28
4.2.2. Kadar Sineol
Sineol merupakan konstituen utama minyak kayu putih 40 – 60, dirakterisasi dengan cara mengoksidasi fraksi yang mengandung sineol tersebut dengan asam sineolat
C
10
H
16
O
5
, dengan titik cair 196
o
– 197
o
C. Guenther 1987. Kecepatan penguapan minyak dalam proses hidrodestilasi bahan tidak dipengaruhi oleh sifat mudah
menguapnya komponen-komponen minyak atau dengan kata lain perbedaan titik didih komponen, melainkan lebih banyak oleh derajat kelarutannya dalam air, tahapan
penguapan persenyawaan dalam minyak atsiri berlangsung menurut derajat kelarutannya di dalam air, bukan menurut titik didihnya Guenther 1987.
Nilai rata-rata kadar sineol dalam minyak kayu putih ini antara 40 – 60. Minyak kayu putih yang dihasilkan memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI 06-
3954-2006 dan juga masuk ke dalam standar EOA yang mensyaratkan kadar sineol memiliki nilai berkisar antara 50-65, kecuali pada kerapatan daun 0,35 grcm
3
dengan varietas kuncup putih maupun merah. Pada kerapatan daun tersebut kadar sineol yang
diperoleh tidak memenuhi standar SNI maupun standar EOA. Nilai terendah diperoleh dari kerapatan daun 0,35 grcm
3
dengan varietas daun berkuncup merah, sedangkan nilai kadar sineol tertinggi diperoleh dari kerapatan daun 0,17 grcm
3
dengan kuncup putih. Grafik hubungan antara varietas daun dan kerapatan daun dalam ketel dengan kadar
sineol dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 . Grafik Hasil Uji Kadar Sineol
29 Kadar sineol yang dihasilkan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya
kerapatan daun dalam ketel yang dimasukkan. Hal tersebut dikarenakan oleh terlalu padatnya kerapatan di dalam ketel yang mengakibatkan komponen kimia tersebut belum
terisolasi secara keseluruhan atau dengan kata lain masih ada beberapa komponen kimia yang masih terperangkap dalam sel-sel jaringan daun tersebut. Selain itu, uap jenuh yang
membawa komponen kimia terhalang oleh tumpukan daun, uap jenuh itu kembali lagi sehingga komponen kimia bersentuhan dengan air dan merusak komponen kimia yang
terdapat dalam minyak menjadi etanol dan asam Guenther 1990. Oleh karena itu, sineol sebagian besar tersuling pada kerapatan daun yang rendah yaitu pada kerapatan daun 0,17
grcm
3
. Karena pada kerapatan daun 0,17 grcm
3
, dalam ketel terdapat rongga yang cukup besar sehingga memudahkan komponen kimia termasuk sineol untuk keluar. Sedangkan
pada kerapatan daun yang relatif padat yaitu sebesar 0,35 grcm
3
, sehingga komponen kimia kesulitan untuk mencari celah untuk keluar, uap panas yang membawa air kembali
lagi karena terhalang oleh tumpukan daun yang terlalu padat, dan menyebabkan minyak kayu putih yang dihasilkan masih sedikit dan kadar sineol yang dikandungnya masih
rendah, oleh karena itu dibutuhkan pengaturan dalam kerapatan daun dalam ketel agar kadar sineol yang dihasilkan tinggi.
Selama penyulingan, fraksi minyak kayu putih dalam destilat makin lama makin kecil, sehingga pada akhirnya hanya air yang tersuling. Meskipun demikian dalam ampas
masih tertinggal sejumlah minyak, terutama minyak yang memiliki titik didih tinggi. Hal tersebut yang terjadi pada kerapatan yang terlalu padat, kerapatan daun yang terlalu padat
akan menghasilkan kadar sineol yang rendah dan juga menghasilkan kualitas minyak yang rendah. Karena dalam kerapatan yang terlalu tinggi akan menyulitkan arus uap,
sehingga daun menjadi basah, dan terjadi proses hidrolisa yang menurunkan kualitas minyak Sumardiwangsa 1976. Oleh karena itu, kadar sineol pada kerapatan daun 0,35
grcm
3
tidak memenuhi standar SNI karena kerapatan daun yang terlalu padat sehingga kualitas minyak yang dihasilkan menurun.
30
Tabel 6 . Kadar Sineol
Kadar Sineol Minyak Kayu Putih Varietas Daun
Kerapatan grcm
3
Putih Merah
0,17 60
56 0,26
54 50
0,35 46
40 Kadar sineol yang dihasilkan berdasarkan varietas daunnya dapat dilihat pada
Tabel 6 bahwa rata-rata kadar sineol tertinggi berada pada varietas daun berkuncup putih dibandingkan dengan varietas daun berkuncup merah. Dengan kerapatan daun 0,17
grcm
3
kadar sineol yang dihasilkan pada kuncup putih dan merah adalah sebesar 60 dan 56, yang berarti pada varietas daun berkuncup putih dan merah pada kerapatan
daun 0,17 grcm
3
, memiliki perbedaan sebesar 4. Sedangkan pada kerapatan daun 0,26 grcm
3
pada kuncup putih dan merah menghasilkan kadar sineol sebesar 54 dan 50, dapat dihitung bahwa kuncup putih dan merah memiliki perbedaan sebesar 4, dan
dengan kerapatan daun 0,35 grcm
3
pada masing-masing varietas kuncup putih dan merah memiliki kadar sineol sebesar 46 dan 40, memiliki perbedaan sebesar 6.
Dalam penelitian ini hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam setiap pemasakan varietas kuncup putih memiliki kadar sineol yang lebih besar dibandingkan
dengan kuncup merah. Hal itu diduga karena tanaman yang berkuncup putih adalah varietas Buru dengan sel minyak lebih kecil dan susunannya lebih rapat, sedangkan
kuncup merah diduga sebagai varietas Timor dengan sel minyak yang susunannya lebih jarang Sumardiwangsa 1973. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa varietas
daun yang berkuncup putih memiliki kadar sineol yang lebih tinggi pada setiap pemasakan daripada varietas yang berkuncup merah.
4.2.3. Indeks Bias