Rehabilitasi Pemulihan Nama Baik

mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- tiga juta rupiah. Kalau dilihat dari besarnya jumlah imbalan uang ganti kerugian, tersebut dapat disimpulkan bahwa penghargaan terhadap hak asasi manusia di Negara Hukum Republik Indonesia ini belum memenuhi harapan sebagaimana didambakan oleh masyarakat terutama warga masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu seirama dan seiring dengan perkembangan serta peningkatan kesadaran masyarakat atas hak-hak asasi manusia, maka peraturan yang berkaitan dengan pemberian uang ganti kerugian ini perlu segera ditinjau kembalidirevisi. 125

4.2.2 Rehabilitasi Pemulihan Nama Baik

Hak terdakwa yang telah diputus bebas, selain berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian, terdakwa tersebut juga berhak untuk mengajukan rehabilitasi pemulihan nama baik. Menurut penjelasan Pasal 9 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengertian rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Pengertian rehabilitasi dalam KUHAP diatur dalam Pasal 1 angka ke 23 yang memberikan pembatasan definisi tentang Rehabilitasi, sebagai berikut: “Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan 125 H.M.A. Kuffal, opcit. Halaman 288 Universitas Sumatera Utara karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan rehabilitasi. Tujuannya tiada lain sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang. Misalnya seorang tersangka yang telah dikenakan pemeriksaan penyidikan, ditangkap atau ditahan. Ternyata kemudian penyidikan dihentikan karena tidak cukup bukti untuk mengajukannya ke sidang pengadilan. Dalam kejadian yang seperti ini, tersangka berhak mengajukan permintaan rehabilitasi pemulihan nama baik serta kedudukan harkat dan martabatnya dalam keadaan semula sebelum kepada dirinya dilakukan pemeriksaan penyidikan. Demikian juga halnya seorang terdakwa yang dituntut dan diperiksa di sidang pengadilan. Ternyata putusan yang dijatuhkan pengadilan terhadapnya berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum. Dalam putusan yang demikian, memberi hak kepada terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi dari pengadilan yang bersangkutan. 126 126 M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 69-70 Universitas Sumatera Utara Ketentuan tentang rehabilitasi di dalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu Pasal 97 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut 127 1 Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. : 2 Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. 3 Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh Hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77. Dasar pengaturan mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal 9 Undang- Undang No. 48 tahun 2009 sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Penjelasan resmi Pasal 9 tersebut dirumuskan arti rehabilitasi sebagai berikut 128 − Kemampuan; : Ayat 1 Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain. Sesuai dengan rumusan tersebut, memulihkan hak dalam: − Kedudukan; − Harkat dan martabat, 127 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP Pasal 97. 128 Penjelasan resmi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Universitas Sumatera Utara maka pada kenyataan dalam masyarakat, selalu menjadi masalah adalah: kedudukan, karena yang bersangkutan sebelum terjadi kasusperkara, berkedudukan tertentu dalam suatu badan atau badan hukum atau badan usaha atau organisasi tertentu, tak dapat dipulihkan. Meskipun ada asas praduga tak bersalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diadili dimuka sidang peradilan, wajib dianggap tak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun pada kenyataannya, kedudukan yang bersangkutan telah diduduki orang lain. 129 Sebagaimana disinggung tadi bahwa KUHAP hanya mencantumkan satu pasal tentang rehabilitasi yakni Pasal 97. Oleh karena itu masih dibutuhkan peraturan pelaksana baik yang berhubungan dengan tenggang waktu pengajuan bunyi amar putusan rehabilitasi, dan cara pengumuman rehabilitasi. 130 Baru setelah KUHAP berumur dua tahun, pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana pada tanggal 1 Agustus 1983, sebagaimana yang diatur dalam Bab V PP Nomor 27 Tahun 1983, yang terdiri dari Pasal 12 sampai Pasal 15. Dalam peraturan tersebut dijelaskan lebih lanjut hal-hal yang berhubungan dengan tenggang waktu pengajuan rehabilitasi, redaksi amar, tata cara pengumuman dan penyampaian petikan dan salinan penetapan. 131 129 Leden Marpaung Buku IV, opcit. Halaman 121-122 130 M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 71 131 Ibid. Universitas Sumatera Utara Mengenai orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi tidak begitu jelas diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Hanya dalam Pasal 97 ayat 3 ada disinggung sepintas lalu orang yang berhak mengajukan permintaan. Berdasar ayat 3 tersebut, hanya tersangka saja yang disebut yang berhak mengajukan. 132 Berdasarkan rumusan Pasal 12 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimuat bahwa permintaan rehabilitasi tersebut diajukan 133 1. Tersangka, : 2. Keluarga, atau 3. Kuasanya. Pasal 12 Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 3 KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 empat belas hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon. Memperhatikan tentang orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi yang diatur dalam ketentuan di atas, “terdakwa” tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang berhak mengajukannya. Kenapa undang-undang dan peraturan hanya menyebut tersangka saja, dan mengenyampingkan terdakwa untuk mengajukan permintaan rehabilitasi? Padahal Pasal 97 ayat 1 KUHAP sudah menegaskan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh 132 Ibid. 133 Leden Marpaung Buku IV opcit. Halaman 126 Universitas Sumatera Utara pengadilan dijatuhkan kepadanya putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Bukankah yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat 1 ini, tiada lain daripada terdakwa yang kepadanya dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Jadi orang yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat 1 ialah orang yang didakwa dan diperiksa dalam sidang pengadilan, oleh pengadilan dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berarti Pasal 97 ayat 1 telah membenarkan sendiri adanya hak terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi, apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum kepadanya. Kalau begitu, kenapa Pasal 97 ayat 3 dan Pasal 12 PP Nomor 27 Tahun 1983 tidak mencantumkan terdakwa sebagai orang yang berhak mengajukan rehabilitasi? Hal ini disebabkan, bagi terdakwa yang kepadanya dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tanpa mengajukan permintaan kepadanya “mesti diberikan secara langsung” rehabilitasi pada saat putusan dijatuhkan. Jika Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebass atau lepas dari segala tuntutan hukum, harus memberikan sekaligus rehabilitasi kepada terdakwa dengan jalan mencantumkan dalam amar putusan. Demikian juga Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi jika terhadap terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. 134 Mengenai tenggang waktu pengajuan rehabilitasi, dalam Pasal 12 PP Nomor 27 Tahun 1983 disebutkan bahwa tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi selambat-lambatnya 14 empat belas hari setelah putusan mengenai 134 M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 71 Universitas Sumatera Utara sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberikan kepada pemohon. Jika dalam tenggang waktu tersebut, tersangkakeluargakuasanya tidak mengajukan permintaan rehabilitasi, maka rehabilitasi tersebut akan daluwarsa. Dengan demikian rehabilitasi, tidak dapat diperoleh lagi. Agar rehabilitasi tersebut tidak daluwarsa, maka keluarganya atau kuasanya diberi kesempatan dan kewenangan untuk mengajukannya. 135 Berdasarkan bunyi ketentuan pasal tersebut, tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan mengenai tidak sahnya penangkapan atau penahanan diberitahukan. Jika Pasal 12 diteliti lebih lanjut, tenggang waktu yang diatur di dalamnya hanya berkenaan dengan permintaan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 97 ayat 3 KUHAP, yakni tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. Sedang tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat 1 KUHAP, tidak ada disinggung dalam Pasal 12 PP Nomor 27 Tahun 1983. Alasannya, setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, harus sekaligus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi. Itu sebabnya tidak ada tenggang waktu untuk itu. Pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, merupakan hak yang wajib diberikan dan dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian rehabilitasi dalam putusan bebas atau 135 Leden Marpaung Buku IV opcit. Halaman 127 Universitas Sumatera Utara lepas dari segala tuntutan hukum tidak perlu diminta dan diajukan terdakwa. Berarti tidak ada tenggang waktunya. Kemudian rehabilitasi yang diberikan dan dicantumkan dalam putusan tersebut, baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan mengikat terhitung sejak putusan yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya, Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa. Maka berpedoman pada ketentuan Pasal 97 ayat 2 KUHAP, Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi dalam putusan. Sekiranya terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri itu dimintakan kasasi oleh jaksa, dengan sendirinya pemberian rehabilitasi belum berlaku. Pemberian rehabilitasi yang dicantumkan dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut baru sah dan mengikat, setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. 136 Akan tetapi, apa yang kita lihat dalam kenyataan praktek peradilan, sering putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, tidak mencantumkan amar pemberian rehabilitasi. Banyak putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat kasasi, kurang konsekuen mengikuti ketentuan Pasal 97 ayat 2 KUHAP. Sebagai bukti beberapa putusan Mahkamah Agung yang berisi putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, tidak dicantumkan pemberian rehabilitasi dalam amar putusan. Akibatnya, kalau terdakwa berkehendak memperoleh rehabilitasi, terpaksa harus mengajukannya lagi ke pengadilan. 137 136 M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 73 137 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan berdasarkan Pasal 97 ayat 2 dengan mencantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Pencantuman tersebut, dipertegas oleh Pasal 14 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983, yang menentukan rumusannya sebagai berikut 138 Bagi tersangkaterdakwa yang perkaranya diberhentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan dalam penetapan praperadilan, yang berdasarkan Pasal 14 ayat 2 tersebut, ditentukan rumusannya sebagai berikut : Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut : Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 139 Mengenai pemberian rehabilitasi kepada tersangka yang perkaranya tidak sampai diajukandilimpahkan ke pengadilan, karena dihentikan penyidikannya atau dihentikan penuntutannya? Menurut perumusan Pasal 1 butir 23 KUHAP rehabilitasi diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan : Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut : Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 138 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 14 ayat 1 139 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 14 ayat 2 Universitas Sumatera Utara undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini maksudnya menurut tata cara yang diatur dalam KUHAP. 140 Dari perumusan Pasal 97 ayat 3 KUHAP dapat diketahui bahwa permintaanpermohonan rehabilitasi oleh tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh Hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP. 141 Jadi meskipun dalam perumusan Pasal 1 butir 23 dinyatakan bahwa rehabilitasi dapat diberikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan, namun yang berwenang menetapkan pemberian rehabilitasi pada tingkat penyidikan bukan penyidik dan pada tingkat penuntutan bukan penuntut umum. Untuk semua tingkat pemeriksaan yang perkaranya tidak diajukan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka permintaan rehabilitasinya harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang pemeriksaannya dilakukan dan diputus oleh Hakim tunggal praperadilan Pasal 77 dan 78 KUHAP. 142 Dengan perkataan lain yang berwenang memberikan rehabilitasi kepada tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri adalah hakim praperadilan, dengan amar penetapan yang berbunyi: “Memulihkan hak pemohon 140 H.M.A. Kuffal, opcit. Halaman 294-295 141 Ibid. Halaman 295 142 Ibid. Universitas Sumatera Utara dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya” Pasal 14 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983 143 Dapat disimpulkan bahwa dalam rehabilitasi, terdapat dua instansi yang berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 97 KUHAP. Kewenangan pemeriksaan pada salah satu instansi, ditentukan berdasar tingkat pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Jika perkaranya dihentikan sampai tingkat pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, yang berwenang memeriksanya adalah Praperadilan. Jika pemeriksaan perkara sampai ke pengadilan yang berwenang memeriksanya adalah Pengadilan. 144 1. Pengadilan yang berwenang memberikan Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan: a. Putusan pembebasan, dan b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum maka dalam hal seperti ini, rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya. Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat 2, rehabilitasi berdasar putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Jadi menurut ketentuan Pasal 97 ayat 2, jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut diberikan dan “dicantumkan” 143 Ibid. 144 M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 70 Universitas Sumatera Utara sekaligus dalam amar atau diktum putusan pengadilan yang bersangkutan. 2. Praperadilan yang berwenang memeriksa Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, Praperadilan berwenang memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk ke dalam kewenangan Praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atas tindakan penegakan hukum yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang pengadilan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 97 ayat 3. Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini, apabila proses tingkat pemeriksaan perkara masih dalam taraf penyidikan atau penuntutan, lantas pemeriksaan dihentikan baik pada tingkat penyidikan atau penuntutan sehingga perkara yang bersangkutan tidak diajukan ke pengadilan, dalam peristiwa yang semacam ini yang berwenang memeriksa permintaan rehabilitasi ialah Praperadilan Dalam praktek peradilan sering terjadi kelalaian mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Padahal kita berpendapat pemberian rehabilitasi dalam putusan yang demikian 145 1. Merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang menjadi tujuan KUHAP yakni disamping KUHAP bertujuan melindungi kepentingan umum, sekaligus harus melindungi hak asasi terdakwa. : 145 Ibid. Halaman 77 Universitas Sumatera Utara 2. Dengan demikian pemberian dan pencantuman amar rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan “kewajiban” bagi pengadilan dalam semua tingkat, mulai dari tingkat pertama, banding, dan kasasi. Oleh karena pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa, pencantuman dalam putusan yang demikian adalah bersifat “imperatif”. Ketentuan Pasal 97 ayat 1 jo. ayat 2 bersifat memaksa bagi semua tingkat pemeriksaan untuk mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sesuai dengan redaksi rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 27 Tahun 1983. 146 Maka dapat disimpulkan bahwa bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi, karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus dicantumkan dalam amar putusan yang berbunyi: “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.” Pasal 14 ayat 1 PP No. 27 Tahun 1983. 147 Akan tetapi yang dipermasalahkan, apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi 146 Ibid. 147 H.M.A. Kuffal, opcit. Halaman 294 Universitas Sumatera Utara kepada terdakwa. Jaksa tidak mengajukan kasasi, berarti putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Padahal putusan bebas jelas mengandung kesalahan penerapan hukum karena lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi. 148 Hal seperti ini bisa juga terjadi pada tingkat banding. Misalnya, Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atas putusan tersebut terdakwa atau jaksa mengajukan banding. Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Terhadap putusan itu jaksa tidak mengajukan kasasi, sehingga putusan yang mengandung kekeliruan penerapan hukum itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian juga misalnya dalam tingkat kasasi, kelalaian yang disebut di atas bisa saja terjadi. Misalnya, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi. Dalam tingkat kasasi putusan dikuatkan Mahkamah Agung tanpa memperbaiki kekeliruan dimaksud. Atau dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan putuan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dengan jalan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan putusan hukuman pidana kepada terdakwa. Akan tetapi, Mahkamah Agung lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. 149 Bertitik tolak dari ketentuan undang-undang dan peraturan, sama sekali tidak ada diatur tata cara memperoleh rehabilitasi dalam kasus-kasus tersebut. 148 M. Yahya Harahap Buku I, opcit. Halaman 77 149 Ibid. Halaman 78 Universitas Sumatera Utara Akibatnya, jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan peraturan dan perundang-undangan , “tertutup” hak terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi. Berarti atas kelalaian pengadilan menerapkan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat 2, hilang dan lenyaplah hak terdakwa memperoleh rehabilitasi. 150 Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi Dari Terdakwa Yang Dibebaskan Atau Dilepas Dari Segala Tuntutan Hukum, diatur ketentuan sebagai berikut 151 1. Berhubung masih dijumpai adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang amarnya adalah membebaskan terdakwa atau melepas terdakwa dan segala tuntutan hukum, akan tetapi dalam amar putusan tersebut tidak sekaligus dicantumkan tentang pemberian rehabilitasinya. : 2. Sehubungan dengan itu apabila orang tersebut menghendaki agar rehabilitasinya diberikan oleh Pengadilan, maka ia dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. 3. Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian memberikan rehabilitasi yang diminta orang tersebut yang dituangkan dalam bentuk Penetapan. 4. Pada hakekatnya bagi seorang yang diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan, untuk memperoleh rehabilitasi adalah merupakan hak, oleh karena itu hendaknya selalu diingat oleh para Hakim agar apabila ia menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum selalu mencantumkan tentang rehabilitasinya dalam amar putusannya. Berdasarkan SEMA ini, memberi kepastian hukum kepada terdakwa yang dalam putusannya tidak dicantumkan amar rehabilitasi. Meskipun KUHAP yang berisi peraturan tentang praperadilan disertai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi, telah berusia lebih dari 20 tahun, namun 150 Ibid. 151 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi Dari Terdakwa Yang Dibebaskan Atau Dilepas Dari Segala Tuntutan Hukum Universitas Sumatera Utara dalam praktik hukum dewasa ini orang-orang yang menjadi korban ketidakadilankorban tindakan pejabat yang tidak sah menurut hukum tersebut, jarang sekali yang menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan disertai tuntutan ganti kerugian dan atau rehabilitasi. Hal ini antara lain disebabkan karena pada umumnya warga masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan tersebut adalah orang-orang yang awam hukum dan untuk mengurus permohonan praperadilan bagi mereka bukan merupakan urusan yang sederhana dengan biaya ringan. Apalagi untuk mendapatkan pembayaran ganti kerugian yang jumlahnya tidak seberapa tersebut pemohon diharuskan menempuh liku-liku birokrasi yang cukup panjang. 152 4.3 Analisis Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan Bebas terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika dalam Putusan MA No. 2280KPid.Sus2012 dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu 4.3.1 Posisi Kasus 4.3.1.1 Posisi Kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 15

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN BEBAS (Vrijspraak) TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Putusan Mahkamah Agung No.1614K/PID.SUS/2012)

1 17 94

Analisis Yuridis Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Tindak Pidana Narkotika (Putusan Nomor 279/PID.B/2011/PN.PLG)

1 10 9

ANALISIS PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA MARTHEN RENOUW DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BIDANG KEHUTANAN OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAYAPURA

0 26 108

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan.

0 3 19

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 10

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 1

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 27

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 22

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 5