Ikonografi dalam Analisis Semiotika

Universitas Sumatera Utara c Roman Jakobson. Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada abad ke-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: addresser pengirim, message pesan, addresse yang dikirimi, context konteks, code kode, dan contact kontak. d Louis Hjelmslev. Hjelmslev mengembangkan sistem dwi pihak dyadic system yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material penanda dan konsep mental petanda, namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. e Roland Barthes. Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang ia sebut dengan konotative, yang di dalam mythologies -nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

2.2.2 Ikonografi dalam Analisis Semiotika

Dalam analisis visual, ada dua pendekatan yang biasa digunakan yakni semiotika Roland Barthes dan ikonografi. Kedua pendekatan ini meminta dua pertanyaan mendasar yang sama, yakni: pertanyaan tentang representasi gambar mewakili apa dan bagaimana? dan pertanyaan tentang makna tersembunyi dari gambar apa ide-ide dan nilai-nilai yang dilakukan orang, tempat, dan sesuatu yang diwakili dalam gambar. Namun, studi semiotika visual Barthes yang hanya Universitas Sumatera Utara seputar gambar itu sendiri, dan memperlakukan makna budaya sebagai mata uang yang diberikan yang dibagi oleh semua orang yang terakulturasi dengan budaya populer kontemporer, dan yang kemudian dapat diaktifkan dengan gaya dan isi gambar, ikonografi juga memperhatikan konteks dimana foto tersebut diproduksi dan diedarkan, serta bagaimana dan mengapa makna budaya dan ekspresi visual mereka terjadi secara historis Van Leeuwen, 2001: 92. Untuk menganalisis sadisme dalam fotojurnalistik, peneliti menggunakan pendekatan ikonografi. Alasan peneliti yakni, selain karena masih minimnya mahasiswai yang menggunakan pendekatan ini dalam penelitiannya, ikonografi tidak hanya terbatas pada analisis tekstual semiotika visual Barthes tetapi juga menggunakan analisis yang didasarkan pada perbandingan intertekstual dan penelitian latar belakang sejarah. Istilah ikonografi iconography berasal dari istilah Yunani eikonographia yang merupakan gabungan dari kata eikon yang berarti “citraan” atau “gambar” dengan graphia y ang berarti “menulis”. Secara harfiah ikonografi berarti “penulisan gambar”. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi seringkali merujuk pada kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian atas gambar-gambar yang bernuansa keagamaan. Namun sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan yang implikasinya sangat luas. Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas karya- karya visual yang berupa engraving produksi ilustrasi buku seni. Sebagai disiplin keilmuan tersendiri, ikonografi berkembang pada abad ke-19. Ketika itu perhatian utama para ahli ikonografi seperti Adolphe Napoleon Didron 1806-1867, Anton Heinrich Springer 1825-1891 dan Émile Mâle 1862-1954 dicurahkan pada karya-karya visual yang dibuat dalam kerangka ekspresi iman Kristiani. Sementara pada abad ke-20 disiplin ini terus berkembang, Universitas Sumatera Utara antara lain melalu kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg 1866-1929, Fritz Saxl 1890-1948 dan Erwin Panofsky 1826-1968. Mereka tidak hanya mengobservasi isi gambar, melainkan juga mengiterpretasikan makna gambar. Pada gilirannya kajian-kajian ikonografi tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga merambah kebidang-bidang lainnya. Lagipula sebagaimana yang dikatakan Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agaman, filsafat, dan keadilan sosial patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang diterapkan atas karya seni” Panofsky, 1939: 16. Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya seni rupa adalah iconography iconografi dan iconology iconologi. Melalui pendekatan iconography ikonografis-iconology ikonologi maka sebuah pesan piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual Van Leeuwen, 2001: 93. Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian ikonografi dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in Iconology 1939, Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan mengatakan bahwa “Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia subject matter atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut sisi formalisnya” Panofsky, 1939: 3. Ketika Panofsky merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung didominasi oleh kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk form dan penggayaan stylistic. Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang terfokus pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual dibidang sejarah seni. Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata yang menyangkut pokok atau makan” three strata of subject matter of meaning karya visual. Ketiga tingkatan makan yang terkandung dalam karya visual itu secara berurutan terdiri atas tingkatan praikonografi pre-iconography, ikonografi iconography dan ikonologi iconology. Pada lapisan praiconografi pengamat – sesuai dengan Universitas Sumatera Utara kerangka pemahaman dan cakupan pengalamannya sendiri – memperhatikan bagian-bagian tertentu gambar yang dianggap menarik. Pada lapisan ikonografi pengamat memperhatikan pertautan antara motif gambar dan maknanya. Sedangkan pada lapisan ikonologi pengamat berupaya menafsirkan atau menggali makna intrinsik dari gambar yang diamati. Penjelasan Panofsky mengenai ketiga lapisan makna yang dapat digali dari karya visual serta syarat-syaratnya, yaitu Panofsky, 1939:5-8 : 1. Makna primer atau alamiah, yang terbagi dalam makna faktual dan ekspresional Makna ini digali dengan mengidentifikasi bentuk murni, yaitu : susunan garis dan warna tertentu, atau bongkahan perunggu atau batu yang dipahat sedemikian rupa sebagai representasi dari objek alamiah semisal manusia, binatang, tumbuhan, rumah, perkakas dan sebagainya, dengan mengidentifikasi hubungan timbal balik diantara objek-objek itu sebagai peristiwa, serta dengan memperhatikan kualitas-kualitas ekspresional semisal watak yang sedih dari suatu pose atau gerak-gerik, atau suasana yang menyenangkan dan menentramkan dari suatu interior. Pemerincian atas motif-motif ini merupakan deskripsi praikonografis atas karya seni. 2. Makna sekunder atau konvensional Makna ini digali dengan memahami bahwa sosok wanita yang memegang sebutir buah persik adalah personifikasi dari kejujuran, bahwa sekelompok figur yang duduk mengahadapi sebuah meja makan dengan tata letak dan pose tertentu merepresentasikan perjamuan terakhir, atau bahwa dua sosok yang sedang bertarung dengan cara tertentu merepresentasikan perlawanan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam hal ini kita menghubungkan motif- motif artistik dan menggabungkan motif-motif artistik komposisi dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dipahami sebagai penghantar makna sekunder atau konvensional dapat disebut citraan, dan gabungan citraan tiada lain dari apa yang oleh para ahli teori masa silam disebut “invenzioni”, kita biasa menyebutnya cerita dan alegori. Identifikasi atas citraan, cerita dan alegori merupakan wilayah ikonografi dalam pengertian yang lebih sempit. Sebenarnya, ketika kita secara longgar berkata tentang „makna yang dapat dibedakan dari bentuk‟ hal yang kita maksudkan adalah wilayah makna sekunder atau konvensional, yakni tema atau konsep khusus yang diwujudkan melalui citraan, cerita dan alegori, yang dapat dibedakan dari makna primer atau alamiah yang diwujudkan melalui motif-motif artistik. Jelas, analisi ikonografis dalam arti sempit yang benar mengandaikan adanya identifikasi yang tepat atas motif-motif. Makna pada tahap ini juga bisa digali melalui literatur- literatur, baik secara alamiah maupun informasi dari mulut ke mulut. 3. Makna atau isi intrinsik Universitas Sumatera Utara Makna ini digali dengan memastikan prinsip-prinsip mendasar yang mengungkapkan sikap dasar suatu bangsa, kelas, persuasi keagamaan atau filosofis – yang secara tidak sadar dikualifikasikan oleh suatu kepribadian dan dipadatkan dalam suatu karya. Tidak perlu dikatakan bahwa prinsip- prinsip tersebut diungkapkan dan karena itu diarahkan pada, „metode kompensional‟ dan „signifikansi ikonografi‟. Interpretasi yang benar-benar mendalam atas makan atau isi intrinsik bahkan dapat menunjukkan bahwa prosedur-prosedur teknis yang khas di negeri tertentu, dalam periode tertentu, atau pada seniman tertentu, misalnya Michelangelo lebih suka membuat patung dengan batu ketimbang dengan perunggu, bersifat simptomatik pada sikap dasar yang kentara dalam seluruh kualitas khusus lain pada gayanya. Maka dengan memperhatikan bentuk-bentuk murni, motif, citraan, cerita dan alegori sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang mendasarinya, kita menafsirkan seluruh elemen tersebut sebagai apa yang oleh Ernst Caissar disebut nilai- nilai „simbolis‟. Penemuan dan penafsiran nilai- nilai ‟simbolis‟ ini yang pada umumnya tidak diketahui oleh seniman itu sendiri bahkan secara empatik dapat berbeda dari apa yang secara sadar ingin dia ungkapkan adalah tujuan dari apa yang dapat kita sebut ikonografi dalam arti mendalam: menyangkut suatu metode penafsiran yang muncul sebagai suatu sintetis ketimbang analisis. Dan sebagaimana idntifikasi yang tepat atas motif-motif merupakan syarat mutlak bagi analisis ikonografi dalam arti sempit yang benar, analisis yang tepat atas citraan, cerita dan alegori merupakan syarat mutlak bagi intrepretasi ikonografi dalam arti mendalam yang tepat. Universitas Sumatera Utara Panofsky juga merangkum ketiga strata penafsiran tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut : Tabel 1. Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky Objek Penafsiran Tindak Penafsiran Perangkat Penafsiran Prinsip Pemandu Penafsiran Makna primer atau alamiah – faktual A, Ekspresional B - , yang membentuk juga motif artistik. Deskripsi praikonografi dan analisis semi formal. Pengalaman praktis pengenalan atas objek dan peristiwa . Sejarah penggayaan telaah atas cara objek dan peristiwa diungkapkan melalui bentuk , dalam berbagai kondisi historis. Makna sekunder atau konvensional , yang membentuk citraan , cerita dan alegori. Analisis ikonografi dalam pengertian yang lebih ketat. Pengetahuan mengenai bahan- bahan bacaan pengetahuan atas tema dan konsep khusus. Sejarah ragam karya telaah atas cara tema atau konsep khusus diungkapkan melalui objek atau peristiwa khusus, dalam berbagai kondisi historis. Makna atau kandungan intrinsik , yang membentuk nilai- nilai “simbolis”. Penafsiran ikonografi dalam pengertian yang lebih mendalam sintesis ikonografi . Intuisi sintesis pengenalan atas kecenderungan- kecenderungan hakiki dari pikiran manusia, yang dikondisikan oleh kepribadian. Sejarah gejala budaya atau “simbol” pada umumnya telaah atas cara kecenderungan- kecenderungan hakiki dari pikiran manusia diungkapkan melalui tema dan konsep khusus, dalam berbagai kondisi historis. Sumber : Panofsky, 1939: 14-15 Namun, Panofsky mengingatkan : Patut kita ingat bahwa kategori-kategori yang dibedakan secara terperinci itu, yang dalam tabel tersebut seakan-akan menunjukkan tiga wilayah makna tersendiri, sesungguhnya mengacu pada aspek-aspek dari satu Universitas Sumatera Utara fenomena, yakni karya seni secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, metode-metode pendekatan yang di sini tampak sebagai tiga langkah terpisah berpautan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat organis dan terpadu Panofsky, 1939: 16. Patut dicatat bahwa dalam Studies in Iconology metode penafsiran karya visual dari Panofsky itu dikemukakan sebelum ia menafsirkan lukisan-lukisan dari zaman Renaissance. Lukisan-lukisan tersebut lazimnya digolongkan sebagai fine art , yang karateristiknya tentu akan dianggap sangat berlainan dengan karya visual yang ditelaah dalam penelitian ini, yakni foto-foto terkait peristiwa tewasnya Moammar Khadafi. Namun, pada dasarnya metode Panofsky dapat diandalkan untuk membaca berbagai gejala visual. Dalam penelitian ini, aspek ikonografis dari karya visual diperinci menjadi dua segi, yakni motif motif dan makna meaning. Motif mengacu pada hal yang tampak pada bidang gambar, sedangkan makna mengacu pada hal yang tersirat di balik gambar. Demikianlah dengan mengkaji serangkaian foto kematian Moammar Khadafi pada Oktober 2011, diharapkan akan memperdalam pemahaman mengenai fotografi khususnya yang mengandung unsur sadis serta mengenai kehidupan masyarakat Libya.

2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik