Hak Reproduksi Perempuan Pola Relasi Gender dan Hak Reproduksi Perempuan Pada Keluarga Dalam Melaksanakan Program KB

sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Dalam rumah tangga, suami adalah pihak yang mendominasi. Suami merupakan pemimpin atas istri dan anak-anak, namun rupanya kekuasaan ini tidak selalu dimanfaatkan dengan benar. Demi mempertahankan kekuasaannya, suami dapat melakukanm intimidasi terhadap istri. Lewat konflik - konflik kecil suami dapat menjalankan aksi kekerasan terhadap istrinya hanya demi menunjukkan kepada istri bahwa sang suamilah yang berkuasa dikutip dari http:sofyansjaf.ipb.ac.id20100609memahami-akar-dan-ragam- teorikonflik pada tanggal 1632011 pukul 09.58 WIB. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori konflik digunakan untuk melihat bagaimana bentuk relasi kekuasaan antara suami dan istri Etnis Tionghoa dalam pemenuhan hak reproduksi perempuan Etnis Tionghoa dalam ber-KB. Peran gender yang didasari oleh konstruksi sosial serta nilai dan norma ini sering kali menyebabkan perempuan kehilangan hak reproduksinya dalam ber-KB. Corak hubungan antara penguasa laki-laki dan yang dikuasai perempuan telah menyebabkan perempuan memiliki kesempatan terbatas dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran anak, dan menolak pemakaian alat kontarsepsi yang tidak nyaman serta keterbatasan untuk mencapai kesehatan seksual dan reproduksi yang setinggi mungkin.

2.2. Hak Reproduksi Perempuan

Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang ada. Universitas Sumatera Utara Untuk pertama kalinya, perjanjian internasional mengenai kependudukan memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral. Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dapat diwujudkan sampai tahun 2015. Tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan, pelaksana-pelaksana program serta para advokator adalah mengajak pemerintah, lembaga donor dan kelompok-kelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya untuk menjamin bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut di Kairo secara penuh dapat diterapkan di masing-masing negara. Pada International Conference on Population and Development ICPD Kairo 1994 tersebut, hak reproduksi dinyatakan sebagai berikut : “ Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi pasangan atau individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya dan hak untuk memperoleh informasi serta cara untuk melakukan hal tersebut, dan hak untuk mencapai standard kesehatan reproduksi dan seksual yang setinggi mungkin” Mohamad dalam Hidayana,2004. Namun, defenisi yang dikemukakan dalam konferensi Kairo itu masih sangat abstrak dan sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, menurut Correa dan Pettchesky , untuk menganalisa hak-hak reproduksi dan seksual seseorang, terutama kaum perempuan, ada 4 empat prisnsip etika yang harus diperhatikan yaitu : a. Integritas Tubuh Seseorang berhak untuk mendapatkan akses terhadap keamanan dan kontrol pada tubuhnya yang didasarkan pada kebebasan reproduksi dan Universitas Sumatera Utara seksualnya. Hal ini tidak berarti bahwa tubuh seseorang merupakan sesuatu yang terpisah dari jaringan sosial dan komunitasnya, tetapi tubuh diartikan sebagai bagian yang integral dari kehidupan seseorang di mana kesehatan adalah syarat utama untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. b. Personhood Seseorang berhak untuk membuat keputusan sendiri tentang hal – hal yang menyangkut kesehatan reproduksi dan seksualitasnya. Penerapan program dan kebijakan yang menyangkut kesehatan reproduksi dan seksual, seperti KB, yang lebih banyak diperuntukkan bagi kaum perempuan, dalam prinsip ini harus memperlakukan perempuan sebagai subjek utama, bukan objek. c. Kesetaraan Prinsip kesetaraan menyangkut hak reproduksi dan seksual dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki gender maupun hubungan antar perempuan yang dipengaruhi oleh perbedaan kelas, usia, kebangsaan, atau etnis. d. Pembedaan Berbeda dengan prinsip kesetaraan, prinsip pembedaan justru mempertimbangkan perbedaan di antara sesama perempuan dalam hal nilai, budaya, agama, orientasi seksual, kondisi keluarga, kondisi kesehatan, dan lain – lain. Selain memperjuangkan penerapan hak reproduksi secara universal, juga harus diingat bahwa kemungkinan hak- Universitas Sumatera Utara hak tersebut mempunyai makna yang berbeda atau prioritas yang berbeda pada konteks sosial dan budaya yag berbeda. Maka program – program kesehatan reroduksi tidak bisa diterapkan secara sragam di semua tempat. Dengan kata lain, secara makro program – program kesehatan reproduksi harus bisa melihat dan mempertimbangkan kondisi perbedaan nilai, budaya dan agama dari suatu masyarakat. Sedangkan secara mikro harus bisa mempertimbangkan kondisi kesehatan, dalam hal ini perempuan, yang berbeda pada masing -masing individu Correa dan Petchesky dalam Hidayana,2004. Saat ini isu kedudukan dan posisi sosial dalam masyarakat masih menomorsatukan kepentingan dan persfektif pria. Keharusan untuk menggunakan kontrasepsi masih ditangan wanita, pengasuhan anak yang menjadi tanggung jawab pihak wanita. Adanya marjinalisasi kepentingan wanita, dan tidak kekerasan terhadap wanita. Untuk itulah perlu kebijakan kependudukan yang sungguh-sungguh bertujuan untuk tercapainya kondisi reproduksi sehat bagi pria dan wanita sebagai subjek. bukan kebijakan yang mengejar target kuantitatif untuk pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Upaya memberikan perhatian kepada masalah hak asasi manusia termasuk pula didalamnya hak reproduksi wanita, sangat perlu mensosialisasikan pandangan social entitlement yaitu bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memastikan dihapuskannya diskriminasi terhadap wanita. Universitas Sumatera Utara

2.3. Etnis Tionghoa