BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara historis, konsep gender pertama kali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris, Ann Oakley, ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks berarti
perbedaan atas ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial
yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Gender adalah perbedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan melalui
interpretasi terhadap perbedaan biologis laki–laki dan perempuan. Gender tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar sosialisasi dari masa anak-
anak hingga dewasa Daulay,2007: 4. Perbedaan manusia yang diciptakan berdasarkan kategori jenis, perempuan
dan laki-laki, selalu mengundang praduga tertentu. Di dalam masyarakat yang sudah mengakar suatu pranata, pembagian kerja dan tanggung jawab dalam masyarakat
sangat erat dikaitkan dengan jenis kelamin. Pembagian kerja dan tanggung jawab ini seolah sudah terkunci mati dan tidak dapat terbuka. Akibatnya, masih banyak orang
yang tidak menyadari bahwa pembagian kerja dan tanggung jawab berdasarkan jenis kelamin ini menghasilkan ketidakadilan di berbagai bidang Murniati, 2004.
Perkembangan gagasan bahwa jumlah penduduk perlu dikontrol agar tidak menghambat gerak pembangunan menjadi alasan negara dengan penduduk padat
seperti Indonesia untuk membatasi pertumbuhan penduduk. Program dan pelayanan
Universitas Sumatera Utara
KB yang dicanangkan pemerintah lebih berorientasi untuk mengejar target daripada untuk memperhatikan kualitas pelayanannya. Berbagai program KB yang dijalankan
tidak memperhatikan dan mempertimbangkan ketimpangan gender dan hak reproduksi masyarakat, khususnya untuk kaum perempuan seperti yang data
ditunjukkan oleh SDKI2009 bahwa akseptor keluarga berencana KB suami dan istri di Indonesia ada sekitar 27 juta akseptor, 98,7 di antaranya adalah perempuan,
sementara partisipasi suami hanya sekitar 1,3. Data tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam pelaksanaan
program KB antara pria dan perempuan masih memiliki kesenjangan yang tinggi. Tetapi, masalah peledakan penduduk bukan masalah perempuan saja. Para pengambil
keputusan telah memproduksi alat kontrasepsi bagi perempuan lebih banyak macamnya daripada kontrasepsi bagi laki- laki.
Laki- laki dan perempuan sebagai warga negara mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengatasi masalah peledakan penduduk ini. Namun demikian,
melalui fungsi reproduksi, perempuan dianggap menjadi penanggung jawab dalam masalah peledakan penduduk ini. Jenis metode kontrasepsi yang diproduksi untuk
perempuan, seperti pil, kondom, suntik, IUD, spiral, susuk dan tisu KB, sedangkan alat kontrasepsi untuk pria hanya kondom dan vasektomi.
Fakta di atas menunjukkan yang selama ini terjadi adalah kecenderungan di masyarakat bahwa perempuanlah yang harus menanggung tanggung jawab untuk
menanggulangi masalah kependudukan. Tubuh dan kesehatan perempuan harus menjadi objek sasaran pengurangan jumlah penduduk.
Universitas Sumatera Utara
Paradigma baru yang berkembang saat ini menunjukkan ada beberapa pandangan dalam penerapan Keluarga Berencana, yaitu :
a. Bahwa pria dan wanita sama-sama bertanggung jawab atas pengendalian
fertilitas dan masalah kesehatan reproduksi pada umumnya. b.
Bahwa individu, pria dan wanita, harus mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri atas kesehatan reproduksinya, tidak diatur atau
dikendalikan oleh pihak-pihak lain. c.
Bahwa individu, pria dan wanita berhak atas alternatif-alternatif pilihan metode yang cocok dan dirasakan terbaik baginya dikutip dari
http:lip4.bkkbn.go.idmodforummodforumdiscuss.php?d=117 tanggal 12122011 pukul 09:02
Pada International Conference on Population and Development ICPD Kairo 1994, hak reproduksi dinyatakan sebagai berikut : “ Hak – hak reproduksi
berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi pasangan atau individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya
dan hak untuk memperoleh informasi serta cara untuk melakukan hal tersebut, dan hak untuk mencapai standard kesehatan reproduksi dan seksual yang setinggi mukin”
Mohamad dalam Hidayana,2004: 87. Dari defenisi hak reproduksi tersebut, seseorang berhak untuk membuat keputusan sendiri tentang hal yang menyangkut
kesehatan reproduksi dan seksualitasnya. Setiap individu berhak untuk mendapatkan informasi dan memilih metode kontrasepsi. Penerapan alat kontrasepsi hanya pada
perempuan saja menunjukkan adanya bias gender.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakadilan gender di dalam masyarakat terjadi secara umum, tidak hanya pada perempuan pribumi, tetapi juga pada perempuan Indonesia keturunan asing,
salah satunya keturunan Tionghoa etnis Cina. Dalam tulisan ini digunakan kata Tionghoa yang sudah lazim digunakan untuk menyebut etnis Cina yang berada di
Indonesia. Dalam budaya asli Tionghoa, kedudukan laki-laki dan perempuan merupakan
personifiksasi dari unsur “Yang” dan “Yin”, yaitu unsur – unsur yang bersifat aktif dan unsur- unsur yang bersifat pasif. Dalam hal ini “Yang” aktif dipersepsikan pada
laki-laki dan “Yin” pasif dipersepsikan pada perempuan. Personifikasi tersebut kemudian dibingkai dalam struktur sosial dengan sistem kekerabatan patrilinear
dimana keluarga sebagai lembaga dipimpin laki-laki, sehingga laki-laki memiliki kekuasaan daripada perempuan dikutip dari http:staff.undip.ac.Idtanggal
2822011pukul 10.26 WIB. Bentuk relasi gender yang mendudukan laki-laki memiliki kekuasaan daripada
perempuan menjadi hal yang menarik dalam masyarakat Tionghoa untuk menungkapakan bagaimana sebenarnya bentuk relasi gender dalam keluarga etnis
Tionghoa. Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Tanjung Morawa Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang. Pemilihan lokasi penelitian
ini dikarenakan menurut peneliti, Kelurahan Tanjung Morawa Pekan merupakan salah satu daerah yang menjadi konsentrasi tempat tinggal Etnis Tionghoa di
Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Rumusan Masalah