53
BAB III PENDUDUK SIPIL DAN TAWANAN PERANG
A. Penduduk Sipil Menurut Konvensi Jenewa
Konvensi - Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of War terdiri
dari atas 4 Konvensi, yaitu :
29
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded and sick in Armed Forces in the Field of August 12,1949
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded,Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949
3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan perang Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War,of August 12,1949
4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang sipil di waktu Perang Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of war, of August
12, 1949 Yang dimana keempat konvensi tersebut diatas awal mulanya dibentuk
pada tahun 1864. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya berkaitan dengan pembentukan Komite Internasional Palang Merah atau
29
Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang‐Undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi
Jenewa Tahun 1949, Pengayoman, Jakarta, 1999, hal, iii
Universitas Sumatera Utara
International Committee of the Red Cross ICRC. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, sedikit banyak dipengaruhi dari ide yang terpublikasi dari buku “A
Memory of Solferino” yang ditulis oleh salah satu pendiri ICRC, yaitu Henry Dunant. Dalam buku tersebut, Henry Dunant menggambarkan pengalamannya
menyaksikan penderitaan para tentara yang menjadi korban dan tidak memperoleh pertolongan di medan bekas pertempuran di Solferino. Cerita Henry Dunant tidak
terlalu terfokus pada hal-hal yang mengerikan akibat perang, tetapi justru kepada permasalahan tidak cukupnya pertolongan untuk tentara korban tersebut. Ia juga
menceritakan upaya spontannya mengumpulkan para wanita setempat untuk menolong para korban tersebut dengan fasilitas seadanya.
Dua dari ide yang termuat dalam buku tulisan Henry Dunant terealisasi pada tahun 1863 dan 1864. Tahun 1863 adalah tahun pembentukan organisasi
sukarelawan yang dipersiapkan untuk membantu korban perang yang kemudian dikenal dengan ICRC. Tahun 1864 adalah Tahun pembentukan perjanjian
internasional untuk melindungi korban perang dan pihak yang bertugas menolong korban perang. Adapun konferensi diplomatik yang membahas dan mengadopsi
perjanjian tersebut diselenggarakan oleh Negara Swiss atas Himbauan dari Henry Dunant dan para pendiri ICRC.
Konvensi Jenewa 1864 menjadi instrumen hukum pertama tentang kesepakatan Negara di bidang Hukum Humaniter Internasional dan menjadi
perjanjian pertama yang terbuka bagi setiap Negara untuk ikut serta di dalamnya. Setelah itu cukup banyak pertemuan diplomatik dan antar Negara yang
Universitas Sumatera Utara
diselenggarakan secara teratur dan menghasilkan perjanjian-perjanjian lainnya di bidang Hukum Humaniter Internasional.
Dalam perjalanannya, pembentukan perjanjian Hukum Humaniter Internasional dan norma-norma hukum yang disepakati di dalamnya banyak
dipengaruhi oleh kebutuhan yang dirasakan karena peristiwa peperangan yang terjadi pada waktu itu. Diantaranya, juga dipengaruhi oleh kenyataan
perkembangan teknologi dan sistem persenjataan atau metode peperangan yang digunakan. Peristiwa Perang Dunia I dan II serta berbagai perang atau konflik-
konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Amerika latin yang melibatkan upaya dekolonisasi dan teknik gerilya sampai pembersihan etnis di Former Yugoslavia
dan Genosida di Rwanda, turut memberikan kontribusi bagi pembentukan dan penyempurnaan Hukum Humaniter Internasional.
Sebelum masa Perang Dunia I, telah terbentuk berbagai perjanjian Hukum Humaniter Internasional berkenaan dengan larangan dan pembatasan
pengggunaan senjata dan metode perang tertentu, yaitu Deklarasi St.Petersburgh Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil eksplosif tertentu pada saat
perang dan beberapa Konvensi Den Haag 1899-1907 berkenaan dengan peperangan di darat dan laut serta larangan penggunaan rancangan, gas mencekik,
peluru mengembang, berikut pembatasan pengiriman proyektil tertentu melalui balon udara. Setelah masa Perang Dunia II, yaitu Tahun 1945-1948 dunia melihat
terbentuknya peradilan internasional; terhadap penjahat perang, yaitu di Tokyo dan Nurmberg atas prakarsa para pemenang perang. Sementara itu, Konvensi
Jenewa 1864 mengalami perbaikan dan penyempurnaan terakhir dengan
Universitas Sumatera Utara
terbentuknya empat Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang.
Tahun 1977 ditandai dengan terbentuknya dua perjanjian internasional yang merupakan tambahan atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Perjanjian
Hukum Humaniter Internasional tersebut adalah Protokol Tambahan I1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengketa bersenjata
internasional dan Protokol Tambahan II1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengeketa bersenjata non-Internasional Protokol I antara lain,
memuat referensi Hukum Humaniter Internasional bagi perang melawan kolonial dan pembatasan penggunaan metode perang gerilya.
30
Konvensi Jenewa IV mengenai Penduduk Sipil dalam waktu Perang merupakan konvensi yang sama sekali baru. Konvensi ini yang mengatur
kedudukan penduduk sipil pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam daerah pertempuran maupun daerah pendudukan serta di Negara-negara netral,
seluruhnya meliputi 159 pasal dan tiga buah lampiran. Persiapan untuk Konvensi Jenewa IV 1949 sudah dimulai oleh Konferensi
Internasional Palang Merah yang ke XV yang diadakan di Tokyo di tahun 1934. Konferensi ini telah meneyetujui suatu rancangan konvensi mengenai
perlindungan penduduk sipil di Negara musuh atau di Negara yang diduduki musuh yang terdiri dari 40 pasal, yang dibuat untuk memenuhi rekomendasi
konferensi diplomatic yang diadakan di Jenewa di tahun 1929 untuk
30
Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawati Pers, Jakarta,2009, hal 32-34.
Universitas Sumatera Utara
memperbaharui Konvensi I dan menyusun Konvensi mengenai Perlakuan Tawanan Perang.
Rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil ini yang dikenal juga dengan nama rancangan Tokyo, yang merupakan rancangan pertama
bagi Konvensi Jenewa IV yang sekarang, mula-mula akan diajukan pada suatu konferensi Diplomatik yang akan diadakan di Jenewa pada Tahun 1940. Pecahnya
Perang Dunia II membatalkan niat ini. Maksud untuk memperbaharui ketiga konvensi I, II, dan III lahir setelah
Perang Dunia II berakhir tahun 1945. Di tahun 1946 Komite Internasional Palang Merah mengadakan suatu konferensi pendahuluan di Jenewa yang dihadiri oleh
utusan-utusan Palang Merah nasional untuk membahas Konvensi-Konvensi Jenewa dan masalah-masalah yang bertalian dengan Palang Merah. Konferensi ini
membahas ketiga rancangan konvensi yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh suatu konferensi para ahli yang diadakan di Jenewa di tahun 1945.
Pekerjaan persiapan diatas dilanjutkan dalam tahun 1947 dengan diadakannya suatu konferensi di Jenewa antara ahli-ahli dari berbagai Negara
untuk mempelajarai Konvensi-Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang yang kemudian disusul dengan konsultasi antara Komite Internasional dengan
beberapa pemerintah yang tidak mengirimkan wakilnya. Hasil pekerjaan- pekerjaan persiapan tersebut diatas berupa empat buah ranncangan Konvensi
dibicarakan pada Konferensi Palang Merah ke-XVII yang diadakan di Stockholm di tahun 1948. Rancangan konvensi-konvensi inilah yang menjadi bahan
perbincangan working documents daripada Konferensi Diplomatik yang
Universitas Sumatera Utara
diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949, dan yang akhirnya menghasilkan keempat konvensi mengenai perlindungan korban perang
dalam bentuknya yang dikenal sekarang.
31
Penjelasan Konvensi Jenewa IV 1949 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang diatur di dalam bagian II yang berisi
tentang perlindungan umum. 1.
Perlindungan Umum Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan
kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif, dalam segala keadaan penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan,
kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34.
32
Isi pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV adalah: 1. Orang orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan penghormatan
atas diri pribadi, hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat-istiadat dan kebiasan mereka. Mereka harus selalu diperlakukan dengan
perikemanusiaan, dan harus dilindungi khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan serta tidak boleh
menjadi objek tontonan umum.wanita harus terutama dilindungi terhadap setiap serangan atau kehormatannya, khususnya terhadap perkosaan, pelacuran yang
dipaksakan atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Tanpa
31
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Djenewa TH, 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal 3-4
32
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal 170
Universitas Sumatera Utara
mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan, umur dan jenis kelamin mereka, maka semua orang yang dilindungi harus diperlakukan
dengan cara yang sama oleh pihak dalam sengketa dalam kekuasaan mana mereka berasal, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan terutama pada suku, agama
atau pendapat politik. akan tetapi pihak pihak dalam sengketa dapat mengambil tindakan-tindakan pengawasan dan keamanan berkenaan dengan orang –orang
yang dilindungi, yang mungkin diperlukan sebagai akibat perang pasal 27 2. Adanya seseorang yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan
sasaran-sasaran atau daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer Pasal 28 3. Pihak-pihak dalam sengketa bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan
oleh alat-alat kelengkapannya kepada orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangannya , lepas dari tanggung jawab perseorangan apapun yang mungkin
ada pasal 29 4. Orang-orang yang dilindungi harus memeperoleh setiap fasilitas untuk
berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang Merah Internasional, Perhimpunan-Perhimpunan Palang Merah Nasional Bulan
Sabit, Merah, Singa, dan Matahari Merah dari Negara-negara tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi yang dapat memberi bantuan
kepada mereka. organisasi-organisasi ini harus diberikan fasilitas-fasilitas untuk maksud itu oleh penguasa-penguasa, dalam batas-batas yang ditentukan oleh
pertimbangan militer atau keamanan.disamping kunjungan-kunjungan dan utusan- utusan Negara pelindung serta Komite Palang Merah Internasional, sebagaimana
diatur dalam pasal 143, maka Negara penahan atau Negara pendudukan harus
Universitas Sumatera Utara
sebanyak mungkin memudahkan kunjungan-kunjungan kepada orang-orang yang dilindungi oleh wakil-wakil organisasi-organsasi lain yang bertujuan memberikan
bantuan spiritual atau pertolongan materil kepada orang-orang tersebut. pasal 30 5. Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh dilakukan paksaan fisik atau moral,
terutama untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka atau dari pihak ketiga pasal 31.
6. Pihak pihak Peserta Agung teristimewa sepakat bahwa mereka masing-masing dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan penderitaan-
penderitaan jasmani atau pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya berlaku terhadap pembunuhan,
penganiayaan, hukuman badan, pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang tidak diperluka perawatan
kedokteran daripada seorang yang dilindungi, akan tetapi juga berlaku setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat Negara sipil
maupun militer pasal 32. 7. Orang yang dilindungi tidak boleh dihukum untuk suatu pelanggaran yang tidak
dilakukan sendiri olehnya. Hukuman kolektif dan semua perbuatan intimidasi atau terorisme dilarang. Tindakan pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi
dan harta miliknya adalah dilarang pasal 33. 8. Penangkapan orang untuk dijadikan sandera tanggungan dilarang pasal 34
Demikian besarnya perhatian yang diberikan Konvensi Jenewa untuk melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga
mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan daerah-
Universitas Sumatera Utara
daerah keselamatan safety zones, dengan persetujuan bersama antara pihak- pihak yang bersangkutan Pasal 14 Konvensi Jenewa IV
Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 14 Konvensi Jenewa IV : Dalam waktu damai, Pihak-Pihak Peserta Agung dan setelah pecahnya
permusuhan, pihak-pihak dalam permusuhan itu dapat mengadakan dalam wilayah mereka sendiri dan apabila perlu, dalam daerah yang diduduki, daerah-
daerah serta perkampungan-perkampungan rumah sakit dan keselamatan, yang diorganisir sedimikian rupa sehingga melindungi yang luka, sakit, dan orang tua,
anak-anak dibawah lima belas tahun, wanita-wanita hamil serta ibu-ibu dari anak dibawah tujuh tahun dari akibat-akibat perang
Pada waktu pecahnya dan selama berlangsungnya permusuhan, permusuhan, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-
persetujuan tentang pengakuan bersama daripada daerah dan perkampungan yang telah mereka adakan. Untuk maksud ini mereka dapat melaksanakan ketentuan-
ketentuan Rencana Persetujuan yang dilampirkan pada Konvensi ini, dengan perubahan-perubahan yang dianggap perlu.
Negara-negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional diundang untuk memberikan jasa baik mereka guna memudahkan penetapan dan
pengakuan atas rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan serta perkampungan- perkampungan.
Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang yaitu,
orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan
Universitas Sumatera Utara
hamil atau menyusui, perempuan yang memiliki anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memenuhi syarat – syarat sebagai
berikut : 1.
Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah yang diperintah oleh Negara yang mengadakannya
2. Daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu. 3.
Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan
administrasi yang besar 4.
Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan
peperangan. Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi,
perlakuan khusus harus diberikan terhadap anak-anak. Para pihak yang bersangkutan diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu
atau terpisah dengan orangtua mereka. Diantara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi,
seperti : 1
Orang asing di wilayah pendudukan Pada waktu pecah perang antara Negara yang warga negaranya berdiam di
wilayah Negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga Negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan
Universitas Sumatera Utara
perlindungan di Negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan Negara tersebut
dipertimbangkan kembali, permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu.
33
Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 35 Konvensi Jenewa IV: Semua orang yang dilindungi yang berkehendak meninggalkan wilayah
pada permulaan, atau selama berlangsungnya suatu sengketa, boleh berbuat demikian, kecuali apabila keberangkatannya itu bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan nasional dari Negara itu. Permohonan-permohonan orang tersebut untuk berangkat harus diputuskan sesuai dengan prosedur-prosedur
secara teratur dan keputusan harus diambil secepat mungkin. Orang-orang yang diizinkan untuk berangkat dapat melengkapi diri mereka dengan dana-dana yang
diperlukan untuk perjalanan mereka dan membawa serta suatu jumlah yang pantas dari milik dan barang-barang untuk pemakaian pribadi.
Apabila ada seorang ditolak permintaan untuk meninggalkan wilayah itu, maka ia berhak supaya penolakan itu dipertimbangkan kembali selekas mungkin
oleh sebuah pengadilan atau dewan administratif, yang ditunjuk oleh Negara penahan untuk maksud itu. Atas permintaan, maka wakil-wakil Negara pelindung
harus, kecuali apabila bertentangan dengan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan berkeberatan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila
orang-orang yang bersangkutan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan berkeberatan, diberitahu alasan-alasan penolakan
33
Ibid, Hal 171-173
Universitas Sumatera Utara
dari tiap permohonan izin untuk meninggalkan wilayah dan kepada wakil-wakil itu harus diberi secepat mungkin nama-nama semua orang yang tidak diberi izin
untuk berangkat. Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang
yang berlaku di masa damai 9 hukum tentang orang asing. Perlindungan minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka
harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya Negara
penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan regular ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika
keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat tinggal Pasal 42 Konvensi Jenewa IV.
34
Berikut ini adalah isi lengkap pasal 42 Konvensi Jenewa IV : Penginterniran orang-orang yang dilindungi atau penempatan mereka di
tempat-tempat tinggal yang ditunjuk hanya dapat diperintahkan apabila keamanan Negara Penahan betul-betul memerlukannya.
Apabila seseorang, melalui wakil-wakil Negara Pelindung, dengan sukarela mohon penginterniran dan apabila keadaannya menyebabkan perlu
diambil tindakan tersebut, maka ia akan diinternir oleh kekuasaaan dalam tangan siapa ia pada waktu itu berada.
Mereka juga dapat dipindahkan ke Negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, harus dipulangkan pada saat terakhit setelah berakhirnya
34
Ibid, Hal 173
Universitas Sumatera Utara
permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui Negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan
politik agama yang mereka anut. 2
Orang yang tinggal di wilayah pendudukan Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi,
penguasa pendudukan occupying power tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di
wlayah tersebut adalah hukum dari Negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari Negara yang diduduki masih berlaku secara
de jure, walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah penguasa pendudukan secara de facto. Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah di
wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya, harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti sedia kala.
Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya, misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak
boleh dipaksa untuk melakukann kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit, dan
banguna-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-tugasnya. Penguasa
Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk Pasal 50 Konvensi Jenewa IV dan
bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka
Universitas Sumatera Utara
harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri, sesuai dengan pasal 59-61 dan sebagainya.
35
Berikut adalah isi lengkap dari pasal 50, 59, 60 dan 61 Konvensi Jenewa IV :
Kekuasaan Pendudukan, dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan lokal, harus membantu kelancaran bekerja semua lembaga yang bertujuan untuk
perawatan dan pendidikan anak-anak. Kekuasaan Pendudukan harus mengambil segala tindakan yang perlu
untuk memudahkan identifikasi anak-anak dan pendaftaran dari asal-usul mereka. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga, tidak boleh merubah kedudukan
pribadi mereka, atau memasukkan mereka dalam kesatuan-kesatuan atau organisasi-organisasi kekuasaannya.
Apabila lembaga-lembaga setempat tidak mencukupi untuk tujuan itu, maka Negara pendudukan harus mengatur pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yatim piatu atau anak-anak yang terpisah dari ibu bapaknya sebagai akibat peperangan, dan yang tidak dapat dipelihara dengan baik oleh kerabat atau kawan,
pemeliharaan dan pendidikan ini jika mungkin dilakukan oleh orang-orang yang sama kebangsaan, bahasa, dan agamanya.
Suatu seksi khusus dan Biro yang didirikan sesuai dengan Pasal 136, akan bertanggung jawab atas segala tindakan yang perlu diambil untuk
mengidentifikasi anak-anak yang identitasnya diragukan. Keterangan-keterangan
35
Ibid, hal 173-174
Universitas Sumatera Utara
mengenai ibu-bapak atau keluarga mereka mereka yang dekat, selau harus dicatat apabila ada.
Kekuasaan Pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya tindakan-tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan, dan perlindungan
terhadap akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan dan yang telah diadakan untuk manfaat anak-anak dibawah lima belas tahun,
wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak dibawah tujuh tahun Pasal 50 Apabila seluruh atau sebagian dari penduduk sesuatu wilayah yang
diduduki tidak mempunyai persediaan-persediaan cukup, maka kekuasaan pendudukan harus menyetujui rencana-rencana pemberian bantuan bagi penduduk
tersebut, dan harus membantu rencana-rencana tersebut, dengan segala kesanggupan yang ada padanya.
Rencana-rencana bantuan tersebut, yang mungkin diadakan, atau oleh Negara-negara atau organisasi-organisasi kemanusiaan yang tidak seperti Komite
Palang Merah Internasionnal, terutama harus berisikan pemberian-pemberian kiriman bahan makanan persediaan obat-obatan dan pakaian.
Semua Pihak Peserta harus mengizinkan lalu lintas bebas daripada kiriman-kiriman ini, dan harus menjamin perlindungannya.
Akan tetapi suatu Negara yang mengizinkan perjalanan bebas kiriman- kiriman yang menuju ke wilayah yang diduduki oleh pihak lawan dalam sengketa,
berhak untuk memeriksa kiriman-kiriman itu untuk mengatur perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana
perjalanan yang telah ditentukan dan berhak untuk mendapat jaminan sepantasnya
Universitas Sumatera Utara
dari Negara pelindung bahwa kiriman-kiriman itu akan dipergunakkan untuk menolong penduduk yang membutuhkannya dan tidak akan dipergunakan untuk
keuntungan Kekuasaan Kependudukan Pasal 59. Kiriman-kiriman sumbangan sekali-kali tidak akan membebaskan
kekuasaan kependudukan dari kewajiban dan tanggung jawab apapun dibawah Pasal 55, 56 serta Pasal 59. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga tidak
boleh membelokkan kiriman-kiriman sumbangan itu dari tujuannya yang dimaksudkan semula, kecuali dalam hal-hal keperluan yang mendesak, guna
kepentingan-kepentingan penduduk wilayah yang diduduki dan dengan persetujuan Negara Pelindung Pasal 60
Pembagian kiriman-kiriman
sumbangan yang tercantum dalam pasal-pasal diatas, harus diselenggarakan dengan kerja sama dan dibawah pengawasan Negara
pelindung. Kewajiban ini, dengan persetujuan dari Kekuasaan Pendudukan dan Negara Pelindung, dapat juga diserahkan kepada suatu Negara Netral, kepada
komite Palang Merah Internasional atau kepada setiap badan kemanusiaan lain yang tidak memihak.
Kiriman-kiriman tersebut harus dibebaskan dari segala biaya, kewajiban- kewajiban pajak atau bea dalam wilayah yang diduduki, kecuali apabila hal itu
diperlukan demi kepentingan ekonomi di wilayah itu. Kekuasaan Pendudukan harus memberi kelonggaran-kelonggaran untuk membantu pembagian yang cepat
daripada kiriman-kiriman itu. Segenap Pihak Peserta Agung harus berusaha untuk mengizinkan lalu
lintas dan pengangkutan yang bebas biaya daripada kiriman-kiriman sumbangan
Universitas Sumatera Utara
tersebut dalam perjalanan kiriman-kiriman itu menuju wilayah yang diduduki Pasal 61.
Sebaliknya Penguasa Pendudukan, berdasarkan ketentuan Pasal 64 Konvensi Jenewa IV, dapat membentuk peraturan perundang-undangan sendiri.
Mereka, berdasarkan pasal 66 Konvensi Jenewa IV, juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat non-politis.
36
Berkut ini adalah isi lengkap dari pasal 64 dan 66 Konvensi Jenewa IV: Perundang-undangan hukum pidana wilayah yang diduduki akan tetap
berlaku, dengan pengecualian bahwa undang-undang tersebut dapat dicabut atau ditangguhkan pelaksanaannya oleh Kekuasaan Pendudukan dalam hal-hal dimana
undang-undang ini merupakan suatu ancaman terhadap keamanannya atau merupakan penghalang bagi pelaksaan Konvensi ini. Dengan mengingat
pertiiimbangan yang disebut terakhir diatas dan untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang efektif, pengadilan wilayah yang diduduki harus terus melakukan
tugasnya berkaitan dengan segala kejahatan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana termaksud.
Akan tetapi, Kekuasaan Pendudukan boleh menggunakan ketentuan- ketentuan hukum atas penduduk wilayah yang diduduki, yang perlu untuk
memungkinkan Kekuasaan Pendudukan memenuhi kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini, untuk memelihara pemerintahan yang teratur dari wilayah
dan untuk menjamin keamanan Kekuasaan Pendudukan, anggota dan harta milik
36
Ibid, hal. 174
Universitas Sumatera Utara
angkatan perang atau pemerintah pendudukan dan pula untuk keamanan gedung- gedung dan saluran-saluran perhubungan yang mereka pergunakan Pasal 64
Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketenntuan hukum pidana yang ditetapkan berdasarkan paragraf kedua dari pasal 64, maka
Kekuaasan Pendudukan dapat menyerahkan si tertuduh kepada pengadilan- pengadilan militer yang non-politis dan yang dibentuk dengan sewajarnya, dengan
syarat bahwa pengadilan tersebut bersidang di wilayah Negara yang diduduki. Pengadilan-pengadilan banding sebaiknya bersidang di wilayah yang diduduki
Pasal 66. Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan kewajiban
Penguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban, dan untuk
menjaga segala infrastruktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa
Pendudukan juga harus menghormati dan merupakan asas-asas hukum umum general principles of law, terutama asas hukum yang menyatakan bahwa
hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan Pasal 67 Konvensi Jenewa IV pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap
kasus pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman
mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 68 Konvensi Jenewa IV.
37
37
Ibid, hal, 174
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 67 dan 68 Konvensi Jenewa IV: Pengadilan-pengadilan itu hanya boleh menggunakan ketentuan-ketentuan
hukum yang telah berlaku sebelum pelanggaran yang dituduhkan, dan yang sesuai dengan azas-azas hukum umum, terutama azas bahwa hukuman harus seimbang
dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengadilan-pengadilan itu harus turut mempertimbangkan hal bahwa yang tertuduh seorang warga Negara Kekuasaan
Pendudukan Pasal 67 Orang-orang yang dilindungi yang telah melakukan suatu pelanggaran
yang khusus ditujukan untuk merugikan Kekuasaan Pendudukan akan tetapi yang tidak merupakan suatu percobaan atas jiwa dan raga anggota-anggota tentara atau
administrasi pendudukan, yang juga tidak merupakan suatu bahaya kolektif besar, maupun yang tidak merusak dengan hebat harta milik tentara dan administrasi
pendudukan atau instalasi-instalasi yang dipakai mereka, dapat dikemakan interniran atau hukuman penjara biasa, asal saja lamanya interniran atau hukuman
penjara itu seimbang dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Selanjutnya, penginterniran atau hukuman penjara untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut,
merupakan tindakan satu-satunya yang boleh dipakai untuk merampas kebebasan orang-orang yang dilindungi.
Pengadilan-pengadilan yang
dimaksudkan oleh Pasal 66 dari Konvensi ini dapat, atas kebikjasanaan sendiri, merubah hukuman penjara menjadi interniran
untuk jangka waktu yang sama. Peraturan-peraturan hukum pidana yang diumumkan oleh Kekuasaan
Pendudukan sesuai dengan Pasal-pasal 64 dan 65 hanya dapat menetapkan
Universitas Sumatera Utara
hukuman mati atas diri seseorang yang dilindungi, dalam hal-hal dimana orang itu bersalah melakukan pekerjaan mata-mata, perbuatan sabotase yang berat terhadap
instalasi-instalasi militer Kekuasaan Pendudukan, atau karena pelanggaran- pelanggaran yang disengaja yang dapat dihukum dengan kematian dibawah
hukum wilayah yang diduduki yang berlaku sebelum pendudukan dimulai. Hukuman mati itu tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang
dilindungi, kecuali jika pengadilan sudah memperhatikan terutama hal bahwa karena yang tertuduh itu bukan warga Negara Kekuasaan Pendudukan, yang
bersangkutan tidak terikat pada Kekuasaan Pendudukan oleh kewajiban kesetiaan. Bagaimanapun juga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas diri
seorang yang dilindungi yang berumur dibawah delapan belas tahun pada waktu pelanggaran itu dilakukan Pasal 68
3 Interniran Sipil
Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal 79-135
Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang riil dan
mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan
administratif. Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat
melaksanakan hak-hak sipil mereka Pasal 80 Konvensi Jenewa IV
38
38
Ibid, hal. 175
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 80 Konvensi Jenewa IV: Orang-orang yang diinternir tetap memiliki kedudukan dan kemampuan
sipil mereka sepenuhnya dan akan dapat melaksanakan hak hak attendance yang bersangkutan dengan kedudukan sipil yang mereka miliki.
Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah: a
Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan
b Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan
sukarela menghendaki untuk diinternir, atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir
c Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila penguasa
pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alasan mendesak d
Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khusus bertujuan untuk merugikan penguasa pendudukan
Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam daerah daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer
memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” TI= Tempat Interniran; IC= Internment Camps atau sistem penandaan lainnya yang
disepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, harus dillakukan oleh Negara
penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap
tempat interniran, harus ditempatkan dibawah kekuasaan seorang perwira yang
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara penahan.
Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting,
penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut.
Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke Negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan
melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara pihak-pihak yang bersengketa.
39
2. Perlindungan Khusus Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil
dalam sengketa bersenjata diuraikan diatas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka
umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk
sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil.
Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social sipil, biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas transportasi, bangunan-angunan
khusus maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati respected dan dilindungi protected .
39
Ibid, hal 175-176
Universitas Sumatera Utara
“Dihormati” berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas social mereka pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan pengertian “dilindungi”
adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.
40
a. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil
Pada Saat Berperang Konvensi Jenewa 1949 yang bertitel Convention for the Victims of
WarPerlindungan bagi korban perang dikenal juga dengan nama Konvensi- Konvensi Palang Merah The ICRC Conventions. Penamaan lain Konvensi
tersebut sebagai Konvensi-Konvensi Palang merah tidak terlepas dari besarnaa peranan yang telah dimainkan oleh Palang Merah Internasional dalam sejarah
terjadinya Konvensi-Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang.misalnya seperti yang tercantum dalam pasal 9 Konvensi I mengenai kegiatan Humaniter
komite Palang Merah pasal 10 Palang Merah sebagai organisasi pengganti bagi Negara pelindung protecting power
Konvensi mengenai Perlindungan Penduduk sipil di waktu Perang bukan merupakan penyempurnaan dari Konvensi-Konvensi yang telah ada, melainkan
suatu konvensi-konvensi yang sama sekali baru, namun hal ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum
perang yang tertulis. Peraturan Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
dalam bab yang mengatur kependudukan, memuat 15 pasal yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil dalam daerah pendudukan. Ketentuan-
40
Ibis, hal 176-177
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan inilah yang berlaku ketika Perang Dunia ke II terjadi, disamping asas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil yang tidak
bersenjata, sebagai orang yang berdiri “diluar perang” . Pengalaman selama Perang Dunia ke II ini, baik di eropa maupun di Asia, menunjukkan betapa kurang
sempurnanya ketentuan-ketentuan tersebut diatas sebagai perlindungan penduduk sipil terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak lawan.
Lagipula, perkembangan teknik persenjataan modern mengakibatkan bertambah sukarnya untuk mencegah penduduk sipil turut menjadi korban
serangan musuh. Faktor ini dan Kenyataan bahwa Perang Modern merupakan perang yang total mengakibatkan bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum
perang tradisional secara negatif dengan menempatkannya di luar perang, jelas tidak memadai lagi, kenyataan perang modern menunjukkan bahwa penduduk
sipil tidak bisa lagi dianggap berdiri “diluar perang”. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif dari “netralisasi” dari perbuatan permusuhan
belaka, yang hanya menghindarkan mereka dari serangan yang langsung. Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan-
Peraturan Den Haag tersebut, namun ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap, karena hanya mengatur perliindungan penduduk sipil di walayah yang diduduki.
Peraturan Den Haag tidak mengatur mengenai peraturan perlakuan dan perlindungan hak penduduk sipil musuh di wilayah pihak dalam sengketa sendiri,
dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan penduduk sipil yang diinternir.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tindakan darurat, maka dalam Perang Dunia ke II atas usul Komite Internasional Palang Merah,I nterniran sipil di wilayah pihak yang
berperang diiperlakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang yang sama sekali tidak diperluas pada
perlakuan terhadap interniran sipil di wilayah yang diduduki
41
. Kekurangan- kekurangan dalam ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada
penduduk sipil di waktu perang ini telah menimbulkan banyak korban dan penderitaan terutama sebagai deportasi, penyanderaan dan penawanan di kamp-
kamp konsentrasi. Konvensi ini yang disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman yang
menyedihkan itu, bertujuan untuk menghindarkan berulangnya bencana tersebut di atas. Kenyataan bahwa Konvensi ini untuk sebagian mengatur hal yang sama
dengan apa yang telah diatur oleh Peraturan Den Haag. Bahkan, mengandung beberapa ketentuan yang bersamaan,tidak berarti bahwa konvensi ini
menggantikan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam Peraturan Den Haag.
Ketentuan-Ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai
Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang merupakan tambahan dan Penyempurnaan dari Seksi II dan III Peraturan Den Haag mengenai hukum dan
kebiasaan peperangan di Darat.
42
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara khusus mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan, banyak
41
Commentary to the VIth Conventionselanjutnya disebut Commentaryp.5
42
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal. 75-76
Universitas Sumatera Utara
ketentuan pasalnya berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap penduduk sipil yang berada di wilayah penguasa pendudukan, daripada pasal-
pasal yang mengatur tentang aturan berperang. Konvensi ini menjawab tantangan timbulnya suatu trauma akibat pemboman yang dilakukan melalui udara terjadi
pada 1939 dan 1945, yang merupakan realitas buruk yang harus diterima akibat dibomnya kota berpenduduk padat. Hal ini mungkin merupakan suatu
konsekuensi dari kegagalan Draft Rules on Air Warfare yang dirancang di Den Haag pada tahun 1923.
Penolakan terhadap Draft ini dan meletusnya Perang Dunia II, menggambarkan bahwa Negara-negara belum siap menerima larangan untuk
menyerang dan menteror penduduk sipil musuh oleh karena itu, menurut Konvensi Jenewa, Orang-orang sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan
ketika peperangan sedang berlangsung. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam pasal 18 Konvensi Jenewa I dan Pasal 19 Konvensi Jenewa IV yang mengatur
tentang perlindungan terhadap petugas sipil medis dan rohaniawan, dan perlindungan umum untuk melaksanakan tugas-tugas medis.
Walaupun Negara-negara secara umum mengakuii bahwa suatu serangan harus hanya ditunjuk kepada sasaran militer, namun tidak ada definisi yang dapat
disetujui mengenai apa saja yang termasuk dalam sasaran-sasaran militer. Kenyataannya, selama Perang Dunia II dan selama sengketa-sengketa bersenjata
yang terjadi setelah itu, setiap belligerent menentukan sendiri apa yang harus disetujui tentang sasaran-sasaran militer. Harus dicatat bahwa gagasan Negara-
negara seringkali berbeda, tergantung dari sudut pandang mana mereka
Universitas Sumatera Utara
melihatnya.. misalnya, ada Negara yang menyatakan suatu sasaran militer tergantung dari apakah suatu daerah itu wilayah mereka atau wilayah musuh, atau
merupakan wilayah sekutu yang diduduki pihak musuh. Oleh karena itu, suatu definisi yang bersifat restriktif diperlukan apabila hendak membedakan kombatan
dan penduduk sipil serta sasaran militer dan obyek sipil. Namun, definisi demikian belum terakomodasi dalam Konvensi Jenewa 1949.
43
Seperti telah dikatakan pengertian “orang-orang yang dilindungi” dalam arti konvensi IV adalah lain sekali dengan pengertian “orang-orang yang
dilindungi” dalam arti ketiga konvensi lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir dari Pasal 4,yang mengatakan bahwa orang-oranng yang dilindungi oleh
Konvensi Jenewa ke I,II,dan III tidak dapat dipandang sebagai “Orang yang dilindungi “ dalam arti Konvensi IV. Dengan perkataan lain,unsur pokok dari
pengertian “orang yang dilindungi dalam arti Konvensi IV adalah bahwa ia itu adalah Penduduk Sipil .
Jika demikian, apakah seluruh penduduk sipil suatu Negara itu merupakan “orang-orang yang dilindungi”dalam arti Konvensi IV? Pasal 4 yang mengatur
soal ini memuat batasan definisi sebagai berikut : “Orang-orang yang dilindungi oleh konvensi adalah mereka yang dalam suatu
sengketa bersenjata atau kejadian pendudukan pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau
kekuasaan pendudukan yang bukan Negara mereka”
43
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Op. Cit, hal 202-203
Universitas Sumatera Utara
“Warga Negara suatu Negara yang tidak terikat oleh konvensi tidak dilindungi oleh konvensi.warga Negara suatu Negara netral yang ada di wilayah
suatu Negara yang berperang serta warga Negara dari suatu Negara yang berperang,tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi,selama
Negara mereka mempunyai perwakilan diplomatic biasa di Negara yang mengawasi mereka”
Secara mudah dapat dikatakan bahwa “orang-orang yang dilindungi menurut pasal 4 adalah penduduk sipil Negara dalam sengketa yang telah jatuh ke
dalam kekuasaan musuh,atau apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai mereka “orang-orang yang dilindungi” dalam arti Konvensi IV adalah penduduk
sipil musuh . karena selain di wilayahnya sendiri,suatu Negara dalam perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, dapat juga
“orang-orang yang dilindungi” menurut Konvensi IV dirumuskan sebagai berikut:
1. warga Negara sipil musuh di wilayah Negara pihak dalam sengketa,dan 2. penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki,terkecuali
a warga Negara Negara pendudukan sendiri b warga Negara sekutu
c warga Negara Negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan pendudukan
d warga Negara Negara bukan peserta konvensi Pengertian yang tepat tentang apa yang diartikan dengan orang-orang yang
dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV perlu kita miliki karena untuk mereka
Universitas Sumatera Utara
itulah Konvensi ini telah disusun. Seluruh Konvensi Jenewa IV didasarkan atas pengertian orang-orang yang dilindungi tersebuut diatas, kecuali sebagian kecil
yaitu Bagian II Pasal 13 sampai dengaN 26 yang berlaku untuk seluruh penduudk wilayah yang dikuasai pihak dalam pertikaian.
Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan diatas hak-hak perlindungan diatas yang diberikan Konvensi kepada orang-orang yang dilindungi
tersebut diatur dalam Pasal 5. Pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam pertikaian atas wlayah yang diduduki, yang melakukan atau
dicurigai keras melakukan atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan keamanan Negara, kehilangan hak-haknya sebagai orang yang dilindungi dibawah
konvensi ini. Termasuk di dalamnya orang-orang yang melakukan atau dicurigai melakukan pekerjaan mata-mata dan sabotase. Walaupun demikian, mereka tetap
harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan apabila diadili, mereka berhak memperoleh jaminan-jaminan peradilan sebagaimana ditetapkan dalam konvensi
ini. Karena hilangnya hak-hak sebagai orang-orang yang dilindungi merupakan sanksi yang berat, apalagi bagi orang yang hanya dicurigai keras, maka kalimat
terakhir pasal 5 menetapkan bahwa mereka secepat-cepatnya akan diberi kembali hak-hak dibawah Konvensi ini apabila hal itu tidak bertenntangan dengan
keselamatan Negara atau kekuasaan pendudukan. Ketentuan diatas yang telah dimuat untuk menjaga kepentingan militer
pihak-pihak dalam pertikaian, dapat dipahamkan karena tanpa pembatasan demikian hak-hak dan perlakuan istimewa, mudah disalahgunakan untuk tujuan-
ujuan yang bertentangan dengan kepentingan militer pihak lawan. Akibat daripada
Universitas Sumatera Utara
perang modern yang bersifat total adalah bahwa tidak saja perlindungan yang diberikan hukum perang harus diluaskan pada penduduk sipil, tetapi juga bahwa
kepada pihak-pihak dalam pertikaian harus diberikan jaminan yang lebih banyak bahwa perlindungan demikian tidak akan disalahgunakan.
44
B. Penduduk Sipil Yang Berhak Atas Status Tawanan Perang