PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API DAN AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API DAN
AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)
Oleh
VENNY YULIA PUTRI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013
(2)
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API DAN
AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)
Oleh
Venny Yulia Putri
Negara Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hukum, oleh karena itu segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu sistem perundang-undangan. Secara normatif, Indonesia termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Kepemilikan senjata api saat ini sudah bergeser menjadi sebuah gaya hidup. Disisi lain, maraknya kepemilikan senjata api juga harus dilihat dari aspek keamanan masyarakat. Peningkatan kepemilikan senjata api dipicu oleh rasa aman yang kini sangat sulit diperoleh masyarakat. Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang bermacam-macam. Alasannya sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal, karena tidak ada kepastian keamanan. Mereka tidak ingin menjadi korban kekerasan bersenjata. Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat jahatnya. Adapun yang menjadi masalah dalam permasalahan ini adalah: a) Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil b) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara pertanggungjawaban kepemilikan dan pengunaan senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor
1072/Pid.B/2011/Pn.Tk.
Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun jenis dan sumber data yang terdiri dari data primer yang bersumber dari lapangan, berupa hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari dua orang hakim dan satu orang dosen fakultas hukum unila, dan data sekunder bersumber dari kepustakaan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, kemudian diambil kesimpulan secara induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang didapat adalah
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil pada Putusan Pengadilan Negeri
(3)
VENNY YULIA PUTRI Nomor 1072/Pid.B/2011/PN.TK atas nama terdakwa Richard Maulana Putra Bin Abdurrahman Sarbini dapat dipertanggungjawabkan, karena terdakwa mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, perbuatannya tersebut dilakukan dengan sengaja, dan tidak ada alasan pemaaf. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman tujuh bulan pidana penjara telah tepat, berdasarkan asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Saran penulis dalam skripsi ini adalah: a) Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran dan pemahaman masyakarat yang baik tentang hukum dengan mengadakan sosialisasi dari aparat kepolisian agar tidak terjadi lagi tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil. b) Hendaknya dalam memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan senjata api ilegal, seorang hakim harus dengan adil dan tegas memutus perkara yang diyakinkan bahwa terdakwa jera dan sadar akan kelakuannya.
(4)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API DAN
AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)
Oleh
VENNY YULIA PUTRI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013
(5)
Judul Skripsi :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API SERTA AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)
Nama Mahasiswa :VENNY YULIA PUTRI Nomor Pokok Mahasiswa :0912011261
Bagian :Hukum Pidana
Fakultas :Hukum
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19541112198603 1 003 NIP. 19611231198903 1 023
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.Hum. NIP. 19620817198703 2 003
(6)
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua :Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H ...
Sekertaris :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...
Penguji Utama :Diah G. Maulani, S.H., M.Hum. ...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 7 Juli 1991. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Drs. Bahnan Husni, M dan ibu Rosita S.Pd.
Penulis mengawali pendidikannya di TK Sari Teladan dan Tamat pada tahun 1997, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 01 Beringin Raya Bandar Lampung dan Tamat pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2006, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 2 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2009.
Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasisiwi Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri , dan menjadi anggota Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) pada tahun 2009, dan menjadi ketua bidang Minat dab Bakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) pada tahun 2010 dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Pesawaran Indah Kabupaten Pesawaran.
(8)
MOTTO
If you want something you ve never had, you must be wiling to do something you ve never done. Succes is a
journey, not a destination. (Venny Yulia Putri)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari bbetapa dekatnya mereka
dengan keberhasilan saat mereka menyerah. (Thomas Alva Edison)
(9)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi ini untuk keluargaku tercinta :
Papa Drs. Bahnan Husni, M dan Mama Rosita S.Pd tercinta yang selalu memberikanku dukungan hingga aku dapat menyelesaikan skripsi ini.
Kakak-kakak ku tersayang Meilinda Rosa Dhaniar dan Yesi Rizki Amelia yang selalu memberikanku semangat, canda dan tawa di setiap hari-hariku.
(10)
SANWACANA
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan penulis menucapkan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Penguji Utama yang telah banyak meluangkan waktu, pemikiran dan kesabaran untuk membimbing penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah berkenan menuangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran.
4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah dengan ikhlas menyediakan waktu bimbingan, bantuan, arahan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
(11)
5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan, dan kritik yang membangun kepada penulis.
6. Bapak Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H., yang telah bersedia meluangkan waktu dan bantuan selaku responden dalam penelitian ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung yang telah bbanyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hukum kepada penulis.
8. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik dibidang kemahasiswaan maupun akademik yang telah banyak membantu penulis demi kelancaran skripsi ini.
9. Bapak Rudi Rafli Siregar, S.H., M.H., dan Ibu Sri Suharini, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA atas informasi yang berguna dalam penulisan skripsi ini.
10. Teman perjuangan hidupku Muhammad Hatta, S.H., Banie Mahardika, S.H., Reisa Malida, S.H., Tri Kartika Sari, S.H., terima kasih atas kesetiaan, pengorbanan, dan bantuan.
11. Sahabat-sahabatku Redilla Pratiwi dan Revinia Wulantika terimakasih atas semangat dan dukungan yang tiada henti.
12. Teman-teman angkatan 2009 yang selalu menemani perjuangan dalam membuat skripsi ini, terimakasih atas segala semangat dan bantuan yang diberikan.
13. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikn dukungan baik moril maupun materil kepadaku selama menempuh studi.
(12)
Akhirnya khusus kepada mama dan papa tercinta kupersembahkan sebuah karya
yang menjadi titik awal perjuanganku, terimakasih atas segala do’a dan dukungan
yang mama dan papa berikan kepadaku. Kepada kakak-kakakku yang selalu memberikan semangat dan bantuan tanpa rasa lelah.
Hanya kepada Allah penulis memanjatkan do’a, semoga semua amal kebaikan
dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis,
(13)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hukum, oleh karena itu segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu sistem perundang-undangan. Dalam alenia ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun umum.
Secara khusus, tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum disebutkan dengan tegas dalam Pasal 1 Ayat (3) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum. Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga dalam dunia hukum. Perkembangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat kejahatan dimana perkembangan tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran senjata api ilegal. Senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil tetapi melalui proses yang cukup panjang.
(14)
Secara normatif, Indonesia termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 Tentang Pengaturan Kepemilikan Senjata Api, Undang-Undang No 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api dan Perpu No. 20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perizinan yang diberikan menurut Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.
Berdasarkan SK Kapolri Nomor 82 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik, persyaratan untuk mendapatkan senjata api ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak minimal kelas II yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh Institusi Pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri, maka dapat memiliki senjata api. Untuk kalangan sipil senjata api yang diperbolehkan dimiliki adalah senjata api non organik TNI/POLRI, berupa senjata genggam Kaliber 22 sampai 32, serta senjata bahu golongan non standart TNI kaliber 12 GA.
Gerakan Polri bertujuan untuk mengurangi kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil karena penyalahgunaan senjata api yang terjadi di masyarakat, meskipun sudah ada upaya preventif dengan mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat izin kepemilikan senjata api. Penganiayaan, pertikaian dan perampokan, semua ini tidak lepas dari
(15)
masih adanya peredaran senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik standar atau rakitan. Dengan memiliki senjata api, terkesan mempunyai perasaan lebih dibandingkan dengan yang
tidak memiliki, sehingga timbul rasa “sok jagoan”, tempramental, bahkan penyalahgunaan untuk
tindak kriminal lain berupa pencurian dengan kekerasan bahkan pembunuhan. Akibatnya beberapa nyawa meninggal dengan sia-sia. Menyadari bahwa kepemilikan senjata api ilegal bisa mendorong ke arah terjadinya pertikaian atau lebih jauh lagi kerusuhan (antar orang, antar penduduk, antar golongan, atau antar agama), maka sudah sepantasnya setiap orang, dengan kesadarannya menyerahkan senjata api mereka kepada aparat, baik kepada polisi atau kepada TNI.
Kepemilikan senjata api secara tidak sah dapat dikenai sanksi hukum, sedangkan aparat sudah memberikan jaminan untuk tidak memberikan tuntutan hukum kepada mereka yang menyerahkan senjata api mereka secara suka rela.
Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang bermacam-macam. Alasannya sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal, karena tidak ada kepastian keamanan. Mereka tidak ingin menjadi korban kekerasan bersenjata. Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat jahatnya.
Kepemilikan senjata api saat ini sudah bergeser menjadi sebuah gaya hidup. Disisi lain, maraknya kepemilikan senjata api juga harus dilihat dari aspek keamanan masyarakat. Dan seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun 2010 POLRI menarik senjata api yang dimiliki seseorang atau organisasi selain petugas penegak hukum.
(16)
Salah satu kasus dalam hal situasi perang terbuka, motifnya jelas "membunuh atau dibunuh". Dalam kasus kekerasan bersenjata, sejak Mei 2000, hingga pra Deklarasi Malino, Desember 2001, motif ini jelas sangat menonjol. Motif ini juga masih terungkap dalam sejumlah kasus kekerasan bersenjata paska Deklarasi Malino. Dalam situasi yang relatif damai,sebagian warga tetap menguasai senjata api.
Peningkatan kepemilikan senjata api dipicu oleh rasa aman yang kini sangat sulit diperoleh masyarakat. Syarat dan mekanisme perizinan kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil yang dikeluarkan oleh POLRI termasuk ketat dengan syarat pertama mendapatkan rekomendasi dari Kepolisian setempat.
Pemberian izin kepemilikan senjata api dapat diberikan kepada jenis profesi tertentu, yaitu direktur keuangan, direktur, anggota DPR/DPRD, MPR, bupati, wali kota, serta pejabat pemerintahan minimal golongan 4B. Khusus untuk pengacara dan dokter, harus melampirkan surat kesehatan, izin dari persatuan menembak Indonesia (Perbakin), serta dari Menteri Hukum dan HAM. Demikian juga dengan profesi artis dan wartawan merupakan profesi yang memiliki senjata api, namun hanya dilengkapi dengan peluru karet atau yang bisa disebut golongan B.
Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah peredaran senjata api ilegal di masyarakat yang berpotensi digunakan untuk berbagai tindakan kriminal atau kejahatan. Berdasarkan data pada Kepolisian Daerah Lampung, peredaran senjata api ilegal di wilayah hukum Kepolisian Daerah Lampung selama tahun 2009-2011 mengalami peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Pengungkapan Senjata Api Ilegal di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Lampung Tahun 2009-2011
(17)
No Tahun Jumlah Pengungkapan Kasus Senjata Api Ilegal
1 2009 211
2 2010 254
3 2011 287
Sumber : Data Bagian Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Lampung 2012.
Berdasarkan data tersebut maka diketahui bahwa pada tahun 2009, jumlah senjata api ilegal yang berhasil diamankan Kepolisian Daerah Lampung adalah 211 pucuk, meningkata 254 pucuk pada tahun 2010 dan kembali mengalami peningkataan menjadi 287 pada tahun 2011.
Salah satu kasus kepemilikan senjata api ilegal adalah yang terjadi pada tanggal 14 Juli 2011, Richard Maulana bersama rekannya yang mengendarai tiga mobil tiba di salah satu hotel di Telukbetung Selatan, Bandarlampung. Ketika Septo (satpam pintu masuk hotel) melakukan pemeriksaan kendaraan, Richard tidak senang dan tiba-tiba, dia menembakkan senjata api ke udara sebanyak dua kali. Selanjutnya, Richard mendekati Septo dan kembali melepaskan tembakan ke udara sebanyak tiga kali. Tak cukup itu. Ia juga menodongkan senpi ke perut Septo sambil mengancam. Mendapat ancaman, Septo membiarkan mobil Richard dan rekannya masuk tanpa pemeriksaan. Kemudian Richard dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan ditahan atas dugaan kepemilikan senjata api ilegal jenis CZ-83 dengan nomor pabrik B2351. Ia juga dilaporkan melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap Muhammad Septo Wahyudi, petugas keamanan hotel tersebut. Richard dituntut 1tahun penjara atas pelanggaran terhadapa Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak oleh Jaksa Penuntut Umum. Pada tanggal 2 Februari 2012, Richard dinyatakan bersalah dengan vonis tujuh bulan penjara. (Radar Lampung, 7 Februari 2012)
Berdasarkan kenyataan mengenai maraknya kasus kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal sebagaimana terurai diatas, penulis akan melaksanakan penelitian dalam rangka
(18)
penyusunan skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan
Pengadilan Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk)”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara pertanggungjawaban kepemilikan dan pengunaan senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor1072/Pid.B/2011/Pn.Tk?
2. Ruang Lingkup
Proposal ini termasuk kedalam kajian Hukum Pidana, penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Kota Bandar Lampung mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan penggunaan
(19)
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara pertanggungjawaban kepemilikan dan penggunaan senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor1072/Pid.B/2011/Pn.Tk.
2. Kegunaan Penetilian a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang hukum khususnya hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana kepemilikan senjata api dan amunisi ilegal baik untuk kalangan mahasiswa maupun masyarakat di Indonesia.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis untuk memberikan manfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan proses peradilan yang baik dan tepat, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang mencari keadilan.
D. Kerangka Teoriris dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.1
Pembahasan dalam skripsi ini berdasarkan pemikiran pada teori hukum pertanggungjawaban pidana yang dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil yang banyak terjadi di wilayah Republik Indonesia, bahkan juga di Provinsi Lampung. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan
1
(20)
Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang Senjata api dan Bahan Peledak sebagai dasar acuan.
Teori pertanggungjawaban tersebut sebagaimana dikemukakan bahwa orang yang dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan
“KESALAHAN”. Kesalahan ini dapat dibedakan menjadi:
1. Kemampuan Bertanggungjawab
2. Sengaja (Dolus/Opzet) dan lalai (Culpa/Alpa) 3. Tidak ada alasan pemaaf.2
Inti mengenai kemampuan bertanggungjawab itu berupa keadaan jiwa/batin seseorang yang sehat pada waktu melakukan perbuatan pidana. Disamping itu kemampuan bertanggung jawab meliputi tiga hal, yaitu:
1. Tentang keadaan jiwa/batin yang sakit;
2. Tentang keadaan jiwa/batin seseorang yang terlampau mudaa sehingga konstitusipsycho -nya belum matang;
3. Tentang keadaan jiwa/batin yang organ batinnya baik akan tetapi fungsinya mendapat gangguan sehingga tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.3
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan tehnik membuatnya. Oleh karena itu hakim
2
Tri Andrisman,Delik Khusus Dalam KUHP,Universitas Lampung, Press Bandar Lampung, 2009, hlm. 91.
3
(21)
tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.4
Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.5
Seorang hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara haruslah memperhatikan tiga dasar pertimbangan, yaitu:6
1. Penekanan pada asas kepastian hukum, lebih cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan perundang-undangan harus ditegakkan demi kepastian hukum.
2. Penekanan pada asas keadilan, berarti hakim harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini harus dibedakan rasa keadilan menurut individu, kelompok, dan masyarakat. Selain itu keadilan dari suatu masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan masyarakat tertentu lainnya. Jadi dalam pertimbangan putusannya, hakim harus mampu menggambarkan hal itu semua, manakala hakim memilih asas keadilan, misalnya, sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan.
4
Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 94.
5
Ibid, hlm. 98
6
(22)
3. Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran bahwa hukum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hukum itu harus berguna bagi masyarakat banyak. Adapun penekanan pada asas kepastian hukum lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.7
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggunakan hubungan antara konsep-konsep khusus yang menjadi arti dan berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti.8
Di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan digunakan dalam penulisan dan penelitian ini sehingga mempunyai batasan-batasan yang tepat tentang istilah-istilah dan maksudnya mempunyai tujuan untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan ini. Adapun pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah:
7
Ibid, hlm. 141
8
(23)
1. Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak
pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.9
2. Pelaku Tindak Pidana adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu yang tidak disengajakan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan akibat yang tidak dilarang atau tindakan yang diwajibkaln oleh undang-undang atau dengan perkataan lain adalah orang yang memenuhi semua unsur-unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan dalam undang-undang baik itu merupakan unsur-unsur subjektif ataupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindakan pidana tersebut timbul dari dirinya atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga.10
3. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi.11 4. Penggunaan adalah proses, cara, perbuatan menggunakan sesuatu; pemakaian akan sesuatu.12 5. Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Senjata Api (Vuurwapenregeling : in-, uit-, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No. 170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl. No. 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang
9
Pasal 34 Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2010/2011
10
Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana.Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1982, hlm. 62.
11
Hasan, Alwi.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Hlm. 182
12
(24)
kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.13 6. Ilegal adalah tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum, barang gelap, liar,
ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan.14
7. Masyarakat Sipil adalah masyarakat biasa yang tidak terlibat dalam kegiatan kemiliteran.15
E. Sistematika Penulisan I. Pendahuluan.
Bab ini berisi tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan yang juga diuraikan pada bab ini.
II. Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas mengenai pengertian senjata api, masyarakat sipil yang berhak memiliki senjata api dan prosedur kepemilikan senjata api, prosedur penggunaan senjata api bagi masyarakat sipil dan juga membahas mengenai tujuan pengaturan penggunaan senjata bagi masyarakat sipil.
III. Metode Penelitian
Merupakan bab yang menguraikan tentang langkah-langkah dalam pendekatan masalah, jenis dan sumber data, penentuan populasi dan sempel, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
13
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1951
14
Op.Cit. hlm. 373
15
(25)
Bab ini berisikan tentang hasil dari berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, antara lain meliputi pertanggungjawaban pidana terhadap kepemilikan dan penjualan senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil dan dasar-dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan terhadap perkara pidana tersebut.
V. Penutup
Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini yang memuat kesimpulan secara rinci dari hal penelitian dan pembahasan serta memuat saran penulis dengan permasalahan yang dikaji.
(26)
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu
“Straftbaar Feit”, Strafbaar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.1
Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif. Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP.2
Perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu
✁✂✄☎✆✝✞✄✟ ✄zi,✠✡☛ ☞jaran Hukum Pidana I,Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 67. 2
(27)
perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.
D. Simon yang diterjemahkan oleh Soedarto dalam buku Hukum Pidana Jilid I mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.
Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu
(28)
berkaitan dengan, onrecht,schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengancrime,responsibility, danpanishment.
Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana.3
Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
B. Pengertian Pertanggung-jawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau
criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
3
(29)
Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2010/2011, di dalam Pasal 34 memberikan definisi
pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
(30)
Istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee dalam Bahasa Belanda terdapat padanan katanya, yaituaansprakelijk, verantwoordelijk, dantoerekenbaar.Orangnya yang aansprakelijk
atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang
dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilahtoerekeningsvatbaar.
Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yangtoerekeningsvatbaar.4
Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Seperti yang ditulis oleh Roeslan Saleh dalam buku Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
“Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan
dasar daripada dipidananya si pembuat.”5
Perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa. Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana. Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas
legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam 4
Andi Hamzah,✖✗✘s-✘✘ss ✙✚u✛u ✜ ✢ ✣✘✘n, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 131 5
(31)
dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menetukan pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam
common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalamcivil law system.
(32)
Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya
kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.6
Banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.7
Seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, didalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih lanjut.
Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan
6
Loc.Cit. Moelijatno, hlm. 5.
7
(33)
menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam putusan pengadilan.
Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif menganai kesalahan.
Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psikologis. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan sebagai hal yang memberatkan dan meringankan pidana.
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim harus juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).8
Lazimnya, dalam praktek peradilan pada putusan hakim sebelum “pertimbangan pertimbangan yuridis” dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta 8
Lilik Mulyadi,✥utus✦n✧✦ ★ ✩ ✪✫✦ ✬✦✪✧★uu✪✭✮✦✦r✥ ✩ ✫✦n✦: teori Praktik, teknik Penyusunan dan Permasalahnnya,
(34)
dalam persidangan yang timbul dan merupakaan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.
Menurut Moelyatno, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagaimana berikut :
1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana
Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.
2. Tahap Menganalisi Tanggungjawab Pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Yang dipandang primer adalah orang itu sendiri. Hakim dapat menggunakan Pasal 44 sampai dengan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang orang-orang yang dinyatakan tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut.
3. Tahap Penentuan Pemidanaan
Dalam hal ini, jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat pertanggungjawabankan oleh si pelaku, maka hakim akan menjatuhkan terhadap pelaku tersebut, dengan melihat pasal-pasal, Undang-Undang yang dilanggar oleh si pelaku.
(35)
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya kepada diri sendiri, jujurkah ia dalam mengambil keputusan ini, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini, atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya. Ada 2 faktor pertimbangan hakim, yaitu :
a. Faktor Yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertanggungjawaban hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.
Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya. 1. Dakwaan jaksa penuntut umum;
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana kerena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
2. Keterangan saksi;
Merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus diasampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah
(36)
Menurut Pasal 184 KUHAP butir E keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukrti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentantang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri
4. Barang-barang bukti;
Benda tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
5. Pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana.
Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak pidana yang dilanggar oleh terdakwa.
b. Faktor non yuridis
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satupun pihak yang dapat mengintervesi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.9
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut10:
1. Teori keseimbangan
9
Loc. Cit, Ahma Rifai, hlm 104
10
(37)
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2. Teori pendekatan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.
3. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari tiori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pedana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka dalam menjamin konsistensi dari putusan-putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputusnya.
4. Teori pendekatan pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
(38)
5. TeoriRatio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengkatakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
D. Pengertian Senjata Api
Senjata api diartikan sebagai setiap alat, baik yang sudah terpasang ataupun yang belum, yang dapat dioperasikan atau yang tidak lengkap, yang dirancang atau diubah, atau yang dapat diubah dengan mudah agar mengeluarkan proyektil akibat perkembangan gas-gas yang dihasilkan dari penyalaan bahan yang mudah terbakar didalam alat tersebut, dan termasuk perlengkapan tambahan yang dirancang atau dimaksudkan untuk dipasang pada alat demikian.
Menurut ordonansi Senjata Api tahun 1939 jo UU Darurat No.12 Tahun 1951, senjata api termasuk juga :
1. Bagian-bagian dari senjata api
2. Meriam-meriam dan vylamen werpers (penyembur api) termasuk bagiannya
3. Senjata-senjata tekanan udara dan tekanan per dengan tanpa mengindahkan kalibernya 4. Slachtpistolen (pistol penyembeli/pemotong)
5. Sein pistolen (pistol isyarat)
6. Senjata api imitasi seperti alarm pistolen (pistol tanda bahaya), start revolvers (revolver perlombaan), shijndood pistolen (pistol suar), schijndood revolvers (revolver suar) dan
(39)
benda-benda lainnya yang sejenis itu, yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau menakuti, begitu pula bagian-bagiannya.
Berdasarkan Surat Direktur Intelpam atas nama Kapolri Nomor : R/WSD 404/VII/98/Dit LPP tertanggal 21 Agustus 1998, peralatan keamanan yang dapat digunakan untuk mengancam atau menakuti/mengejutkan adalah :
1. Senjata gas air mata yang berbentuk : pistol/revolver gas, stick/pentugan gas, spray gas, gantungan kunci gas, extinguising gun/pemadam api ringan, pulpen gas, dll
2. Senjata kejutan listrik yang berbentuk : stick/tongkat listrik, kejutan genggam, senter serba guna, dll
3. Senjata Panah : model cross bow (senjata panah), panah busur, dll 4. Senjata tiruan/replika
5. Senjata angin kaliber 4,5 mm 6. Alat pemancang paku beton
Sedangkan menurut Surat Direktur Intelpam Nomor : R/SWD-368/VII/1998/Dit LPP tertanggal 24 Juli 1998, senjata api tiruan :
1. Senjata api type clock 17 pistol dari plastik 2. Crossman 50 caliber poin gun
3. The cat pistol
4. Marksman semi auto pistol 5. 22 black revolver mini cross bow 6. Mainan berbentuk senjata api asli
7. Replika senjata mainan menyerupai senjata api 8. Alat keamanan/bela diri yang sejenis
(40)
Sesuai dengan Surat Direktur Intelpam Nomor : B/337/VI/1988 tertanggal 20 Juni 1988, senjata api mainan yang impornya tidak perlu ijin Kapolri adalah :
1. Terbuat dari plastik
2. Komponen pokok tidak terbuat dari logam, alumunium atau sejenisnya
3. Laras, magazen, kamar peluru, dan traggernya tidak berfungsi sebagai senjata api.
E. Pengaturan Kepemilikan Senjata Api bagi Masyarakat Sipil
1. Masyarakat Sipil yang Berhak Memiliki Senjata Api
Kasus kriminalitas makin meningkat, korbanpun makin bertambah. Kondisi ini tentu sangat meresahkan masyarakat. Sering terjadi tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api dan pihak aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak karena volume kejahatan juga meningkat maka banyak kasus tidak dapat terselesaikan secara maksimal. Untuk memerangi kejahatan di lapangan banyak mengalami tantangan cukup berat jumlah personil kepolisian belum seimbang dengan luas cakupan tugasnya serta sarana dan prasarana yang kurang memadai. Meningkatnya senjata api akan menimbulkan pertanyaan sebagian masyarakat mengenai aturan kepemilikan senjata api bagi masyarakat pelaksanaannya selama ini.
Instruksi presiden RI No. 9 tahun 1976 senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok Angkatan Bersenjata dibidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar Angkatan Bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang penggunannya diatur melalui ketentuan Inpres No. 9 Tahun 1976. Yang menginstruksikan agar para Menteri/Pimpinan lembaga pemerintahan dan non pemerintahan membantu Menteri Pertahanan dan Keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya. Untuk melaksanakan hal tersebut Menteri
(41)
Pertahana dan Keamanan telah membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan pengawasan dan pengendalian senjata api dengan Surat Keputusan MenHankam No. KEP-27/XII/1977 tanggal 26 Desember 1977. Dalam keputusan tersebut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai termasuk salah satu Instansi Pemerintah yang menurut ketentuan perundang-undangan diberi wewenang menjalankan tugas dibidang keamanan, ketentraman dan ketertiban.
Warga sipil dapat memiliki senjata api kepemilikannya telah diatur dalam undang-undang No. 8 Tahun 1948, tentang pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api. Undang-undang ini diberlakukan kembali pada bulan Februari 1999 tepatnya secara garis besar, di Indonesia perizinan kepemilikan senjata api diatur dalam Surat Keputusan KAPOLRI No. POL Nomor SKEP/82/II/2004 tanggal 16 Februari 2004.
Kalangan sipil diperbolehkan memiliki senjata api dengan jenis senjata api non organik TNI/POLRI, berupa senjata genggam Kaliber 22 sampai 32, serta senjata bahu golongan non standard TNI Kaliber 12 GA dan ka Secara garis besar, di Indonesia perizinan kepemilikan senjata api diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol. 82/II/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang petunjuk pelaksanaan pengamanan pengawasan dan pengendalian senajata api non organik TNI/POLRI. Di dalamnya ditentukan, pemohon harus mengajukan melalui Polda setempat, kemudian diteruskan ke Mabes Polri,. Yang dicek pertama kali adalah syarat formal, antara lain kriteria calon yang boleh memiliki senjata api, yaitu pejabat pemerintah, minimal setingkat Kepala Dinas ditingkat pusat dan setingkat Bupati dan Anggora DPRD di daerah; Pejabat TNI/POLRI, minimal Perwira Menengah atau Perwira Pertama yang tugas operasional: pejabat bank/swasta, minimal Direktur Keuangan; Pengusaha/Pemilik Toko Mas; Satpam atau Polisi khusus yang terlatih.
(42)
Jenis senjata api tajam diperbolehkan untuk kalangan pejabat pemerintah yang diberi izin antara lain Menteri, Ketua DPR/MPR-RI, Sekjen, Irjen, Dirjen, Sekretaris Kabinet, Gubernur, Wagub, Sekda/Wil Prop, DPRD Propinsi, Walikota dan Bupati, Pejabat TNI/POLRI dan Purnawirawan, harus golongan Perwira Tinggi dan Pamen berpangkat paling rendah Kompo. Sedangkan untuk jenis senjata api karet, yang diberi izin adalah anggota DPRD Kota /Kabupaten, Camat ditingkat Kotamadya, Instalasi pemerintah paling rendah Gol III anggota TNI/POLRI minimal berpangkat Ipda, pengacara dengan skep menteri kehakiman/pengadilan, dan dokter praktek dengan skep menteri kesehatgan. Kalangan swasta antara lain presiden komisaris, komisaris, dirut, direktur keuangan, direktur bank, PT, CV, PD, Pimpinan perusahaan/organisasi, pedagang mas (pemilik) dan manajer dengan SIUP tbk/Akte pendirian perusahaan (PT, CV, dan PD).
Kalangan swasta yang boleh memiliki senjata api tajam, masing-masing komisaris, presiden komisaris, komisaris, presiden direktur, direktur utama, direktur dan direktur keuangan. Golongan profesi, antara lain pengacara senior dengan skep menteri kehakiman/pengadilan, dokter dengan skep menteri kesehatan atau Departemen Kesehatan.
Kepemilikan senjata api perorangan untuk olahraga menembak sasaran/target, menembak reaksi dan olahraga berburu harus mengikuti persyaratan yang telah ditentukan. Untuk menembak sasaran atau target (reaksi) tiap atlet penembak/yang diberikan izin senjata api dan amunisi wajib menjadi anggota perbakin. Mereka harus sehat jasmani dan rohani, umur minimal 18 tahun (maks. 65), punya kemampuan menguasai dan menggunakan senjata api. Dalam hal izin pembelian senjata api, juga harus mendapat rekomendasi Perbakin, surat keterangan catatan permohonan ke Kapolri Up. KabagIntelkam Polri dengan tembusan Kapolda setempat untuk
(43)
mendapat rekomendasi. Selain warga negara indonesia warga negara asing juga bisa memiliki senjata api, selama berada di indonesia diantaranya:
a. Sesuai Surat Edaran Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor D- 184/83/97 tanggal 5 September 1983 yang ditujukan kepada Kepala Perwakilan Diplomatik, Konsuler, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi-Organisasi Internasional bahwa Warga Negara Asing yang tinggal di Indonesia tidak diizinkan memiliki dan memegang senjata api.
b. Warga Negara Asing yang diizinkan memiliki dan memegang senjata api di Indonesia adalah Pengunjung Jangka Pendek, terdiri dari :
1. Wisatawan yang memperoleh izin berburu.
2. Tenaga ahli yang memperoleh izin riset dengan menggunakan senjata api. 3. Peserta pertandingan olahraga menembak sasaran.
4. Petugas security tamu negara. 5. Awak kapal laut pesawat udara.
6. Orang asing lainnya yang memperoleh izin transit berdasarkan ketentuan peraturan kemigrasian.
2. Prosedur Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api bagi Masyarakat Sipil
Tidak semua orang yang mengajukan permohonan kepemilikan senjata api akan dilegalisasi permohonannya. Ada kriteria khusus bagi pemohon yang ingin mengajukan perizinan kepemilikan senjata api. Pemohon harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan Kepolisian Republik Indonesia atau Polri .Adapun Prosedur untuk Kepemilikan senjata api diantaranya sebagai berikut:
(44)
a. Senjata Api untuk Satuan Pengamanan 1. Penyelenggaraan izin
a. Instansi Pemerintah, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta Nasional serta Kantor Kedubes RI tertentu yang dapat memiliki dan menggunakan senjata api dan amunisi untuk kepentingan Satpam adalah yang mempunyai sifat dan lingkup tugas serta resiko dari gangguan keamanan di lingkungan/kawasan kerjanya yang vital/penting.
b. Satpam yang dapat menggunakan senjata api dan amunisi yaitu : 1. Sehat rohani dan jasmani.
2. Syarat umur minimal 21 tahun, maksimal 65 tahun.
3. Memiliki keterampilan dalam menggunakan senjata api dinyatakan telah mengikuti latihan kemahiran oleh Lemdik Polri.
4. Menguasai peraturan perundang-undangan tentang Senjata Api.
5. Ditunjuk oleh Pimpinan Instansi/Proyek atau Badan Usaha yang bersangkutan.
6. Yang telah mendapatkan izin Penguasaan Pinjam Pakai Senjata api (Kartu Kuning) yang diterbitkan oleh Kapolda setempat.
7. Memiliki SIUP berskala besar, bagi yang berskala menengah dengan pertimbangan penilaian tingkat ancaman dan resiko dari tugas yang dihadapi.
2. Macam, jenis dan kaliber senjata api yang dapat dimiliki/digunakan oleh Instansi Pemerintah, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta Nasional serta Kantor Kedubes Republik Indonesia tertentu untuk kepentingan Satpam, yaitu:
a. Senjata Api Bahu jenis Senapan kaliber 12 GA.
(45)
c. Senjata peluru karet. d. Senjata Gas Airmata. e. Senjata Kejutan Listrik.
3. Jumlah senjata api dan amunisi yang dapat dimiliki/digunakan untuk kepentingan Satpam, yaitu :
a. Senjata api yang dapat dimiliki/digunakan oleh Instansi Pemerintah, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta serta Kantor Kedubes RI tertentu untuk keperluan Satpam, dibatasi jumlahnya yaitu sepertiga dari kekuatan Satpam yang sedang menjalankan tugas pengamanan dengan ketentuan bahwa jumlah tersebut tidak boleh lebih dari 15 (lima belas) pucuk senjata api pada tiap-tiap unit.
b. Jumlah amunisi sebanyak 3 (tiga) magazen/silinder untuk tiap-tiap pucuk senjata api termasuk untuk cadangan.
4. Senjata api tersebut hanya dapat digunakan/ditembakkan pada saat menjalankan tugas Satpam dalam lingkungan tugas pekerjaannya yaitu guna:
a. Menghadapi gangguan situasi yang mengancam keamanan dan kelangsungan pekerjaan Instansi, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta Nasional serta Kantor Kedubes RI tertentu yang dijaga olehnya.
b. Melindungi diri dan jiwanya dari ancaman fisik yang tak dapat dihindari lagi saat melaksanakan tugas/pengawalan diluar kawasan kerja dengan menggunakan surat izin penggunaan dan membawa senjata api.
c. Latihan menembak di lapangan/tempat latihan menembak.
b. Senjata Api untuk Bela Diri
(46)
a) Memiliki kemampuan/keterampilan menembak minimal klas III yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh Institusi Pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri. Sertifikat tersebut disahkan oleh Polri (Pejabat Polri yang ditunjuk) Mabes Polri/Polda.
b) Memiliki keterampilan dalam merawat menyimpan dan mengamankannya sehingga terhindar dari penyalahgunaan.
c) Memenuhi persyararan medis, psikologis dan persyaratan lain meliputi:
1. Syarat Medis : Sehat jasmani, tidak cacat fisik yang dapat mengurangi keterampilan membawa dan menggunakan senjata api, penglihatan normal dan syarat-syarat lain yang ditetapkan Dokter RS Polri/Polda.
2. Syarat psikologis : Tidak cepat gugup dan panik, tidak emosional/tidak cepat marah, tidak psichopat dan syarat-syarat psikologis lainnya yang dibuktikan dengan hasil psikotes yang dilaksanakan oleh Tim yang ditunjuk Biro Psikologi Polri/Polda;
3. Syarat Umur : minimal 24 tahun, maksimal 65 tahun.
4. Syarat Menembak : mempunyai kecakapan menembak dan telah lulus test menembak yan dilakukan oleh Polri.
5. SIUP besar/Akte Pendirian Perusahaan PT, CV, PD (CV dan PD sebagai Pemilik Perusahaan/Ketua Organisasi).
6. Surat Keterangan Jabatan/Surat Keputusan Pimpinan.
7. Berkelakuan Baik (tidak/belum pernah terlibat dalam suatu kasus pidana) atau tidak memiliki Crime Record yang dibuktikan dengan SKCK.
8. Lulus screening yang dilaksanakan oleh Dr Intelkan Polda. 9. Daftar riwayat hidup secara lengkap.
(47)
10. Pas Photo berwarna berlatar belakang merah ukuran 2x3, 4x6 = 5 lembar. a. Senjata api yang diizinkan adalah:
1. Senjata api Genggam : a. Jenis : Pistol/Revolver b. Kaliber : 32/25/22 Inc
2. Senjata api bahu, jenis : Shotgun kal 12 GA
b. Senjata api yang diizinkan sebelum diserahkan kepada pemilik harus dilakukan identifikasi dan penelitian spesifikasi data teknis senajta dimaksud oleh Labforensik Polri, dan dinyatakan dengan surat keterangan hasil uji balikstik.
c. Jumlah Senjata api dan amunisi, yang dapat dimiliki dan digunakan yaitu: 1. Senjata api yang dizinkan maksimal 2 (dua) pucuk.
2. Amunisi yang dapat diberikan maksimal sebanyak 50 (Lima puluh) butir untuk setiap pucuk Senjata api.
d. Senjata api yang diizinkan untuk bela diri tersebut hanya boleh ditembakkan :
1) Pada saat keadaan sangat terpaksa yang mengancam keselamatan jiwa/diri dari ancaman fisik oleh pihak lain yang melawan hukum.
2) Pada saat pengujian, latihan menembak dan pertandingan resmi yang diselenggarakan oleh Instansi Kepolisian dengan izin Kapolri Cq. Kabaintelkam dan Direktur Intelkam Polda.
3. Tujuan Pengaturan Kepemilikan Senjata Api
Negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat), maka segala kekuasaan negara harus diatur oleh hukum. Begitu juga masyarakat tidak lepas dari aturan permainan hukum itu (rule of law).Segala sesuatu
(48)
memiliki aturan hukum yang tersendiri, adapun yang menjadi Tujuan Pengaturan Kepemilikan senjata api yaitu:
1. Memberikan Batasan Kepada Siapa senjata api dapat diberikan Pada dasarnya senjata api diberikan kepada aparat keamanan yaitu TNI/POLRI. Tetapi senjata api dapat diberikan kepada masyarakat sipil tertentu seperti; Pengusaha dan Pejabat Pemerintah.
2. Sebagai Perangkat Hukum dalam Menindak Kepemilikan senjata api tanpa prosedur. Dengan adanya pengaturan Tentang senjata api, bagi masyarakat yang memiliki senjata api tanpa prosedur dapat dikenai sanksi sesuai dengan UU Darurat No 12 Tahun 1951.
3. Menambah Pemasukan Bagi Pendapatan Negara Dalam pengurusan Izin senjata api akan dikenakan biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan PP No 31 Tahun 2004 Tentang tarif atas jenis Penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kepolisan Negara Republik Indonesia.
(49)
I. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendeketan Yuridis Normatif adalah pendekatan yang dilakuatkan dalam bentuk usaha untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang tertera dalam peraturan perundang-undangan terutama yang berhubungan langsung dengan permasalahan yang diteliti.
Peneliti mengadakan pendekatan Yuridis Normatif, untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.
b. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan yang diteliti. Pada penelitian peneliti melakukan wawancara dengan Hakim yang memutus perkara dan Dosen Fakultas Hukum untuk mendapatkan gambaran rinci tentang analisis terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal dan kebijakan-kebijakan hukumnya
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dalah data primer dan data sekunder. Data primer dan Data Sekunder meliputi data yang akan diklasifikasikan sebagai berikut:
(50)
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang terkait dengan permasalahan yang diteliti yaitu hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA, Penyidik pada Kepolisia Resort Kota Bandar Lampung, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat, yaitu meliputi:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana)
2. Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 Tentang Pengaturan Kepemilikan Senjata Api
3. Undang-Undang No 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang bersifat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer antara lain, Perpu No. 20 Tahun 1960, SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan
(51)
Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik dan Putusan Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang Nomor 1072/Pid.B/2011/Pn.Tk
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti teori /pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum, jurnal ilmiah, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dan diteliti dalam skripsi ini.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi yang akan diteliti oleh peneliti dalam skripsi ini adalah aparat penegak hukum, yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas IA, Penyidik pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang sudah dijelaskan pada data primer.
Peneliti dalam menentukan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan metode purposive sampling, yaitu mengambil subjek penelitian tidak secara keseluruhan dari subjek yang ada, tetapi hanya mengambil beberapa subjek yang mempunyai hubungan dan sangkut paut dengan ciri-ciri populasi yang dapat mewakili dari keseluruhan subjek yang terkait tersebut.
Adapun sampel pada penelitian ini adalah:
1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 2 Orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 Orang
(52)
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosuder Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitiaan.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah ddiperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
(53)
E. Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dibaca dan diindentifikasi. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpresentasikan dengan berlandaskan pada peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai pokok bahasan yang akhirnya akan menuju pada suatu kesimpulan ditarik dengan metode induktif yaitu cara penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut akan diajukan saran dalam rangka perbaikan.
(54)
I. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan oleh penulis, yaitu:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1072/Pid.B/2011/PN.TK atas nama terdakwa Richard Maulana Putra Bin Abdurrahman Sarbini dapat dipertanggungjawabkan, karena terdakwa:
a. Mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya b. Perbuatannya tersebut dilakukannya dengan sengaja c. Tidak ada alasan pemaaf
2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil dengan menggunakan beberapa dasar pertimbangan, antara lain:
a. Kepastian Hukum
Terdakwa dijatuhkan hukuman pidana dengan menggunakan norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan perundang-undangan yang dipakai adalah Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
(55)
✯
Hukuman tujuh bulan pidana penjara telah cukup memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat pada umumnya.
c. Kemanfaatan
Hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat untuk memberikan rasa aman dan tentram tetapi juga bermanfaat untuk terdakwa agar terdakwa lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran penulis adalah:
1. Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran dan pemahaman masyakarat yang baik tentang hukum dengan mengadakan sosialisasi dari aparat kepolisian agar tidak terjadi lagi tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil.
2. Hendaknya dalam memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan senjata api ilegal, seorang hakim harus dengan adil dan tegas memutus perkara yang diyakinkan bahwa terdakwa jera dan sadar akan kelakuannya.
(56)
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN Halaman
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan Kegunaan Penelitian ... 7
1. Tujuan Penelitian ... 7
2. Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
1. Kerangka Teoritis ... 8
2. Konseptual ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana ... 15
B. Pengertian Pertanggung-jawaban Pidana ... 18
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Hukuman Pidana... 23
D. Pengertian Senjata Api ... 28
E. Pengaturan Kepemilikan Senjata Api bagi Masyarakat Sipil ... 30
1. Masyarakat Sipil yang Berhak Memiliki Senjata Api ... 30
2. Prosedur Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api ... 34
3. Tujuan Pengaturan Kepemilikan Senjata Api ... 39
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40
B. Sumber dan Jenis Data ... 41
1. Data Primer ... 41
2. Data Sekunder ... 41
(57)
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43
1. Prosedur Pengumpulan Data ... 43
2. Prosedur Pengolahan Data ... 43
E. Analisis Data ... 44
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 45
B. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat Sipil ... 46
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Perkara Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat Sipil ... 58
V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA
(58)
DAFTAR PUSTAKA BUKU - BUKU
Ali, Achamd. 1988.Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan
Hukum oleh Hakim.Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Ujung
Pandang.
Alwi, Hasan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Andrisman, Tri. 2009. Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.
Universitas Lampung. Press Bandar Lampung.
Andrisman, Tri. 2009.Delik Khusus Dalam KUHP. Universitas Lampung. Press Bandar Lampung.
Asshofa, Burhan. 1996,Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Bhineka Cipta Chawazi, Adami, 2002,Pelajaran Hukum Pidana I,Jakarta :Raja Grafindo
Persada.
Dewantara, Nanda Agung. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara Pidana.Aksara Persada Indonesia.
Hamzah, Andi. 1994, Asas Asas Hukum Pidana,Jakarta: Rineka Cipta Moelijatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta:Rineka Cipta.
Moleong, Lexy, 2007, Metode Penelitian Kuantitaif,Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
Mulyadi, Lilik. 2007.Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana : Teori
Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra
Aditya Bakti
Nawawi, Barda dan Muladi. 1984.Teori Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni. Bandung.
Poernomo, Bambang, 1983.Asas-asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia. Jakarta. Rifai,Ahmad. 2010.Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif.Sinar Grafika. Jakarta.
Saleh,Roeslan, 1983 ,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
(59)
Soekanto, Soerjono, 1983,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Soekanto, Soerjono,1986,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta:Universitas Indonesia Press.
Sudirman, Antonius. 2007.Hati Nurani Hakim dan Putusanya. Citra Aditya bakti, Bandung.
Universitas Lampung 2009,Pedoman Penulisan karya Tulis Ilmiah.Universitas Lampung. Press Bandar Lampung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak
Undang-Undang Nomor 20 Prp Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan Yang diberikan Menurut Perundang-undangan Mengenai Senjata Api Ordonasi Tanggal 19 maret 1937(Stbl.1937 No170) Dan Ordonasi Tanggal 10 Maret 1939(Stbl.No 178),jo Ordonasi Tanggal 30 Mei 1939(Stbl.1939 No.279) Tentang Vuurwapen Regelingen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian senjata Api.
Skep Kapolri:No 82/II/2004 tanggal 16 februari 2004 Tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRI
(1)
I. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan oleh penulis, yaitu:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 1072/Pid.B/2011/PN.TK atas nama terdakwa Richard Maulana Putra Bin Abdurrahman Sarbini dapat dipertanggungjawabkan, karena terdakwa:
a. Mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya b. Perbuatannya tersebut dilakukannya dengan sengaja c. Tidak ada alasan pemaaf
2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil dengan menggunakan beberapa dasar pertimbangan, antara lain:
a. Kepastian Hukum
Terdakwa dijatuhkan hukuman pidana dengan menggunakan norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan perundang-undangan yang dipakai adalah Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
(2)
✯
Hukuman tujuh bulan pidana penjara telah cukup memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat pada umumnya.
c. Kemanfaatan
Hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat untuk memberikan rasa aman dan tentram tetapi juga bermanfaat untuk terdakwa agar terdakwa lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran penulis adalah:
1. Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran dan pemahaman masyakarat yang baik tentang hukum dengan mengadakan sosialisasi dari aparat kepolisian agar tidak terjadi lagi tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api dan amunisi ilegal oleh masyarakat sipil.
2. Hendaknya dalam memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilikan dan senjata api ilegal, seorang hakim harus dengan adil dan tegas memutus perkara yang diyakinkan bahwa terdakwa jera dan sadar akan kelakuannya.
(3)
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN Halaman
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan Kegunaan Penelitian ... 7
1. Tujuan Penelitian ... 7
2. Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
1. Kerangka Teoritis ... 8
2. Konseptual ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana ... 15
B. Pengertian Pertanggung-jawaban Pidana ... 18
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Hukuman Pidana... 23
D. Pengertian Senjata Api ... 28
E. Pengaturan Kepemilikan Senjata Api bagi Masyarakat Sipil ... 30
1. Masyarakat Sipil yang Berhak Memiliki Senjata Api ... 30
2. Prosedur Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api ... 34
3. Tujuan Pengaturan Kepemilikan Senjata Api ... 39
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40
B. Sumber dan Jenis Data ... 41
1. Data Primer ... 41
2. Data Sekunder ... 41
(4)
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43
1. Prosedur Pengumpulan Data ... 43
2. Prosedur Pengolahan Data ... 43
E. Analisis Data ... 44
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 45
B. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat Sipil ... 46
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Perkara Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat Sipil ... 58
V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA
(5)
DAFTAR PUSTAKA BUKU - BUKU
Ali, Achamd. 1988.Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum oleh Hakim.Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Alwi, Hasan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Andrisman, Tri. 2009. Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.
Universitas Lampung. Press Bandar Lampung.
Andrisman, Tri. 2009.Delik Khusus Dalam KUHP. Universitas Lampung. Press Bandar Lampung.
Asshofa, Burhan. 1996,Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Bhineka Cipta Chawazi, Adami, 2002,Pelajaran Hukum Pidana I,Jakarta :Raja Grafindo
Persada.
Dewantara, Nanda Agung. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara Pidana.Aksara Persada Indonesia.
Hamzah, Andi. 1994, Asas Asas Hukum Pidana,Jakarta: Rineka Cipta Moelijatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta:Rineka Cipta.
Moleong, Lexy, 2007, Metode Penelitian Kuantitaif,Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
Mulyadi, Lilik. 2007.Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana : Teori Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti
Nawawi, Barda dan Muladi. 1984.Teori Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni. Bandung.
Poernomo, Bambang, 1983.Asas-asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia. Jakarta. Rifai,Ahmad. 2010.Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif.Sinar Grafika. Jakarta.
Saleh,Roeslan, 1983 ,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
(6)
Soekanto, Soerjono, 1983,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Soekanto, Soerjono,1986,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta:Universitas Indonesia Press.
Sudirman, Antonius. 2007.Hati Nurani Hakim dan Putusanya. Citra Aditya bakti, Bandung.
Universitas Lampung 2009,Pedoman Penulisan karya Tulis Ilmiah.Universitas Lampung. Press Bandar Lampung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak
Undang-Undang Nomor 20 Prp Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan Yang diberikan Menurut Perundang-undangan Mengenai Senjata Api Ordonasi Tanggal 19 maret 1937(Stbl.1937 No170) Dan Ordonasi Tanggal 10 Maret 1939(Stbl.No 178),jo Ordonasi Tanggal 30 Mei 1939(Stbl.1939 No.279) Tentang Vuurwapen Regelingen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian senjata Api.
Skep Kapolri:No 82/II/2004 tanggal 16 februari 2004 Tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRI