah diganggu lagi oleh setan, berita tersebut terdengar sampai kependuduk, kemudian orang-orang menganggap mereka sebagai Dewa pintu yang dapat mengusir setan. Pemasangan Dewa pintu ini tidak hanya terdapat di Klenteng, tetapi sudah umum di pasang di rumah-rumah atau kantor-kantor warga Tionghoa. 7. Te Cong Ong Po Sat Dalam hati orang tioghoa Te Cong Ong Po Sat adalah dewa pelindung bagi arwah-arwah di akhirat yang mengalami penyiksaan agar dapat terbebas dan dapat hidup kembali. Te Cong Ong Po Sat merupakan dewa yang paling banyak dipuja masyarakat Tionghoa setelah dewi Guan Yin. Hati Te Cong Ong Po Sat seperti bumi yang sangat besar yang dapat menyimpan apa saja, termasuk manusia yang sangat banyak, memiliki kebajikan. Ia sering 52 dikaitkan dengan sepuluh raja akhirat, kesepuluh raja akhirat tersebut merupakan bawahan langsung dari Te Cong Ong Po Sat, Ia juga mendapat julukan sebagai pemuka agama di akhirat. Ia menjadi pelindung bagi para arwah dan membimbing mereka untuk menyadari perbuatan buruk di masa lalu dan tidak akan mengulanginya lagi. Sumpah agungnya yang terkenal berbunyi “kalau bukan aku yang pergi ke neraka untuk menolong roh-roh yang tersiksa di sana, siapakah yang akan pergi?...kalau neraka belum kosong dari roh-roh yang menderita aku tidak akan menjadi Buddha. Te Cong Ong Po Sat ditampilkan dengan keadaan duduk di atas teratai memakai topi Buddha berdaun lima yang mamancarkan wajah penuh kasih, memegang tongkat bergelang. Pada saat dibawa berjalan gelang-gelang tersebut akan mengeluarkan bunyi gemerincing, yang dimaksudkan untuk membuat hewan- hewan kecil yang ada disekitar menyingkir agar tidak terinjak, itu merupakan salah satu sila dasar agama Buddha tidak boleh membunuh mahkluk hidup. 8. Kwan Im Pho Sat Sebelum agama Buddha masuk pada akhir dinasti dinasti Han, Kwan im Pho Sat dikenal dengan sosok Pek Le Tai Su adalah dewi berbaju putih yang welas asih, kemudian beliau identik dengan perwujudan budha Avalokitesvara. Pada mulanya Avalokitesvara merupakan sosok pria, pengaruh dari ajaran tao serta khong hu cu sosok Avalokitesvara bodhisattva ditampilkan dengan sosok wanita. Kwan Im sendiri menampilkan sosok 53 wanita agar lebih leluasa untuk membantu kaum wanita, Dewi Kwan Im lahir pada jaman kerajaa Ciu Cian Kok pada tahun 403-221 SM. Kwan Im Pho Sat juga memiliki seorang pengawal yang diberi nama Ang Hia Jie, ia mempunyai kesaktian dapat mengeluarkan api dari dalam mulutnya yang merupakan putri Gu Mo Ong atau raja kerbau. Walaupun mempunyai bermacam rupa, tapi di dalam klenteg Avalokitesvara Kwan Im ditampilkan dengan sosok wanita cantik yang keibuan dengan wajah penuh keanggunan. Di belakang Kwan Im terdapat Tay Su Ci Pho Sat, Omi Tuhud, dan Yok Suhud. 9. Ba Xian Guo Hai Ba Xian adalah Dewa-Dewi Tao yang hidup pada masa yang berbeda yang dapat mencapai hidup yang kekal. Mereka sering dilukiskan pada benda- benda porselin, patung, sulaman, lukisan, dan sebagainya. Dewa-Dewi Ba Xian melukiskan kehidupan yang berbeda-beda, yaitu kemiskinan, kekayaan, kebangsawanan, kaum muda, kaum tua, kejantanan. Kewanitaan. Ba xian dihormati dan dipuja karena menunjukan kebahagiaan. Dewa-Dewi yang disebut Ba Xian adalah : a. Zhong Li Quan Zhong Li Quan merupakan seorang jendral kerajaan dalam masa dinasti han. Pada hari tuanya dia menjadi petapa dan mendalami ajaran Tao. Zhao Li Quan digambarkan sebagai sosok yang laki-laki gemuk 54 bertelanjang perut dan membawa kipas bulu yang dapat mengendalikan lautan. b. Zhang Guo Lao Zhang Guo Lao adalah seorang kepala akademi kerajaan, namun dia mengundurkan diri untuk menjadi petapa di gunung Chuang Tiao. Ia memiliki keledai ajaib yang dapat membawanya berjalan ribuan kilometer setiap hari, keledai tersebut bisa dilipat seperti kertas dan dapat dibuka kembali. Sosok Zhang Guo Lao digambarkan sedang menaikki keledai yang terbalik, simbolnya adalah tempat ikan yang terdiri dari batang bamboo dengan tabung kecil yang muncul di ujungnya, Zhang Guo Lao dipuja sebagai pembawa keturunan laki-laki. c. Lu Dong Bin Lu Dong Bin adalah seorang sastrawan dan petapa yang mempelajari agama Tao. Simbol Lu Dong Bin adalah pedang pembunuh Roh Jahat dan dengan gerakan yang cepat, dia bisa dikatakan sebagai Dewa tersohor dari delapan Dewa, dianggap sebagai penolong orang miskin dan pengusir roh jahat. d. Li Tie Guai Memiliki nama asli Li Xuan, dia melambangkan cacat dan keburukan, berusaha untuk meringankan beban penderitaan manusia. Li Tie Guai memiliki sebuah tongkat besi yang bermuka hitam, dia membawa sebuah labu yang digunakan untuk menolong manusia. 55 e. Cao Guo Ji Cao Guo Ji merupakan putra dari Cao bin, seorang komandan militer. Cao Guo Ji digambarkan memakai jubah kebesaran dan topi pengadilan, di tangannya ada kertas catatan kerajaan dan sepasang alat music kastanyet. f. Lan Cai He Sering ditampilkan dengan pakaina berwarna biru dan tidak memakai alas kaki, ia mengemis sepanjang jalan dan melantunkan syair-syair kehidupan yang tidak kekal dan kesenangan yang hampa, Lan Cai He kadang terlihat seperti seorang wanita. g. Han Xiang Zi Han Xiang Zi melambangkan masa muda, dia adalah keponakan dari Han Yu, seorang mentri pada masa dinasti Tang, simbolnya adalah sebuah suling. Seorang pecinta kesunyian, mewakili orang ideal yang senang tinggal di tempat alamiah. h. He Xian Gu Satu-satunya wanita diantara delapan Dewa, berpenampilan halus dan lemah lembut dan sering terlihat membawa bunga teratai yang dapat dipakai untuk mengobati orang sakit. Kadang dia digambarkan berada diatas kelopak teratai yang terapung sambil memegang pengusir lalat. 56 i. Bun Cu Po Sat Masyarakat Tionghoa menganggap bahwa sumber dari penderitaan manusia adalah kesesatan, untuk mengatasi kesesatan itu harus dilakukan dengan kebijaksanaan. Bun Cu Po Sat merupakan perwujudan dari kebijaksanaan, bahkan ada kitab suci yang menganggap Bun Cu Po Sat merupakan guru dari semua Buddha. Hari lahir Bun Ci Po Sat diperingati setiap tanggal 4 bulan 4 imlek Setelah kita melewati pintu depan Klenteng Avalokitesvara, disebelah kanan kita akan melihat lukisan timbul yang berbentuk naga. Naga disini mempunyai simbol sebagai sumber kebaikan dan kemakmuran, naga dipercaya mempunyai sifat supranatural, ia dapat mengecil dan dapat membesar memenuhi alam semesta, usia dari naga ditentukan dirinya sendiri. Pada simbol mata angin, naga biru dianggap sebagai hewan penjaga di timur yang mengatur hujan dan angin. Sebelah barat ada harimau putih yang dianggap dapat mengatur musim gugur. Ular hitam di sebelah utara berkaitan dengan musim dingin. Burung phoenix di selatan untuk mengatur musim panas. Pada tanggal 5 bulan 5 dalam penanggalan imlek biasa diadakan lomba perahu naga, suatau perahu dengan panjang 40 meter dan lebar 1,5 meter, dihias dengan kepala naga dan ekor naga dibagian buritan, masing-masing perahu diisi sampai 60 orang pada masing-masing perahu, diiringi dengan suara tambur dan hiasan bendera. 57 Naga dipercaya mempunyai empat jenis, naga langit tian Long yang dianggap sebagai daya tumbuh kembangnya langit, naga dewa shen Long yang mengatur angin dan turunnya hujan, naga bumi Ti Long menguasai mata air dan aliran sungai, naga penjaga harta Fu Chang Long diyakini harta tersebut tidak akan hilang. Sebelah kiri kita akan melihat lukisan timbul yang berbentuk harimau, hewan ini digunakan sebagai simbol keberanian dan kejantanan, mempunyai sifat yang tegas. Hariamau digunakan sebagai simbol kemiliteran Tiongkok kuno, gambar kepala harimau sering ditempatkan di ambang pintu rumah yang dimaksudkan untuk menghalangi masuknya roh jahat ke dalam rumah. Harimau diyakini dapat berubah menjadi putih setelah 500 tahun. Naga dan harimau diyakini dapat mengusir mahkluk halus yang mempunyai niat buruk, sehingga tidak berani memasuki ruangan Klenteng. Klenteng Avlokitesvara juga memiiki banyak lukisan di dinding sebelah kiri, lukisan yang dihasilkan berupa simbol yang berisikan pesan yang harus diartikan oleh yang menerima. Untuk mengetahui isi pesan itu harus mengetahui sejarah dan dalam kerangka apa dibuatnya. Penggunaan simbol dalam budaya Tionghoa kadang juga menggunakan suara yang sama homophone , kata yang berbunyi sama ini lalu dituangkan dalam bentuk kaligrafi, ornament, dan lukisan. Mural yang terdapat pada bangunan Klenteng Avalokitesvara merupakan pesan budaya. Menurut 58 ajaran Tao, Buddhisme, Konfusius dalam Klenteng Avalokitesvara terdapat beberapa contoh tokoh bersejarah yang pantas ditiru oleh generasi yang akan datang. Legenda rakyat Tionghoa pada jaman dulu semuanya terangkum jadi satu di dalam Klenteng Ada dua versi tentang asal mula kata Klenteng, yang pertama istilah Klenteng hanya terdapat di Indonesia, banyak orang-orang yang mengira kalau Klenteng berasal dari luar. Kalau dilihat dari kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau mahkluk hidup berdasarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan, demikian pula dengan Klenteng, ketika diadakan upacara keagamaan sering digunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi “Klinting Klinting” sedangkan genta yang besar akan berbunyi “Klenteng Klenteng” , maka bunyi-bunyian itu yang keluar dari tempat ibadah yang dijadikan dasar nama Klenteng. Versi lain disebutkan bahwa sekitar tahun 1650, letnan Tionghoa Guo Xun Guan mendirikan sebuah tempat ibadah untuk menghormati Kuan Yin. Ia adalah dewi welas asih Buddha yang sering dikenal dengan nama Kwan Im. Kata Tionghoa Yin-Ting inilah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Klenteng. Selain itu Klenteng juga diberi nama Miao, pada mulanya Miao adalah tempat penghormatan kepada leluhur Ci rumah abu . Dahulu masing-masing marga membuat Ci untuk menghormati leluhur mereka. Para Dewa-Dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga 59 tertentu yang pada awalnya dihormati marga atau klan mereka. Dengan berjalannya waktu maka timbul lah penghormatan bagi para Dewa-Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus yang kemudian disebut dengan Miao yang saat ini dapat dihormati oleh berbagai macam marga. Klenteng dapat membuktikan selain sebagai tempat untuk ibadah, penghormatan bagi para leluhur, mempelajari ajaran agama, dapat juga digunakan sebagai tempat yang damai untuk semua golongan.

C. Pengaruh Warna Terhadap Kebudayaan Bagi Masyarakat Tionghoa