Asas, Prinsip, dan Sumber Hukum Humaniter Internasional

3. Zaman modern Zaman modern ditandai dengan praktek-praktek dari berbagai Negara yang kemudian berubah menjadi suatu hukum serta kebiasaan dalam berperang. Keadaan ini terjadi di abad ke-18 setelah berakhirnya perang napoleon sampai kepada pecahnya Perang Dunia I. yang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah, lahirnya serta perkembangan hukum humaniter ialah berdirinya suatu organisasi kemanusiaan, yaitu palang merah yang dipromotori oleh Henry Dunant, selain berdirinya organisasi ini, penandatanganan Konvensi Jenewa 1864 juga menjadi tonggak penting terhadap perkembangan hukum humaniter, Konvensi Jenewa 1864 merupakan Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang Darat.Tahun 1864 menjadi titik lahir untuk mengawali Konvensi-Konvensi Jenewa yang berikutnya, yang berhubungan tentang perlindungan terhadap korban perang. Salah satu contoh hukum perang tertulis yang dibuat menjelang lahirnya HHI modern adalah Lieber Code 1863. Instrumen Hukum yang dirancang oleh Lieber ini merupakan instruksi bagi tentara pemerintah amerika serikat pada waktu itu.

B. Asas, Prinsip, dan Sumber Hukum Humaniter Internasional

Salah satu cabang dari Hukum Internasional yang bersifat publik ini dulunya sempat menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat karena namanya, Banyak kalangan yang mengurai bahwa Hukum Humaniter merupakan nama baru dari Hukum Perang. Untuk menghilangkan keragu-raguan terhadap istilah dari hukum ini, maka secara tegas istilah yang sesungguhnya dari hukum Universitas Sumatera Utara ini adalah Hukum Humaniter International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Istilah yang muncul sebelum adanya penegasan akan hal ini adalah dahulu disebut Hukum Perang Laws of War.kemudian berubah menjadi Hukum Sengketa BersenjataLaws of Armed Conflict dan kemudian diubah untuk terakhir kalinya menjadi Hukum Humaniter.Munculnya istilah sah ini diharapkan tidak lagi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.. Sebagai bidang baru dalam Hukum Internasional, terdapat berbagai rumusan atau definisi tentang hukum Humaniter serta ruang lingkupnya yang berasal dari para sarjana. Rumusan serta ruang lingkup ini ditujukan untuk mempermudah pemahaman terhadap salah satu cabang hukum internasional yang bersifat publik ini. Hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah ketentuan hukum yang konstitusional baik yang tertulis dan adat, yang menjamin penghormatan terhadap individu dan kesejahteraannya. Salah satu pembahasan yang terdapat dalam hukum internasional adalah mengenai ajaran “just war”. Melalui ajaran ini,maka hukum humaniter dibagi dalam dua bagian,yaitu: 1. Jus ad bellum yang berarti hukum tentang perang 2. Jus in bello yang berarti hukum yang berlaku dalam perang Jus ad bellum membahas mengenai tentang waktu pelaksanaan perang atau mengatur tentang hal bagaimana suatu Negara dibenarkan untuk melakukan kekerasan bersenjata atau berperang. Sedangkan Jus in bello membahas mengenai ketentuan-ketentuan atau hukum yang berlaku dalam perang, yang diatur dalam sumber-sumber hukum humaniter. Universitas Sumatera Utara Ketentuan dalam Jus in bello dijabarkan lagi dalam 2dua ketentuan lagi,yakni: a. Ketentuan mengenai tata cara dilakukannya perang conduct of war dan alat-alat yang dibenarkan dipakai untuk berperang. ketentuan ini secara umum disebut sebagai Hukum Den Haag atau The Hague Laws yang terdapat dalam Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907. b. Ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap orang-orang yang menjadi korban perang bai itu yang tergolonng kombatan dan penduduk sipil. Ketentuan ini lazimnya dikenal sebagai Hukum Jenewa atau The Geneva Laws yang tercantum dalam Konvensi Jenewa tahun 1949. Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa satu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. selain itu, tujuan dari hukum ini ialah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap pihak yang jatuh ke tangan musuh. disamping memberikan perlindungan ,hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya perdamaian antara pihak yang bertikai serta membatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh satu pihak di dalam suatu wilayah pertikaian. Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3tiga asas penting dalam hukum Humaniter, Asas-asas tersebut adalah: Universitas Sumatera Utara 1. Asas Kepentingan Militer Asas ini memaparkan bahwa setiap pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menaklukan lawan atau musuh demi tercapainya keberhasilan perang. Dalam istilah asing,asas ini disebut juga military necessity 2. Asas Perikemanusiaan Asas ini menjelaskan bahwasanya para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk memperhatikaan perikemanusiaan. maksudnya adalah bahwa setiap pihak yang bertikai dilarang menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atas penderitaan yang tidak diinginkan.dalam istilah asing asas ini disebut humanity. 3. Asas Kesatria Asas ini mengandung arti bahwa ketika perang berlangsung, kejujuran merupakan suatu hal yang sifatnya sangatlah penting. Kejujuran harus diutamakan. kejujuran yang dimaksud difokuskan pada penggunaan senjata yang tidak diperkenankan untuk digunakan, tidak dibenarkan melakukan berbagai tipu muslihat dan tidak dibenarkan juga melakukan pengkhianatan. dalam istilah asing asas ini disebut chivalry Selain Asas-asas yang telah dijabarkan diatas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah prinsip-prinsip HHI atau yang dianggap sebagai prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu prinsip pembatasan, prinsip necessity kepentingan, prinsip larangan yang menyebabkan penderitaan yang tak seharusnya, prinsip kemanusiaan dan Marten’s clause klausula marten. Masing- masing prinsip HHI ini tidak hanya berdasarkan pada satu macam sumber HHI Universitas Sumatera Utara saja melainkan dari berbagai sumber. Prinsip-Prinsip tersebut sebagai bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan dan membantu penafsirannya. Adapun prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kemanusiaan Prinsip –prinsip kemanusiaan ditafsirkkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. dalam bukunya yang berjudul Development and Principle of International Humanitarian Law, Jean Pictet menginterpretasikan arti kemanusiaan sebagai berikut : 19 “…..penangkapan lebih diutamakan daripada melukai musuh dan melukai musuh adalah lebih baik daripada membunuhnya bahwa non kombatan harus dijauhkan sedapat mungkin dari arena pertempuran, bahwa korban-korban yang luka harus diusahakan seminimal mungkin, sehingga mereka dapat dirawat dan diobati, bahwa luka-luka yang terjadi harus diusahakan seringan-ringanya menimbulkan rasa sakit.” Mahkamah internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun adanya. prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan , kerja sama dan 19 Jean Pictet, Development and Principle of International Humanitarian Law, sebagaimana dimuat juga dalam Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Arlina Permanasari, dkk ed, ICRC, Jakarta : 2000. Universitas Sumatera Utara perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas ataupun aliran politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak 20 2. Kepentingan Necessity Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau objek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu objek sipil menjadi sasaran militer apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip kepentingan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu objek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu objek sipil menjadi sasaran militer mencakup dua hal, yaitu sebagai berikut: 21 a. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh, dan b. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap objek tersebut memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak yang akan melakukan tindakan. Selanjutnya tindakan yang disebut diatas hanya boleh dilaksanakan terhadap objek atau sasaran tersebut sebagai tindakan militer apabila: 20 Twentieth International Conference of the Red Cross, sebagaimana disebut dalam Putusan International Court of Justice ICJ, 27 Juni 1986 dalam kasus mengenai kegiatan militer dan para militer di dalam dan terhadap Nicaragua Kasus Nicaragua versus Amerika Serikat, dalam Marco Sassoli, hlm. 903-912. Prinsip Kemanusiaan ini untuk pertama kali diakui dalam Putusan Pengadilan Nurmberg terhadap penjahat-penjahat perang Nazi. Adapun ICJ menggunakan prinsip ini dalam pertimbangan Puusan terhadap kasus Corfu Channel pada 9 April 1949. 21 Protokol Tambahan 1 1977, Pasal 57. 2. iii . Universitas Sumatera Utara a. Tujuan politis dari kemenangan hanya bisa dicapai melalui tindakan keras tersebut dengan mengarahkannya terhadap sasaran militer b. Dua kriteria diatas ,mengenai kontribusi efektif dan perlunya tindakan keras tersebut memang terpenuhi dalam hal yang berlangsung pada waktu itu. Berkaitan dengan prinsip necessity, terdapat pula ketentuan sebagai berikut: “Apabila dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoleh keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang akan dipilih adalah sasaran yang apabila diserang dapat diharapkan mengakibatkan bahaya yang paling kecil bagi nyawa orang-orang sipil dan objek-objek sipil 22 3. Proporsionalitas Proportionality Dalam melakukan tindakan keras atau serangan, apapun alat dan caranya, setiap pihak yang bersengketa harus melakukannya dengan berpegang pada prinsip proporsional. Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilagan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan tersebut 23 Prinsip proporsional ini ternyata dijadikan salah satu pertimbangan oleh Mahkamah Internasional ketika memberikan pendapat tentang keabsahan 22 Protokol Tambahan I 1977, Pasal 57, 3 23 Protokol Tambahan I 1977, Pasal 57. 2. iii Universitas Sumatera Utara ancaman atau penggunaan senjata nuklir 24 . Menjawab pertanyaan dari Majelis Umum PBB yang diajukan pada tahun 1994, Mahakamah menyatakan setiap Negara yang mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir bela diri, terlebih dahulu harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi prinsip proporsional. Pendapat yang diberikan pada tahun 1996 tersebut, didahului dengan penjelasan, apabila senjata seperti nuklir telah dinilai berisiko akan menyebabkan kerusakan ikutan yang berlebihan, maka faktor resiko tersebut telah mengecilkan kemungkinan dipenuhinya prinsip proporsional. 4. Pembedaan Distinction Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur kombatan dengan orang sipil. Demikian, salah satu ketentuan HHI yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Adapun garis pembeda antara kombatan dengan orang sipil, dalam perkembangan HHI, masih diperdebatkan. Pihak yang kekuatannya hebat dan berperalatan lengkap selalu menginginkan definisi pembedaan yang tegas dan suatu identifikasi kombatan yang jelas, sedangkan pihak yang lebih lemah berharap adanya opsi untuk menggunakan sumber daya manusia tambahan secara fleksibel. Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi warga sipil. adapun kewajiban kombatan untuk membedakan dirinya dari orang sipil juga 24 Legality of the Threat or use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion July 8, 1996, ICJ, Rep. 1996 Universitas Sumatera Utara berkaitan dengan identifikasi kombatan sebagai orang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran. oleh karena itu, setiap kombatan yang telah melakukan serangan terhadap kombatan musuh atau objek-objek militer musuh tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Berbeda halnya terhadap situasi sengketa bersenjata non-internasional, HHI tidak menetapkan konsep kombatan secara eksplisit. Dalam hal ini, Negara tidak ingin memberikan hak kepada warganya untuk bertempur melawan angkatan bersenjata pemerintah. Sehubungan dengan prinsip pembedaan, seorang kombatan yang melakukan suatu serangan tanpa membedakan dirinya dari orang sipil, dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran HHI. kombatan yang tidak melanggar HHI, tetapi tertangkap oleh pihak Negara lawan, berhak diperlakukan sebagai tawanan perang, bukan sebagai kriminal. Masih berkaitan denngan prinsip pembedaan, seorang kombatan yang tertangkap musuh ketika menjalankan kegiatan mata-mata tanpa serangan, tidak dapat mempertahankan haknya sebagai kombatan, diantaranya tidak berhak memperoleh status tawanan perang. 5. Prohibition of Causing Unnecessary Suffering Prinsip HHI Tentang Larangan menyebabkan Penderitaan yang Tidak seharusnya Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation prinsip pembatasan. Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan. Universitas Sumatera Utara Dalam perjanjian-perjanjian internasional dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional, prinsip ini diformulasikan sebagai berikut: a. Dalam setiap konflik bersejata, hak dari para pihak yang berkonflik untuk memilih metode atau alat peperangan adalah tidak terbatas 25 b. Dilarang menggunakan senjata, baik proyektil dan materil 26 , serta metode peperangan yang sifatnya menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak seharusnya 27 c. Dilarang menggunakan metode atau cara peperangan tertentu atau yang bisa diharapkan untuk merusak lingkungan yang meluas, berjangka panjang,dan parah 28 Disamping formulasi prinsip pembatasan yang bersifat umum, tetapi mendasar seperti diatas, terdapat pula perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur senjata dan metode perang tertentu. Ada perjanjian internasional yang melarang penggunaan racun, peluru mengembang, senjata biologi, dari metode bakteriologi. Ada juga perjanjian yang membatasi penggnaan senjata pembakar dan senjata laser. Selanjutnya, pertanyaan yang sering diajukan dari hal-hal yang telah tertuang diatas adalah apa yang menjadi dasar dari pembentukan asas dan prinsip HHI tersebut, dengan kata lain adalah “sumber” Hukum Humaniter. Pertama dapat dikemukakan bahwa ada sumber hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis. yang akan dibahas disini adalah sumber hukum yang tertulis. Hukum 25 Regulasi Konvensi Den Haag IV, Pasal 22, dan Protokol Tambahan I 1977, Pasal 35. 1 26 RegulasiKonvensi Den Haag IV, Pasal 23, e, dan Protokol Tambahan I 1977, Pasal 35. 2. 27 Protokol Tambahan I 1977, Pasal 35. 2 28 Protokol Tambahan I, 1977, Pasal 35. 3 Universitas Sumatera Utara Humaniter dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional, biasanya bersifat multilateral, dalam berbagai bentuk, seperti konvensi, protokol, deklarasi, dan sebagainya. Mengingat banyaknya perjanjian-perjanjian tersebut, maka yang pertama-tama akan dikemukakan adalah sumber utama. Biasanya yang dianggap sebagai sumber utama adalah sebagai berikut: 1. Konvensi-konvensi Den Haag 1909 = Hukum Den Haag Konvensi-Konvensi ini dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag pada tahun 1899,yang kemudian disempurnakan dalam Konferensi kedua pada tahun 1907. Rangkaian konvensi tersebut dikenal dengan sebutan “Hukum den Haag”. Hukum tersebut terutama mengatur alat dan cara berperang means and method of warfare. Prinsip atau dalil pertama yang terdapat dalam hukum tersebut berbunyi sebagai berikut. The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited. ini berarti bahwa ada cara-cara tertentu dan alat-alat tertentu yang dilarang untuk dipakaidigunakan. Prinsip kedua yang penting yang terdapat dalam Hukum Den Haag adalah apa yang lazim disebut “Martens Clause” yang terdapat dalam Preeamble Konvensi den Haag. Martens Clause,tersebut berbunyi sebagai berikut: Until a move complete code of the laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare tat, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection and the rule of the principles of the law of nations, as they results Universitas Sumatera Utara from the usages established among civilized peoples, from the laws of humanity, the dictates of the public conscience. Jadi diakui bahwa ketentan-ketentuan yang dihasilkan belumlah sempurna lengkap karena masih mungkin ada kejadian-kejadian yang belum diatur. Namun demikian, dalam keadaan semacam itu, baik penduduk maupun pihak-pihak berperang tetap akan mendapat perlindungan dari hukum internasional, maupun dari kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional yang berhubungan dengan kemanusiaan. Konferensi Den Haag tahun 1907 menghasilkan tiga belas konvensi dan satu deklarasi, Adapun ke-13 Konvensi tersebut adalah antara lain: a. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persengkatan Internasional b. Konvensi II mengenai Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menurut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata c. Konvensi III mengenai Cara Memulai Peperangan d. Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag e. Konvensi V mengenai Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat f. Konvensi VI mengenai Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang g. Konvensi VII mengenai Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang h. Konvensi VIII mengenai Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut i. Konvensi IX mengenai Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang Universitas Sumatera Utara j. Konvensi X mengenai Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Perang di laut k. Konvensi XII mengenai Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak penangkapan dalam Perang Angkatan Laut l. Konvensi XII mengenai Mahkamah Barang-barang sitaan m. Konvensi XIII mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut, Dan selanjutnya ialah n. Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Balloons. Dapat dilihat bahwa sebagaian besar dari konvensi tersebut yang mengatur perang di laut, Hanya ada satu konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu konvensi ke-4 .Perlu dicatat bahwa Konvensi ke-4 mempunyai suatu “annex” yaitu yang lazim disebut Hague Regulation-1907, Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerents. 2. Konvensi-konvensi Jenewa-Hukum Jenewa 1949 Konvensi-konvesi Jenewa tahun 1949,yang juga disebut konvensi-kovensi Palang Merah terdiri dari empat buku, yaitu: a. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat b. Konvensi Jenewa ttahun 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di laut yang Luka sakit dan Korban Karam c. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang Universitas Sumatera Utara d. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang Kumpulan Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949 dikenal dengan nama Hukum Jenewa. Berbeda dengan Hukum den Haag yang mengatur alat dan cara berperang, Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap mereka yang menjadi korban perang. Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa ini yang secara singkat akan dijelaskan sebagai berikut: a. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional perangkonflik bersenjata antar Negara, juga mengatur perangkonflik bersenjata yang bersifat non-internasional, yaitu perangkonflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung, antara pasukannya dengan pasukan bersenjata pembangkakpemberontak. b. Di dalam Konvensi tersebut terdapat apa yang disebut ketentuan-ketentuan yang berlaku utama Common Articles, yaitu ketentuan-ketentuan yang dianggap sangat penting sehingga dicantumkan dalam keempat buku dengan perumusan yang sama. 3. Protokol Tambahan 1977 Protokol tambahan ini “menambah” “menyempurnakan” isi dari Konvensi Jenewa 1949. Perlu ditekankan bahwa prinsip-prinsip yang terdapat dalam Konvensi Jenewa masih tetap berlaku. Protokol Tambahan 1977 terdiri dari dua buku,yaitu : Universitas Sumatera Utara a. Protokol I, yang mengatur perangkonflik bersenjata yang bersifat internasional yaitu perangkonflik bersenjata antarnegara b. Protokol II, yang mengatur perangkonflik bersenjata yang sifatnya non- internasional, yaitu perangkonflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan pembangkang atau pemberontak. Protokol Tambahan II ini menambah isiruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa Protokol tambahan 1977 memuat beberapa ketentuan yang pentingbaru, antara lain: a. memuat definisi beberapa pengertian penting,yang belum terdapat dalam peraturan sebelumnya seperti: 1 kombat 2 penduduk sipilcivilian population 3 sasaran militermilitary objects 4 sasaran sipilcivilian objects b. memuat hal-hal baru,yaitu: 1 definisipengertian Civil Defense 2 definisipengertian Mercenaries 3 war of national liberation perang pembebasan nasional 4. ketentuan mengenai tugas komandan c. terbentuknya International Fact Finding Commision kewenangan dari komisi ini adalah: Universitas Sumatera Utara 1 menyelidiki fakta-fakta yang dianggap sebagai pelanggaran berat grave breaches atau pelanggaran-pelanggaran serius lain 2 membantu dengan jalan memberikan jasa-jasa baik, mengembalikan sikap menghormati konvensi dan protokol ini Pada waktu meratifikasi protokol ini, suatu Negara dapat membuat pernyataan bahwa Negara tersebut mengakui kewenangan komisi untuk menyelidiki tuduhan adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. jadi pihak peserta agung yang tidak membuat deklarasi tidak mengakui kewenangan komisi Selain konvensi yang disebut diatas, masih banyak konvensi yang juga dapat disebut sebagai sumber Hukum Humaniter, antara lain:` a. Deklarasi Paris 16 April 1856, mengatur tentang perang di Laut b. Deklarasi St.Petersburg 29 November-11 Desember 1868,tentang pelarangan penggunaan senjata yang permukaannya keras sehingga tutupnya dapat meledak c. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara1923 yang digunakan sebagai pedoman dalam pertempuran di udara d. Protokol Jenewa 17 Juni 1925 tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-macam Gas lain dlam peperangan e. Protokol London 6 November 1936 tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan suatu penegasan dari Deklarasi Hukum Perang yang dibentuk di London f. Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan terhadap Benda-Benda Budaya pada waktu Pertikaian Bersenjata Universitas Sumatera Utara g. Convention of Prohibition of Military or other hostile use of environmental modifications techniques Enmod Convention 1976 h. Convention on the Prohibition or Restriction on the use of Certain Conventional Weapons which may be deemed do be excessively injurious or to have indiscriminate effects 1980 Conventional Weapons Convention i. Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpilling and Use of Chemical Weapons and on their or Destruction CCW j. 1995 Protocol on Blinding Laser Weapons k. 1977 Ottowa Convention on the Prohibitions of the Use, Stockpilling, Production and Transfer of Antipersonnel Mines and on their Destruction l. 1999 Second Hague Protocol for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict.

C. Hubungan Antara Hukum Humaniter Dengan Hak Asasi Manusia