Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta

(1)

Disusun Oleh : INDAH ASTUTI

NIM D 0306041

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

PERSETUJUAN

Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing

Eva Agustinawati, S. Sos, M.Si NIP. 19700813 199512


(3)

PENGESAHAN

Skripsi Ini Diterima dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : Tanggal :

Panitia Penguji

1. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si

NIP.19631014 198803 2 001 (_____________________) Ketua

2. Dra. LV. Ratna Devi S, M.Si

NIP.19600414 198601 2 002 (_____________________) Sekretaris

3. Eva Agustinawati, S.Sos., M.Si

NIP.19700813 199512 2 001 (_____________________) Penguji

Disahkan Oleh:

Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dekan

Drs. H. Supriyadi, SN. SU NIP. 19530128 198103 1 001


(4)

MOTTO

Laa tahzan innallaha ma’anaa

(jangan bersedih sesungguhnya Alloh bersama kita)

This World's Largest room is Room For Self Improvement

(Ruang Terbesar di Dunia ini Adalah Ruang Untuk Perbaikan Diri)

Hindi lahat na dumating sa iyong isip ay dumating mula sa iyong bibig ay dapat na

(Filipino)

(Tidak Semua yang Muncul di Benakmu Harus Muncul dari Bibirmu)


(5)

PERSEMBAHAN

Untuk hidup yang diberikan kepadaku, Untuk setiap nafas yang terhembus, Hanya kepada Allah lah aku menyembah

Terimakasih untuk setiap do’a, harapan, air mata, dan kasih sayang yang diberikan oleh kedua orangtuaku

Bapak Ibu H.Rustiato Saptono Putro Raharjo serta adikku tersayang Dwi Astuti Adhi

DO’a dan dukungan yang tak henti-hentinya diberikan pada skripsiku datang dari orang terkasih yang selalu

setia menemaniku Muhammad Bela Iwari,

Terimaksih untuk hari-hari yang telah kita lalui bersama

Semua teman dan sahabat yang telah datang dikehidupanku


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT atas Ridho dan hidayahNya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan terselesaikannya karya skripsi yang berjudul ”Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Rosulullah Muhammad SAW yang telah meyampaikan jalan petunjuk kebenaran yang hakiki. Banyaknya perempuan yang beraktivitas di pasar tekstil tradisional, entah itu sebagai pedagang maupun pembeli menarik penulis untuk mengangkatnya dalam penulisan skripsi sebagi tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu bimbingan dan saran dari semua pihak sangat diharapkan sebagai penyempurnaan lebih lanjut.

Dengan terselesaikannya penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Drs. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Eva Agustinawati, S.Sos, M.Si selaku pembimbing yang penuh

kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. DR. Drajat Trikartono, M.Si selaku pembimbing akademis. 5. Bapak Adi Prihutomo selaku staff DPP Klewer.

6. Bapak Admanto selaku humas HPPK Pasar Klewer.

7. Semua informan yang dengan tulus memberikan informasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Keluarga besarku, Bapak, Ibu, adik dan Keluarga Papa Jamaris Bawani.


(7)

9. Muhammad Bela Iwari, terimakasih untuk dukungan yang tak henti-hentinya diberikan kepadaku.

10.Teman-teman dan sahabatku yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Surakarta, Juli 2010

Penulis Indah Astuti


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul.... ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto . ... iv

Halaman Persembahan ... v

Kata Pengantar .. ... vi

Daftar Isi .... ... viii

Daftar Tabel . ... xiii

Daftar Bagan . ... xiv

Daftar Matrik .... ... xv

Abstrak .... ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan... 7

D. Manfaat... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Rumah Tangga yang dijaga Perempuan... 11

2. Peremehan Kerja Perempuan ... 13

F. Landasan Teori ... 15

1. Teori Struktural Fungsional... 16

1.1 Struktural Fungsional Talcot Parsons... 17

1.2 Struktural Fungsional Robert K Merton... 19

2. Kerangka Analisa Harvard ... 22

2.1 Pengertian... 22

2.2 Kegunaan ... 23

G. Definisi Konseptual ... 25


(9)

1.1 Definisi Gender ... 25

1.2 Ketimpangan Gender ... 27

1.3 Kesetaraan Gender ... 30

1.4 Teknik Analisis Gender ... 31

1.5 Relasi Gender ... 32

2. Keluarga ... 33

2.1 Definisi Keluarga ... 33

2.2 Peranan Keluarga ... 35

3. Perempuan... 36

4. Pedagang ... 37

5. Pasar ... 39

H. Metode Penelitian ... 43

1. Jenis Penelitian... 43

2. Lokasi Penelitian... 44

3. Jenis Data ... 44

a. Data Primer ... 44

b. Data Sekunder ... 44

c. Teknik Pengumpulan Data... 45

d. Teknik Pengambilan Sampel ... 46

e. Validitas Data... 48

f. Teknik Analisis Data... 49

BAB II. DESKRIPSI WILAYAH A. Gambaran Umum ... 58

1. Kota Surakarta... 58

2. Pasar Klewer ... 60

2.1 Letak Geografis... 60

2.2 Kondisi Fisik Pasar ... 62

B. Sekilas Tentang Pasar Klewer ... 64

1. Perkembangan Pasar Klewer ... 64

2. Pedagang Pasar Klewer... 70


(10)

BAB III. RELASI GENDER PADA KELUARGA PEREMPUAN PEDAGANG DI PASAR KLEWER KOTA SURAKARTA

A. Hasil Penelitian... 75

1. Profil dan Karakteristik Sosial Ekonomi Perempuan Pedagang ... 75

1.1 Profil... 76

a. Profil Informan... 76

b. Profil Informan Trianggulasi Sumber ... 82

1.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Perempuan Pedagang 86 a. Pendidikan... 87

b. Lama Berdagang ... 87

c. Status Perkawinan ... 88

d. Lokasi Berdagang ... 88

e. Asal Usaha Perdagangan... 88

2. Gambaran Umum Aktivitas Perdagangan Di Pasar Klewer 92 3. Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang Di Pasar Klewer ... 93

3.1Profil Aktivitas... 93

3.1.1 Aktivitas Produksi... 93

a. Membuka dan Menutup Kios... 94

b. Membersihkan Kios ... 97

c. Pemenuhan Makan dan Minum ... 98

d. Mencari Barang Dagangan Untuk Dikulak... 99

e. Kulakan Barang Dagangan ... 101

f. Penentuan Harga ... 102

g. Membayar Keperluan Pasar ... 103

h. Aktivitas Berhubungan Dengan Perbankan ... 105

3.1.2 Aktivitas Reproduksi... 109

a. Pembuatan Peraturan... 110

b. Pemilihan Menu ... 112


(11)

d. Penyajian Makanan ... 115

e. Mengasuh/Menjaga/Memelihara Anak... 117

f. Menyapu... 118

g. Mengepel... 120

h. Membersihkan Kamar Mandi ... 121

i. Mencuci Pakaian ... 122

j. Menyetrika Pakaian... 123

k. Berbelanja Kebutuhan Harian Ke Pasar... 125

3.1.3 Kegiatan Sosial Kemasyarakatan... 128

a. Upacara Pernikahan ... 129

b. Upacara Kematian... 130

c. Arisan ... 131

d. Menjalin Hubungan Dengan DPP dan HPPK... 132

3.2Profil Akses Dan Kontrol... 134

a. Pendapatan ... 135

b. Kios ... 138

c. Barang Dagangan ... 140

d. Pegawai ... 142

e. Tabungan ... 144

f. Kendaraan Bermotor ... 145

3.3Faktor-Faktor Yang Berpengaruh ... 148

a. Pendidikan... 148

b. Kebijakan ... 150

c. Ekonomi ... 151

d. Asal Usaha ... 152

B. Pembahasan ... 154

1. Profil Aktivitas Produksi Perempuan Pedagang yang Memiliki Pegawai di Kiosnya... 154

2. Profil Aktivitas Produksi Perempuan Pedagang yang Tidak Memiliki Pegawai di Kiosnya ... 156 3. Profil Aktivitas Reproduksi Keluarga Perempuan


(12)

Pedagang yang Memiliki Pembantu Rumah Tangga ... 159

4. Profil Aktivitas Reproduksi Keluarga Perempuan Pedagang yang Tidak Memiliki Pembantu Rumah Tangga... 161

5. Profil Aktifitas Sosial Kemasyarakatan ... 162

6. Profil Akses dan Kontrol/Manfaat ... 163

7. Faktor-Faktor yang Berpengaruh ... 165

C. Analisa Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang Di Pasar Klewer Kota Surakarta ... 175

BAB IV. PENUTUP A. Kesimpulan... 181

B. Implikasi 1. Implikasi Teoritis ... 182

2. Implikasi Metodologis ... 184

3. Implikasi Empiris ... 185

C. Saran ... 187 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kerangka Analisis Harvard Profil aktivitas ... 54

Tabel 2 Kerangka Analisis Harvard Profil Akses dan Kontrol/Manfaat ... 55

Tabel 3 Kerangka Analisis Harvard Faktor-Faktor yang Berpengaruh ... 57

Tabel 4 Luas Wilayah Kota Surakarta ... 60

Tabel 5 Persebaran Kios di Pasar Klewer ... 62

Tabel 6 Jenis Pemanfaatan Kios di Pasar Klewer ... 63

Tabel 7 Sejarah Pasar Klewer (dari Zaman Pendudukan Jepang- 1986) ... 66

Tabel 8 Jenis Dagangan Pedagang Oprokan di Pasar Klewer ... 71

Tabel 9 Konsentrasi Kios Pedagang Tekstil Berdasarkan Etnis ... 71

Tabel 10 Profil Aktivitas Produksi Perempuan Pedagang yang Memiliki Pegawai di Kiosnya... 154

Tabel 11 Profil Aktivitas Produksi Perempuan Pedagang yang Tidak Memiliki Pegawai di Kiosnya ... 156

Tabel 12 Profil Aktivitas Reproduksi Keluarga Perempuan Pedagang yang Memiliki Pembantu Rumah Tangga ... 159

Tabel 13 Profil Aktivitas Reproduksi Keluarga Perempuan Pedagang yang Tidak Memiliki Pembantu Rumah Tangga ... 161

Tabel 14 Profil Aktifitas Sosial Kemasyarakatan ... 162

Tabel 15 Profil Akses dan Kontrol/Manfaat ... 163

Tabel 16 Faktor-Faktor yang Berpengaruh ... 166

Tabel 17 Pembahasan Profil Aktivitas Produksi, Reproduksi, Sosial Kemasyarakatan dan Profil Akses dan Kontrol/Manfaat... 169

Tabel 18 Kasus-kasus Khusus Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang... 173


(14)

DAFTAR BAGAN


(15)

DAFTAR MATRIKS

Matriks 1 Sampel Informan ... 48 Matrik 2 Karakteristik Perempuan Pedagang di Pasar Klewer ... 90 Matrik 3 Relasi Gender Keluarga Perempuan Pedagang... 171


(16)

ABSTRAK

Indah Astuti, D0306041. 2010. Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang Di Pasar Klewer Kota Surakarta. Skripsi : Program Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Lambat laun, angka perempuan yang bekerja di sektor publik semakin meningkat jumlahnya. Pun demikian yang terjadi dengan para perempuan pedagang di Pasar Klewer ini, perempuan-perempuan ini telah berhasil menempati sektor-sektor publik yang sebelumnya didominasi oleh para laki-laki. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiman profil aktivitas baik produksi, reproduksi maupuan sosial kemasyarakatan, bagaimana akses dan kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh pada keluarga perempuan pedagang.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Untuk teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling yaitu perempuan pedagang yang telah berkeluarga baik yang sudah memiliki anak maupun belum yang terdapat di Pasar Klewer. Sampel yang digunakan berjumlah 10 informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non partisipatif, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik analisis interaktif dan teknik analisis gender yaitu teknik analisa Harvard. Sedangkan teori yang digunakan adalah Teori Struktural Fungsional dari Talcott Parsons.

Secara ringkas dari hasil penelitian ini dapat penulis sampaikan bahwa terdapat partisipasi dalam kegiatan produksi maupun reproduksi, suami dan istri saling melakukan pembagian kerja berdasarkan konsensus yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Tetapi, meskipun terdapat partisipasi dari laki-laki/suami, tetap saja porsi perempuan baik dalam kegiatan produksi maupaun reproduksi tetaplah lebih besar. Sedangkan pada kegiatan sosial kemasyarakatan laki-laki dan perempuan mengambil porsi yang sama besar. Tetapi dalam penelitian yang ada di lapangan memunculkan isu-isu gender laki-laki, di mana terdapat faktor yang menyebabkan laki-laki ikut mengerjakan kegiatan domestik bukan karena faktor gender tetapi disebabkan oleh faktor yang lain, misalnya faktor di mana pendapatan laki-laki itu lebih rendah daripada perempuan/istrinya.

Sedangkan pada profil akses dan kontrol serta manfaat yang diperoleh, laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang sama besarnya. Di mana suami dan istri saling membagi akses dan konrol terhadap sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga mereka. Meskipun perempuan menyumbang pendapatan terbesar tidak lantas membuat para perempuan ini menguasai sumber daya yang ada, mereka tetap membaginya dengan para suami mereka. Sedangkan untuk faktor yang berpengaruh paling besar bagi perempuan pedagang adalah dari segi ekonomi. Karena hal inilah yang paling berpengaruh bagi aktivitas perdagangan mereka.

Kata Kunci : Gender, Relasi Gender, Keluarga, Perempuan, Pedagang, Pasar


(17)

ABSTRACT

Indah Astuti, D0306041. 2010. Gender Relations on the Family Women Traders in Surakarta Klewer Market. Thesis: University Degree Program Eleven March Surakarta.

Gradually, the number of women working in the public sector is increasing in number. Even though that happened with the women traders in Pasar Klewer is, these women have managed to occupy public sectors previously dominated by men. This is what lies behind this research.

The purpose of this study is to determine how well the activity profile of production, reproduction, social maupuan, how to access and control over resources and what are the factors that affect the family of women traders.

The research method used is descriptive and qualitative. For sampling technique was purposive sampling that women traders who have good family who have children or not yet included in the Pasar Klewer. The sample used was 10 informants. Data collection techniques used are non-participatory observation, interviews and documentation. The analysis technique used is the technique of interactive analysis and gender analysis techniques namely the Harvard analysis techniques. While the theory used is the Structural Functional Theory of Talcott Parsons.

In summary of the results of this research can be a writer to say that there is participation in the activities of production and reproduction, the husband and wife together make the division of labor based on the consensus that they had talked about earlier. However, despite the participation of laki-laki/suami, still a good portion of women in reproductive maupaun production activities remains larger. While in the social activities of men and women take an equal portion. But in the existing research in the field raises gender issues of men, where there are factors that cause male domestic activities do not participate because of gender but because of other factors, where factors such as income men were more lower than women / wives.

While the profile of access and control as well as the benefits gained, both men and women have an equal portion. Where husband and wife sharing and access to resources konrol owned by their families. Although women accounted for the largest revenue does not necessarily make these women control resources, they continue to share it with their husbands. While for the most influential factor for women traders are in terms of economics. Because of this the most influential for their trading activities.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pasar Klewer merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini merupakan pusat perbelanjaan kain batik terlengkap, sehingga menjadi tempat rujukan kulakan para pedagang, baik dari Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lain di pulau Jawa. Selain itu, kain batik di pasar ini juga terkenal dengan harganya yang murah jika dibandingkan dengan pusat perbelanjaan di kota-kota lain di Indonesia. Pasar yang dibangun pada tahun 1970 ini, terdiri dari dua lantai yang cukup luas.

Menurut cerita masyarakat setempat, pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kawasan ini merupakan tempat pemberhentian kereta api yang juga digunakan sebagai tempat jualan para pedagang pribumi. Karena dijadikan sebagai tempat jualan itulah kemudian terkenal dengan sebutan Pasar Slompretan. Kata slompretan diambil dari suara kereta api ketika akan berangkat yang mirip dengan tiupan terompet (slompret). Pasar Slompretan ini merupakan tempat para pedagang kecil yang menawarkan barang dagangan berupa kain batik yang ditaruh pada pundaknya sehingga tampak berkeleweran jika dilihat dari kejauhan. Dari barang dagangan (kain batik) yang berkeleweran inilah kemudian pasar ini terkenal dengan nama Pasar Klewer hingga sekarang.


(19)

Pasar klewer tumbuh menjadi salah satu icon Pusat Tekstil Nasional dengan omset penjualan mencapai miliaran rupiah setiap hari. Pasar klewer telah berkembang dari komoditas tekstil tradisional sebagai unggulan, kini telah merambah pada produk-produk unggulan tren jaman sekarang. Pasar ini menawarkan aneka ragam produk tekstil yang sangat lengkap dan murah jika dibanding dengan pasar yang serupa. Bahkan, pasar klewer sempat mengukuhkan diri sebagai pasar sandang terbesar di Asia Tenggara, khususnya batik tradisional.

Aktivitas, partisipasi dan akses perempuan pedagang di Pasar Klewer sangat tinggi. Perempuan pedagang dapat dikatakan menjadi kunci dalam mata rantai perdagangan di Pasar Klewer. Para perempuan pedagang ini telah menjadi pemain utama, sejak dari keperluan makan-minum, membersihkan kios, menjaga kios, penentuan harga, penjaga relasi, bahkan sampai pemilik kios. Jumlah pengunjugnyapun umumnya perempuan.

Aktivitas para pedagang perempuan di Pasar Klewer ini menjadi menarik, mengingat mereka juga masih memiliki aktivitas yang lain di luar pekerjaan mereka di luar rumah, yakni aktivitas mereka dalam rumah tangga baik sebagai istri bagi suaminya maupun ibu bagi anak-anaknya.

Fenomena inilah yang sekarang ini banyak muncul di hampir seluruh pasar tekstil atau konveksi di Indonesia, sebut saja Pasar Tanah Abang di Jakarta, Pasar Baru di Bandung, Pasar 16 Ilir di Palembang, Pasar Beringharjo di Yogyakarta, Pasar Johar di Semarang, Pasar Klewer sendiri di Surakarta dan pasar-pasar yang sejenis di seluruh Indonesia.


(20)

Data Kajian Studi Gender dan Sosial Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Solo menunjukkan fakta, mayoritas utama dalam aktivitas social-ekonomi di berbagai pasar tradisional di Indonesia 67 % adalah perempuan. Perempuan sebagai pedagang, penjual, dan pembeli. Dari populasi pedagang pasar tradisional, 72 % adalah perempuan.

Fakta tersebut memperlihatkan di dalam pasar tradisional perempuan memainkan peranan penting dalam aktivitas perdagangan. Perempuan mampu menyejajarkan diri dengan kaum laki-laki dalam posisi sebagai pemegang aktivitas pasar tradisional. Perempuan bahkan memiliki kemampuan lebih di dalam ruang publik sebagai penjual. Perempuan pintar menjajakan produk dagangan, melakukan self marketing untuk menarik pembeli dan cermat mengkalkulasi laba rugi dalam berdagang.

Dapat dibayangkan betapa beratnya beban ganda yang harus ditanggung oleh para pedangang perempuan di Pasar Klewer tersebut. Di rumah mereka harus menyelesaikan peran mereka sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarganya yang sudah mereka anggap sebagai sebuah kewajiban. Lebih dari itu mereka juga turut menopang perekonomian keluarga.

Normativitas pembagian peran dan posisi suami-istri dalam kehidupan berumah tangga begitu kental dianut dalam masayarakat. Terlebih pada kultur masyarakat Jawa itu sendiri. Ada pepatah lama mengatakan bahwa perempuan Jawa tidak layak mencampuri urusan lelaki. Perempuan hanya bertugas “memasak” (preparing food), “manak” (having children) dan “macak” (caring physical beauty). Walaupun perempuan Jawa memperoleh kesempatan yang


(21)

semakin luas untuk mengecap pendidikan lebih baik, pandangan tradisional tentang peran perempuan pada tugas-tugas domestik masih sangat mengakar. Di mata masyarakat Jawa yang telah mengalami proses modernisasipun indikator yang menentukan kesempurnaan seorang perempuan masih didasarkan pada keberhasilan melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan ketimbang prestasi perempuan di sektor publik. Masyarakat Jawa masih sangat memegang teguh norma bahwa suami adalah pencari nafkah utama bagi keluarga dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga, yang bertugas mengurusi pekerjaan-pekerjaan domestik dalam kehidupan berumah tangga.

Namun demikian dengan berkembangnya zaman dan beragamnya kegiatan ekonomi serta kebutuhan akan tenaga kerja telah mengubah kondisi wanita Indonesaia. Saat ini telah banyak wanita yang masuk ke dalam pasar tenaga kerja, walaupun masih sedikit wanita yang menduduki jabatan yang tinggi/ menentukan dalam perusahaan. Sebagian besar wanita hanya bekerja sebagai tenaga kasar/buruh/pekerja keluarga saja.

Dewasa ini telah banyak dijumpai perempuan yang terlibat di sektor publik. Masyarakat mulai memandang positif aktivitas perempuan di sektor publik. Karena selain merupakan manifestasi persamaan hak laki-laki dan perempuan, aktivitas perempuan di sektor publik juga dapat member keuntungan finansial bagi keluarga.

Berdasarkan hasil pengukuran GDI (Gender-related Development Index)- Indeks Pembangunan Gender tahun 2006 antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah prosentase angkatan kerja perempuan di Kota Surakarta


(22)

mencapai angka 42,94% dengan menduduki peringkat empat. Sedangkan berdasarkan capaian pengukuran GEM (Gender Empowerment Measures) tahun 2006 antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah prosentase perempuan yang ada di parlemen di Kota Solo sejumlah 5,0%, sedangkan perempuan yang bekerja profesional mencapai angka 48,11%.

Dalam suatu artikel di Suara Merdeka, edisi Senin 26 Agustus 2002 disebutkan bahwa tenaga kerja perempuan mengambil porsi 45% dari seluruh partisipasi angkatan kerja. Dalam area perdagangan perempuan mengambil porsi 50%, pada area industri tenaga kerja perempuan mengambil porsi 40% untuk kota dan 50% untuk desa, pada area pertanian perempuan mengambil porsi sebanyak 80%, sedang pada area perkreditan akses perempuan lebih sedikit yakni hanya 11%. Hal tersebut disampaikan oleh menteri perempuan pada saat itu.

Lambat laun, angka perempuan yang bekerja di sektor publik semakin meningkat jumlahnya. Pun demikian yang terjadi dengan para perempuan pedagang di Pasar Klewer ini, perempuan-perempuan ini telah berhasil menempati sektor-sektor publik yang sebelumnya didominasi oleh para laki-laki. Para perempuan ini berhasil mematahkan dominasi laki-laki yang sebelumnya meyakini nilai-nilai pemingitan. Sejak dulu tugas dan kewajiban perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga, yang harus mengalah demi kepentingan keluarga. Perempuan juga identik sebagai makhluk yang lemah dan lembut, yang mempunyai naluri keibuan untuk memberi kasih sayang dan ketentraman dalam keluarganya.


(23)

Permasalahan inilah yang ingin diangkat oleh penulis, karena kenyataan yang dialami oleh para perempuan pedagang Pasar Klewer justru berbanding terbalik dengan normativitas yang ada di masyarakat. Para perempuan hebat ini turut membantu dalam perekonomian keluarga, bahkan tidak jarang juga diantara mereka yang telah berubah peran menjadi penopang ekonomi bagi keluarga mereka.

Hal ini menjadi suatu kajian yang menarik bagi peneliti, karena berubahnya peran dan beban ganda yang dimainkan para perempuan tersebut tentu sangat berpengaruh baik sedikit maupun banyak bagi kehidupan rumah tangganya.

Lantas siapa yang mengerjakan tugas-tugas domestik yang masuk dalam kategori profil aktivitas, siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya produktif dan siapa memperoleh apa, serta siapa yang mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumber daya apa pada keluarga perempuan pedagang tersebut menjadi sesuatu yang ingin dikaji lebih dalam oleh peneliti.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dibuat untuk memfokuskan kajian dalam penelitian ini sehingga mempermudah proses pengambilan data dan pelaporan hasil penelitian. Oleh karena itu pada penelitian ini pun dibuat rumusan masalah, yaitu bagaimana relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta?


(24)

C. TUJUAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta.

D. MANFAAT

Dari hasil penelitian, diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan dan informasi tentang :

1. Manfaat Praktis

Untuk mengetahui bagaimana relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta.

2. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan serta memperluas khasanah ilmu terutama kajian-kajian sosiologis yang berhubungan dengan relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam buku Julia Cleves Mosse yang berjudul HALF THE WORLD, HALF A CHANCE An Intruduction to Gender and Development ini menjelaskan kehidupan kerja seorang perempuan Afrika di daerah Selatan. Kerja perempuan dalam reproduksi, kerja ekonomi produktif, dan menejemen komunitas disebut “tiga serangkaian peran perempuan”. Buku ini memusatkan perhatian kepada kerja reproduktif dan produktif perempuan di rumah tangga,


(25)

bagian kehidupan perempuan yang jelas “tak tampak” bagi perencana pembangunan : kerja mereka dalam mengumpulkan bahan bakar dan makanan ternak, memerah susu, memelihara hewan ternak dan menanam sayuran, dalam pekerjaan ketrampilan rumah tangga, dalam pekerjaan di rumah dan di ladang-ladang keluarga, serta tugas mereka melahirkan anak dan memikul tanggungjawab utama dalam pengurusan rumah. Arti penting kerja ini seringkali dikaburkan oleh pandangan tentang kerja reproduktif yang menempatkannya sebagai bagian “alami” biologis perempuan, dan bukan memandangnya sebagai aspek peran gender yang ditentukan secara sosial. Juga dikaburkan oleh pandangan mengenai kerja yang sinonim dengan kerja formal dalam lapangan kerja purna waktu yang memperoleh upah. Dikotomi antara kegiatan rumah tangga dan kerja ini sama sekali tidak ada bagi jutaan perempuan di selatan. Garis antara kerja reproduktif dan produktif adalah sebuah garis yang bagus, dan bila kita tidak memahami aktivitas gender yang kompleks dan “banyak segi”, kita tidak bisa menghargai bagaimana kegiatan itu dipengaruhi oleh- dan mempengaruhi- proses pembangunan. Kegagalan mengenali dan menghargai kerja produktif perempuan di dalam rumah tangga menghalangi pengakuan penuh atas kerja perempuan yang lain, khususnya dalam sektor informal, yang seringkali merupakan perluasan dari kerja produktifnya di rumah tangga.

Bagi perempuan di seluruh dunia, pekerjaan rumah tangga, apapun bentuknya, merupakan bagian penting dari peran gendernya. Peran gendernya


(26)

itu merupakan aktivitas di mana mereka, khususnya jika mereka memiliki anak, mencurahkan seluruh energi dan komitmennya.

Dalam kenyataannya, seorang istri tinggal di rumah dan pencari nafkah adalah laki-laki tidak bisa dipahami oleh sebagian besar perempuan di Selatan, karena laki-laki mereka terlalu miskin atau meninggalkan rumah tangga. Ketika negara semakin miskin, tekanan terhadap perempuan untuk mencari uang semakin intensif. Dikarenakan keterbatasan waktu dan mobilitasnya, kaum perempuan dipaksa menyiapkan dirinya memperoleh upah yang amat murah, baik dalam pertanian, pabrik atau sebagai pekerja rumah (home workers- ketika perempuan membawa pekerjaan ke dalam rumah). Pembagian kerja secara seksual mengandung makna bahwa perempuan kerap dipandang sebagai pencari nafkah sekunder dalam keluarga, sedangkan laki-laki penyedia nafkah utama, tanpa memandang faktanya apakah memang demikian. Dalam kenyataannya di negara-negara Selatan kerja yang dilakukan oleh sebagian besar perempuan miskinlah yang memungkinkan keluarga mereka tetap bertahan hidup : semakin miskin suatu keluarga, keluarga itu semakin bergantung kepada produktivitas ekonomi seorang perempuan. Sebagian besar perempuan tidak berhasil mendapatkan pekerjaan dalam sektor formal, bagian pekerjaan dalam perekonomian dengan upah, pensiun, kondisi pekerjaan yang teratur dan buruh yang terorganisir. Tanggungjawab atas anak-anaknya dan atas penyediaan pangan bagi keluarganya memaksa jutaan perempuan Selatan melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan uang tunai—pekerjaan sebagai pedagang kecil, di toko-toko yang memeras keringatnya, sebagai


(27)

pembantu rumah tangga (domestic servants), di lokasi-lokasi bangunan, sebagai kuli pembuat jalan, penyapu jalan, pelacur, dan banyak pekerjaan berupah rendah lainnya dalam sektor “informal”.

Sebagian besar perempuan di Dunia Ketiga bekerja sangat keras, tetapi ironi keadaan mereka diringkas dengan sangat bagus melalui kutipan awal bagian ini. Sejak bangun tidur perempuan disibukkan dengan pekerjaan, tetapi di penghujung hari, apakah pekerjaan mereka diperhitungkan? Bahwa pekerjaan mereka di dalam rumah tidak diperhitungkan. Hal ini tergambar melalui instruksi yang dikeluarkan berkenaan dengan sensus India tahun 1971 “…..pembantu yang bekerja sebagai tukang masak di rumah orang yang mempekerjakannya untuk mendapatkan upah, secara ekonomis dianggap aktif. Tetapi, sekalipun bekerja jauh lebih banyak dibandingkan seorang pembantu yang mendapat bayaran, seorang ibu rumah tangga yang memasak untuk keluarga atau mengurus rumah tangga tidak dipandang aktif dari sisi ekonomi…”

Pandangan seperti itu berdampak serius bagi perempuan. Pekerjaan mereka diabaikan oleh setiap orang, oleh pemerintah, suami, keluarga, perencana pembangunan maupun petugas sensus. Perempuan menderita karena laki-laki tidak menghargai kerja yang dilakukannya. Menurut definisinya, kerja yang sesungguhnya adalah apa yang dilakukan oleh laki-laki, di belakang alat bajak, di pabrik atau di kantor. Patricia Jeffrey merekam kata-kata salah seorang perempuan India, bernama Zubeida: “Memasak roti dan merebus, mengumpulkan makanan ternak dan memotong-motongnya, membuang kotoran ternak dan membuat bahan bakar dari kotoran sapi, menyapu…..Cukup! Saya bekerja sepanjang hari—Kendati demikian suamiku berkata “Apa yang kamu lakukan dengan dirimu sepanjang hari?”


(28)

Namun, bekerja di luar rumah juga dinilai rendah. Dalam sebagian besar studi mengenai gender dan kemiskinan di India, Bank Dunia menyimpulkan bahwa India menanamkan investasi jauh lebih sedikit kepada pekerja perempuan ketimbang kepada pekerja laki-laki. dan bahwa perempuan tidak memiliki akses kepada input yang diperlukannya bagi pendidikan, pelatihan dan perangkat pertumbuhan maupun perubahan lainnya. Hal ini jelas terkait dengan peran gender mereka dan pemaknaan kultural perempuan dengan “di dalam” atau rumah: “Sebaliknya, laki-laki memiliki ‘bagian luar’ di mana nafkah hidup diperoleh dan kekuasaan politik maupun ekonomi dijalankan.” Kegagalan melihat, menanamkan investasi ke dan untuk menghargai peran perempuan sebagai actor ekonomi berakibat besar atas produktivitas perempuan. Bukan hanya masyarakat atau pemerintah yang memandang rendah pekerjaan perempuan. Perempuan sendiri merasa kesulitan melihat nilai sebenarnya dari apa yang dikerjakannya.

1. Rumah Tangga yang dijaga Perempuan

Dengan menggunakan istilah “yang dijaga perempuan” (women-maintained) sebagai ganti istilah “yang dikepalai perempuan” (women headed) yang lebih lazim, dimaksudkan untuk menegaskan kenyataan bahwa, walaupun banyak perempuan memikul tanggungjawab tunggal menghidupi keluarganya, mereka jarang menerima pengakuan, hak dan kekuasaan yang sama seperti kepala keluarga laki-laki. Jumlah rumah tangga di dunia yang dijaga oleh perempuan semakin bertambah : 20%-30% di Afrika-Sub Sahara, 16% di Amerika Utara, 15% di Amerika


(29)

Selatan, 11,7% di India, tidak sukar untuk menemukan rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan muda berusia 15 atau 16 tahun, yang tiba-tiba harus bertanggungjawab atas tiga atau empat orang saudara kandung yang lebih muda. Di Asia faktor terbesar penyebabnya adalah adalah permasalahan janda, sedangkan di Afrika belahan Selatan dan Utara serta Timur Tengah migrasi lebih sering menjadi penyebabnya.

Meskipun jumlah rumah tangga yang dijaga oleh perempuan semakin banyak, inisiatif pembangunan sering mengabaikan atau mendiskriminasikan mereka. Ada contoh yang terdokumentasi dengan baik mengenai keuntungan yang ditawarkan kepada kepala rumah tangga, tetapi merugikan perempuan. Di kamp pengungsian misalnya, alat dan benih pertanian masih lebih cepat ditawarkan kepada laki-laki, untuk ditanam dan menjadi bahan makanan bagi keluarganya, daripada kepada perempuan. Dunia diatur dalam berbagai cara dengan maksud agar eksistensi rumah tangga yang dijaga perempuan tidak tampak. Pelaksana sensus di beberapa negara diperintahkan untuk menulis nama anak laki-laki tertua, sekalipun ia masih sorang bocah, sebagai ganti perempuan yang sebenarnya menjaga rumah tangga bersama-sama. Yang jelas, mitos bahwa pencari nafkah laki-laki dan perempuan sebagai ibu rumah tangga adalah pengaturan normal atau yang paling baik bagi manusia masih melekat dengan kuat, walaupun banyak sekali bukti yang memeperlihatkan kebalikannya.


(30)

2. Peremehan Kerja Perempuan

Di seluruh dunia, kerja perempuan dinilai rendah. Jika petugas sensus diinstruksikan untuk tidak memasukkan kerja rumah tangga perempuan dalam formulir sensusnya, pesannya jelas “jangan menghitung kerja perempuan karena kerja perempuan tidak diperhitungkan”. Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, diperkirakan bahwa angka GNP global akan meningkat setidak-tidaknya sepertiga. Kerja yang dilakukan perempuan kadang-kadang dilukiskan sebagai “tidak tampak” karena kerja itu tidak terekam secara statistik. Kerja perempuan lebih dipandang sebagai menghidupi ketimbang mendapatkan penghasilan. Di seluruh dunia, tetapi secara khusus bagi perempuan berpenghasilan rendah di Selatan, keberagaman tindakan keseharian inilah yang menghidupi, yang mempertahankan keberlangsungan hidup rumah tangga yang tak terhitung jumlahnya.

Sedangkan pada jurnal Adela García-Aracil yang berjudul College Major and the Gender Earnings Gap: A Multi-country Examination of

Postgraduate Labour Market Outcomes, (2008) menjelaskan bahwa :

“This paper explores the effects of degree choice on the distribution of occupational benefits in terms of income, and their contribution to the gender earnings gap, among young European higher education graduates. The results reveal that the field of study, which is the result of a personal choice, appears to influence the distribution of work-related benefits among graduates even after controlling for unobservable heterogeneity and observable individual/job specific characteristics. Analysis of the gender earnings gap shows that the earning disparities among female/male graduates in Education, Humanities and Mathematics are smaller.”


(31)

(Paper ini meneliti tentang dampak dari pilihan gelar yang didistribusikan untuk keuntungan yang berhubungan dengan jabatan/pekerjaan pada pola pendapatan, dan menyumbang pada pemisahan penerimaan pendapatan berdasarkan gender, diantara orang-orang muda Eropa lulusan sekolah tinggi. Hasilnya mengungkapkan bahwa lahan pendidikan, yang hasilnya adalah pilihan sendiri/pribadi, muncul pengaruh untuk membagi manfaat hubungan pekerjaan antara lulusan bahkan setelah memeriksa untuk mengamati heterogenitas dan mengamati individu/spesifikasi karakteristik pekerjaan. Analisis tentang perbedaan penerimaan pendapatan berdasarkan gender menunjukkan bahwa penerimaan pendapatan/gaji lain/berbeda antara perempuan/laki-laki lulusan dalam pendidikan, humanity dan secara matematika lebih kecil).

Sedangkan pada jurnal Marrie H. J. Bekker dan Marcel A. L. M. van Assen yang berjudul Autonomy-Connectedness and

Gender, (2008) menjelaskan bahwa :

“The present study aimed to examine gender differences in autonomy connectedness in a large, Dutch, representative community sample (N = 2,256). All participants completed the Autonomy-Connectedness Scale (ACS-30; Bekker and van Assen, J Pers Assess 86:51–60, 2006) with subscales self-awareness (SA), sensitivity to others (SO), and capacity to manage new situations (CMNS), and a scale measuring demographic factors. We found much higher SO in women than in men, and slightly higher scores of men on SA and CMNS. Associations between SO and socio-demographic variables related to caring for others could be completely explained by gender, while the associations between SA and CMNS with socio-economic independence variables could only partly be explained by gender. ACS-30 norm scores are presented, and clinical implications of our results are discussed.”


(32)

(Penelitian yang ada ditujukan untuk meneliti perbedaan gender pada autonomy-connectedness yang luas, di Belanda, mewakili komunitas sampel (N=2.256). Semua partisipan melengkapi Autonomy-Connectedness-Scale (ACS-30; Bekker and van Assen, J Pers Assess 86:51–60, 2006) dengan subskala kesadaran diri (SA), sensitifitas dengan yang lain (SO), dan kemampuan untuk mengatasi situasi yang baru (CMNS), dan skala faktor perhitungan demografi. Kami menemukan banyak SO pada wanita daripada laki-laki, dan penilaian yang lebih tinggi pada laki-laki dalam SA dan CMNS. Gabungan antara SO dan hubungan variable sosial demografi untuk membawa yang lain menjadi lengkap dijelaskan oleh gender, sementara gabungan antara SA dan CMNS dengan variabel sosial ekonomi bebas tidak hanya bagian yang dapat dijelaskan oleh gender. ACS-30 penilaian ukuran dipaparkan, dan dampak klinis dari hasilnya didiskusikan.)

F. LANDASAN TEORI

Dalam penelitian untuk mengkaji permasalahan tentang relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta, Peneliti menggunakan pendekatan teori sosiologi sebagai landasanya. Sehingga perlu kiranya untuk mengetahui definisi Sosiologi. Pitirin A Sorokin mendefinisikan sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang:


(33)

a. Hubungan antara pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dll)

b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan non sosial.

c. Ciri-ciri umum dari semua gejala sosial (Soerjono Soekanto, 1990:20) Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang obyeknya adalah masyarakat. Bentuk umum dari proses sosial tersebut adalah terjadinya aktivitas-aktivitas sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorangan, antar kelompuk manusia maupaun antar orang perorangan dan kelompok manusia (Soerjono Soekanto, 1990:67)

Dalam melihat permasalahan ini dilakukan pendekatan sosiologis melalui teori struktural fungsional. Dalam analisis gender sendiri diperkenalkan berbagai macam teori yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu masalah. Sedang untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta penulis menggunakan Kerangka Kerja Harvard (Harvard Framework).

1. Teori Struktural Fungsional

Robert Nisbet pernah berpendapat bahwa struktural fungsional ”tak diragukan lagi adalah satu-satunya teori paling signifikan dalam ilmu sosial pada abad ini” (dikutip dalam Turner dan Maryanski, 1979: ix).


(34)

Kingsley Davis (1959) berpendapat bahwa dalam hal maksud dan tujuan, struktural fungsional sinonim dengan sosiologi (George Ritzer, 2008:252). Dalam struktural fungsional istilah struktur dan fungsional tidak boleh digunakan secara bersamaan, meskipun pada dasarnya keduanya adalah satu kesatuan. Kita dapat mempelajari struktur-struktur masyarakat tanpa membahas fungsinya (konsekuensi-konsekuensinya) bagi struktur lain. Senada dengan itu kita dapat menelaah fungsi dari berbagai proses sosial yang mungkin saja tidak berbentuk struktural. Jadi, perhatian terhadap kedua elemen ini menjadi ciri dari struktural fungsional.

1.1 Struktural Fungsional Talcott Parsons

Struktural fungsional Talcott Parsons ini diawali dengan empat imperatif fungsional bagi sistem “tindakan” yaitu skema AGIL nya yang terkenal.

AGIL. Fungsi adalah “suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan system” (Rocher, 1975 dalam George Ritzer, 2008:257). Menggunakan definisi ini, Parsons percaya bahwa ada empat imperatif fungsional yang diperlukan (menjadi cirri) seluruh system- adaptasi A (adaptation), pencapaian tujuan G (goal attainment), integrasi I (integration) dan latensi L (latency) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama keempat imperatif fungsional tersebut disebut sebagai skema AGIL. Agar bertahan hidup system harus menjalankan keempat fungsi tersebut :


(35)

1. Adaptasi : sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungannya dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.

2. Pencapaian tujuan : sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.

3. Integrasi : sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A,G,L).

4. Latensi (pemeliharaan pola) : sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.

Parsons mendesain skema AGIL, agar dapat digunakan pada semua level sistem teoretisnya. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu yang mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yang stabil. Teori AGIL adalah sebagian teori sosial yang dipaparkan oleh Parsons mengenai struktur fungsional, diuraikan dalam bukunya The Social System, yang bertujuan untuk membuat persatuaan pada keseluruhan sistem sosial. Teori Parsons dan paradigm AGIL sebagai elemen utamanya mendominasi teori sosiologi di tahun 1950 hingga 1970 (George Ritzer, 2008:256-257).


(36)

1.2 Struktural Fungsional Robert Merton

Kalau Parsons merupakan teoretisi struktural fungsional terpenting, maka salah seorang mahasiswanya, Robert Merton, menulis sejumlah pernyataan terpenting tentang struktural fungsional dalam sosiologi (Sztompka,2000 dalam George Ritzer, 2008:268). Merton mengkritik beberapa aspek ekstrim dan kukuh dari struktural fungsional.

Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional sebagaimana dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe-Brown. Yang pertama adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini manyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat. Pandangan ini mengandung arti bahwa berbagai bagian system sosial pasti menunjukkan tingginya level integrasi. Namun, Merton berpandangan bahwa, meskipun hal ini berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks.

Fungsionalisme universal adalah postulat kedua. Jadi, dinyatakan bahwa semua bentuk dan struktur sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang kita temukan di dunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat-istiadat, gagasan, keyakinan, dan lain sebagainya, memiliki fungsi positif.


(37)

Yang ketiga adalah postulat indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa seluruh aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Tidak ada struktur dan fungsi yang dapat bekerja sebaik yang sekarang ada di dalam masyarakat. Kritik Merton, mengikuti Parsons, adalah bahwa paling tidak kita harus bersedia mengakui bahwa ada berbagai alternatif structural dan fungsional di dalam masyarakat.

Pendapat Merton adalah bahwa seluruh postulat fungsional tersebut bersandar pada pernyataan non empiris yang didasarkan pada sistem teoritis abstrak. Minimal, menjadi tanggungjawab sosiolog untuk menelaah setiap postulat tersebut secara empiris. Keyakinan Merton adalah bahwa uji empiris, bukan pernyataan teoritis, adalah sesuatu yang krusial bagi analisis fungsional. Inilah yang mendorongnya untuk mengembangkan “paradigm” analisis fungsional sebagai panduan kea rah pengintegrasian teori dengan riset.

Dari sudut pandang tersebut Merton menjelaskan bahwa analisis structural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kebudayaan. Ia menyatakan bahwa objek apa pun yang dapat dianalisa secara structural fungsional harus “merepresentasikan unsure-unsur standar (yaitu yang terpola dan berulang). Ia menyebut hal tersebut sebagai “peran sosial, pola institusional, proses sosial,


(38)

pola-pola cultural, emosi yang terpola-pola secara cultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, alat control sosial dan lain sebagainya.” (Merton, 1949/1968:104 dalam George Ritzer, 2008:268-269).

Teori struktural fungsional berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu mesyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut di dalam masyarakat.

Teori ini melihat harmoni dan stabilitas suatu masyarakat sangat ditentukan oleh efektivitas consensus nilai-nilai. System nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat. Teori ini melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan pelestarian keharmonisan daripada bentuk persaingan.

Kritik terhadap teori ini terutama dialamatkan pada kecenderungannya untuk terlalu menekankan kestabilan, konsensus individu pada nilai dan norma, integritas, keseimbangan dan memberikan mekanisme untuk melestarikan status quo. Padahal masyarakat selalu dalam keadaan berubah.(R. Megawangi, 1997:71-72). Teori ini dianggap tidak dapat menganalisis kondisi perubahan revolusioner yang tiba-tiba.


(39)

2. Kerangka Kerja Harvard (Harvard Framework)

2.1 Pengertian

Teknik ini sering disebut sebagai Gender Framework Analysis (GFA), yaitu suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen dan interelasi satu sama lain, yaitu : profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (overholt et. Al, 1986 dalam Trisakti Handayani, 2008:160).

Dalam profil aktivitas perlu dilihat interaksi antara perempuan dan proyek-proyek pembangunan, untuk mengetahui apa yang dikerjakan perempuan. Beberapa kategori kegiatan yang perlu diperhatikan adalah : produksi barang dan jasa, serta reproduksi dan perawatan sumber daya manusia. Profil akses dan kontrol didekati dengan mengidentifikasi kegiatan spesifik gender dalam produksi, reproduksi dan perawatan. Arus sumber daya dan keuntungan (manfaat) adalah konsep dasar yang perlu dikaji untuk memahami bagaimana proyek dapat mengakses dan diakses oleh perempuan, dan sejauh mana memberikan manfaat.

Sementara itu faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas, akses dan kontrol perempuan atas proyek pembangunan adalah : kondisi ekonomi secara umum (misalnya kemiskinan, inflasi, distribusi pendapatan), struktur kelembagaan (birokrasi, teknologi, skill), demografi, sosio kultural, norma-norma masyarakat dan keagamaan, pendidikan dan pelatihan, serta faktor politik ( Trisakti Handayani, 2008:160).


(40)

2.2 Kegunaan

Teknik analisis ini dirancang sebagai landasan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial. Kerangka ini sangatlah luwes (mudah diadaptasikan) dan tersusun atas tiga elemen pokok yaitu :

a. Profil aktivitas berdasarkan pada pembagian kerja gender (siapa mengerjakan apa, di dalam rumah tangga dan masya-rakat), yang memuat daftar tugas perempuan dan laki-laki (laki-laki melakukan apa?, perempuan melakukan apa?, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengelompokkan menurut umur, etnis, kelas sosial tertentu, dimana dan kapan tugas-tugas tersebut dilakukan). Aktivitas dikelompokkan menjadi tiga, yaitu produktif, reproduktif/rumah tangga, dan sosial-politik-keagamaan.

b. Profil akses (siapa yang mempunyai akses terhadap sumber daya produktif termasuk sumberdaya alam seperti tanah, hutan, peralatan, pekerja, kapital/kredit, pendidikan atau pelatihan), yang memuat daftar pertanyaan perempuan mempunyai atau bisa memperoleh sumberdaya apa? Lelaki memperoleh apa? Perempuan menikmati apa? Lelaki menikmati apa?.

c. Profil kontrol (perempuan mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumberdaya apa? Lelaki penentu sumberdaya apa? Sumberdaya di sini adalah sumberdaya yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Manfaat apa yang diperoleh dari melakukan aktivitas. Sumberdaya dapat berupa : materi (bernilai


(41)

ekonomis, politis, sosial dan waktu), akses terhadap sumberdaya dan manfaat, kontrol atas sumberdaya dan manfaat dikelompokkan menurut gender, faktor-faktor yang berpengaruh menyangkut hal-hal yang mengakibatkan pada adanya pembagian kerja, adanya profil akses dan kontrol suatu masyarakat tersebut.

Elemen-elemen khusus dari kerangka ini yang cukup bermanfaat adalah :

a. Adanya perbedaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat dalam kaitannya dengan tanggungjawab laki-laki dan perempuan.

b. Perbedaan antara akses terhadap sumberdaya dan manfaat dengan kontrol atas sumberdaya dan manfaat.

c. Adanya pandangan yang lebih luas tentang apa yang dimaksud dengan sumberdaya yaitu tidak hanya sumberdaya yang bersifat material tetapi juga yang susah diperhitungkan atau dinilai secara ekonomi seperti ketrampilan dan organisasi sosial dan yang paling penting terutama untuk para perempuan yaitu sumberdaya dan manfaat yang berupa waktu (Trisakti Handayani, 2008:161).


(42)

G. DEFINISI KONSEPTUAL

1. Gender

1.1 Definisi Gender

Istilah “gender” pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dalam ilmu sosial orang yang juga sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley (1972). Sebagaimana stoller, Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. (Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women Support Project II/ CIDA dalam Riant Nugroho, 2008:3)

Pada sumber lain, Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society menuturkan bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan cultural yang panjang. Dalam The Cultural Construction of Sexuality sebagaimana yang diuraikan oleh Caplan (1987) bahwa behavioral


(43)

differences (perbedaan perilaku) antara perempuan dan laki-laki bukanlah sekedar biologis, namun melalui proses cultural dan sosial. Dengan demikian, gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah (Mansour Fakih dalam Riant Nugroho, 2008:3).

Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mengartikan gender adalah peran-peran sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat, serta tanggungjawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan). Gender bukanlah kodrat maupun ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat (Riant Nugroho, 2008:4).

Sedangkan konsep gender lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Misalnya,


(44)

bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa (Riant Nugroho, 2008:4).

Dari berbagai definisi gender di atas maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara, ideologi, politik, hukum, dan ekonomi. Oleh karenanya, gender bukanlah kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif. Hal tersebut bisa terdapat pada laki-laki maupun pada perempuan. Sedangkan jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan (ciptaan Tuhan) yang berlaku di mana saja dan sepanjang masa yang tidak dapat berubah dan dipertukarkan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

1.2Ketimpangan Gender

Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata gender differences ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik


(45)

bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan utamanya. Secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya dapat hamil, melahirkan dan menyusui, kemudian muncul gender role (peran gender) sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak. Dengan demikian, gender role dianggap tidak menimbulkan masalah dan tidak perlu digugat. Namun, yang menjadi masalah dan perlu ditanyakan adalah struktur gender inequalities yang ditimbulkan oleh gender role dan gender differences.

Gender inequalities (ketidakadilan gender) merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan. Menurut Mansour Fakih (1999:12) dalam laporan penelitian Prahastiwi Utari (2008:7) ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam bentuk :

1.2.1 Marginalisasi

Dapat juga dikatakan sebagai proses pemiskinan ekonomi. Hal ini merupakan perlakuan diskriminatif yang dapat bersumber dari kebijakan pemerintah. Terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Kaum perempuan dalam kondisi semacam itu secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan. Misal untuk konsep kepala keluarga, hanya laki-laki yang diakui, sehingga tidak memberi ruang bagi perempuan untuk diberi


(46)

kesempatan menggunakan atau diikutkan dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

1.2.2 Subordinasi

Merupakan suatu pandangan/keyakinan yang menganggap bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama disbanding jenis kelamin lainnya. Di sini perempuan umumnya masuk dalam kategori kelompok yang dianggap tidak penting. Perempuan tersubordinat kebanyakan karena faktor-faktor konstruksi sosial. Anggapan perempuan adalah irrasional atau emosional menyebabkan mereka tidak layak menjadi pemimpin, memunculkan sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diindentikkan hanya cocok dengan pekerjaan-pekerjaan yang memang dianggap pantas hanya dilakukan oleh perempuan. Bentuk menonjol dari subordinasi ini adalah bahwa pekerjaan perempuan yang dikategorikan pekerjaan reproduksi dianggap rendah dari pekerjaan produksi yang dilakukan laki-laki.

1.2.3 Stereotipe

Adalah pelabelan atau penandaan tertentu terhadap perempuan yang berakibat kepada ketidakadilan, sehingga sering disebut sebagai pelabelan negatif. Dengan adanya pelabelan negatif ini banyak tindakan-tindakan perempuan seolah merupakan suatu kodrat yang tidak pantas atau layak dilakukan perempuan.


(47)

Misalnya, perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah, karena perempuan itu lembut maka pantasnya hanya bekerja di dalam rumah. Pelabelan seperti ini mengakibatkan keterbatasan perempuan untuk bekerja di luar rumah.

1.2.4 Violence (kekerasan)

Adalah suatu serangan terhadap fisik atau psikologis seseorang. Salah satu yang diyakini menjadi sumber dari kekerasan adalah apa yang disebut sebagai gender-related violence. Berbagai kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan gender dapat terjadi mulai dari tingkatan sosial paling rendah dalam hal ini rumah tangga, sampai pada jenjang yang lebih tinggi dalam hal ini negara dan tafsir agama.

1.2.5 Beban Pekerjaan Ganda

Karena adanya anggapan kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka semua pekerjaan domestik menjadi tanggungjawab perempuan. Perempuan karenanya menerima beban pekerjaan ganda selain bertanggungjawab pada urusan domestik, juga harus bertanggungjawab pada urusan ikut membantu mencari nafkah keluarga.

1.3Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah seperti sebuah frase (istilah) ‘suci’ yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus


(48)

bahkan hampir oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi ‘ketidaksetaraan’ yang dialami oleh para wanita. Maka istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, seperti ; subordinasi, penindasan, kekerasan dan semacamnya (R. Megawangi, 1999:19 dalam Riant Nugroho, 2008:27).

Konsep kesetaraan gender ini memenag merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan mengundang kontroversial. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah persamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian ada pula yang mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing (Riant Nugroho, 2008:27).

1.4Teknik Analisis Gender

Analisis gender merupakan proses menganalisa data dan informasi secara sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan, fungsi dan peran


(49)

serta tanggungjawab laki-laki dan perempuan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Analisis gender ini secara rinci ingin 1) mengetahui latar belakang terjadinya kesenjangan gender, 2) mengidentifikasi kesenjangan gender, peran, akses, control dan manfaat, 3) menghimpun masalah-masalah kesenjangan gender dan upaya pemecahannya, dan 4) mengidentifikasi langkah-langkah intervensi yang diperlukan (Prahastiwi Utari, 2008:14-15)

1.5Relasi Gender

Dalam Kamus Lengkap pemikiran Sosial Modern relasi gender diartikan sebagai relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender dibedakan dari relasi biologis antara jenis kelamin, sebab relasi gender adalah relasi yang dikonstruksi secara sosial. Sifat dari relasi gender adalah bervariasi dari waktu ke waktu dan tempat, berubah-ubah dari waktu ke waktu dan menunjukkan keragaman menurut kultur dan lokasi sosial. Penjelasan tentang pola relasi gender juga bervariasi dalam hal prioritas domain yang berbeda dan level abstraksi yang berbeda (Walby, 1990 dalam Outhwaite (ed), 2008).

Gender dikonstruksi dan diekspresikan dalam banyak institusi sosial, ini mencakup kultur, ideologi, dan praktik diskursif. Gender adalah bagian dari pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di rumah, terutama antara suami dan istri.


(50)

Relasi gender mengambil bentuk yang berbeda-beda di negara yang berbeda, dalam kelompok etnis yang berbeda, kelas sosial yang berbeda dan generasi yang berbeda. Meskipun demikian semuanya memiliki kesamaan dalam membedakan antara laki-laki dan perempuan, meski ada variasi sosial dalam sifat dari perbedaan tersebut (Outhwaite (ed), 2008).

Dalam buku Dr.Riant Nugroho dikatakan bahwa relasi gender mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumberdaya dan tanggungjawab, manfaat, hak-hak, kekuasaan dan previlese penggunaan relasi gender sebagai suatu kategori analisis tidak lagi berfokus pada perempuan yang dilihat terisolasi dari laki-laki (Riant Nugroho, 2008:238).

Pada penelitian ini dimaksudkan untuk melihat relasi yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta. Bagaimana pembagian sumberdaya dan tanggungjawab, manfaat, hak-hak, kekuasaan antara perempuan baik anak maupun dewasa, dan laki-laki baik anak maupun dewasa.

2. Keluarga

2.1Definisi Keluarga

Menurut Tirtaraharja dalam Asih Wiyati (2000:25) :

“Keluarga adalah kelompok primer yang terdiri atas sejumlah orang, karena hubungan semenda dan sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak”.


(51)

Pendapat yang agak berbeda dengan pendapat di atas dikemukakan oleh Thio (1989:316 dalam Asih Wiyati, 2000:25), bahwa :

“the family a group of related individuals wo live together and cooperate as a unit”.

Jadi keluarga merupakan suatu kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan bekerjasama di dalam satu unit. Kehidupan dalam kelompok tersebut bukan secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan darah atau perkawinan.

Senada dengan pendapat tersebut terdapat pula pendapat yang mengemukakan bahwa :

“Keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan, atau adopsi” (Vembriarto, 1993:33).

Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh Pujo Suwarno (1994:11), yang mengemukakan bahwa :

“Keluarga merupakan suatu persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak sendirian atau dengan anak-anaknya baik anak-anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga” .

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu persekutuan hidup yang diikat oleh perkawinan, hubungan darah atau adopsi. Di dalamnya terdapat ayah, ibu, dan beberapa anak (keluarga inti) serta kakek-nenek atau keluarga yang lain (keluarga diperluas).


(52)

Pada penelitian ini keluarga pedagang perempuan yang ada di Pasar Klewer Kota Surakartalah yang akan menjadi fokus penelitian. Baik keluarga pedagang yang termasuk dalam keluarga inti (yang terdiri dari ayah, ibu dan beberapa anak) maupun keluarga pedagang yang termasuk dalam keluarga diperluas (dengan beberapa saudara lainnya).

2.2Peranan Keluarga

Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berbagai peranan yang ada dalam keluarga adalah sebagai berikut :

1. Peran ayah:

Adalah sebagai suami dari istri, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman. Sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

2. Peran ibu:

Sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya, ibu mempunyai peran untuk mengurusi rumah tangganya, senbagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu


(53)

kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya.

3. Peran anak:

Anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat perkembangan. Baik fisik, sosial dan spiritualnya (Willian J Goode, 1985)

3. Perempuan

Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Sedangkan wanita adalah perempuan yang berusia dewasa.

Menurut Arief Budiman (1982:1) secara badaniah perempuan berbeda dengan laki-laki. Alat kelamin perempuan berbeda dengan alat kelamin laki-laki. Perempuan punya buah dada yang lebih besar, suara perempuan jauh lebih halus, dan perempuan melahirkan anak.

Secara psikologis perempuan juga berbeda dengan laki-laki. Laki-laki lebih rasional, lebih aktif dan lebih agresif. Sedangkan perempuan sebaliknya, perempuan lebih emosional, lebih pasif dan lebih submisif.

Karena itu, banyak orang yang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Tugas ini adalah tugas yang diberikan oleh alam kepada mereka : melahirkan dan membesarkan


(54)

anak-anak di dalam lingkungan rumah tangga, serta memasak dan member perhatian kepada suaminya, supaya sebuah rumah tangga yang tentram dan sejahtera dapat diciptakan (Arif Budiman, 1982:1).

4. Pedagang

Pasar tempat jalinan hubungan antara pembeli dan penjual serta produsen yang turut serta dalam pertukaran. Mereka melakukan transaksi tukar-menukar, baik pada suatu tempat maupun pada suatu keadaan yang lain. Dalam ilmu ekonomi pasar itu lazim dibagi menjadi dua golongan : (1) Pasar yang nyata, yakni tempat para penjual dan pembeli berkumpul untuk berjual beli akan barang-barangnya (2) Pasar nirkala, yang abstrak. Barang diperdagangkan tidak sampai di pasar. Jual beli berlaku langsung atau hanya menurut contoh barang (Dien Majid,1988 dalam LV Ratna Devi S, 2008:22-24). Dalam penelitian ini berfokus pada pasar nyata, maka penjual/pedagang pasar menjadi elemen penting yang menentukan gerak pasar.

Menurut Damsar (1997) pedagang adalah orang atau institusi yang memperjual belikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Pedagang dibedakan menurut jalur distribusi yang dilakukakn, yaitu :

a. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu.


(55)

b. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual ke pedagang lain. c. Pedagang eceran yaitu pedagang yang menjual produk langsung

kepada konsumen.

Menurut Geertz (1963), Mai dan Buchholt (oleh Damsar, 1997) disimpulkan bahwa pedagang dibagi atas :

a. Pedagang professional yaitu pedagang yang menganggap aktivitas perdagangan merupakan pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber utama dan satu-satunya bagi ekonomi keluarga. Pedagang professional mungkin saja ia adalah pedagang distributor, pedagang partai besar, atau pedagang eceran.

b. Pedagang semi professional adalah pedagang yang mengakui aktivitasnya untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga. c. Pedagang subsistensi merupakan pedagang yang menjual produk atau

barang dari hasil aktivitas atau subsistensi untuk memenuhi ekonomi rumah tangga. Hasil dari penjualan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan subsistensi.

d. Pedagang semu adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan karena hobi atau untuk mendapatkan suasana baru atau untuk mengisi waktu luang.

Geertz (1973) juga menyatakan bahwa peranan pedagang dalam suatu pekerjaan bersifat non amatir, memerlukan kecakapan teknis dan


(56)

membutuhkan segenap waktu. Adapun hubungan antara pedagang itu bersifat spesifik : ikatan-ikatan komersial itu sama sekali dipisahkan dari ikatan-ikatan social persahabatan, ketetanggaan, bahkan kekerabatan. Menurut Jenifer Alexander dalam pasar tradisional dikenal dengan juragan dan bakul. Juragan adalah pedagang besar dan bakul adalah pedagang kecil (Hefner, 2000: 292 dalam LV Ratna Devi S, 2008:22-24).

5. Pasar

Dalam KBBI, pasar berarti tempat orang berjual – beli. Dengan kata lain, pasar merupakan organisasi dimana para penjual dan pembeli dapat saling berhubungan dengan mudah. Selanjutnya oleh Pemerintah Daerah, pasar adalah tempat untuk berjual beli bagi umum dan tempat berkumpulnya para pedagang mendasarkan dan menjual dagangannya baik dengan atau tidak dengan melakukan usaha kerajinandan pertukangan kecil (Perda No 5, Tahun 1983 tentang Pasar, huruf e). tetapi secara sosiologis, pasar menunjuk pada suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan yang bersifat indigenous market trade sebagaimana telah dipraktekkan sejak lama (mentradisi), serta bercirikan bazaar economic type. Pasar adalah suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, maka perdagangan bagi seorang pedagang merupakan latar belakang yang permanen, dimana hampir segala kegiatannya dilakukannya. Pasar adalah lingkungannya, yang merupakan gejala alami dan gejala kebudayaan dan keseluruhan pola dari kegiatan pengelolaan dan penjajaan secara


(57)

kecil-kecilan yang menjadi ciri masyarakat pada umumnya.gejala perdagangan pasar ini meresap ke seluruh kawasan.

Untuk memahami pasar dalam arti yang luas, maka harus dilihat dari sudut pandang :

a. Sebagai arus barang dan jasa menurut pola tertentu.

b. Sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa.

c. Sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu tertanam (Geertz, 1973 dalam LV Ratna Devi S, 2008:24-27).

Menurut Jennifer Alexander (dalam Hefner, 2000) pasar sebagai suatu sistem tukar menukar barang. Masalah yang menonjol dari perspektif ini menyangkut hubungan penyebaran pasar yang longgar (spasial) dan fungsi-fungsi ekonominya. Selain itu pasar juga adalah suatu sistem sosial, dan penekanannya pada penggambaran tipe-tipe pedagang, karier mereka dan lembaga-lembaga sosial yang menyalurkan mereka ke jaringan rumit hubungan-hubungan sosial. Dia juga mengatakan bahwa pasar sebagai suatu aliran informasi yang terstruktur berdasarkan budaya dan meneliti cara-cara yang membuat para pedagang menghidupi diri mereka dengan memperoleh informasi dan menyembunyikannya dari yang lain. Perspektif ini memusatkan pada proses-proses pembelian dan penjualan melalui suatu analisis praktik perdagangan yang berjajar dari “lokalisasi” para penjual barang dagangan yang sama disuatu tempat dan kemitraan dagang yang stabil yang telah lazim hingga ke pemanfaatan


(58)

tawar-menawar sebagai suatu mekanisme penentuan harga (LV Ratna Devi S, 2008:24-27).

Pasar yang selama ini kita kenal sebagai suatu tempat bertransaksi telah mengalami perubahan karakter yang begitu mendasar. Awalnya aktivitas di dalamnya sangat sederhana, hanya melibatkan tiga unsur, yaitu : penjual, pembeli dan kebutuhan. Hal ini juga dikatakan oleh Adhi Moersid (1995 dalam LV Ratna Devi S, 2008:24-27), pada dasarnya, kegiatan pasar awalnya adalah jual beli barang, dan jasa di antara para petani yang membawa hasil buminya, para produsen/pedagang eceran barang-barang kebutuhan sehari-hari, dan penduduk lingkungan setempat. Kegiatan pertukaran barang dan jasa, dengan tutur sapa yang akrab, tawar menawar, pemilihan tempat dan suasananya yang telah menjadi suatu tradisi tersendiri, sehingga pasar seperti ini bisa disebut sebagai pasar tradisonal.

Menurut Geertz (1973 dalam LV Ratna Devi S, 2008:24-27), ekonomi pasar adalah tradisional dalam arti bahwa berfungsinya diatur oleh adat kebiasaan dagang yang dianggap keramat karena terus-menerus dipergunakan selama berabad-abad, tetapi tidak dalam pengertian bahwa ekonomi pasar ini menggambarkan suatu system dimana tingkah laku ekonomis tidak dibedakan secukupnya dari macam-macam tingkah laku sosial lain.

Selain pendapat Geertz di atas, pasar tradisional juga menunjukkan suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan yang bersifat indigenous


(59)

market trade sebagaimana telah dipraktekkan sejak lama (mentradisi). Pasar tradisional berbeda dari yang modern dari banyak hal. Lokasinya lebih tersebar di barbagai ragam wilayah, dari kota-kota besar sampai desa-desa pelosok. Menurut Geertz, pasar tradisional lebih bercirikan bazaar type economic skala kecil. Karenanya pasar tradisional secara langsung melibatkan lebih benyak pedagang yang saling berkompetisi satu sama lain di tempat tersebut. Juga pasar ini menarik pengunjung yang lebih beragam dari berbagai wilayah. Tak kalah pentingnya adalah pasar tradisional terbukti cukup memberikan kesempatan yang luas bagi sector informal untuk terlibat di dalamnya. (Geertz, 1973 dalam LV Ratna Devi S, 2008:24-27).

Pasar tradisional sendiri sebenarnya sangatlah beragam jenisnya. Dalam pertumbuhannya yang telah berlangsung sekian lama, masing-masing memantapkan peran, fungsi serta bentuknya sendiri-sendiri. Bila umumnya mereka berfungsi sebagai pasar pengecer, di kota-kota kabupaten dan market town beberapa pasar berkembang menjadi pasar pengumpul, sementara di kota-kota besar menjadi grosir. Beberapa pasar juga ada yang mengkhususkan komoditi tertentu, seperti ternak/hewan, kain/tekstil, beras, buah, dan lain-lain. Disamping itu, banyak pasar yang karena nilai strategisnya, diambil alih pengelolanya oleh pemda dari komunitas setempat (desa). Kesemua itu membuat setiap pasar menjadi unik dan berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal waktu perdagangan, dikenal adanya pasar harian dan periodik, baik pasaran maupun putaran


(60)

lima kali kalender jawa maupun mingguan. Hal ini sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat setempat akan komoditas pasar yang tidak selalu harus dipenuhi setiap hari. Sedangkan pasar perkotaan umumnya buka setiap hari, karena tingkat kebutuhan di daerah itu sudah cukup tinggi. Jam bukapun tidak hanya pagi namun sampai siang dan sore hari (LV Ratna Devi S, 2008:24-27).

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu untuk mengetahui bagaimana relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta. Penggunaan jenis penelitian kualitatif karena jenis penelitian ini mampu mengungkap berbagai informasi kualitatif yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah atau frekuensi dalam bentuk angka. Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi “Proses” daripada “Hasil”. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses (Moleong, 1998:6-8).

Sedang deskriptif kualitatif sendiri dilakukan dengan mendiskripsikan suatu gejala yang menggunakan ukuran perasaan sebagai dasar penilaian. (Y. Slamet, 2006:7-8)


(1)

cli

cerita. Langkah yang terakhir adalah menarik suatu kesimpulan dari hasil penelitian tersebut. Untuk menguji validitas data peneliti menggunakan trianggulasi sumber, di mana peneliti mengkroscekkan data hasil wawancara dengan anggota keluarga para perempuan pedagang tersebut.

Namun, dalam implementasinya penggunaan metode ini tetap memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari metode ini adalah secara umum mampu mnegungkapkan realitas secara mendalam dan kebenaran dalam penelitian kualitatif merupakan hasil dari persetujuan bersama, sehingga sesuai dengan situasi yang ada. Sedangkan, kekurangan dari metode ini adalah hanya terfokus pada data kualitatif dan tidak dapat menerangkan nilai-nilai statistik yang ada.

3. Implikasi Empiris

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti mendapat berbagai macam gambaran tentang relasi gender yang terjadi pada setiap keluarga perempuan pedagang. Setiap keluarga memiliki ciri dan karakter masing-masing. Setiap keluarga memiliki kebijakan yang berbeda-beda untuk menentukan pembagian kerja baik di lingkungan tempat mereka bekerja maupun kehidupan keluarga mereka.

Tetapi yang perlu menjadi catatan lagi-lagi, meskipun pembagian kerja di dalam keluarga perempuan pedagang tersebut ada dan dilaksanakan oleh setiap anggota keluarganya, tetapi perempuan (istri) di sini tetap mengambil porsi yang lebih besar dibandingkan lakip-laki (suami) dan anggota keluarga yang lain. Para perempuan ini memikul


(2)

clii

beban ganda di mana secara tidak langsung mereka telah memainkan dua peran sekaligus, yakni sebagai pencari nafkah dan juga aktor kegiatan kerumahtanggaan (domestik).

Selain diungkapnya informasi kualitatif tentang relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang, peneliti juga memperoleh informasi tentang adanya relasi gender yang bermasalah yang peneliti sebut sebagai kasus-kasus khusus yang terjadi pada para keluarga perempuan pedagang. Dan hal ini telah diuraikan pada kesimpulan di atas.


(3)

cliii C. SARAN

Sebagai penutup dalam penelitian tentang relasi gender pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Klewer Kota Surakarta diperlukan saran untuk melengkapi penelitian ini. Saran yang dapat penulis berikan diantaranya sebagai berikut :

1. Kepada pihak pengelola pasar serta dinas terkait hendaknya membuat kebijakan untuk menyediakan perhimpunan bagi para perempuan pedagang sebagai wadah untuk aktualisasi diri para perempuan tersebut. 2. Kepada penelitian selanjutnya akan lebih baik jika menggunakan teori

konflik. Sehingga dengan digunakannya teori tersebut dapat menggali lebih dalam lagi tentang adanya konflik pada keluarga perempuan pedagang terkait dengan relasi gendernya.


(4)

cliv

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia. Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Devi S, LV Ratna. 2008. Pedagang Tekstil Pasar Klewer. Karanganyar : Lindu Pustaka.

Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Goode, William J. 1985. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT. Bina Aksara.

Handayani, Trisakti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Megawangi, R. 1999. Membiarkan Bebeda? : Sudut Pandang Baru tentang Relasi gender. Bandung: Mizan.

Moleong, Lexy J, M.A. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. 2009. Kebijakan Politik Pro Gender. Surakarta: UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press).

Outhwaite, William. 2008. Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern Jilid ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Oxfam untuk Gender Learning Team. 1995. Pisau Bedah Gender.

Pujosuwarno, Sayekti. 1994. Bimbingan Konseling Keluarga. Yogyakarta: Menara Mas Offset.

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.


(5)

clv

Singarimbun, Masri dan Sofian, Efendi (editor). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Slamet, Yulius. 2002. Metode Penelitian Sosial. Solo: LPP UNS dan UPT Penerbitan dan Pecetakan UNS (UNS Press).

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Sutopo, Heribertus. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Pusat

Penelitian UNS.

Vembriarto, ST. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia.

Laporan Penelitian:

Utari, Prahastiwi. 2008. Laporan Penelitian: Penggunaan Teori dan Analisis Gender Dalam Skripsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Tahun 2002-2007. Surakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

Skripsi:

Wiyati, Asih. 2000. Dinamika Migrasi TKI ke Luar Negri dari Kabupaten Cilacap Tahun 1996-2000. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Data Internet :

http://www.suaramerdeka.com (Di akses pada tanggal 15 Februari 2010)


(6)

clvi

“Adela García-Aracil Report : College Major and the Gender Earnings Gap: A Multi-country Examination of Postgraduate Labour Market Outcomes, Research in Higher Education, Vol. 49, No. 8, December 2008”

http://www.spingerlink.com (Diakses pada tanggal 1 Juli 2010)

“Marrie H. J. Bekker and Marcel A. L. M. van Assen Report : Autonomy-Connectedness and Gender, Journal of Sex Roles, Vol. 59, No. 7-8, October 2008”

http://www.spingerlink.com (Diakses pada tanggal 3 Juli 2010)