gangguan proses autoimun. Jika tidak dirawat, penderita diabetes DM tipe ini akan menunjukkan tanda-tanda klinis seperti polyuria, polydipsia, polyphagia, pruritis,
lemah dan lemas. Penderita juga dapat mengalami komplikasi akibat DM . Klasifikasi ini juga disebut dengan diabetes dengan ketergantungan insulin
insulin-dependent diabetes. b.
Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes yang disebabkan oleh resistensi terhadap insulin. Diabetes tipe ini lebih sering terjadi dibandingkan tipe 1 dan
sering dihubungkan dengan obesitas. Resistensi terhadap insulin mengakibatkan penurunan jumlah transfer glukosa ke sel-sel dan akhirnya menimbulkan kondisi
hiperglikemia. c.
Diabetes melitus gestational merupakan diabetes sementara yang terjadi saat kehamilan. Anak-anak yang ibunya penderita diabetes tipe ini akan memiliki
risiko obesitas dan diabetes pada usia mudanya. Penderita diabetes tipe ini juga memiliki risiko mengalami diabetes tipe 2.
d. Diabetes melitus tipe lain merupakan klasifikasi diabetes yang dihubungkan
dengan genetik, penyakit lainnya, ataupun penggunaan obat-obatan Wah, 2006; Debora, 2002.
2.2.3 Diagnosis Diabetes melitus
Penegakan diagnosis Diabetes melitus didasarkan pada kadar glukosa darah. Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat diambil dari plasma vena ataupun kapiler
darah. Penentuan kadar glukosa darah yang menunjukkan tanda-tanda Diabetes
Universitas Sumatera Utara
melitus didasarkan pada ketentuan yang telah dikeluarkan oleh WHO Sudoyo AW 2007.
Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu
dan Puasa Sebagai Pedoman Diagnosis Diabetes melitus DM
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai pedoman diagnosis Diabetes melitus DM
Jenis kadar glukosa darah
Jenis specimen
Bukan DM mgdl
Dicurigai DM mgdl
DM mgdl Sewaktu
Plasma vena 110
110-199 200
Kapiler darah 90
90-100 200
Puasa Plasma vena
110 110-125
126 Kapiler darah
90 90-109
110 Sumber : Aru W.Sudoyo Ilmu Penyakit Dalam ed 4
2.2.4 Komplikasi Diabetes melitus
Komplikasi dapat terjadi pada semua tipe Diabetes melitus. Komplikasi DM berhubungan dengan lamanya hiperglikemia yang terjadi pada tubuh. Hiperglikemia
mempengaruhi pembentukan Advanced Glycation End-product AGE. AGE berperan merangsang sel endotel dan monosit untuk menghasilkan mediator inflamasi. Adanya
peningkatan AGE di dalam plasma darah dan jaringan berhubungan dengan komplikasi DM. AGE akan mengakibatkan jaringan gingival memiliki permeabilitas
pembuluh darah yang lebih besar, kerusakan jaringan kolagen, dan kerusakan jaringan ikat serta tulang Debora, 2002.
Komplikasi ini juga dapat melibatkan pembuluh darah besar antara lain: penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah
otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang melibatkan
Universitas Sumatera Utara
pembuluh darah kecil anttara lain: retinopathy, nefropathy, dan neuropathy . Retinopathy dapat menyebabkan kebutaan, nefropathy akan menyebabkan gagal
ginjal, sedangkan neropati akan menyebabkan distesia sensasi rasa terbakar. Komplikasi diabetes di rongga mulut juga dapat terjadi antara lain seperti:
xerostomia, penyakit periodontal, insidens karies yang tinggi, kehilangan tulang, serta dapat mempengaruhi perubahan kepadatan densitas mineral tulang mandibula
Debora, 2002. 2.2.5 Hubungan Diabetes melitus dengan Densitas Radiografi
Diabetes melitus dapat mempengaruhi pembentukan tulang dan dihubungkan dengan obesitas, hiperglikemia serta AGE. Albright dan Reifersten adalah peneliti
yang pertama kali tahun 1948 melaporkan adanya hubungan antara kepadatan mineral tulang yang berkurang, dengan risiko fraktur pada subjek DM. Namun demikian,
penelitian mengenai hubungan kepadatan mineral tulang bone mineral densityBMD dengan DM pada tulang rahang rahang, masih sangat sedikit bila
dibandingkan penelitian pada tulang lainnya seperti radius, vertebra dan femur Ay, 2005. Beberapa mekanisme berperan dalam menyebabkan berkurangnya kepadatan
tulang pada penderita DM, seperti : insulinopenia, microangiopathy, dan peningkatan interleukin Cultrim, 2007.
Marker atau penanda metabolisme tulang adalah serum osteocalcin, C- terminal telopeptide colagen tipe 1 CTX, dan osteoprotegerin OPG serta leptin.
CTX merupakan marker resorpsi tulang, sedangkan OPG, osteocalcin dan leptin
Universitas Sumatera Utara
merupakan marker pembentukan tulang. Analisis atau pemeriksaan terhadap marker- marker di atas dapat memberikan penjelasan mengenai kehilangan tulang pada pasien
Diabetes melitus. Osteocalcin merupakan hasil sekresi osteoblas. Osteocalcin berperan dalam mengatur metabolisme tubuh dan pembentukan tulang. Selain itu,
osteocalcin juga merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Penurunan jumlah osteocalcin akan mengurangi kepadatan mineral tulang. Penderita Diabetes
melitus akan memiliki jumlah osteocalcin yang lebih rendah dibandingkan tidak mengalami DM. Penderita DM akan memiliki konsentrasi CTX yang lebih tinggi.
CTX merupakan marker resorpsi tulang. OPG berperan penting dalam mengatur resorpsi tulang dengan menghambat diferensiasi osteoklas. Leptin merupakan hormon
metabolisme yang regulasinya diatur oleh insulin. Pada penderita DM konsentrasi leptin akan berkurang. Walaupun penyebab pasti kehilangan tulang pada penderita
Diabetes mellitus belum jelas sampai saat ini, namun beberapa peneliti menyatakan defisiensi insulin dapat meningkatkan resorpsi dan kehilangan tulang Alexaopoulou,
2006. Marker-marker tersebut di atas dipengaruhi oleh metabolisme tubuh. Elemen
utama mineral seperti kalsium, total glycated hemoglobinHbA1, fosfat dan magnesium berperan dalam metabolisme tubuh. Adanya stimulus dan gangguan pada
mineral tersebut akan merangsang perubahan metabolisme tubuh. Polyuria pada penderita DM dapat membuat hilangnya kalsium, fosfat dan magnesium.
Hypophosphatemia, hypomagnesium dan hypocalcemia dapat menyebabkan resistensi
Universitas Sumatera Utara
insulin. Magnesium adalah ion penting dalam kehidupan sel. Magnesium merupakan kofaktor beberapa enzim Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008.
Hubungan antara insulin dan magnesium telah diteliti sebelumnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa magnesium berperan sebagai pembawa pesan kedua
second messenger dalam aktifitas insulin. Insulin juga berperan dalam mengatur akumulasi magnesium intraseluler Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008. Pada kondisi
resistensi terhadap insulin, kandungan magnesium intraseluler akan turun. Pada Diabetes melitus, rendahnya kandungan magnesium intraseluler disebabkan oleh
peningkatan urin yang dikeluarkan, dan resistensi insulin, dan rendahnya kandungan magnesium intraseluler akan menyebabkan gangguan respons serta aktifitas insulin.
Hal inilah yang dijumpai pada penderita Diabetes melitus tipe 2 non-insulin- dependent, yaitu insulin tidak berfungsi dengan normal. Fosfat juga berperan dalam
metabolisme energi, dan defisiensi fosfat berhubungan dengan perubahan sensitifitas insulin serta toleransi glukosa Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008.
Hubungan antara DM dan osteoporosis merupakan hal yang kompleks. Riwayat DM, lamanya menderita DM dan komplikasi kronis berhubungan dengan
peningkatan terjadinya fraktur. Hubungan antara kepadatan mineral tulang dan DM telah diobservasi pada pasien DM tipe 1, di mana dijumpai peningkatan kehilangan
mineral tulang yang dihubungkan dengan lamanya menderita, kontrol glikemik yang buruk secara berkepanjangan dan dosis insulin yang tinggi, sedangkan pada pasien
DM tipe 2, hubungan di atas tidak dijumpai Rakie, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa mekanisme yang berperan pada DM tipe 1 yang berhubungan dengan osteopenia, meliputi gangguan regulasi vitamin D, hormon paratiroid PTH dan
metabolisme mineral tulang Rakie, 2006. Hormon PTH adalah hormon yang berperan penting dalam menjaga metabolime tulang. Jika hormon PTH berlebih,
maka akan mengakibatkan osteolisis. Hormon PTH juga merupakan stimulus dalam pembentukan vitamin D dan aktivitas osteoblast. Dengan kata lain, jika hormon PTH
berkurang, maka level vitamin D dan aktivitas osteoblast juga berkurang Paula, 2001.
Peningkatan resorpsi tulang dan menurunnya pembentukan tulang telah terbukti pada penderita DM tipe 1 yang tidak terkontrol dalam jangka waktu yang
lama. Namun sebaliknya, rendahnya pergantian tulang dijumpai pada penderita DM tipe 2, khususnya yang dirawat dengan insulin. Walaupun hormon seks berperan
dalam metabolisme skeletal, namun tidak dijumpai adanya hubungan dengan penderita DM Rakie, 2006.
Seino dan Ishida melaporkan beberapa hal yang berhubungan antara osteopenia dan DM, yakni:
a. Adanya peningkatan kalsium, fosfor dan magnesium pada ekskresi urin
disebabkan peningkatan intensitas glikosuria. Nair dkk. menunjukkan bahwa serum kalsium dan PTH pada penderita DM lebih rendah daripada kelompok
kontrol. b.
Metabolisme vitamin D berkurang. Frazer dkk melaporkan bahwa level 1,25OH
2
D dihydroxyvitamin, lebih rendah pada pasien DM.
Universitas Sumatera Utara
c. Defisiensi insulin dapat mengurangi aktivitas osteoblast Seino dan Ishida, 1995.
Penelitian yang dilakukan oleh Oz dkk. 2006 pada 52 pasien dengan DM tipe 2 menunjukkan bahwa pada pasien DM tipe 2 terjadi penurunan pembentukan tulang,
bukan resorpsi tulang. Oz dkk. 2006 mencatat penanda biokomia biochemical markers metabolisme tulang pada DM seperti serum osteocalcin, BAP dan CTx. Dan
ketika Oz dkk. 2006 membandingkan dengan kelompok kontrol, dijumpai perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Level serum osteocalcin dan
CTx menurun pada pasien DM pria serta level osteocalcin and BAP menurun pada pasien DM wanita.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Takizawa dkk. 2003, kehilangan mineral tulang merupakan salah satu komplikasi kronis DM tipe 2.
Ketidakseimbangan kalsium yang disebabkan ekskresi kalsium urin yang meningkat dan penurunan penyerapan kalsium oleh usus dapat terjadi dikarenakan perubahan
metabolisme vitamin D dan atau fungsi paratiroid yang menurun. Pada proses metabolisme sel tulang, pembentukan tulang oleh osteoblas ditekan oleh perubahan
metabolisme vitamin D, hipoparatiroidisme, hiperglikemia kronis dan aksi insulin yang tidak memadai. Di sisi lain, resorpsi tulang oleh osteoklas sedikit meningkat
akibat perubahan tersebut. Sistem fungsional tulang yang tidak seimbang antara osteoblas dan osteoklas pada diabetes mellitus tipe 2 dapat mengakibatkan hilangnya
kepadatan tulang Takizawa et al., 2003 Beberapa mekanisme yang berperan pada DM tipe 1dan 2 yang berhubungan
dengan osteopenia, meliputi gangguan regulasi vitamin D, hormon parathyroid PTH
Universitas Sumatera Utara
dan metabolisme mineral tulang serta keseimbangan kaslium. Hormon PTH adalah hormon yang berperan penting dalam menjaga metabolime tulang. Jika hormon PTH
berlebih, maka akan mengakibatkan osteolisis. Hormon PTH juga merupakan stimulus dalam pembentukan vitamin D dan aktivitas osteoblast. Dengan kata lain,
jika hormon PTH berkurang, maka level vitamin D dan aktivitas osteoblast juga berkurang Dobnig, 2006; Takizawa et al., 2003.
2.3 Densitas Radiografi Tulang Rahang
Salah satu indikator kualitas tulang adalah kepadatan atau densitas radiografi, yang merupakan gambaran struktur internal tulang sebagai refleksi kekuatan tulang
rahang. Walaupun keadaan ini tidak sepenuhnya sama atau menggambarkan kandungan mineral tulang, namun perubahan densitas radiografi adalah salah satu
gambaran berkurangnya kadar mineralisasi tulang. Faktor ini sangat penting bagi berbagai rencana perawatan di bidang kedokteran gigi, antara lain perawatan implan
gigi, penentuan indikasi pencabutanoperasi gigi, perkiraan penyembuhan dan lainnya
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Potongan Melintang Tulang Mandibula pada Regio
Foramen Mentalis. Lempeng Tulang Kortikal Tebal pada
Daerah Puncak dan di Bagian Dalam Tampak Tulang
Trabekula
Misch, 2005
Penelitian tentang kepadatan tulang rahang dan kualitas tulang telah diawali oleh Taguchi dkk pada tahun 1997 Taguchi et al., 1997.
Pada penelitiannya, Taguchi membandingkan pola tulang trabekula mandibula tidak bergigi pada gambar
radiografi panoramik, dengan Bone Mineral Density BMD pada Computed Tomography. Dalam penelitian tersebut, densitas radiografi tulang trabekula
diklasifikasikan menjadi 5 grade, yaitu : a
Grade 1 : Tidak tampak adanya trabekula tulang.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6. Pola Trabekula Tulang Grade 1 Taguchi, 1997
b Grade 2 : Tampak beberapa trabekula tulang yang tipis dan tak beraturan.
Gambar 7. Pola Trabekula Tulang Grade 2 Taguchi, 1997
Universitas Sumatera Utara
c Grade 3 : Trabekula tulang tampak jelas seperti pada tulang alveolar normal.
Gambar 8. Pola Trabekula Tulang Grade 3 Taguchi, 1997
d Grade 4 : Trabekula tulang yang tebal tampak menempati sebagian rongga
sumsum tulang
Gambar 9. Pola Trabekula Tulang Grade 4 Taguchi, 1997
Universitas Sumatera Utara
e Grade 5 : Tulang padat tanpa adanya gambaran trabekula tulang.
Gambar 10. Pola Trabekula Tulang Grade 5 Taguchi, 1997
Penggolongan kepadatan tulang cara Taguchi ini kemudian dikembangkan di Indonesia untuk melihat perubahan densitas radiografi berbagai kelainankondisi di
bidang kedokteran gigi, antara lain evaluasi densitas radiografi pada Rapidly Progressive Periodontitis RPP, osteoporosis, dan penderita karsinoma nasofaring
paska radioterapi Taguchi et al., 1997. Pada penelitian kualitas tulang yang dikembangkan di Indonesia, umumnya menggunakan radiografi periapikal karena
gambaran yang dihasilkan lebih geometris dibandingkan panoramik, dan daerah yang diperiksa Region of interestROI adalah pada mandibula. Mengingat besarnya
distorsi gambar pada panoramik yang tidak dapat dihindari disebabkan kedua rahang yang berbentuk lengkung diproyeksikan pada lembaran film radiografi yang datar,
maka penelitian yang memerlukan ketepatanpresisi, menggunakan radiografi
Universitas Sumatera Utara
periapikal paralel. Radiografi periapikal dengan teknik paralel akan menghasilkan gambaran dengan bentuk dan ukuran mendekati yang sebenarnya geometris, serta
reproducible atau dapat diulang dan dibandingkan, dengan posisi yang sama Van, 1992.
Gambar 11. Pembesaran Gambar pada Radiografi Panoramik Priaminarti, 2009
2.4 Pemeriksaan Radiografi Kualitas Tulang Mandibula Pada Penderita Diabetes melitus