Akses Layanan Terjamin Proses

dilakukan, Nama orang yang harus ditemui, jenis layanan yang dibutuhkan, alasan dilakukannya rujukan, apa yang sudah dilakukan sebelumnya di layanan yang melakukan rujukan.

5.2.6 Akses Layanan Terjamin

Menurut KEMENKES RI 2012, untuk menjamin bahwa layanan dapat diakses oleh masyarakat dan kelompok populasi kunci serta sesuai dengan kebutuhannya maka diperlukan suatu lingkungan yang mendukung baik yang berupa kebijakan maupun peraturan perundangan. Model layanan komprehensif berkesinambungan harus meliputi intervensi terarah, guna memenuhi kebutuhan spesifik dari kelompok populasi kunci dan kelompok rentan lainnya. LKB menawarkan kesempatan luas untuk mengurangi stigma dan diskriminasi serta meningkatkan akses pada layanan – khususnya bagi kelompok kunci. Dalam mengakses layanan HIV IMS yang dibutuhkan,kelompok populasi kunci seperti PS, Penasun, LSL, WBP, dan sebagainya dan kelompok rentan lainnya anakanak, remaja dan masyarakat miskin biasanya mendapat hambatan. Setiap kabupatenkota harus membuat strategi yang memudahkan kelompok populasi kunci dan kelompok rentan lainnya dalam mengakses layanan yang mereka butuhkan. Untuk mengurangi hambatan dalam mengakses layanan bagi populasi kunci diperlukan strategi dalam pengembangan LKB salah satunya adalah sosialisasi kepada pemimpintokoh kunci setempat tentang kebutuhan populasi kunci dan bahaya dari pelecehan, pengucilan dan penangkapan populasi kunci. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan tentang kegiatan sosialisasi kepada pemimpintokoh kunci setempat, menyatakan bahwa sosialisasi 110 Universitas Sumatera Utara telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bestari yang menghasilkan kelompok kerja pokja HIV-AIDS kecamatan yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai 3 divisi yaitu : divisi advokasi, divisi layanan dan divisi sosialisasi. Tokoh-tokohpemimpin setempat masuk dalam tim tersebut. Advokasi dalam segi peraturan, layanan dalam melakukan testing dan konseling. Sosialisasi dalam penyebarluasan informasi dari program. Sosialisasi yang telah dilakukan pada pemimpintokoh kunci setempat tetapi masih memiliki kendala dalam prakteknya. Dari tokoh masyarakatnya sendiri masih melekat stigmadiskriminasi pada ODHA. Tidak hanya dari tokoh masyarakatnya saja, bahkan tenaga kesehatan yang berada di Puskesmas Bestari sendiri masih tertanam stigma atau diskriminasi tersebut. Hal tersebut dijelaskan oleh dokter koordinator LKB yang sekaligus menjadi dokter gigi bahwa saat pasien HIV ingin periksa gigi, tenaga kesehatan yang tidak termasuk tim LKB yang berada dalam pelayanan gigi akan melayani pasien tersebut tanpa mengetahui pasien tersebut menderita HIV. Tapi saat diberitahu dokter koordinator tadi bahwa itu adalah pasien HIV, tenaga kesehatan panik dan justru mendiskriminasi pasien dengan tidak mau melayani pasien dan menyerahkan pada dokter koordinator tadi untuk memberikan pelayanan gigi. Sosialisasi yang dilakukan pada tokohpemimpin setempat menjadi kurang maksimal dalam prakteknya disebabkan oleh tenaga kesehatan pun masih memiliki pemikiran terkait stigma atau diskriminasi tersebut. Menurut Waluyo, dkk 2011 sikap terhadap ODHA secara signifikan berbeda antara perawat yang memiliki pelatihan HIV dan yang tidak, perawat 111 Universitas Sumatera Utara dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, dan perawat yang merasa kompeten atau tidak kompeten untuk merawat ODHA. Masalah ini juga dijelaskan oleh KEMENKES RI 2012, bahwa stigma dan diskriminasi merupakan kendala besar bagi klien untuk mengakses LKB di Indonesia.

5.3 Keluaran Output