Analisis kualitas air Situ Bungur Ciputat berdasarkan indeks keanekaragaman fitoplankton

(1)

ANALISIS KUALITAS AIR SITU BUNGUR CIPUTAT

BERDASARKAN INDEKS KEANEKARAGAMAN

FITOPLANKTON

APDUS SALAM

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Situ adalah suatu genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami yang airnya berasal dari tanah dan air permukaan (air hujan dan air limpasan). Situ merupakan danau yang berukuran kecil hingga sedang. Sebagai siklus hidrologis yang potensial, situ berfungsi sebagai sumber air, irigasi, air baku air minum, pengendali banjir dan kegiatan lainnya. Situ juga berfungsi sebagai penampung air hujan, mata air maupun air sungai, budidaya perikanan, serta ekowisata alam dan lain sebagainya, dengan fungsi ini sangat memungkinkan situ tersebut tercemar oleh bahan-bahan pencemar (Morganof, 2007).

Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya. Keberadaan bahan pencemar tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai lagi dengan peruntukannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan, pariwisata dan sebagainya (Morganof, 2007).

Perubahan kualitas perairan, erat kaitannya dengan potensi perairan terutama ditinjau dari keanekaragaman dan komposisi fitoplankton. Keberadaan fitoplankton ini di suatu perairan dapat memberikan informasi mengenai kondisi suatu perairan, sehingga fitoplankton sebagai parameter biologi yang dapat


(3)

dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan. Adanya jenis fitoplankton yang dapat hidup dan blooming karena zat tertentu. Sehingga dapat memberikan gambaran mengenai keadaan suatu perairan yang sesungguhnya (Fachrul, 2005). Fitoplankton juga merupakan penyumbang oksigen terbesar di dalam suatu perairan, dan pengikat awal energi matahari dalam proses fotosintesis, sehingga berperan penting bagi kehidupan perairan.

Wilhm (1975), mengklasifikasikan tingkat pencemaran air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, dimana jika H’< 1 maka kondisi perairan tercemar berat, H’ = 1-3 maka kondisi perairan tercemar ringan, dan H’> 3 maka kondisi perairan tidak tercemar. Situ Bungur digunakan sebagai sumber air minum berbagai jenis binatang baik besar maupun kecil yang tinggal di sekitarnya, dan dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk penambakan ikan serta tempat pemancingan. Adanya tekanan-tekanan lingkungan di sekitar situ seperti pembuangan limbah dan sampah ke pinggir dan badan situ oleh penduduk sekitarnya menyebabkan penurunan kualitas perairan situ. Penurunan kualitas air ini akan mempengaruhi biota yang ada di perairan tersebut di antaranya adalah fitoplankton. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas perairan tersebut perlu dilakukannya penelitian tentang keanekaragaman fitoplankton sebagai indikatornya.


(4)

1.2.Rumusan Masalah

a. Bagaimana keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur?

b. Bagaimana kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman fitoplankton Situ Bungur?

1.3.Hipotesis

a. Keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur adalah rendah.

b. Kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman fitoplankton Situ Bungur adalah tercemar berat.

1.4.Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur. b. Untuk mengetahui kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman

fitoplankton Situ Bungur.

1.5.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat sebagai:

1. Informasi mengenai kondisi kualitas air di Situ Bungur berdasarkan indeks keanekaragaman, keseragaman, dominasi, dan kelimpahan fitoplankton sebagai informasi analisis kualitas air.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Situ Bungur

Situ Bungur merupakan salah satu Situ yang berada di Provinsi Banten Kelurahan Pondok Ranji Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Kabupaten Tangerang, dengan luas 32.500 m2. Situ ini berlokasi di Rw.01 Jalan Menjangan 3 dan dikelilingi oleh 2 Rt yakni Rt.03 dan Rt.04. Menurut keterangan pegawai Kelurahan Pondok Ranji (Pemda setempat) bahwa air buangan limbah dari rumah tangga ke perairan Situ sebanyak 3 Rw yakni Rw.01, 03, dan 15 dan 4 Rt yakni Rt.03, 04, 01, dan 06 dengan jumlah penduduk masing-masing yaitu ± 250 jiwa (Rt.03), ± 200 jiwa (Rt.04), ± 200 jiwa (Rt.01), ± 200 jiwa (Rt.06). Situ ini dikelola oleh Pemerintah Provinsi Banten pada peraturan Pemerintah No.6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik Negara atau Daerah.


(6)

2.2. Pencemaran Air

Menurut Achmad (2004), air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Fungsinya bagi kehidupan tidak akan dapat digantikan oleh senyawa lainnya. Hampir semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia membutuhkan air, mulai dari membersihkan diri (mandi), membersihkan ruangan tempat tinggal dan menyiapkan makanan dan minuman serta aktifitas-aktifitas lainnya. Dalam jaringan hidup, air merupakan medium untuk berbagai reaksi dan proses ekresi.

Perairan merupakan suatu potensi sumberdaya air utama yang sangat besar dimiliki Indonesia. Tercatat 13,7 juta ha perairan darat yang kita miliki, meliputi perairan danau, perairan waduk, perairan sungai, perairan lahan basah dan perairan estuaria. Potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan dari perairan darat adalah sebagai sumber air bersih, sumber produksi pangan dan pakan, sumber energi dan sumber kenyamanan. Perairan merupakan suatu ekosistem yang kompleks sebagai habitat dari berbagai jenis makhluk hidup, mulai dari ukuran mikro sampai makro. Perairan yang alami mempunyai sifat yang dinamis dan aliran energi yang kontinu selama sistem didalamnya tidak mengalami gangguan atau hambatan seperti pencemaran (Lukman dkk, 2006).

Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman atau punahnya populasi organisme perairan seperti benthos, perifiton, dan plankton. Hal ini menyebabkan sistem ekologis perairan dapat terganggu. Sistem ekologis perairan mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada dalam batas daya dukung


(7)

lingkungan yang bersangkutan. Apabila beban pencemaran melebihi daya dukung lingkungannya, maka kemampuan itu tidak dapat dipergunakan lagi (Nugroho, 2006).

Berdasarkan undang-undang no.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyatakan, bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia. Sehingga kualitasnya turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Polusi air merupakan penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal bukan dari kemurniannya. Adanya benda-benda asing yang dapat menyebabkan air tersebut tidak dapat digunakan secara normal. Biasanya benda-benda asing tersebut telah melebihi batas yang telah ditetapkan sehingga tidak dapat digunakan secara normal untuk keperluan (Fardiaz, 1992).

Penurunan kualitas air (perairan) akibat limbah-limbah masyarakat sekitar dapat menurunkan kualitas air tanah di sekitarnya melalui infiltrasi dan dispersi. Infiltrasi merupakan masuknya air dan bahan-bahan terlarut ke dalam tanah, sedangkan dispersi adalah percampuran bahan-bahan di dalam air secara fisika dan kimia hingga homogen (Astirin dkk, 2002).

Indikator bahwa kualitas air lingkungan tercemar atau menurun adalah dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati, yaitu:


(8)

4. Mikroorganisme dalam perairan (Sastrawijaya, 1991).

2.2.1. Perubahan pH Air

Nilai pH didefinisikan sebagai negatif logaritma dari konsentrasi ion hidrogen dan nilai keasaman ditunjukkan dengan nilai 1-7 (asam) dan 7-14 (basa). Kebanyakan perairan umum mempunyai nilai pH antara 6-9. Pada pH sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, kandungan kation dan anion maupun jenis dan tempat hidup organisme (Goldman dan Horne, 1983).

Menurut Fardiaz (1992), variasi pH dipengaruhi oleh kandungan karbondioksida, karbonat, asam organik, dan hasil pembusukan sisa tanaman perairan. Perairan tawar mempunyai kisaran pH antara 4-10. pH dapat mempengaruhi daya adaptasi biota akuatik dan aktifitas kimiawi di lingkungan perairan. Sebagai salah satu parameter lingkungan perairan, pH tidak selalu stabil karena dipengaruhi oleh keseimbangan antara CO2 dan HCO3- dalam perairan. Reaksi CO2 di perairan menghasilkan ion hidrogen H+ dan ion karbonat HCO3-. Konsentrasi ion H+ mempengaruhi pH, dengan semakin tinggi konsentrasi ion H+, maka perairan cendrung asam.

2.2.2. Perubahan Suhu pada Air

Menurut Iskandar (2003), menjelaskan bahwa suhu merupakan faktor penting di dalam perairan dan dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang jatuh ke permukaan air. Suhu juga merupakan salah satu faktor penunjang


(9)

produktifitas fitoplankton, karena mempengaruhi laju fotosintesis dan kecepatan pertumbuhan. Selain itu juga berpengaruh terhadap laju dekomposisi dan konversi bahan organik menjadi bahan anorganik. Suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di daerah tropis berkisar antara 20-300C.

Suhu berhubungan erat dengan persediaan makanan. Di dalam air yang hangat, kebutuhan akan bahan makanan relatif lebih banyak dengan air yang lebih dingin (Odum, 1993). Suhu di perairan juga menetukan kadar oksigen yang terlarut di dalamnya. Semakin tinggi suhu di suatu perairan, maka semakin kecil kadar oksigen terlarut di perairan tersebut (Fardiaz, 1992).

2.2.3. Perubahan Bau, Warna dan Rasa pada Air

Perubahan bau, warna dan rasa pada air yang terkena pencemaran dipengaruhi oleh zat-zat yang terdapat di dalamnya seperti zat organik, mikroorganisme dan hasil metabolismenya serta lumpur hasil buangan industri dan rumah tangga yang terlarut di dalam perairan tersebut (Fardiaz, 1992). Selain itu menurut Wardhana (1995), perubahan tersebut juga diakibatkan oleh kegiatan industri maupun rumah tangga yang limbahnya masuk ke dalam perairan.

Air yang normal tampak jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Air yang tidak jernih seringkali merupakan petunjuk awal terjadinya polusi di suatu perairan. Rasa air seringkali dihubungkan dengan bau air. Bau air dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut, gangguan plankton, tumbuhan


(10)

Menurut Kristanto (2004), warna air di alam ini sangat bervariasi, misalnya air di rawa-rawa yang berwarna kuning, coklat atau kehijauan, juga air sungai yang biasanya berwarna kuning kecoklatan karena kandungan lumpur yang tercampur di dalamnya dan air limbah yang yang berwarna coklat kemerahan karena kandungan besi dalam jumlah yang tinggi.

2.2.4. Mikroorganisme dalam Perairan

Air merupakan habitat berjenis-jenis mikroba seperti alga, protozoa dan bakteri. Dari sekalian banyak jenis mikroba yang bersifat patogen atau merugikan manusia, ada beberapa jenis mikroba yang sangat tidak dikehendaki kehadirannya karena mikroba tersebut merupakan patogen bagi perairan. Mikroba tersebut dapat berperan sebagai indikator kualitas perairan (Nugroho, 2006).

Mikroorganisme merupakan makhluk mikroskopis yang pada umumnya di lingkungan perairan dapat memakan, memecahkan dan menguraikan bahan organik (Wardhana, 1995). Mikroorganisme berperan sekali dalam proses degradasi bahan buangan organik, misal dari kegiatan industri yang dibuang ke perairan baik sungai, danau maupun laut. Mikroorganisme akan berkembangbiak jika buangan yang harus didegradasi cukup banyak, dan tidak menutup kemungkinan dengan ikut berkembangbiaknya mikroorganisme patogen (Achmad, 2004).


(11)

2.3. Fitoplankton

Fitoplankton adalah makhluk renik yang melayang di permukaan air (Yatim, 2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton merupakan tumbuhan yang seringkali ditemukan di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran mikroskopis dan memiliki klorofil sehingga mampu membentuk zat organik dari zat anorganik melalui fotosintesis.

Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan penting dalam menunjang produktifitas perairan. Keberadaan fitoplankton dapat dilihat berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang dipengaruhi oleh parameter lingkungan (Lukman dkk, 2006).

Selain sebagai produsen primer, fitoplankton juga sebagai penghasil oksigen terlarut di perairan bagi organisme lain (Kamali, 2004). Menurut Sachlan (1982), fitoplankton termasuk kelompok alga yang terbagi ke dalam 7 divisio, yaitu:

1. Cyanophyta (alga biru) yang berada di air tawar dan air laut, 2. Chlorophyta (alga hijau) yang berada banyak di air tawar dan

sedikit di air laut,

3. Chrysophyta (alga kuning) yang berada di air tawar dan air laut, 4. Pyrrophyta (plankton) yang berada di air tawar dan air laut, 5. Euglenophyta yang berada di air tawar dan air payau,


(12)

7. Rhodophyta (alga merah) yang yang hanya hidup sebagai rumput laut.

Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan. Namun Fitoplankton tertentu mempunyai peran menurunkan kualitas perairan apabila jumlahnya berlebih (blooming). Tingginya populasi fitoplankton beracun di dalam suatu perairan dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa jenis fitoplankton yang potensial blooming adalah yang bersifat toksik, seperti dari beberapa kelompok Dinoflagellata, yaitu Alexandrium spp, Gymnodinium spp, dan Dinophysis spp. Dari kelompok Diatom tercatat jenis Pseudonitszchia spp termasuk fitoplankton toksik. Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menimbulkan ledakan populasi alga berbahaya (Harmful Algae Blooms – HABs) (Aunurohim, 2008).

Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi adanya upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara, adanya hujan lebat dan masuknya air ke danau dalam jumlah yang besar. Beberapa kejadian fatal yang disebabkan oleh fitoplankton beracun tercatat di perairan Lewotobi dan Lewouran (Nusa Tenggara Timur), Pulau Sebatik (Kalimantan Timur), perairan Makassar dan Teluk Ambon. Di beberapa negara maju, ledakan fitoplankton juga mendapat prioritas penanganan mengingat


(13)

dampak kerugiannya yang tinggi. Beberapa penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton berbahaya adalah Paralytic Shellfish Poisoning

(PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning

(DSP). Racun-racun tersebut sangat berbahaya karena dapat menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan (Aunurohim, 2008).

Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan sampai pada kedalaman dimana intensitas cahaya matahari masih memungkinkan untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fitoplankton ini merupakan komponen flora yang paling besar peranannya sebagai produsen primer di suatu perairan (Odum, 1993). Fitoplankton merupakan parameter biologi yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan. Fitoplankton juga merupakan penyumbang oksigen terbesar di dalam suatu perairan. Pentingnya peranan fitoplankton sebagai pengikat awal energi matahari menjadikan fitoplankton berperan penting bagi kehidupan perairan (Fachrul, 2006).

Selaku organisme air, fitoplankton mempunyai banyak kelebihan sebagai tolak ukur biologis yaitu mampu menunjukkan tingkat ketidakstabilan ekologi dan mengevaluasi berbagai bentuk pencemaran. Setiap jenis fitoplankton berbeda reaksi fisiologis dan tingkah lakunya terhadap perubahan kualitas lingkungan (Astirin dkk, 2002). Pencemaran merupakan perusakan kualitas air akibat akumulasi buangan yang dilakukan oleh manusia, baik buangan yang berguna


(14)

Keberadaan fitoplankton di suatu perairan juga dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi perairan di daerah tersebut (Odum, 1993). Perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari, temperatur dan unsur hara. Pertumbuhan fitoplankton yang tinggi tidak hanya selalu menguntungkan bagi kondisi perairan, tetapi juga dapat menyebabkan ledakan populasi (blooming), sehingga dapat menghasilkan zat racun yang membahayakan (Goldman dan Horne, 1983).

Struktur komunitas fitoplankton adalah suatu kumpulan populasi yang hidup pada suatu daerah atau habitat tertentu yang saling berhubungan dan berinteraksi atau mempunyai hubungan timbal balik dari zona tertentu (Odum, 1993), meliputi indeks keanekaragaman, indeks dominasi, indeks keseragaman dan indeks kekayaan spesies (Kamali, 2004).

Indeks keanekaragaman (diversitas index) spesies Shannon-Wiener yaitu suatu perhitungan secara matematik yang menggambarkan analisis informasi mengenai jumlah individu dalam setiap spesies, sejumlah spesies dan total individu dalam suatu komunitas (Masson, 1981). Indeks keseragaman (Ekuitabilitas) merupakan gambaran keseragaman sebaran individu dari jenis fitoplankton dalam suatu komunitas (Odum, 1993). Indeks dominasi Simpson menggambarkan ada tidaknya suatu spesies yang mendominasi pada suatu komunitas. Hilangnya spesies dominan menimbulkan perubahan pada komunitas biotik dan lingkungan fisiknya (Odum, 1993). Indeks kekayaan (richness index) digunakan untuk mengetahui banyak sedikitnya taksa serta konsentrasi biota dalam suatu komunitas (Margalef, 1951 dalam Romimohtarto, 2001).


(15)

2.4. Hubungan Fitoplankton Dengan Pencemaran Air

Fitoplankton berpotensi menjadi indikator terbaik dalam pencemaran organik. Ada genera fitoplankton yang dikenal melimpah subur dalam daerah tercemar tinggi dan hampir secara keseluruhan tercemar. Fitoplankton mudah untuk dicuplik dan diidentifikasi yang membuat mereka di suatu perairan menjadi indikator pencemaran yang baik (Sukandar, 1993).

Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar produsen primer mata rantai makanan di perairan (Dawes, 1981). Keberadaannya di perairan dapat mengambarkan status suatu perairan, apakah dalam keadaan tercemar atau tidak (Lukman dkk, 2006).

Dalam suatu daftar ekstensif yang berisi 240 genera dan 725 spesies fitoplankton yang dilaporkan toleran terhadap pencemaran, dari daftar ini menghasilkan suatu indeks pencemaran fitoplankton yang dapat digunakan untuk menghitung cuplikan air untuk pencemaran organik tinggi atau rendah, 20 genus fitoplankton paling sering dilaporkan dalam jumlah besar ialah dalam daerah tercemar tinggi disusun dan ditunjuk sebagai suatu jumlah indeks pencemaran (Sukandar, 1993). Fitoplankton yang menjadi indikator pencemaran dalam perairan dapat dilihat pada gambar berikut (Fukuyo, 2000).


(16)

. 1 10

16 2 6 11

17 7 18

12 19

3 8

4 13 20

9

5 14

21

15

Gambar 2. Jenis-Jenis Fitoplankton Indikator Pencemaran Air (Sumber: Fukuyo)

Keterangan: 1. Phormodium, 2. Pyrobotrys, 3. Oscillatoria, 4. Chlorella, 5. Anacystis, 6. Nitzschia, 7. Tetraedron, 8. Phacus, 9. Stigeoclonium, 10. Agemenellum, 11. Lepocinclis, 12. Chlorococcum, 13. Ghomponema, 14. Chlamydomonas, 15. Lyngbya, 16. Carteria, 17. Anabaena, 18. Euglena, 19. Spyrogyra, 20. Chlorogonium, 21. Arthrospira.

Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukkan tingkat kompleksitas dari suatu struktur komunitas. Keanekaragaman juga menunjukkan pola distribusi dari suatu spesies dalam suatu komunitas (Komala, 2000).

Kelimpahan fitoplankton memiliki hubungan positif dengan kesuburan perairan. Apabila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan tersebut cendrung memiliki produktifitas yang tang tinggi pula (Raymont, 1963

dalam Kamali, 2004). Basmi (1987), menggolongkan kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton sebagai berikut.


(17)

Tabel 1. Kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton:

Kesuburan Perairan Kelimpahan plankton

Perairan Oligotrofik <2000 ind/L

Perairan Mesotrofik 2000-15000 ind/L

Perairan Eutrofik >15.000 ind/L

(Basmi, 1987)

2.5. Pengaruh Parameter Fisika dan Kimia Perairan Terhadap Pertumbuhan Fitoplankton

Pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, sifat fisika-kimia perairan, sehingga keberadaannya juga mempengaruhi kondisi kualitas air suatu perairan. Kelangsungan hidup fitoplankton sangat bergantung pada sikap lingkungan perairan yang menjadi habitatnya, baik itu parameter fisika (yaitu: kecerahan, suhu, dan kedalaman), maupun parameter kimia yaitu: pH, DO (oksigen terlarut) (Indriany, 2004).

1. Suhu (0C)

Suhu yang terlalu tinggi atau rendah pada air yang mengalami pencemaran akan mengganggu kehidupan lingkungan. Suhu air ini perlu mendapatkan perhatian dan diketahui karena penting artinya dalam penentuan oksigen yang terlarut. Hal ini terutama disebabkan karena kelarutan oksigen di dalam air berbeda-beda (Fardiaz, 1992). Naiknya suhu air akan menimbulkan turunnya


(18)

mematikan terlampaui, maka ikan dan hewan air mungkin akan mati (Kristanto, 2004).

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas fitoplankton. Suhu berperan penting dalam proses metabolisme organisme baik flora maupun fauna. Semakin tinggi suhu, maka metabolisme akan meningkat. Setiap spesies fitoplankton memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya yaitu 20-300C (Pescod, 1973).

2. Kecerahan (cm)

Cahaya merupakan sumber energi yang sangat penting dalam proses fotosintesis, semakin banyak cahaya yang diterima, maka reaksi semakin aktif. Hal tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan aktifitas fitoplankton di permukaan air, kolom air, dan di dasar perairan antara pagi, siang dan sore hari. Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat terlarut di dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatiknya dibatasi oleh kedalaman (Odum, 1993). Kecerahan perairan dapat diukur dengan alat keping secchi atau secchi disk. Selanjutnya berdasarkan kecerahan untuk fitoplankton dikatakan bahwa kecerahan keping secchi <3 cm adalah tipe perairan yang subur (eutrofik), sedang antara 3-6 cm merupakan kesuburan sedang (mesotrofik) dan >6 cm digolongkan pada tipe perairan kurang subur (oligotrofik) (Iskandar, 2003).


(19)

3. Derajat Keasaman (pH)

Air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air dapat bersifat asam atau basa tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air yang mempunyai pH lebih besar dari normal akan bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan dari kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam perairan tersebut (Wardhana, 1995). Nilai pH air yang optimum bagi fitoplankton antara 6-8 (Kristanto, 2004).

Menurut Fardiaz (1992), perairan tawar mempunyai kisaran pH 4-10. Variasi pH dipengaruhi oleh kandungan karbondioksida, karbonat, asam organik, dan hasil pembusukan sisa tanaman di perairan (Fardiaz, 1992). pH dapat mempengaruhi daya adaptasi biota akuatik dan aktifitas kimiawi di lingkungan perairan. Sebagai salah satu parameter lingkungan perairan, pH tidak selalu stabil, karena dipengaruhi oleh keseimbangan antara CO2 dan HCO3 dalam perairan. Reaksi CO2 di perairan menghasilkan ion hidrogen H+ dan ion karbonat HCO3-. Konsentrasi ion H+ mempengaruhi pH, semakin tinggi konsentrasi ion H+, maka perairan cendrung asam (Kristanto, 2004).

4. Oksigen Terlarut (DO)


(20)

mg/L dalam perairan sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, asalkan perairan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun (Pescod, 1973). Kandungan DO optimum bagi kehidupan fitoplankton yaitu >6,5 mg/L (Kristanto, 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah oksigen terlarut dalam perairan antara lain yaitu respirasi hewan dan tumbuhan air, proses penguraian bahan organik, suhu air yang relatif tinggi, reduksi oleh gas-gas yang melalui pembentukan gelembung-gelembung gas yang keluar dari air dan aliran air tanah ke dalam danau (Saeni, 1989). Kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm atau 5 mg/L, selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktif, kehadiran bahan pencemar dan suhu air (Kristanto, 2004).

Tabel 2. Kualitas air berdasarkan kandungan DO (Lee dkk, 1978):

No. Kadar Oksigen Terlarut

(mg/L) Kualitas air

1 >6,5 Tidak tercemar

2 4,5-6,5 Tercemar ringan

3 2,0-4,4 Tercemar sedang

4 <2,0 Tercemar berat


(21)

2.6.Kerangka Berfikir

Situ Bungur

Pemanfaatan Situ

Pembuangan limbah Aktifitas penduduk sekitar Situ

Pencemaran air

organik & anorganik

Keanekaragaman fitoplankton Indikator


(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2009. Pengambilan sampel dilakukan sesaat atau pada hari yang sama di Situ Bungur, Ciputat, identifikasi fitoplankton dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Gambar 3. Situ Bungur (Sumber: Salam)

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, plankton net nomor 25, mikroskop cahaya merk Olympus, ember plastik, Water Quality Checker merk Horiba, kamera digital merk Kodak C813, Secchi disk, termometer air raksa merk Boeco, Sedgwick Rafter, gelas ukur bervolume 10 ml, pipet tetes, counter merk Joyko, pH universal merk Merck, kertas label, botol sampel ukuran 30 ml dan


(23)

1000 ml, alat tulis, lem solasi kecil, tissue, tabel data (worksheet), dan buku identifikasi berdasarkan Fukuyo (2000) dan Jhon dkk (2002).

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini di antaranya sampel air Situ Bungur, Formalin 4 % (sebanyak 3 ml untuk masing-masing botol sampel 30 ml), dan minyak imersi.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Penentuan Titik Pengambilan Sampel

Untuk titik pengambilan sampel air Situ Bungur berjumlah lima (5) titik yang diambil secara random sampling dan komposit dengan metode survey, yaitu air masuk 1 (inlet 1), air masuk 2 (inlet 2), badan air (middlelet), pertambakan ikan dan air keluar (outlet). Untuk titik inlet pada Situ Bungur ada 2, karena memang pada air masuk disana terdapat 2 masukan air terbesar yang berasal dari warga sekitar Situ Bungur. Tiap titik dideskripsikan sebagai berikut:

1. Titik 1 yaitu air masuk 1 (inlet 1) yang berasal dari limbah pemukiman warga yang telah bercampur dengan air Situ Bungur. Pada titik 1 ini memang berdekatan sekali dengan pemukiman warga setempat dan aktifitas manusia seperti memancing ikan.

2. Titik 2 (inlet 2) berada di dekat jalan umum dan pemukiman warga sekaligus dekat dengan genangan sampah yang dibuang oleh warga setempat di perairan Situ Bungur tersebut.


(24)

3. Titik 3 berada pada bagian badan air atau tengah Situ yang terdalam (middlelet). Lokasinya berada di daerah dekat pertambakan ikan atau tidak jauh dari pertambakan ikan tersebut.

4. Titik 4 berada di daerah pertambakan ikan atau Keramba Jaring Apung (KJA) yang memang dibuat atau dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk memelihara ikan.

5. Dan titik 5 berada di daerah keluar air (outlet) yang berdekatan dengan rumah penduduk dan jalan umum.

Inlet 1 (titik 1) Inlet 2 (titik 2)

Pertambakan ikan (titk 4)

Outlet (titik 5)

Midlelet (titik 3)


(25)

3.3.2. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel air untuk identifikasi fitoplankton menggunakan metode survey dan satu hari pengamatan dilakukan secara komposit pada 5 titik sampel (APHA, 1995 dalam Fachrul, dkk (2008). Adapun prosedur pengambilan sampel air dilakukan di setiap titik sebagai berikut:

a. Sampel air diambil di lapisan permukaan air secara horizontal dengan menggunakan plankton net nomor 25 yang dilemparkan sampai 4 m ke perairan, lalu ditarik talinya sehingga didapatkan air sampel yang telah dipekatkan.

b. Sampel air sebanyak 27 ml diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel berukuran 30 ml yang telah terisi 3 ml formalin 4 %, lalu diberi label masing-masing titik sampling dan kemudian diawetkan.

c. Pengambilan sampel air dilakukan 3 kali atau pengulangan pada masing-masing titik dengan waktu yang sama.

d. Jika kedalaman air <0,5 m seperti di pinggiran dekat jalanan dan karena kedalaman perairan yang relatif dangkal, pengambilan sampel airnya dilakukan dengan menggunakan ember plastik berukuran 5 L yang diambil secara vertikal sebanyak 6 kali, lalu dipekatkan ke dalam plankton net

menjadi 27 ml dan dimasukkan ke dalam botol yang kemudian diawetkan dengan formalin 4 %.


(26)

3.3.3. Pengukuran Parameter Perairan (Fisika dan Kimia) Lingkungan

Pengambilan data fisika dan kimia sangat penting terutama untuk mengetahui keadaan atau kualitas air tersebut yang terjadi pada saat hari itu juga dan sangat mempengaruhi keanekaragaman pada fitoplankton. Parameter fisika di lapangan meliputi pengukuran kecerahan, konduktivitas dan suhu air. Sedangkan untuk parameter kimianya dilakukan melalui pengukuran kadar oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH). Pengukuran faktor fisika dan kimia tersebut secara insitu, artinya langsung dari lokasi sampling.

3.3.4. Identifikasi Fitoplankton

Sampel air yang telah didapat sebanyak 30 ml diamati dengan mikroskop cahaya di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun langkahnya sebagai berikut:

a. Air dalam botol sampel digoyang-goyangkan untuk menjaga homogenitas fitoplankton di dalamnya.

b. Sampel air dituangkan ke dalam gelas ukur hingga 1 ml.

c. Gelas ukur yang berisi sample air dituangkan kembali ke dalam Sedgwick-Raftercell untuk di cacah dengan menggunakan pipet tetes.

d. Pengamatan dilakukan secara mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x, 40x dan 100x dengan bantuan minyak imersi agar mudah diamati dan diidentifikasi fitoplanktonnya dengan menggunakan Fukuyo (2000) dan Jhon dkk (2002).


(27)

e. Pemotretan dilakukan dengan kamera digital di dalam mikroskop cahaya agar gambar yang didapat lebih jelas diamati bahkan dapat diamati di rumah.

f. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan counter.

3.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan ialah secara deskriptif dan ekologi kuantitatif melalui indeks Shannon-Wiener dan Perhitungan Struktur Komunitas Fitoplankton baik keanekaragaman, kelimpahan, keseragaman dan dominasi fitoplankton.

1. Indeks Shannon-Wiener

Hubungan fitoplankton dengan pencemaran air dapat dilihat pada nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan tingkat pencemaran pada suatu perairan. Menurut Wilhm (1975) seperti terlihat pada tabel berikut:

Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan indeks Shannon-Wiener (Wilhm, 1975).

Tabel 3. Nilai indeks Shannon-Wiener dengan kondisi pencemaran:

Nilai Indeks Shannon-Wiener Kondisi Perairan

<1 Tercemar berat

1,00-3,00 Tercemar sedang

>3 Perairan bersih


(28)

2. Perhitungan Struktur Komunitas Fitoplankton

Indeks Shannon-Wiener (1949) digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman jenis, keseragaman, dan dominansi fitoplankton yang dihitung menurut Odum (1993) dengan rumus sebagai berikut:

a. Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks Shannon-Wiener menjelaskan bahwa, untuk menghitung indeks keanekaragaman menggunakan rumus sebagai berikut:

H’ =

-

∑ (Pi Iog Pi), dimana Pi = ni/N

Ket:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = Kelimpahan relatif

ni = Jumlah individu semua jenis ke-i

N = Jumlah semua total jenis dalam komunitas

b. Indeks Keseragaman (E)

Indeks keseragaman/ kemerataan dihitung dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:

E = H’/H max

Ket:

E = Indeks keseragaman

H’ = Indeks keanekaragaman H max = Keragaman maksimum

c. Indeks Kelimpahan (Ind/L)

Kelimpahan plankton secara kuantitatif berdasarkan kelimpahan yang dinyatakan dalam individu/ L yang dihitung dengan rumus Sachlan (1982):


(29)

N = V/Vd x t/Vs x F

Ket:

N = Kelimpahan plankton (ind/ml) V = Volume air sampel (ml)

Vd = Volume air sample yang disaring (ml) t = Volume air dalam obyek gelas (ml) Vs = Volume air pada Sedgwick-Rafter (1 ml) F = Jumlah plankton yang tercacah (ind)

d. Indeks Dominasi (C)

Untuk menghitung indeks dominasi menggunakan rumus Simpson (Odum, 1971), yaitu:

C = ∑ (ni/N)

2

Ket:

C = Indeks dominasi Simpson ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu semua jenis dalam komunitas

Indeks dominasi Simpson, jika hasilnya >1 terdapat dominasi dalam suatu komunitas dan akan diikuti dengan dengan rendahnya indeks keseragaman (kemerataan) dan keanekaragaman. Tetapi apabila <1, maka tidak ada dominasi pada suatu komunitas dan akan diikuti dengan tingginya indeks keseragaman (kemerataan) dan keanekaragaman.


(30)

3

8

3 3 3

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 2 3 4 5

Titik Sampling

K

ec

er

aha

n

(c

m

)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Fisika-Kimia 4.1.1. Kecerahan

Nilai kecerahan yang di dapat dalam penelitian ini berkisar antara 3-8 cm. Pada titik sampling 2 merupakan nilai kecerahan tertinggi yaitu 8 cm, dan pada titik sampling 1, 3,4 dan 5 nilai kecerahannya sama yaitu 3 cm (Gambar 5).

Gambar 5. Nilai Kecerahan pada perairan Situ Bungur

Pada grafik kecerahan di atas menunjukkan bahwa pada titik sampling 2 nilai kecerahannya tertinggi di antara lainnya. Pada titik sampling ini terdapat masuknya air limbah rumah tangga yang berlebih dan terjadinya dorongan air yang mendorong limbah rumah tangga tersebut hingga terdorong ke perairan tengah dan air keluar serta daerah tambak ikan. Oleh karena itu, nilai kecerahannya lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.


(31)

Rendahnya nilai kecerahan pada titik-titik sampling tersebut kecuali titik sampling 2, disebabkan karena banyaknya limbah dari rumah tangga yang masuk, sehingga terjadi penumpukkan sampah pada titik sampling 1. Hal ini menyebabkan nilai kecerahan yang terjadi sangat rendah. Limbah rumah tangga yang terdapat di Situ Bungur berupa sabun atau busa-busa deterjen, plastik, dedaunan, dan lainnya. Masuknya limbah-limbah tersebut ke dalam suatu perairan, menyebabkan terhalang dan terhambatnya sinar matahari yang masuk ke perairan Situ, sehingga proses fotosintesis pada fitoplankton yang berada di perairan Situ tersebut berkurang.

Hal tersebut dapat mengganggu biota di dalam perairan, karena semakin rendah kadar oksigen yang ada. Biota perairan sangat membutuhkan oksigen yang cukup agar dapat terus bertahan hidup. Jika kandungan oksigen dan nutrien berlebih maka dapat terjadi eutrofikasi, dimana terjadi penumpukan zat hara yang dibutuhkan tumbuhan perairan. Hal ini menyebabkan tumbuhan tersebut dapat tumbuh subur dan menutupi tumbuhan perairan bawah, yang mengakibatkan pengurangan fotosintesis tumbuhan perairan lainnya. Sedikitnya sinar matahari yang masuk, sehingga biota di dalam perairan dapat mati karena oksigen yang kurang mencukupi. Maka dari itu akan terjadi pembusukan di dalam perairan tersebut. Menurut Iskandar (2003), kecerahan optimum untuk fitoplankton antara 3-6 cm, jika >6 cm maka dapat dikatakan perairan tersebut kurang subur. Hal ini terjadi pada titik sampling 2 dengan nilai kecerahannya 8 cm.


(32)

31 34 32 31 34 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5 33 33.5 34 34.5

1 2 3 4 5

Titik Sampling S uh u (0 C )

menurunkan proses kualitas fotosintesis dan produktifitas primer fitoplankton, sehingga menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan.

Hasil pengukuran Secchi disk pada TSI (Trophic State Index), didapatkan TSI = 57,6. Artinya perairan tersebut termasuk ke dalam eutrophy yang merupakan produktifitas fitoplanktonnya tinggi. Menurut Index Carlson (1980) pada kisaran nilai TSI, nilai TSI yang lebih besar dari 50, artinya berhubungan dengan eutrophy (produktifitas tinggi). TSI merupakan indeks keadaan pemakan yang menentukan apakah nilai keadaan pemakan di suatu perairan itu tinggi atau rendah dengan pengukuran secchi disc.

4.1.2. Suhu (0C)

Nilai suhu pada perairan Situ Bungur berkisar antara 31-340C. Pada titik sampling 2 dan 5 merupakan nilai suhu tertinggi yaitu 340C, dan pada titik sampling 1 dan 4 merupakan nilai suhu terendah yaitu 310C (gambar 6).


(33)

0.196

0.207

0.198

0.188 0.188

0.175 0.18 0.185 0.19 0.195 0.2 0.205 0.21

K

ek

er

uh

an

(FT

U

)

Pada titik sampling 3 yaitu 320C, hampir sedikit sama dengan titik sampling 1 dan 4. Hal ini menunjukkan bahwa suhu tersebut masih optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di suatu perairan. Pada titik sampling 2 dan 5 mempunyai suhu yang cukup tinggi yaitu 340C. Pada suhu ini cukup tinggi dan hanya beberapa fitoplankton yang mampu bertahan pada suhu tersebut seperti Mycrocystis, Euglena, dan lain sebagainya. Nilai suhu pada titik sampling 1 dan 4 merupakan suhu yang optimum. Menurut Effendi (2003), kisaran suhu optimum untuk petumbuhan fitoplankton yaitu 20-300C. Oleh karena itu, suhu tersebut sesuai untuk petumbuhan fitoplankton pada umumnya. Pada suatu perairan, kadar suhu dipengaruhi oleh kadar oksigen, dimana jika semakin tinggi kadar oksigen maka suhu akan mengalami penurunan.

4.1.3. Kekeruhan

Nilai kekeruhan yang di dapat berkisar antara 0,188-0,207 FTU. Pada titik sampling 2 merupakan kekeruhan tertinggi yaitu 0,207 FTU, dan pada titik sampling 4 dan 5 merupakan kekeruhan terendah yaitu 0,188 FTU (gambar 7).


(34)

Nilai kekeruhan terendah terjadi pada titik sampling 4 dan 5 yaitu 0,188 FTU. Hal ini menunjukkan bahwa pada titik sampling tersebut merupakan daerah pertambakan ikan dan keluarnya air. Oleh karena itu, tidak terjadinya pergerakan air yang berlebihan sehingga tidak terjadinya pengadukan massa air yang dapat menyebabkan kekeruhan, yang diakibatkan oleh peluruhan lumpur atau bahan-bahan tersuspensi lainnya. Pada titik sampling 2 nilai kekeruhannya paling tinggi yaitu 0,207 FTU. Pada lokasi ini debit air yang masuk ke perairan lebih banyak, sehingga terjadi adukan massa air yang menyebabkan kekeruhan yang berlebih. Menurut Kristanto (2004), kekeruhan dapat terjadi karena adanya bahan yang terapung dan terurainya zat tertentu, seperti lumpur tanah liat dan benda-benda lain yang melayang atau mengapung dan sangat halus. Oleh karena itu, air yang tercemar akan selalu mengandung padatan, baik padatan yang mengendap, tersuspensi ataupun lemak (minyak).

Kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya sistem daya lihat organisme aquatik dan menghambat penetrasi cahaya masuk ke dalam air. Menurut Sukandar (1993), ketidakteraturan kekeruhan disebabkan oleh pelimpahan air pada satu sisi cekungan, air bah yang mempengaruhi pelimpahan air, kontribusi bahan-bahan tiupan angin, aliran air dan kawanan plankton.

4.1.4. pH

Nilai pH pada perairan Situ Bungur yang di dapat berkisar antara 6,7-8,8. Nilai pH tertinggi terjadi pada titik sampling 5 yaitu 8,8, dan nilai pH terendah terjadi pada titik sampling 3 yaitu 6,7 (gambar 8).


(35)

8.8 7.7

7.5

7.5 6.7

0 2 4 6 8 10

1 2 3 4 5

Titik Sampling

pH

Gambar 8. Nilai pH pada perairan Situ Bungur

Pada titik sampling 5 merupakan tempat keluarnya air. Pada waktu pengamatan, air yang keluar dari titik sampling 5 ini sangat sedikit dan lebih banyak sampah, sehingga terjadi penumpukan subtrat atau lumpur. Hal ini memungkinkan tercemarnya air yang berasal dari penduduk di sekitar Situ. Pada titik sampling 3 merupakan nilai pH terendah dari titik sampling lainnya yaitu 6,7. Artinya nilai pH tersebut normal, begitupun dengan titik sampling lainnya yang berkisar antara 7 hingga 8. Menurut Nugroho (2006), Lind (1979) dan Pescod (1973), menyatakan bahwa pada umumnya air yang normal memiliki pH netral sekitar 6 hingga 8. Air limbah atau air tercemar memiliki pH sangat rendah atau pH cendrung tinggi, tergantung dari jenis limbah dan komponen pencemarannya. Sebagai salah satu parameter lingkungan perairan, pH tidak selalu stabil, karena dipengaruhi oleh keseimbangan antara CO2 dan HCO3 dalam perairan.

Hasil rata-rata nilai pH diatas, yang kisarannya antara 6,7-8,8, menunjukkan bahwa perairan Situ Bungur masih dapat menopang beberapa


(36)

3.24 3.13 5.62

4.24 3.8

0 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5

Titik Sampling

D

O

(

m

g/

L)

4.1.5. DO

Nilai DO (Dissolved Oxygen) di perairan Situ Bungur berkisar antara 3,13-5,62 mg/L. Nilai DO tertinggi terjadi pada titik sampling 2 yaitu 3,13-5,62 mg/L, dan nilai DO terendah terjadi pada titik sampling 5 yaitu 3,13 mg/L (gambar 9).

Gambar 9. Nilai DO pada perairan Situ Bungur

Nilai DO tertinggi pada titik sampling 2 yaitu 5,62 mg/L, karena pada titik sampling ini merupakan tempat masuknya air dari rumah penduduk sekitar Situ. Pada titik sampling 1 merupakan tempat masuknya air yang lebih sedikit daripada titik sampling 2, sehingga kandungan oksigen dalam air sedikit. Pada saat itu memang masuknya air pada titk sampling 2 lebih banyak dibandingkan dengan titik sampling 1, sehingga membuat masuknya oksigen ke dalam air lebih besar. Akibatnya, deras laju air yang menarik udara dari luar ke dalam air menyebabkan oksigen dalam air pada titik sampling 2 lebih banyak dibandingkan dengan titik sampling lainnya.


(37)

Nilai DO terendah yang terjadi pada titik sampling 5, karena keluarnya air sangat sedikit. Oleh sebab itu, pada titik sampling ini terjadi penumpukkan sampah-sampah, sehingga menurunnya nilai kandungan oksigen terlarut (DO). Rendahnya kandungan oksigen terlarut di titik sampling ini disebabkan oleh banyaknya limbah orgaik dan anorganik seperti sampah plastik, kaleng, dan lainnya. Hal ini menyebabkan sebagian oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Oleh karena itu, jika pencemaran ini terus berlangsung dapat menyebabkan kematian bagi organisme aerob. Menurut Anonim (2008), kadar DO optimum untuk fitoplankton yaitu >6,5 mg/L. Dari hasil kandungan DO yang di dapat menunjukkan bahwa kualitas air situ tersebut tercemar, karena dibawah nilai kandungan DO optimum.

4.2. Keanekaragaman Fitoplankton

Hasil identifikasi fitoplankton ditemukan 30 genus yang terdiri dari 4 divisi utama yaitu Cyanophyta (7 genus), Chlorophyta (19 genus), Chrysophyta (2 genus), Euglenophyta (2 genus). Genus yang ditemukan pada kelima titik sampling tersebut adalah: Chlorococcus, Oscillatoria, Mycrocystis, Anacystis, Anabaena, Hormidium, Merismopedia (Cyanophyta); Schroederia, Ulothrix, Selenastrum, Chlorella, Pseudotetrastrum, Pediastrum, Cosmarium, Straurastrum, Tetraedron, Crucigenia, Volvox, Tetradesmus, Kirchniriella, Arthodesmus,


(38)

2.80 % 1% 19.9 2% 0.35 % 0.27 % 0.02 % 0.06 % 10.2 0% 0.03 % 0.14 % 7.35 % 0.73 % 0.07 % 3.11 % 0.67 % 2.12

% 2.13 % 2.27 % 0.09 % 0.02 % 1.63 % 20.0 2% 0.02 % 4.13 % 7.70 % 0.44 % 0.11 % 0.10 % 12.4 0% 0.10 % 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% Chl oroc occu s Osc illat oria Myc rocy stis Ana cyst is Ana baen a Hor mid ium Mer ism ope dia Sch roed eria Ulo thrix Sel enas trum Chl orel la Pse udot etra stru m Ped iast rum Cos mar ium Str aura stru m Tet raed ron Cru cige nia Vol vox Tet rade sm us Kirc hniri ella Art hode sm us Mon ora pid ium Haf niom onas Sce nede sm us Ooc ystis Cru cige niel la Nitc zia Nav icul a Eug lena Tra celo mon as (Chlorophyta); Nitzschia, Navicula (Chrysophyta); Euglena, Tracelomonas

(Euglenophyta) (Gambar 10).

Gambar 10. Keanekaragaman fitoplankton Situ Bungur Ciputat pada kelima titik.

Genus Mycrocystis, Monoraphidium dan Euglena merupakan penyusun utama dalam komunitas fitoplankton di seluruh titik sampling penelitian. Melimpahnya genus Mycrocystis, Monoraphidium dan Euglena disebabkan karena ketiga genus tersebut sangat mudah beradaptasi pada lingkungan perairan terutama perairan yang telah tercemar. Dari hasil pengamatan, fitoplankton yang di dapat diantaranya yaitu Oscillatoria, Chlorella, Anacystis, Nitzchia, Tetraedron, Anabaena dan Euglena yang merupakan jenis-jenis fitoplankton indikator pencemaran air sesuai dengan teori Fukuyo, dan berdasarkan indeks

keanekaragaman yang di dapat (H’< 1) disimpulkan bahwa kualitas perairan Situ Bungur mengalami pencemaran berat pada saat penelitian ini dilakukan. Hal ini


(39)

dimungkinkan karena limbah anorganik yang masuk ke perairan Situ Bungur. Dalam pengamatan memang terlihat banyak genangan sampah di sekitar perairan Situ. Air yang masuk ke Situ tidak seimbang dengan air yang keluar dari Situ tersebut, sehingga terjadinya genangan sampah dan zat-zat beracun yang mengakibatkan pencemaran pada perairan situ. Lalu terjadilah komunitas spesies fitoplankton yang mampu bertahan pada kondisi tercemar.

Ketiga genus tersebut mampu melindungi dirinya dari zat-zat beracun yang berada di perairan dengan adanya protective cyste. Oleh karena itu, genus-genus tersebut mampu hidup pada perairan yang mengalami pencemaran (Jhon

dkk, 2002). Dari ketiga genus tersebut juga mempunyai flagel (berupa alat gerak) yang mampu melakukan pergerakan secara luas di perairan. Berdasarkan Fukuyo (2000) ada beberapa fitoplankton yang dapat menjadi indikator perairan tercemar. Fitoplankton yang menjadi indikator perairan tercemar di Situ Bungur yakni: Mycrocystis, Euglena, Oscillatoria, Chlorococcus, Schroederia, volvox, Monoraphidium, Navicula, Scenedesmus dan Oocystis.

Pada suatu perairan, jika terdapat 1 atau 2 bahkan lebih dari 2 genus fitoplankton indikator perairan tercemar, maka dapat dikatakan perairan tersebut tercemar. Hal ini dikarenakan, jika sewaktu-waktu terjadi blooming alga, maka genus fitoplankton perairan tercemar yang akan mendominasi perairan tersebut.

4.3. Indeks-indeks Biologi 4.3.1. Keanekaragaman (H’)


(40)

0,151 0,154 0,158 0,158 0,152 0.146 0.148 0.15 0.152 0.154 0.156 0.158 K ea ne ka ra ga m an (H ')

1 2 3 4 5

Titik Sampling

pada titik sampling 1 yaitu 0,151, dan nilai keanekaragaman tertinggi terjadi pada titik sampling 3 dan 4 yaitu 0,158 (gambar 11).

Gambar 11. Nilai Keanekaragaman Fitoplankton di Situ Bungur

Nilai keanekaragaman terendah yang terjadi pada titik sampling 1 dikarenakan pada titik sampling ini masukkan air sedikit. Oleh karena itu, pada titik sampling ini mengandung nutrisi yang sedikit dan kecerahannya cendrung lebih rendah. Hal ini disebabkan karena terdapat pepohonan yang cukup besar, sehingga kecerahannya relatif rendah dan juga masuknya air dari penduduk sekitar situ relatif sedikit. Pada titik sampling 5, terdapat pepohonan yang rindang sehingga menutupi cahaya matahari masuk ke perairan. Hal ini menyebabkan terbatasnya cahaya untuk pertumbuhan fitoplankton. Pada titik sampling 2 yaitu 0,154 yang tidak jauh berbeda nilainya dari titik sampling 1 dan 5. Hal ini dikarenakan banyaknya tumpukan sampah yang menggenang, sehingga mengurangi masuknya cahaya matahari ke perairan situ. Nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada titik sampling 3 dan 4 yaitu 0,158. Pada titik sampling ini


(41)

berada di daerah yang terkena sinar matahari penuh tanpa adanya halangan dari genangan sampah atau bahan pencemar maupun pepohonan yang menutupi masuknya penetrasi cahaya matahari. Oleh karena itu, terdapat fitoplankton yang cukup banyak pada di titik sampling ini, sehingga menyebabkan keanekaragamannya sedikit lebih tinggi daripada titik sampling lainnya.

Pada hasil yang di dapat untuk keanekaragaman, dimana H’<1,00 (Odum,

1971) yang termasuk dalam kategori rendah. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan, bahwa penyebaran dan kekayaan jenis fitoplankton yang berada di Situ Bungur relatif rendah. Oleh sebab itu, keanekaragaman di perairan Situ Bungur tidak stabil, sehingga perairan tersebut mengalami pencemaran yang relatif tinggi atau tercemar berat. Menurut Nugroho (2006), jika keragamannya rendah berarti komunitas fitoplankton di perairan tersebut nilai keanekaragamannya relatif rendah dan didominasi oleh satu atau dua jenis fitoplankton.

4.3.2. Keseragaman (E)

Hasil yang di dapat untuk indeks keseragaman fitoplankton di Situ Bungur berkisar antara 0,022-0,026. Nilai keseragaman tertinggi terjadi pada titik sampling 3 yaitu 0,026, dan nilai terendah terjadi pada titik sampling 2 dan 5 yaitu 0,022 (gambar 12).


(42)

0,023 0,022 0,026 0,025 0,022 0.02 0.021 0.022 0.023 0.024 0.025 0.026 K e s e ra ga m a n (E )

1 2 3 4 5

Titik Sampling

Gambar 12. Nilai Keseragaman Fitoplankton di Situ Bungur

Nilai keseragam di atas menunjukkan bahwa keseragaman populasi pada semua titik sampling seragam dengan nilai yang relatif rendah. Rendahnya keseragaman pada semua titik sampling disebabkan karena kelimpahan genus yang tidak merata, sehingga terjadinya kecendrungan terhadap suatu genus yang mendominasi pada setiap titik sampling di perairan situ tersebut. Menurut Au doris et al (1989) dalam Nugroho (2006), menyatakan bahwa jika indeks keseragaman (E) mendekati 0, maka keseragaman antar genus rendah. Hal ini mencerminkan bahwa kekayaan individu pada masing-masing genus sangat jauh berbeda.

4.3.3. Kelimpahan (Ind/L)

Kelimpahan yang di dapat pada perairan Situ Bungur berkisar antara 2930-12220 Ind/L. Kelimpahan tertinggi terjadi pada titik sampling 2 yaitu 2930-12220


(43)

7173

12220

2930

6216

10886

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

K

e

li

m

pa

ha

n

(I

nd

/L)

1 2 3 4 5

Titik Sampling

Ind/L, dan kelimpahan terendah terjadi pada titik sampling 3 yaitu 2930 (gambar 13).

Gambar 13. Nilai Kelimpahan Fitoplankton di Situ Bungur

Nilai kelimpahan tertinggi pada titik sampling 2, dikarenakan pada titik sampling ini merupakan masuknya air. Oleh karena itu, air yang masuk sangat melimpah atau banyak yang berasal dari penduduk sekitar Situ. Pada kelimpahan terendah terdapat pada titik sampling 3 yaitu 2930 ind/L. Pada titik ini merupakan daerah badan air atau perairan tengah yang kandungan nutrisi lebih sedikit dari kandungan nutrisi yang ada. Pada titik sampling 4 yang merupakan daerah pertambakan ikan, nilai kelimpahannya sedikit lebih tinggi dari titik sampling 3. Hal ini dikarenakan, pada titik sampling 4 dekat dengan titik sampling 1. Pada


(44)

yang masuk dari titik sampling 1, sehingga dapat mendukung kehidupan fitoplankton. Kelimpahan yang tidak merata cenderung menyebabkan terdapatnya salah satu jenis fitoplankton yang mendominasi. Pada perairan Situ Bungur yang mendominasi diantaranya Mycrocystis, Euglena, dan Monoraphidium. Hal ini berakibat pada terjadinya Blooming alga sewaktu-waktu. Jika nutrisi berlebih di perairan tersebut, maka akan menyingkirkan jenis-jenis fitoplankton lainnya.

Kelimpahan fitoplankton diidentifikasikan sebagai jumlah individu fitoplankton persatuan volume air per liter (ind/L). Lingkungan yang tidak menguntungkan bagi fitoplankton dapat menyebabkan jumlah individu atau kelimpahan maupun jumlah spesies fitoplankton berkurang. Keadaan ini dapat mempengaruhi tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu, suatu tingkat kesuburan suatu perairan salah satunya ditentukan oleh tingkat kelimpahan fitoplankton (Nugroho, 2006).

4.3.4. Dominasi (C)

Nilai dominasi perairan Situ Bungur di dapat berkisar antara 0,92-1,14. Nilai dominasi tertinggi terjadi pada titik sampling 2 yaitu 1,14, dan nilai terendah terjadi pada titik sampling 3 yaitu 0,92 (gambar 14).


(45)

0.97

1.14

0.92 0.95

1.1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

D

om

ina

si

(

C

)

1 2 3 4 5

Titik Sampling

Gambar 14. Nilai Dominasi Fitoplankton di Situ Bungur

Nilai tertinggi yang terjadi pada titik sampling 2 terdapat fitoplankton yang mendominasi yaitu Euglena, Microcystis dan Schroederia. Hal ini dikarenakan pada titik sampling 2 terdapat masuknya air ke perairan situ dan banyaknya genang sampah, baik yang organik maupun anorganik. Genangan sampah tersebut berasal dari penduduk sekitar situ. Pada titik sampling 5 yaitu 1,1 yang merupakan tempat keluarnya air dan terdapat sampah-sampah yang menggenang. Oleh karena itu, menyebabkan terdapatnya fitoplankton yang mendominasi yaitu Microcystis, sehingga genus tersebut terbanyak di titik sampling ini. Nilai indeks dominasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya jenis yang mendominasi dalam suatu perairan.

Ditemukan fitoplankton indikator pencemaran air yang mendominasi diperairan tersebut yakni Microcystis, Euglena, dan Monoraphidium. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatnya salah satu jenis yang mendominasi jenis lain pada perairan Situ Bungur ini yang disebabkan oleh komunitas dalam keadaan


(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan kesimpulan:

1. Keanekaragaman fitoplankton yang ditemukan sebanyak 30 genus yang termasuk ke dalam 4 divisi utama yakni Cyanophyta (7 genus), Chlorophyta (19 genus), Chrysophyta (2 genus), dan Euglenophyta (2 genus).

2. Berdasarkan kehadiran jenis-jenis fitoplankton indikator perairan tercemar yang ditemukan serta indeks keanekaragaman fitoplankton yang di dapat (H’= 0,151-0,158) atau H’< 1, disimpulkan bahwa kualitas perairan Situ Bungur mengalami pencemaran berat.

5.2. Saran

Perlunya penelitian lebih lanjut untuk meninjau secara continue (terus menerus) mengenai kualitas di peraiarn Situ Bungur tersebut agar pencemaran yang terjadi dapat di tanggulangi dan tidak mengganggu biota lain yang ada didalamnya.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. ANDI. Yogyakarta.

Anonim. 2008. Ekosistem Perairan Tawar. http/:www.damandiri.or.id. Diakses tanggal 1 Juli 2009.

Astirin O.P., A.D. Setyawan, & M. Harini. 2002. Keanekargaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas Air Sungai di Kota Surakarta. Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta. Jurnal. Biodiversitas vol.3, No. 2. Hal. 236-241.

Aunurohim. 2008. Fitoplankton Penyebab Harmfull Algae Blooms (HABs) di Perairan Sidoardjo. Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.

http:// fisika_brawijaya.ac.id/bss_ub/proceeding.pdf. Di akses tanggal 10 Juli 2009.

Basmi, J. 1987. Fitoplankton sebagai sebagai indikator Biologis Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Carlson, R. 1980. Light, Secchi disks, and trophic states. Journal. Limnology and Oceanography. Vol. 25, No.2. Hal. 373-377.

Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. A Willey Interscience. Publ: 628 p.

Effendi, H., 2003. Telaah kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Fachrul, M.F., H. Haeruman, & L.C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Seminar Nasional MIPA 2005. FMIPA UI Depok, 24-26 November 2005. http://melati@trisakti.ac.id. Diakses tanggal 10 Juli 2009.

__________. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

__________. 2008. Komposisi dan Model Kemelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai Ciliwung Jakarta. Jurnal Biodiversitas, vol.9, nomor 14, p 296-300.


(48)

Goldman, C.R., & A.J Horne. 1983. Limnology. Mc Graw-Hill International Book Company. New York.

Ikasari, Q. 2005. Indeks Saprobik Protozoa Sebagai Bioindikator Kualitas Air di Suaka Margasatwa Muara Angke. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Studi Biologi. UNJ. Jakarta.

Indriany, M. 2004. Struktur Komunitas Diatom dan Dinoflagellata pada Beberapa Daerah Budidaya di Teluk Hurun, Lampung.

Iskandar. 2003. Struktur Komunitas Plankton di Perairan Bekas Bahan Pasir (Studi Kasus di Rawa Bebek, Karawang). Fakultas Pertanian. UNPAD. Bandung.

Jhon, D.M., B.A. Whitton, & A.J. Brook. 2002. The Freshwater Algal Flora of The British Isles. The United Kingdom at the University Press. Cambridge.

Kamali. 2004. Komunitas Fitoplankton. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Komala, R. 2000. Struktur Komunitas Biota Perairan. Makalah yang disampaikan dalam LDMPL Jurusan Biologi FMIPA. UNJ. Jakarta.

Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Universitas Kristen PETRA Surabaya. ANDI. Yogyakarta.

Lee, T.D. 1978. Handbook of Variables of Environmental Impact Assesment Arbor: An Arbor Science Publishor Inc.

Lind, O.T., 1979. Handbook of Common Methods in Limnology. Second edition. Kendal/ Hunt Publishing Company. Lowa.

Lukman, Sulastri, D.S. Said, T. Tarigan, & T. Widiyanto. 2006. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006 “Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat secara terpadu di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Bogor.

Masson, C.F. 1981. Biology of Freswater Pollution. Longman. Inc. New York. 250 p.

Morganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nemerow, N.L. 1991. Stream, Lake, Estuary and Ocean Pollution. Second Edition. Van Nostrand Reinhold. New York. 472 p.


(49)

Nontji, A. 2006. Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.

Odum, E.P. 1993. Fundamental of Ecology. Philladelphia London Toronto. W.B. Sounders company.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for Tropical Countries. Asean Institut of Technology. Bangkok 54 pp. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas

Diponegoro. Semarang.

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor.

Sastrawijaya, T.1991. Pencemaran Lingkungan.Cetakan-1. Rineka Cipta. Jakarta. Sukandar, P. 1993. Ekologi Perairan Tawar. Biologi FMIPA IKIP. Jakarta. Yatim, W. 2003. Kamus Biologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Rineke Cipta. Jakarta. Wilhm, J.P. 1975. Biological Indicators of Polution. Hal. 375 dalam B.A.,

Whitton(Ed). River Ecology. Blackwell Scientific Publication Oxford. London.


(50)

Lampiran 1.

Peta Lokasi Situ Bungur Ciputat

Gambar 15. Peta Lokasi

Situ Bungur


(51)

Lampiran 2.

Foto-Foto Titik Pengambilan Sampling

Gambar 16. Titik 1 (Inlet 1) Gambar 17. Titik 2 (Inlet 2)


(52)

Lampiran 3.

Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Air Situ Bungur Ciputat a. Kecerahan (cm)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 3 2 4 9 3

2 7 9 8 24 8

3 3 3 3 9 3

4 2 4 3 9 3

5 3 3 3 9 3

b. Suhu (0C)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 30 32 31 93 31

2 33 35 34 102 34

3 32 32 32 96 32

4 31 31 31 93 31

5 34 34 34 102 34

c. Kekeruhan (FTU)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 0,194 0,198 0,196 0,588 0,196

2 0,206 0,206 0,209 0,069 0,207

3 0,197 0,198 0,199 0,066 0,198

4 0,188 0,188 0,188 0.0627 0,188

5 0,188 0,187 0,189 0.0627 0,188

d. pH

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 7,4 7,5 7,6 22,5 7,5

2 7,7 7,6 7,8 23,1 7,7

3 6,6 6,8 6,7 20,1 6,7

4 7,5 7,5 7,5 22,5 7,5

5 8,7 8,8 8,9 26,4 8,8

e. DO/ Oksigen Terlarut (mg/L)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 3,23 3,25 3,24 9,72 3,24

2 5,62 5,61 5,63 16,86 5,62

3 3,79 3,79 3,82 11,4 3,80

4 4,25 4,25 4,25 12,72 4,24


(53)

Lampiran 4.

Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 1

No Fitoplankton

Titik 1

Jumlah Rata2 %

Ulangan

S1 S2 S3

Cyanophyta

1 Chlorococcus 41 17 18 76 25,33 3,53 %

2 Oscillatoria 3 18 19 40 13,33 1,86 %

3 Mycrocystis 196 177 38 411 137 19,10 %

4 Anacystis 0 0 %

5 Anabaena 0 0 %

6 Hormidium 0 0 %

7 Merismopedia 3 3 1 0,14 %

Chlorophyta

1 Schroederia 198 50 19 267 89 12,41 %

2 Ulothrix 2 2 0,67 0,09 %

3 Selenastrum 1 1 0,33 0,05 %

4 Chlorella 70 121 11 202 67,33 9,39 %

5 Pseudotetrastrum 3 5 8 2,66 0,37 %

6 Pediastrum 3 3 1 0,14 %

7 Cosmarium 14 22 44 80 26,67 3,72 %

8 Straurastrum 9 8 7 24 8 1,11 %

9 Tetraedron 24 14 10 48 16 2,23 %

10 Crucigenia 17 16 9 42 14 1,95 %

11 Volvox 3 14 11 28 9,33 1,30 %

12 Tetradesmus 0 0 0 %

13 Kirchniriella 2 2 0,67 0,09 %

14 Arthodesmus 9 21 21 51 17 2,37 %

15 Monorapidium 84 312 26 422 140,67 19,59 %

16 Hafniomonas 0 0 0 %

17 Scenedesmus 89 43 15 147 49 6,83 %

18 Oocystis 71 35 22 128 42,67 5,95 %

19 Crucigeniella 1 4 5 1,67 0,23 %

Chrysophyta

1 Nitczia 2 2 0,67 0,09 %

2 Navicula 6 5 11 3,67 0,51 %

Euglenophyta

1 Euglena 15 5 124 144 48 6,69 %

2 Tracelomonas 5 5 1,67 0,23 %


(54)

Lampiran 5.

Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 2

No Fitoplankton

Titik 2

Jumlah Rata2 %

Ulangan

S1 S2 S3

Cyanophyta

1 Chlorococcus 15 22 37 12,33 1,01 %

2 Oscillatoria 10 5 8 23 7,67 0,63 %

3 Mycrocystis 90 260 296 646 215,33 17,62 %

4 Anacystis 0 0 0 %

5 Anabaena 33 33 11 0,90 %

6 Hormidium 1 1 0,33 0,03 %

7 Merismopedia 1 2 3 1 0,08 %

Chlorophyta

1 Schroederia 132 126 25 283 94,33 7,72 %

2 Ulothrix 1 1 0,33 0,03 %

3 Selenastrum 3 2 5 1,67 0,14 %

4 Chlorella 9 54 19 82 27,33 2,24 %

5 Pseudotetrastrum 6 20 26 8,67 0,71 %

6 Pediastrum 0 0 0 %

7 Cosmarium 75 58 43 176 58,67 4,80 %

8 Straurastrum 2 4 2 8 2,67 0,22 %

9 Tetraedron 15 30 8 53 17,66 1,45 %

10 Crucigenia 30 18 48 16 1,31 %

11 Volvox 41 46 10 97 32,33 2,64 %

12 Tetradesmus 0 0 0 %

13 Kirchniriella 1 1 0,33 0,03 %

14 Arthodesmus 26 10 36 12 0,98 %

15 Monorapidium 155 138 46 339 113 9,3 %

16 Hafniomonas 0 0 0 %

17 Scenedesmus 79 32 6 117 39,01 3,18 %

18 Oocystis 125 175 57 357 119 9,74 %

19 Crucigeniella 4 4 16 24 8 0,65 %

Chrysophyta

1 Nitczia 0 0 0 %

2 Navicula 1 1 0,33 0,03 %

Euglenophyta

1 Euglena 21 538 708 1267 422,33 34,56 %

2 Tracelomonas 2 2 0,67 0,05 %


(55)

Lampiran 6.

Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 3

No Fitoplankton

Titik 3

Jumlah Rata2 %

Ulangan

S1 S2 S3

Cyanophyta

1 Chlorococcus 9 21 22 52 17,33 4,04 %

2 Oscillatoria 9 3 12 4 0,93 %

3 Mycrocystis 70 120 145 335 111,67 26,05 %

4 Anacystis 20 5 25 8,33 1,94 %

5 Anabaena 0 0 0 %

6 Hormidium 0 0 0 %

7 Merismopedia 0 0 0 %

Chlorophyta

1 Schroederia 45 30 75 25 5,8 %3

2 Ulothrix 1 1 0,33 0,08 %

3 Selenastrum 1 2 3 1 0,23 %

4 Chlorella 80 65 89 234 78 18,19 %

5 Pseudotetrastrum 6 3 8 17 5,67 1,32 %

6 Pediastrum 0 0 0 %

7 Cosmarium 4 2 8 14 4,67 1,09 %

8 Straurastrum 4 2 3 9 3 0,70 %

9 Tetraedron 25 13 21 59 19,67 4,59 %

10 Crucigenia 16 4 12 32 10,67 2,49 %

11 Volvox 2 1 2 5 1,67 0,39 %

12 Tetradesmus 0 0 0 %

13 Kirchniriella 0 0 0 %

14 Arthodesmus 14 3 17 5,67 1,32 %

15 Monorapidium 131 121 40 292 97,34 22,69 %

16 Hafniomonas 2 2 0,67 0,15 %

17 Scenedesmus 13 18 12 43 14,33 3,196 %

18 Oocystis 15 12 19 46 15,33 3,57 %

19 Crucigeniella 2 3 5 1,67 0,39 %

Chrysophyta

1 Nitczia 0 0 0 %

2 Navicula 0 0 0 %

Euglenophyta

1 Euglena 5 1 2 8 2,67 0,62 %

2 Tracelomonas 0 0 0


(56)

Lampiran 7.

Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 4

No Fitoplankton

Titik 4

Jumlah Rata2 %

Ulangan

S1 S2 S3

Cyanophyta

1 Chlorococcus 8 13 45 66 22 3,54 %

2 Oscillatoria 14 3 17 5,67 0,91 %

3 Mycrocystis 140 62 47 249 83 13,35 %

4 Anacystis 7 7 2,33 0,37 %

5 Anabaena 0 0 0 %

6 Hormidium 0 0 0 %

7 Merismopedia 0 0 0 %

Chlorophyta

1 Schroederia 113 63 120 296 98,67 15,8 %

2 Ulothrix 0 0 0 %

3 Selenastrum 3 3 1 0,16 %

4 Chlorella 66 69 83 218 72,67 11,69 %

5 Pseudotetrastrum 8 2 5 15 5 0,80 %

6 Pediastrum 1 1 0,33 0,05 %

7 Cosmarium 6 1 1 8 2,67 0,43 %

8 Straurastrum 9 5 7 21 7 1,13 %

9 Tetraedron 9 9 21 39 13 2,09 %

10 Crucigenia 7 11 33 51 17 2,73 %

11 Volvox sp 4 10 14 4,67 0,75 %

12 Tetradesmus 7 7 2,33 0,37 %

13 Kirchniriella 0 0 0 %

14 Arthodesmus 27 11 12 50 16,67 2,68 %

15 Monorapidium sp1 162 332 176 670 223,33 35,92 %

16 Hafniomonas 0 0 0 %

17 Scenedesmus sp1 25 21 41 87 29,01 4,66 %

18 Oocystis 10 10 20 6,67 1,07 %

19 Crucigeniella 3 2 5 1,67 0,27 %

Chrysophyta

1 Nitczia 3 3 1 0,16 %

2 Navicula 0 0 0 %

Euglenophyta

1 Euglena 5 7 5 17 5,67 0,91 %

2 Tracelomonas 1 1 0,33 0,05 %


(57)

Lampiran 8.

Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 5

No Fitoplankton

Titik 5

Jumlah Rata2 %

Ulangan

S1 S2 S3

Cyanophyta

1 Chlorococcus 26 58 28 112 37,33 3,43 %

2 Oscillatoria 12 7 11 30 10 0,92 %

3 Mycrocystis 180 406 210 796 265,33 24,37 %

4 Anacystis 12 12 4 0,37 %

5 Anabaena 1 1 0,33 0,03 %

6 Hormidium 1 1 0,33 0,03 %

7 Merismopedia 1 1 0,33 0,03 %

Chlorophyta

1 Schroederia 96 159 72 327 109 10,012 %

2 Ulothrix 0 0 0 %

3 Selenastrum 1 4 5 1,67 0,15%

4 Chlorella 29 98 37 164 54,67 5,02 %

5 Pseudotetrastrum 12 12 24 8 0,73 %

6 Pediastrum 2 3 5 1,67 0,15 %

7 Cosmarium 9 85 8 102 34 3,12 %

8 Straurastrum 7 5 8 20 6,67 0,61 %

9 Tetraedron 19 27 14 60 20 1,84 %

10 Crucigenia 16 40 32 88 29,33 2,69 %

11 Volvox 40 54 40 134 44,67 4,10 %

12 Mycratinium 4 4 1,33 0,12 %

13 Kirchniriella 0 0 0 %

14 Arthodesmus 33 13 46 15,33 1,41 %

15 Monorapidium 220 358 148 726 242 22,22 %

16 Hafniomonas 0 0 0 %

17 Scenedesmus 34 43 36 113 37,66 3,44 %

18 Oocystis 101 159 130 390 130 11,94 %

19 Crucigeniella 7 5 4 16 5,33 0,48 %

Chrysophyta

1 Navicula 8 8 2,67 0,24 %

2 Nitczia 0 0 0 %

Euglenophyta

1 Euglena 18 34 25 77 25,67 2,36 %

2 Tracelomonas 4 4 1,33 0,12 %


(58)

Lampiran 9.

Nilai Rata-rata dan Prosentase Fitoplankton

No Fitoplankton Titik Jumlah Rata2 %

1 2 3 4 5

1 Chlorococcus 76 37 52 66 112 343 68.6 2.8 %

2 Oscillatoria 40 23 12 17 30 122 24.4 1 %

3 Mycrocystis 411 646 335 249 796 2437 487.4 19.92 %

4 Anacystis 0 0 25 7 12 44 8.8 0.35 %

5 Anabaena 0 33 0 0 1 34 6.8 0.27 %

6 Hormidium 0 1 0 0 1 2 0.4 0.02 %

7 Merismopedia 3 3 0 0 1 7 1.4 0.06 %

8 Schroederia 267 283 75 296 327 1248 249.6 10.2 %

9 Ulothrix 2 1 1 0 0 4 0.8 0.03 %

10 Selenastrum 1 5 3 3 5 17 3.4 0.14 %

11 Chlorella 202 82 234 218 164 900 180 7.35 %

12 Pseudotetrastrum 8 26 17 15 24 90 18 0.73 %

13 Pediastrum 3 0 0 1 5 9 1.8 0.07 %

14 Cosmarium 80 176 14 8 102 380 76 3.11 %

15 Straurastrum 24 8 9 21 20 82 16.4 0.67 %

16 Tetraedron 48 53 59 39 60 259 51.8 2.12 %

17 Crucigenia 42 48 32 51 88 261 52.2 2.13 %

18 Volvox 28 97 5 14 134 278 55.6 2.27 %

19 Tetradesmus 0 0 0 7 4 11 2.2 0.09 %

20 Kirchniriella 2 1 0 0 0 3 0.6 0.02 %

21 Arthodesmus 51 36 17 50 46 200 40 1.63 %

22 Monorapidium 422 339 292 670 726 2449 489.8 20.02 %

23 Hafniomonas 0 0 2 0 0 2 0.4 0.02 %

24 Scenedesmus 147 117 43 87 113 507 101.4 4.13 %

25 Oocystis 128 357 46 20 390 941 188.2 7.7 %

26 Crucigeniella 5 24 5 5 16 55 11 0.44 %

27 Nitczia 2 0 0 3 8 13 2.6 0.11 %

28 Navicula 11 1 0 0 0 12 2.4 0.1 %

29 Euglena 144 1267 8 17 77 1513 302.6 12.4 %

30 Tracelomonas 5 2 0 1 4 12 2.4 0.1 %


(59)

Lampiran 10.

Hasil Perhitungan Indeks-Indeks Biologi

A. Keanekaragaman (H’)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 0,159 0,158 0,137 0,454 0,151

2 0,146 0,158 0,159 0,463 0,154

3 0,158 0,159 0,159 0,476 0,158

4 0,159 0,159 0,158 0,476 0,158

5 0,152 0,152 0,151 0,455 0,152

Jumlah 0,774 0,786 0,764 2,324

B. Keseragaman (E)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 0,024 0,023 0,023 0,07 0,023

2 0,022 0,021 0,022 0,065 0,022

3 0,026 0,026 0,026 0,078 0,026

4 0,025 0,025 0,025 0,075 0,025

5 0,022 0,021 0,022 0,065 0,022

Jumlah 0,119 0,116 0,118 0,353

C. Kelimpahan (N)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 8500 8880 4140 21520 7173

2 8310 15540 12810 36660 12220

3 4050 4520 4290 8792 2930

4 6340 6320 5990 18650 6216

5 8430 15920 8310 32660 10886

Jumlah 35630 47112 35540 118282

D. Dominasi (D)

Titik Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

1 0,97 1 0,95 2,92 0.97


(60)

Lampiran 11.

Spesies Fitoplankton yang ditemukan di Situ Bungur Ciputat Selama Penelitian

Cyanophyta

Gambar 21.Oscillatoria Gambar 22. Mycrocystis

Chlorophyta

Gambar 23. Arthodesmus Gambar 24. Monoraphidium Gambar 25. Pediastrum

Chrysophyta Euglenophyta


(61)

Lampiran 12.

Identifikasi Fitoplankton

1. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Chlorococcus Spesies : Chlorococcus sp

2. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Oscillatoriales Genus : Oscillatoria Spesies : Oscillatoria sp

3. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Mycrocystis Spesies : Mycrocystis sp

4. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Nostocales Genus : Anacystis Spesies : Anacystis sp

5. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Nostocales

Genus : Anabaena

Spesies : Anabaena sp

6. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Oscillatoriales

Genus : Hormidium

Spesies : Hormidium sp

7. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae


(62)

Lampiran 13.

Identifikasi Fitoplankton

8. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Schroederia Spesies : Schroederia sp

9. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chaetophorales Genus : Ulothrix

Spesies : Ulothrix sp

10. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Selenastrum Spesies : Selenastrum sp

11. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Chlorella Spesies : Chlorella sp

12. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Pseudotetrastrum Spesies : Pseudotetrastrum sp

13. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Pediastrum Spesies : Pediastrum sp

14. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Zygnematales

Genus : Cosmarium


(63)

Lampiran 14.

Identifikasi Fitoplankton

15. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Zygnematales Genus : Staurastrum Spesies : Staurastrum sp

16. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Tetraedron Spesies : Tetraedron sp

17. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Cladophorales Genus : Crucigenia Spesies : Crucigenia sp

18. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Volvocales

Genus : Volvox

Spesies : Volvox sp

19. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Tetradesmus Spesies : Tetradesmus sp

20. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Kirchniriella Spesies : Kirchniriella sp

21. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae


(64)

Lampiran 15.

Identifikasi Fitoplankton

22. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Monoraphidium Spesies : Monoraphidium sp

23. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Volvocales Genus : Hafniomonas Spesies : Hafniomonas sp

24. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Desmidiales Genus : Scenedesmus Spesies : Scenedesmus sp

25. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Oocystis Spesies : Oocystis sp

26. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Cladophorales Genus : Crucigeniella Spesies : Crucigeniella sp

27. Divisi : Chrysophyta Kelas : Chrysophyceae Bangsa : Bacillariales Genus : Nitczia Spesies : Nitczia sp

28. Divisi : Chrysophyta Kelas : Chrysophyceae Bangsa : Naviculales Genus : Navicula Spesies : Navicula sp


(65)

Lampiran 16.

Identifikasi Fitoplankton

29. Divisi : Euglenophyta Kelas : Flagellata Bangsa : Euglenales Genus : Euglena Spesies : Euglena sp

30. Divisi : Euglenophyta Kelas : Bacillariophyceae Bangsa : Euglenales

Genus : Tracelomonas Spesies : Tracelomonas sp


(66)

Lampiran 17.

Alat-Alat Penelitian

Gambar 28. Water Quality Checker (WQC) Gambar 29. Plankton Net

Gambar 30. Secchi Disk Gambar 31. pH Indikator


(1)

4. Oksigen Terlarut (DO) ... 18

2.6. Kerangka Berfikir ... 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...……… 21

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...……….... 21

3.2. Alat dan Bahan ...………... 21

3.3. Cara Kerja ... 22

3.3.1. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ... 22

3.3.2. Pengambilan Sampel ... 24

3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia ... 25

3.3.4. Identifikasi Fitoplankton ... 25

3.4. Analisis Data ... 26

1. Indeks Shannon-Wiener ... 26

2. Perhitungan Struktur Komunitas Fitoplankton ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Parameter Fisika dan Kimia ...………... 29

4.1.1. Kecerahan ... 29

4.1.2. Suhu ... 31

4.1.3. Kekeruhan ... 32

4.1.4. pH ... 34

4.1.5. DO ... 35

4.2. Keanekaragaman Fitoplankton ... 36

4.3. Indeks-indeks Biologi ... 38

4.3.1. Keanekaragaman ... 38

4.3.2. Keseragaman ... 40

4.3.3. Kelimpahan ... 41

4.3.4. Dominasi ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...……….. 45


(2)

5.2. Saran ...……….. 45 DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN ... 49


(3)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Foto Situ Bungur ... 4

Gambar 2. Jenis-jenis fitoplankton indikator pencemaran air ... 15

Gambar 3. Situ Bungur ...……….. 21

Gambar 4. Titik pengambilan sampling air ... 23

Gambar 5. Nilai Kecerahan pada perairan Situ Bungur ... 29

Gambar 6. Nilai Suhu pada perairan Situ Bungur ... 31

Gambar 7. Nilai Kekeruhan pada perairan Situ Bungur ... 32

Gambar 8. Nilai pH pada perairan Situ Bungur ... 34

Gambar 9. Nilai DO pada perairan Situ Bungur ... 35

Gambar 10. Keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur pada kelima titik .. 37

Gambar 11. Nilai Keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur ... 38

Gambar 12. Nilai Keseragaman fitoplankton di Situ Bungur ... 40

Gambar 13. Nilai Kelimpahan fitoplankton di Situ Bungur ... 41

Gambar 14. Nilai Dominasi fitoplankton di Situ Bungur ... 43

Gambar 15. Peta lokasi ... 49

Gambar 16. Titik 1 (Inlet 1) ... 50

Gambar 17. Titik 2 (Inlet 2) ... 50

Gambar 18. Titik 3 (Midlelet) ... 50

Gambar 19. Titik 4 (Pertambakan ikan) ... 50

Gambar 20. Titik 5 (Outlet) ... 50

Gambar 21. Oscillatoria ... 59

Gambar 22. Mycrocystis ... 59

Gambar 23. Arthodesmus ... 59

Gambar 24. Monoraphidium ... 59

Gambar 25. Pediastrum ... 59

Gambar 26. Navicula ... 59


(4)

Gambar 28. Water Quality Checker (WQC) ... 59

Gambar 29. Plankton Net ... 59

Gambar 30. Secchi Disk ... 59

Gambar 31. pH Indikator ... 59

Gambar 32. Sedwigck Rafter ... 59


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kesuburan perairan berdasarkan plankton ... 16 Tabel 2. Kualitas air berdasarkan kandungan DO ... 19 Tabel 3. Nilai indeks Shannon-Wiener dengan kondisi pencemaran ... 27


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Peta lokasi Situ Bungur Ciputat ...……… 49

Lampiran 2. Foto foto titik pengambilan sampling ...……….. 50

Lampiran 3. Hasil pengukuran parameter fisika kimia air Situ Bungur ...….. 51

Lampiran 4. Jenis dan jumlah fitoplankton pada titik 1 ... 52

Lampiran 5. Jenis dan jumlah fitoplankton pada titik 2 ... 53

Lampiran 6. Jenis dan jumlah fitoplankton pada titik 3 ... 54

Lampiran 7. Jenis dan jumlah fitoplankton pada titik 4 ... 55

Lampiran 8. Jenis dan jumlah fitoplankton pada titik 5 ... 56

Lampiran 9. Nilai rata-rata dan prosentase fitoplankton ...……….. 57

Lampiran10. Hasil perhitungan indeks-indeks biologi ...……… 58

Lampiran11. Spesies fitoplankton yang ditemukan di Situ Bungur Ciputat selama penelitian ... 59

Lampiran 12. Identifikasi fitoplankton ... 60

Lampiran 13. Identifikasi fitoplankton ... 61

Lampiran 14. Identifikasi fitoplankton ... 62

Lampiran 15. Identifikasi fitoplankton ... 63

Lampiran 16. Identifikasi fitoplankton ... 64