3.1 Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak
diyakini oleh Hakim.
86
Secara tekhnis yuridis penjatuhan hukuman terhadap semua pelaku tindak pidana atau Terdakwa termasuk Terdakwa pelaku tindak pidana narkotika,
didasarkan kepada pembuktian yakni Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
87
Semua Putusan merujuk kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP di atas, oleh karena itu penjatuhan putusan terhadap Terdakwa pelaku tindak pidana narkotika,
akan dijatuhkan putusan bebas, maka faktor-faktor sebagai dasar hukumnya murni faktor yuridis yaitu, jika alat bukti yang diajukan Penuntut Umum tidak dapat
membuktikan dan memberikan keyakinan bagi hakim bahwa Terdakwa yang didakwa tersebut terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan.
88
86
Ibid.
87
Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. Berlian Napitupulu SH., Mhum., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Medan, tanggal 18 Februari 2016
88
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktik peradilan mengenai alat bukti menurut Pasal 184 ayat 1 KUHAP dikenal adanya lima macam alat bukti, yaitu
89
1. Keterangan saksi
:
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan Terdakwa
Berbicara mengenai alat bukti erat kaitannya dengan pembuktian. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu
Hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau
bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
90
Selanjutnya dalam rangka menerapkan “pembuktian”, Hakim lalu bertitik tolak pada “sistem pembuktian” dengan tujuan mengetahui bagaimana cara
meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Secara teoretis guna menerapkan sistem pembuktian asasnya dalam ilmu
89
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP Pasal 184 ayat 1
90
M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 273
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan hukum acara pidana dikenal adanya tiga teori tentang sistem pembuktian, yaitu
91
1. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Positif Positief
Wettelijke Bewijs Theorie :
Pada dasarnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak Abad Pertengahan. Menurut teori ini, sistem
pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Dalam aspek ini Hakim terikat pada
adagium jika alat-alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan undang-undang, Hakim harus menentukan terdakwa bersalah walaupun
Hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Begitupun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi alat bukti sebagaimana
ditetapkan undang-undang, Hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya terdakwa
bersalah. Dengan demikian, pada hakikatnya sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif positief wettelijke ini berusaha
untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif Hakim dan mengikat Hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.
Hal ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkuisitor inquisitoir dalam Hukum Acara Pidana.
2. Sistem Pembuktian menurut Keyakinan Hakim Conviction
IntimeConviction Raisonce
91
Lilik Mulyadi Buku II, opcit. Halaman 119
Universitas Sumatera Utara
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak
terikat oleh suatu peraturan bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime. Dalam perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan Hakim mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu “conviction intime” dan “conviction raisonce”.
Melalui sistem pembuktian “conviction intime” kesalahan terdakwa bergantung pada “keyakinan” belaka sehingga Hakim tidak terikat oleh
suatu peraturan. Dengan demikian, putusan Hakim disini tampak timbul nuansa subjektifnya.
Keyakinan Hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan Hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan Hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa. Sistem pembuktian conviction in time ini sudah tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada
seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya Hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun
Universitas Sumatera Utara
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
92
Sedangkan pada sistem pembuktian “conviction raisonee”, keyakinan Hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang
kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan Hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam artian keyakinan Hakim “dibatasi” dengan
harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa
yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan Hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi
reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima.Keyakinan Hakim harus mempunyai
dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal
93
3. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Negatif Negatief
Wettelijke Bewijs Theorie .
Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa Hakim hanya boleh manjatuhkan pidana
terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan Hakim terhadap
eksistensinya alat-alat bukti tersebut.
92
M. Yahya Harahap Buku II, opcit. Halaman 277
93
Ibid. Halaman 277-278
Universitas Sumatera Utara
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian
menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila
kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus
keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan Hakim. Dengan demikian sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
94
Dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP terkandung dua asas; Pertama, asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yang mengajarkan prinsip
hukum pembuktian, di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula dibarengi dengan keyakinan Hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa. Kedua,
Pasal 183 KUHAP juga mengandung asas batas minimum pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah. Maka bertitik tolak dari kedua asas yang diatur Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
94
Ibid. Halaman 279
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat 1 KUHAP, putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat Hakim
95
a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti,
semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa,
tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena
menurut penilaian Hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa, atau :
b. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang
terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim. Penilaian yang demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183
KUHAP, yang mengajarkan pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang
sah, harus didukung oleh keyakinan Hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian
yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan Hakim. Dalam keadaan penilaian yang seperti ini, putusan yang akan
dijatuhkan pengadilan, membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum. Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kurangnya dua alat bukti yang sah ia Hakim memperoleh “keyakinan” bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Dengan perkataan lain meskipun ada lebih dari dua alat bukti yang sah kalau hakim belumtidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwa benar-benar
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka hakim tidak akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa.
96
Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP bermaksud menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi setiap orang yang terlibat dalam
perkara pidana. Dari perumusan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa, hakim tidak boleh hanya mendasarkan
kepada alat-alat bukti yang sah saja. Dengan perkataan lain, meskipun keberadaan alat-alat bukti yang sah diajukan di muka sidang jumlahnya lebih dari cukup
misalnya terdiri dari 5 lima macam dan masing-masing berjumlah lebih dari dua, namun apabila dari alat-alat bukti yang sah itu hakim tidak memperoleh
“keyakinan” bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana Actus Reus yang didakwakan, maka hakim tersebut tidak akan menjatuhkan pidana kepada
terdakwa. Dengan demikian putusan yang dijatuhkan hakim dapat berbentuk putusan bebas VrijspraakAquittal atau berbentuk putusan lepas dari segala
tuntutan hukum Onstlag van alle rechts vervolgingLet a person off a bargain.
97
Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa “keyakinan hakim” mempunyai fungsi yang lebih dominan
96
H.M.A. Kuffal, opcit. Halaman 34
97
Ibid. Halaman 35
Universitas Sumatera Utara
dibanding keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak lebih dominan, namun hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya
berdasarkan pada keyakinannya saja. Karena keyakinan hakim itu harus didasarkan dan lahir dari keberadaan alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang
cukup minimal dua.
98
98
Ibid.
Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap
berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan data-data uang autentik serta para saksi yang dapat
dipercaya. Tugas hakim tersebut dalam mempertimbangkan untuk menjatuhkan suatu putusan bebas dapat dilihat dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP yang
menyatakan: “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Hal-hal yang mempengaruhi keyakinan seorang Hakim dalam
menjatuhkan putusan bebas demi hukum adalah bersumber dari saksi, kesulitan yang dijumpai oleh hakim yang bersumber dari saksi ini yaitu adanya saksi yang
memberikan penjelasan yang berbelit-belit yang dapat menyulitkan hakim dalam mengambil kesimpulan dari penjelasan para saksi tersebut yang pada akhirnya
dapat menghambat jalannya proses persidangan untuk mencari kebenaran dan keadilan.
Universitas Sumatera Utara
Saksi yang memberikan keterangan yang berbelit-belit disebabkan beberapa hal, yaitu adanya rasa takut memberikan keterangan yang sebenarnya
karena saksi tidak menginginkan dengan memberi kesaksian terjadi efek negtif terhadap dirinya di belakang hari, serta para saksi kurang menyadari fungsi
kesaksian tersebut dengan maksud bahwa tanpa adanya bantuan para saksi permasalahan atau menetapkan suatu keputusan.
Hal ini merupakan permasalahan yang bersumber dari saksi yang dapat menyulitkan hakim dalam persidangan. Kesulitan lain yang bersumber dari saksi
yaitu adanya keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan dalam berita acara, di mana pada waktu proses pemeriksaan si saksi memberikan keterangan
yang berbeda jadi ada kecondongan si saksi tidak mengakui penjelasan yang diberinya di luar persidangan.
Beberapa hal yang mempengaruhi keyakinan hakim untuk menentukan suatu putusan seperti di atas, yaitu yang bersumber dari pembela dan saksi maka
akhirnya kesulitan yang paling menyulitkan bagi hakim dalam menentukan suatu putusan yaitu tindakan terdakwa yang selalu memberikan penjelasan yang
berbelit-belit. Menurut peraturan yang berlaku seorang terdakwa sebelum memberikan
penjelasan di muka persidangan oleh petugas penyidik untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada si terdakwa dan seluruh jawaban yang diberikan si
terdakwa dicatat dan dimasukkan kedalam berita acara penyidikan, setelah itu baru berita acara tesebut dibawa ke depan persidangan dan dalam hal ini terjadi
Universitas Sumatera Utara
perbedaan penjelasan waktu si terdakwa diperiksa di luar dengan di dalam persidangan, jadi dengan demikian si terdakwa yang memberikan penjelasan atau
keterangan kepada hakim yang berbelit-belit atau tidak sesusai dengan berita acara pemeriksaan hal ini dapat menyulitkan bagi seseorang hakim untuk
menentukan putusan khususnya putusan bebas demi hukum.
99
3.2 Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian