Tawanan Perang Menurut Konvensi III Jenewa 1949

C. Tawanan Perang Menurut Konvensi III Jenewa 1949

Tawanan Perang diatur dalam Konvensi III Jenewa tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang The Convention III Relative to the Treatment of Prisoners of War. Peraturan yang tertuang dalam Konvensi III ini “secara umum dipandang sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, karena itu, konvensi ini mengikat semua negara termasuk negara-negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi ini” Perlindungan terhadap tawanan perang sejalan dengan prinsip-prinsip fundamental mengenai perlindungan yang dianut oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Prinsip-prinsip ini ditegaskan dalam pasal 12 konvensi I dan II, 16 Konvensi III, dan 27 Konvensi IV. Penghormatan respect dan perlindungan protection adalah pengertian yang saling melengkapi. Penghormatan merupakan unsur pasif menunjuk suatu kewajiban untuk tidak membahayakan, tidak merentankan penderitaan dan tidak membunuh orang yang dilindungi. Perlindungan adalah unsur aktif berarti suatu kewajiban untuk menghindari dan mencegah bahaya, unsur ketiga mengenai perlakuan yang baik terkait dengan sikap segi-segi yang hendak mengatur perlakuan atas orang-orang yang dilindungi, sikap ini bertujuan untuk menjamin kepada orang-orang ini keberadaan nilai umat manusia-dan dengan pengakuan penuh keadaan keras keadaan mereka ini. Larangan diskriminasi menambahkan unsur esensial terakhir yang harus diperhatikan dalam penghormatan semua tiga unsur ini. Universitas Sumatera Utara Selain tujuh golongan yang dapat memperoleh status tawanan perang yang telah disebutkan diatas, para anggota dinas kesehatan militer juga dapat dijadikan sebagai tawanan perang untuk merawat tawanan perang di pihak mereka atau dikembalikan ke pihak mereka sendiri. sedangkan dalam pasal 33 pendeta- pendeta selama ditahan oleh Negara penahan dengan maksud untuk membantu tawanan perang tidak akan dianggap sebagai tawanan perang, tetapi mereka sedikitnya harus menerima manfaat dan perlindungan dari konvensi ini. Selain dari orang-orang ini, jika tertangkap tidak diperlakukan sebagai tawanan perang tetapi mereka harus diperlakukan dengan baik. Mereka ini adalah a orang sipil yang ambil bagian dalam permusuhan selain a levee on masse , b tentara bayaran mercenary dan d mata-mata. Para tawanan perang tetap dalam status mereka sebelum ditangkap sampai mereka dikembalikan ke negaranya, status ini tidak hilang selama penawanan mereka, baik karena tindakan otoritas yang bertanggung jawab atass penawanan mereka maupun karena perbuatan mereka sendiri. Orang-orang yang dilindungi tidak boleh menolak hak-hak yang diberikan kepada mereka berdasarkan Konvensi—Konvensi Jenewa. Perlakuan terhadap tawanan perang dalam Konvensi III diatur dalam Pasal 21-48. Berikut ini adalah perlakuan terhadap para tawanan perang : a. Para tawanan perang ketika tertangkap diwajibkan memberikan nama, pangkat militer, tanggal lahir dan nomor serialnya saja. Dalam keadaan apapun mereka tidak boleh dipaksa memberikan keterangan lebih jauh. Universitas Sumatera Utara Juga berdasarkan konvensi ketiga, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dipandang sebagai kejahatan perang b. Segera setelah penangkapan mereka, para tawanan perang berhak atas kartu penangkapan captured card, yang selanjutnya dikirim melalui ICRC Central Agency kepada biro informasi resmi official information bureau di Negara para tawanan tersebut. Biro ini bertugas untuk memberikan informasi kepada keluarga tawanan. Dengan cara ini hubungan dengan rumah dan keluarga mereka segera dapat dibina kembali c. Para tawanan harus dipindahkan secepat mungkin keluar kawasan berbahaya dan dibawa ke tempat aman, di tempat ini kondisi kehiduoan harus sama baiknya dengan kondisi kehidupan Negara penahan Detaining Power yang tinggal sementara di kawasan yang sama. Baik kapal maupun tawanan perang misalnya, tiidak diharuskan memenuhi persyaratan ini. d. Sedapat mungkin kondisi penangkapan mempertimbangkan kebiasaan para tawanan e. Para tawanan perang yang sehat boleh diharuskan bekerja, tetapi hanya boleh dipekerjakan ditempat berbahaya jika mereka menyetujuinya secara sukarela. Pembersihan ranjau dianggap sebagai pekerjaan berbahaya. Sekalipun penggunaan tawanan perang yang sudah terlatih untuk membersihkan ranjau mungkin tepat khususnya jika mereka memiliki pengetahuan pribadi tentang tempat ranjau. Ini juga dapat dilakukan hanya dengan persetujuan bebas para tawanan ini. Universitas Sumatera Utara f. Para tawanan perang berhak berkirim surat dengan keluarga mereka surat dan kartu biasanya dikirim melalui ICRC Central Agency. Mereka juga berhak menerima bantuan berupa parsel perorangan. g. Seorang tawanan perang harus mematuhi hukum Negara dari Negara penahan, khususnya peraturan perundangan yang berlaku bagi angkatan bersenjata. Jika ia melakukan pelanggaran, pengadilan atau tindakan disipliner dapat diambil terhadapnya. h. Para tawanan perang yang dituntut berhak atas peradilan yang benar, dan jika dihukum tetap pada status hukum mereka sebagai tawanan perang. Namun pemulangan mereka dapat ditangguhkan sampai mereka menyelesaikan hukuman mereka. i. Tindakan pembalasan kepada tawanan dilarang tanpa kecuali Dalam hal terjadi pertukaran antar tawanan perang, tidak selalu didasarkan pada jumlah yang sama dari tawanan yang akan dipulangkan, tetapi biasanya didasarkan atas pertimbangan terhadap mereka yang mengalami penderitaan khusus. Pemulangan atau pelepasan penuh tawanan perang juga dapat dilakukan dengan cara bersyarat atau dengan suatu perjanjian. Berdasarkan persyaratan atau perjanjian tersebut, tawanan perang yang dilepaskan berjanji untuk tidak ikut ambil bagian lagi secara aktif dalam pertempuran. Namun, karena persyaratan demikian, maka pelepasan dengan syarat atau perjanjian jarang sekali terjadi. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 118 Konvensi III, semua tawanan perang harus dipulangkan ke Negara asalnya. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul suatu masalah, yaitu apabila para tawanan perang itu sendiri tidak mau untuk dipulangkan. Berkaitan dengan pemulangan tawanan perang, dalam pasal 109-111 Konvensi III diatur hal-hal sebagai berikut: 1. Segera setelah mampu berjalan, tawanan yang luka dan sakit parah harus langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Suatu komite kesehatan bersama mixed medical committe akan memutuskan siapa-siapa yang akan dipulangkan. 2. Setelah peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan dipulangkan tanpa ada penundaan. 3. Tanpa menunggu berakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat timbal balik, yaitu dengan cara melakukan pertukaran tawanan perang secara langsung ataupun melalui Negara ketiga yang netral. Sebagai contoh, dalam perang Korea, para tawanan Korea Utara enggan pulang ke negaranya. Dalam hal ini, PBB memutuskan bahwa tidak seorangpun tawanan perang yang dapat dipaksa untuk dikembalikan ke Negara asalnya, jika mereka tidak menghendakinya. Universitas Sumatera Utara Namun hal ini harus diputuskan dengan sangat hati-hati. sebab jika tawanan perang diperbolehkan memutuskan sendiri untuk pulang dan tidak, ada kemungkinan Negara penahan akan menegaskan haknya untuk membuat putusan mengenai pemulangan para tawanan perang tersebut, sehingga suatu Negara dapat saja menekan para tawanan perang tersebut untuk tinggal. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka suatu organsisasi kemanusiaan yang bersifat netral dapat melakukan jasa-jsanya berkenaan dengan pemulangan para tawanan perang. Setelah peperangan berakhir, para pihak yang bersengketa juga harus melakukan segala tindakan yang dimungkinkan untuk mencari dan mengumpulkan orang-orang yang luka dan sakit. Kondisi mereka dicatat dan secepatnya diberikan kepada biro penerbangan, sebagaimana tercantuum dalam Pasal 122 Konvensi III. Ketentuan tersebut harus meliputi nama Negara asal nomor anggota, nama lengkap dan nama kecil, tanggal lahir, serta tanggal dan tempat penangkapan. Di samping orang-orang yang luka atau sakit, maka pihak yang bersengketa juga harus melakukan semua tindakan untuk mencari dan mengidentifikasi orang-orang yang telah meninggal dunia. Wasiat dan barang- barang si korban harus dikumpulkan. Pemakaman mereka harus dijamin. Pembakaran mayat hanya dimungkinkan karena alasan kesehatan atau karena ajaran agama si korban. Makam mereka harus didaftarkan, ditandai dan dijaga oleh Layanan Pendaftaran Makam Resmi official graves registration services, yang dikelola oleh pihak yang bersengketa. Universitas Sumatera Utara Selain peranan Komite Palang Merah dalam pengawasan atas pelaksanaan Konvensi Jenewa, perhimpunan-perhimpunan penolong dan perhimpunan kemanusiaan lainnya dapat memberikan bantuan yang besar dalam meringankan penderitaan tawanan perang. Hal ini terbukti dengan nyata sekali, tidak hanya saat Perang Dunia II, tetapi dalam setiap pertikaian bersenjata yang terjadi setelah perang dunia tersebut. Universitas Sumatera Utara 93 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WARTAWAN YANG BERTUGAS DI WILAYAH KONFLIK A. Ruang Lingkup Profesi Wartawan Wartawan atau Jurnalis adalah seseorang yang melakukan tugas jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita berupa laporan dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa seperti Koran, televisi, radio, majalah, film, dokumentasi, dan internet.wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat 45 . Istilah Jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Jurnalis adalah profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan. Sementara itu wartawan, dalam pendefinisian persatuan wartawan Indonesia, yaitu berhubungan dengan kegiatan tulis menulis yang diantaranya mencari data riset ,liputan, verifikasi untuk melengkapi laporannya. Wartawan dituntut untuk objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektifitasnya. Wartawan identik dengan berita, surat kabar, 45 Dikutip dari http:id.wikipedia.orgwikiWartawan, diakses pada 1 Maret 2016 Universitas Sumatera Utara atau televisi. Wartawan dituntut untuk memberikan informasi akurat kepada masyarakat pembaca dan pemirsa, dengan memenuhi kaidah-kaidah Kode Etik Jurnalistik KEJ. Di Indonesia wartawan untuk melaksanakan tugasnya sesuai Kode Etik Jurnalistik, sedangkan dalam pelaksanaan tugas, wartawan dilindungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Sehingga dalam melaksanakan tugas wartawan sangat tahu rambu-rambu yang dilarang dan yang diperbolehkan, sehingga dalam penyajian suatu berita atau liputan masyarakat tidak ada yang merasa dirugikan oleh berita tersebut. Organisasi wartawan di Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia yang biasa disingkat PWI merupakan organisasi wartawan pertama di Indonesia sebagai organisasi profesi, PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo. Munculnya PWI diwarnai aspirasi perjuangan para pejuang kemerdekaan. Baik mereka yang ada di era 1908, 1929, maupun klimaksnya 1945. Sebelum lahirnya PWI dibentuk sebuah panitia persiapan pada awal januari 1946, sebagai organisasi profesi, PWI menjadi wahana perjuangan bersama para wartawan. Organisasi PWI lahir mendahului SPS Serikat Penerbit Suratkabar . Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946. Wartawan memegang peranan penting dalam menjamin terpenuhnya hak untuk memperoleh informasi, terutama pada saat terjadi konflik bersenjata. Wartawan merupakan salah satu dari sedikit pihak yang dapat berada di willayah konflik, mengumpulkan informasi mengenai peristiwa yang sedang terjadi dan Universitas Sumatera Utara menyampaikannya kepada publik, sehingga publik dapat mengetahui perkembangan terbaru dari konflik bersenjata yang sedang berlangsung. Namun dalam melaksanakan tugasnya seringkali berhadapan dengan situasi-situasi yang berbahaya dan penuh resiko. Dalam situasi konflik wartawan memiliki akses untuk mencari informasi langsung dari tempat kejadian dan menyampaikannya ke publik. Walaupun kebebasan untuk melakukan tugas profesi di wilayah konfllik merupakan hak dari wartawan, namun dalam menjalankan ttugas profesinya harus menaati batasan- batasan tertentu. Batasan-batasan ini umumnya didasarkan pada kepentingan Negara yang berkaitan dengan pertimbangan keamanan atau kepentingan atau kepentingan individu tertentu yang terkait, yang mmungkin dirugikan apabila diumumkan ke publik. Selain itu, wartawan dalam menjalankan tugas profesinya juga harus berdasarkan ketentuuan hukum nasionalnya masing-masing. Meningkatnya serangan yang ditujukan kepada wartawan di daerah konflik bersenjata selama satu dekade terakhir merupakan alasan yang paling signifikan yang menjadikan perlindungan terhadap wartawan sebagai permasalahan yang krusial.. keselamatan wartawan menjadi suatu prioritas baru bagi lembaga-lembaga berita. Berbagai lembaga berita terutama di Eropa dan Amerika Serikat mempersiapkan rompi anti peluru bagi wartawan mereka yang bertugas di wilayah konflik bersenjata. Usaha lain yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berita untuk melindungi wartawannya adalah dengan mengirimkan wartawan untuk mengikuti pelatihan khusus yang pada umumnya diselenggarakan oleh anggota militer, dengan Universitas Sumatera Utara demikian wartawan dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya-bahaya yang muncul dalam situasi konflik bersenjata. Sejak tahun 1960-an pemikiran untuk memberikan perlindungan terhadap wartawan yang melakukan tugas di medan perang konflik bersenjata menjadi program dari banyak organisasi kewartawanan. Penyebabnya adalah karena banyak wartawan yang hilang dan mati pada perang korea, demikian pula pada waktu perang Vietnam. Organisasi-organisasi wartawan yang terpecah dua karena pengaruh perang dingin, bersatu di dalam masalah memintakan perlindungan bagi wartawan yang bertugas di daerah berbahaya, khususnya daerah dimana terjadi konflik bersenjata. Baik IOJ International Organisation of Journalist dipengaruhi komunis bermarkas di Praha, maupun IFJ International Federation of Journalist, dipengaruhi kubu Barat dan bermarkas di Brussel kedua-keduanya sepakat untuk memintakan perlindungan bagi wartawan. 46 Bahkan organisasi dalam tingkat pemimpin redaksi dan pemimpin usaha seperti IPI International Press Institute dan FIEJ Federation Internationale Lediteur de Journalist juga memberikan banyak sekali perhatian. Usaha-usaha itu dapat mengangkat masalahnya ke tingkat perserikata bangsa-bangsa sehingga dalam Sidang Umum PBB tahun 1972 disepakati bahwa masalah konvensi perlindungan bagi wartawan yang meliput daerah dimana terjadi Konflik meneruskan kepada Kompetensi Diplomatik yang akan membicarakan penegasan dan pengembangan Hukum Humaniter Internasional yang bersangkutan dengan Konflik Bersenjata. 46 Dikutip dari http:www.lpds.or.id diakses 5 Maret 2016 Universitas Sumatera Utara Sidang Umum PBB menyatakan pendapatnya bahwa sangatlah diharapkan untuk dapat dirumuskan suatu konvensi yang memberikan perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata. Sejak itu masalah perlindungan kepada wartawan yang melakukan tugas berbahaya di daerah dimana terjadi konflik bersenjata menjadi isu yang dibicarakan oleh UNESCO. UNESCO mensponsori banyak sekali pertemuan internasional dan regional, diantara sesama pesatuan wartawan, untuk dapat merumuskan protocol Konvensi. Rumusan-rumusan itu kemudian dibicarakan bersama dengan Palang Merah Sedunia, sehingga akhirnya disepakati rumusan- rumusan perlindungan dalam Konvensi Jenewa mengenai orang sipil dan wartawan.

B. Perlindungan Terhadap Wartawan yang Bertugas di wilayah Konflik