berkaitan dengan, onrecht, schuld,  dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.
Persoalan-persoalan tersebut  berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan  yang  dilarang  itu,  dan pidana  yang  diancamkan  terhadap  pelanggaran  larangan  itu.
Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana,  pertanggungjawaban  pidana  dan  pemidanaan.  Pembedaan  ini, menimbulkan  konsepsi
yang  bukan  hanya  perlu  memisahkan  antara  tindak  pidana dan  pertanggungajwaban  pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana.
3
Berdasarkan  hal    ini pengkajian  juga  diarahkan  untuk  mendalami  bagaiman  teori  pemisahan tindak
pidana dan
pertanggungjawaban pidana
seharusnya diterapkan
dalam mempertanggungjawabkan  dan  mengenakan pidana  terhadap  pembuat  tindak pidana.  Dengan
kata lain,
perlu pengkajian
untuk menemukan
pola penentuan
kesalahan dan
pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
B. Pengertian Pertanggung-jawaban Pidana
Pertanggungjawaban  pidana  dalam  istilah  asing  tersebut  juga  dengan teorekenbaardheid atau criminal  responsibility yang  menjurus  kepada  pemidanaan  petindak  dengan  maksud  untuk
menentukan  apakah  seseorang  terdakwa  atau  tersangka  dipertanggung  jawabkan  atas  suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
3
Soedarto,
✌✍✎
s-
✎
s
✎
s
✏
u
✑
u
✒ ✓ ✔ ✕ ✎
n
✎
, Rineka  Cipta, Jakarta 1986, hlm. 102
Pasal  34  Naskah  Rancangan  KUHP  Baru  19911992  dirumuskan  bahwa  pertanggungjawaban pidana  adalah  diteruskannya  celaan  yang  objektif  pada  tindak  pidana  berdasarkan  ketentuan
hukum  yang  berlaku. Secara  subjektif  kepada  pembuat  yang  memenuhi  syarat-syarat  dalam undang-undang pidana untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat
untuk  adanya  pertanggungjawaban  pidana  atau  dikenakannya  suatu  pidana,  maka  harus  ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal  27  konsep  KUHP  19821983  mengatakan  pertanggungjawaban  pidana  adalah diteruskannya  celaan  yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum  yang berlaku, secara
subjektif  kepada  pembuat  yang  memenuhi  syarat-syarat  undang-undang  yang  dapat  dikenai pidana karena perbuatannya itu.
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 20102011, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban
pidana sebagai
berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak
pidana dan
secara subjektif
kepada seseorang
yang memenuhi
syarat untuk
dapat dijatuhi
pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala  terdapat
pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang  melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan vewijbaarheid yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif
kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Istilah  pertanggungjawaban  pidana  menurut  Pompee dalam  Bahasa  Belanda terdapat  padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk
atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah  orangnya,  tetapi  perbuatan  yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar.
Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.
4
Hal  pertama  yang  perlu  diketahui  mengenai  pertanggungjawaban  pidana adalah  bahwa pertanggungjawaban  pidana  hanya dapat  terjadi  jika  sebelumnya seseorang  telah  melakukan
tindakan  pidana.  Moeljatno  mengatakan,  orang  tidak mungkin
Dengan  demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya  tindak pidana. Seperti
yang ditulis oleh Roeslan Saleh dalam buku Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, “Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung
pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila  orang yang  melakukan  perbuaan  pidana itu memang  mempunyai  kesalahan,
maka  tentu  dia  akan  dipidana.  Tetapi, manakala  dia  tidak  mempunyai  kesalahan walaupun  dia  telah  melakukan perbuatan  yang  terlarang  dan  tercela,  dia  tentu  tidak
dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.”
5
Perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan  yang  objektif terhadap  perbuatan  itu  kemudian  diteruskan  kepada  siterdakwa. Nyatalah
bahwa  hal  dipidana  atau  tidaknya  si  pembuat  bukanlah  bergantung  pada  apakah  ada  perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan
tindak pidana. Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu  asas  yang  menentukan  bahwa  sesuatu perbuatan  adalah  terlarang  dan diandam
4
Andi Hamzah,
✖✗✘
s-
✘
s
✘
s
✙
u
✚
u
✛ ✜ ✢ ✣✘
n
✘
, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 131
5
Roeslan Saleh,
✜ ✤
rbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hlm.75.
dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Seseorang  tidak  mungkin  dipertanggungjawabkan  dan  dijatuhi pidana  kalau  tidak  melakukan perbuatan  pidana. Tetapi  meskipun  dia  melakukan perbuatan  pidana,  tidaklah  selalu  dia  dapat
dipidana.  Orang  yang  melakukan tindak  pidana  akan  dipidana,  apabila  dia  mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban  pidana  ditentukan  berdasar  pada  kesalahan  pembuat liability  based  on fault,    dan  bukan  hanya  dengan  dipenuhinya  seluruh  unsur suatu  tindak  pidana.  Dengan
demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban  pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi
mens  sit  rea.  Suatu kelakukan  tidak  dapat  dikatakan  sebagai  suatu  kejahatan  tanpa  kehendak jahat, pada  satu  sisi  doktrin  ini  menyebabkan  adanya    mens  rea    merupakan  suatu keharusan
dalam  tindak  pidana.  Pada  sisi  lain, hal  ini  menegaskan  bahwa  untuk
dapat mempertanggungjawabkan  seseorang  karena  melakukan  tindak  pidana, sangat  ditentukan  oleh
adanya  mens  rea  pada  diri  orang  tersebut. Dengan  demikian,    mens  rea    yang  dalam  hal  ini disinonimkan  dengan quilty  of  mind atau vicious  will,
merupakan  hal  yang  menetukan pertanggungjawaban  pembuat  pidana.  Dilihat  dari  sisi  ini,  penggunaan  doktrin mens  rea  dalam
common  law  system,  pada  hakikatnya  sejalan  dengan  penerapan asas  tiada  pidana  tanpa kesalahan dalam civil law system.
Berpangkal  tolak  pada asas  tiada  pidana  tanpa  kesalahan,  Moeljatno mengemukakan  suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya
ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan”  sedangkan  masalah  apakah  orang  yang  melakukannya
kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.
6
Banyak  kejadian,  tindak  pidana  dapat terjadi  sekalipun  dilihat  dari batin  terdakwa  sama  sekali tidak  patut  dicelakan terhadapnya.  Dengan  kata  lain, walaupun  telah  melakukan  tindak  pidana,
tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.
7
Seseorang  dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya,  didalam hukum  pidana  diperlukan syarat-syarat  untuk  dapat  mengenakan  pidana  terhadapnya,  karena  melakukan  tindak pidana
tersebut.  Dengan  demikian,  selain telah  melakukan  tindak  pidana, pertanggungjawaban  pidana hanya  dapat  dituntu ketika  tindak  pidana  dilakukan dengan  kesalahan. Dipisahkannya  tindak
pidana  dan  pertanggungjawaban  pidana  menyebabkan  kesalahan  dikeluarkan  dari  unsur  tindak pidana  dan  ditempatkan sebagai  faktor  yang  menentukan  dalam  pertanggungjawaban  pidana.
Namun demikian,  bagaimana  konsepsi  ini  diterapkan  dalam  praktik  hukum  perlu pengkajian lebih lanjut.
Pertanggungjawaban  pidana  terutama  dipandang  sebagai bagian  dari  pelaksanaan  tugas  hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori
pemisahan  tindak  pidana  dan pertanggungjawban  pidana,  pertama-tama  dilakukan  dengan
6
Loc.Cit. Moelijatno, hlm. 5.
7
Ibid. Hlm.6
menelusuri penerapan  dan  perkembangannya  dalam  putusan pengadilan.  Dengan  kata  lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam putusan pengadilan.
Seseorang mempunyai kesalahan,  apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang
tidak  ingin  berbuat  demikian. Dilihat  dari  segi  masyarakat,  ini  menunjukkan  pandangan  yang normatif menganai kesalahan.
Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psikologis. Tetapi kemudian pandangan  ini  ditinggalkan  orang dan  orang  lalu  berpandangan  normatif.  Ada  atau  tidaknya
kesalahan  tidaklah ditentukan  bagaimana  dalam  keadaan  senyatanya  batin  daripada  terdakwa, tetapi bergantung  pada  bagaimanakah  penilaian  hukum  mengenai  keadaan  batin  itu, apakah
dinilai ada atau tidak ada kesalahan sebagai hal yang memberatkan dan meringankan pidana.
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan