Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik

Universitas Sumatera Utara fenomena, yakni karya seni secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, metode-metode pendekatan yang di sini tampak sebagai tiga langkah terpisah berpautan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat organis dan terpadu Panofsky, 1939: 16. Patut dicatat bahwa dalam Studies in Iconology metode penafsiran karya visual dari Panofsky itu dikemukakan sebelum ia menafsirkan lukisan-lukisan dari zaman Renaissance. Lukisan-lukisan tersebut lazimnya digolongkan sebagai fine art , yang karateristiknya tentu akan dianggap sangat berlainan dengan karya visual yang ditelaah dalam penelitian ini, yakni foto-foto terkait peristiwa tewasnya Moammar Khadafi. Namun, pada dasarnya metode Panofsky dapat diandalkan untuk membaca berbagai gejala visual. Dalam penelitian ini, aspek ikonografis dari karya visual diperinci menjadi dua segi, yakni motif motif dan makna meaning. Motif mengacu pada hal yang tampak pada bidang gambar, sedangkan makna mengacu pada hal yang tersirat di balik gambar. Demikianlah dengan mengkaji serangkaian foto kematian Moammar Khadafi pada Oktober 2011, diharapkan akan memperdalam pemahaman mengenai fotografi khususnya yang mengandung unsur sadis serta mengenai kehidupan masyarakat Libya.

2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik

Istilah sadisme diambil dari nama seorang bangsawan, yang juga penulis filsafat, Donatien Alphonse François Marquis de Sade 1740-1814. Bukan hanya melakukan sadisme seksual, dia juga menuliskannya ke dalam novel yang menggambarkan praktik tersebut dikenal dengan novel Justine . Di dalam novel- novel itu, ia memaparkan hal-hal yang akan menggetarkan serta mengagetkan. Juga di dalam novel-novel itu, kita akan menemukan jiwa pemberontakan total yang terdapat di dalam diri de Sade. Di balik semua itu, kita juga bisa menemukan pemahaman yang amat kaya, yang merentang dari seksualitas sampai moralitas, dari politik sampai agama, dari estetika sampai metafisika, dari kritik sastra sampai dengan persoalan hidup dan mati. Pemikiran de Sade yang kontroversial dan tajam, ia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sungguh mengalami revolusi Prancis dari sisinya yang paling hitam, dan mengajukan komentar yang cukup mendalam tentangnya. Ide-idenya mendalam karena ia berhasil Universitas Sumatera Utara mengungkapkan dan menyatakan dengan lugas siapa dan apa itu manusia sesungguhnya tanpa ragu, yakni sebagai mahluk yang memiliki tubuh seksual sexual body. Dengan gairah semacam itu, Foucault, seorang filsuf besar asal Prancis di abad ke dua puluh, menempatkan de Sade sebagai salah satu filsuf terbesar di masa Pencerahan Eropa. Ia menulis dengan berani dan dengan stamina yang menakjubkan. Karena itu pula ia ditangkap, dan kemudian dipenjara Phillips, 2005: 1-2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan daring edisi III tahun 2008 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sadis berarti tidak mengenal belas kasihan, kejam, buas, ganas, atau kasar. Bila mendapat akhiran – isme yang artinya „faham‟ maka istilah sadisme dapat didefinisikan sebagai kenikmatan atau kepuasan yang diperoleh lewat upaya menyakiti, melecehkan, menghina dan menghancurkan pihak-pihak lain. Sadisme merupakan patologi psiko-sosial yang sangat berbahaya terutama bila bukan lagi sekedar diidap oleh segelintir orang, namun juga masyarakat luas. Apakah seseorang yang memiliki temperamen tinggi, berbicara kasar atau bertampang keras selalu indentik dengan orang berwatak sadis? Dalam kenyataan, sering kali seorang yang oleh orang-orang dekatnya dikenal sangat halus, murah hati, penuh perhatian, murah senyum, bahkan sangat dermawan malah sering dianggap berwatak sadis. Sebagai contoh yang sangat klasik tapi kasus sadisme seberat ini memang jarang walau di dunia modern ini masih tetap terjadi adalah Heinrich Himmler kepala dinas rahasia Nazi yang bersama-sama Hitler bertanggung jawab terhadap matinya sekitar 15-20 juta warga Rusia, Polandia dan Yahudi yang tak bersalah. Oleh lingkungan dekatnya Himmler pun semula dikenal sebagai orang yang sangat baik dan penuh perhatian. Pernah pada suatu hari karena merasa iba terhadap istri bawahannya karena suaminya di rumah sakit, Himmler mengirim mobilnya agar istri bawahannya itu tidak repot mondar-mandir ke rumah sakit. Himmler memang pandai menenangkan hati orang yang gelisah, sehingga orang- orangpun percaya kepadanya. Tapi tanpa disangka, bawahannya itu tewas atas perintah Himmler juga. Universitas Sumatera Utara Erich Fromm menyebut sadisme sebagai transformasi dari ketidakkuasaan inpotence ke dalam pengalaman yang maha kuasa omnipotence. Sadisme menurut Fromm, adalah keinginan untuk memiliki secara sempurna orang lain, membuat orang lain menjadi objek yang tak berdaya. Orang yang didominasi dan diperlakukan sebagai benda untuk dipergunakan dan dieksploitasi Fromm, 1988: 84. Secara umum, orang berwatak sadis cenderung ingin mengontrol orang lain dan menjadi sesuatu yang memiliki objek untuk dikontrol. Orang semacam ini ingin menjadi tuan dalam hidup dan nilai hidupnya memang ditentukan oleh korban yang dijatuhkannya. Ciri lain dari watak sadis, ia hanya terangsang oleh keadaan atau orang yang lemah dan tidak pernah oleh yang kuat. Sebab bagi seorang yang berwatak sadis berhadapan dengan yang kuat tidak pernah menghasilkan kekuatan yang imbang. Lebih-lebih karena yang diinginkannya memang mengontrol orang lain yang lemah, yang tidak sanggup untuk melawannya. Sebab itu bagi seorang yang sadis ada satu hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu kekuasaan, baik itu kekuasaan terhadap sesuatu maupun kekuasaan untuk menjadi sesuatu. Di penghujung tahun 2011, dunia dikejutkan dengan kabar mengenai kematian Presiden Libya, Moammar Khadafi. Kematiannya menuai kecaman dari sejumlah pimpinan negara lain hingga PBB. Betapa tidak, ia meninggal dengan cara yang tragis bahkan hingga sebelum ia dikuburkan. Video dan foto detik-detik menjelang kematiannya yang mengenaskan, beredar luas bahkan menjadi headline pemberitaan media massa selama sepekan. Jurnalisme memang sudah lama membicarakan fakta, tetapi jurnalisme juga sudah lama diembargo, dimanipulasi, atau ditutup oleh tinta hitam, walaupun pada akhirnya kebenaran akan muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan Ajidarma, 2005: 1. Tapi tidak untuk saat ini. Sebab jurnalisme sudah lama bebas bernafas dari cengkraman para diktator. Terlebih lagi setelah adanya undang- undang yang menyatakan kebenaran dan perlindungan bagi mereka. Serta etika jurnalisme dan kode etik yang meluruskan moral mereka sebagai pencari berita informasi. Universitas Sumatera Utara Jurnalis foto bukanlah profesi eksklusif meski dalam diri mereka melekat hak-hak yang bersifat istimewa. Dibanding masyarakat umum jurnalis foto memiliki lebih banyak keleluasaan dalam memotret. Mereka bisa menjangkau tempat-tempat terlarang atau terlindung dari penglihatan publik. Mereka leluasa memotret presiden di istana negara, aktivitas orang, alat-alat dan latihan militer, tempat privat dengan alasan komersial seperti rumah, kamar, pabrik, dan mal. Pemberian akses yang lebih luas kepada jurnalis foto semata-mata untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi. Namun keistimewaan yang dimiliki jurnalis foto tidak luput dari hal-hal yang bisa dipertanyakan secara etis. Persoalan tersulit adalah menentukan porsi yang tepat antara boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantas. Jurnalis foto hendaknya menggunakan perasaannya untuk bertindak selayaknya ia sebagai individu dan di saat yang sama sebagai fotografer. Momen memang menjadi nilai tinggi dari sebuah karya fotojurnalistik. Ia tak dapat diulang atau direkayasa. Namun ketika bicara tentang momen, terkadang ada suatu hal yang jarang dipikirkan jurnalis foto, yaitu moralitas. Jurnalis foto memang berkewajiban merekam seluruh kejadian atau peristiwa, sekeji atau sesadis apapun itu. Tapi tak semua hasil foto itu layak dipublikasikan. Seperti halnya tulisan, foto pun bisa menimbulkan efek traumatik, kengerian, bahkan konflik. Itu sebabnya media berperan dalam penyeleksian foto- foto. Memilah mana yang layak dipublikasikan dan mana yang tidak. Namun, fakta yang ditemukan, tak sedikit foto-foto yang melanggar etika dimuat pada surat kabar lokal, maupun nasional. Louis A. Day dalam bukunnya, Ethics In Media Communications: Cases and Controversies , mengharapkan setidaknya tiga hal mengenai etika, yaitu Wijaya. 2011: 114 :  Kredibilitas. Dalam perspektif etika, kredibilitas adalah pokok dari awal hubungan kita dengan orang lain dan komunitas. Kepercayaan adalah komoditas yang rapuh, dan kini di era persaingan ketat, matrealistis, dan masyarakat keterbukaan, mempertahankan kepercayaan adalah kegiatan yang membosankan. Namun, perjuangan untuk mempertahankannya tidak Universitas Sumatera Utara boleh surut, karena faktanya kekurangan kepercayaan dapat merugikan reputasi jurnalis dan medianya.  Integritas. Salah satu hal yang paling krusial dalam pendewasaan moral adalah integritas. Louis mengutip tulisan Stephen Carter yang mendefinisikan integritas sebagai, 1 melihat apa yang benar dan apa yang salah; 2 beraksi atas apa yang kamu lihat, bahkan dengan biaya sendiri; dan 3 terbukalah atas pemahamanmu pada kebenaran dari pada kesalahan.  Kesopanan. Kesopanan atau civility mungkin dijabarkan sebagai “prinsip pertama” dari moralitas karena ini meliputi satu perilaku pengorbanan oleh diri sendiri dan penghormatan pada yang lain. Bagi media, menempatkan kesopanan di tempat yang lebih tinggi mampu meningkatkan penghargaan dari publik, karena hal itu merupakan penghormatan bagi pembaca. Musuh dari kesopanan adalah egois, kerena egois tidak mendukung orang untuk melihat bagaimana sesuatu berakibat bagi orang lain. Dalam kompetisi pasar yang mengedepankan sensasi, mengejutkan, atau skandal, maka kesopanan bukan aspek yang termasuk dalam agenda liputan. Menurut Taufan Wijaya, Untuk foto-foto korban kecelakaan, tindak kejahatan, dan musibah, menampilkan foto dengan menjaga agar wajah korban tidak sebagai point of interest adalah upaya mengedepankan empati Wijaya, 2011: 114. Bukankah kita akan sangat sedih bahkan marah bila foto korban tersebut adalah orang yang kita sayangi? Foto seorang kriminal yang babak-belur penuh luka dan darah misalnya, dapat membuat pembaca yang seorang pengusaha muntah saat sarapan. Surat kabar harian dengan segmentasi menengah-atas bisa bermasalah dengan pelanggannya gara-gara foto seperti itu. sebagai jalan tengah, kebanyak jurnalis foto akan berupaya mencari angle supaya foto tersebut tidak terlihat vulgar, mengaburkan bagian foto yang sadis dan porno, atau membuatnya menjadi foto hitam putih. Dr. Rushworth Kidder dari The Institute for Global Ethic America menjelaskan tradisi-tradisi yang paling berpengaruh pada falsafah moral, dan bagimana tradisi itu mempengaruhi keputusan etika dalam jurnalisme professional Universitas Sumatera Utara saat ini. Kidder meguraikan tiga jenis pendekatan dalam pembuatan etika berdasar pada tradisi-tradisi falsafah moral. Masing-masing dapat dipakai untuk memecahkan masalah, tapi masing-masing memiliki kelemahan dan jebakannya sendiri Prayitno, 2006: 9-12.  Utilitarianisme. Pendekatan ini meminta kita untuk menjajaki konsekuensi dari tindakan dan keputusan kita jurnalis. Jika saya melakukan hal ini, maka akan terjadi begini; jika saya melakukan hal itu, yang akan terjadi lain lagi. Keputusan etis ini, dengan pendekatan utilitarian adalah hasil dari sebuah kalkulasi etis.  Keputusan Berdasar Peraturan: Imperatif Kategoris Kant. Istilah Emmanuel Kant ini adalah cara yang agak menakutkan untuk menyebutkan sebuah pendekatan yang relatif sederhana terhadap alasan moral; apapun yang anda putuskan, anda boleh meyakini bahwa keputusan itu bersifat moral atau etis jika anda bisa menyatakan bahwa prinsip atau peraturan yang menjadi keputusan anda adalah sebuah hukum universal. Dengan kata lain, anda jurnalis memutuskan untuk berlaku sama bagi siapa saja di dunia ini dalam situasi yang sama.  Aturan Emas atau Keterbalikan. Prinsip bahwa and harus “melakukan sesuatu terhadap orang lain sebagaimana orang lain melakukan terhadap anda” adalah pokok dari semua agama besar. “ini mungkin prinsip etika yang sudah lebih banyak dipakai oleh kebanyakan orang ketimbang prinsip lain manapun dalam sejarah dunia,” disini anda menempatkan diri pada kedudukan orang lain, jadi saling tukar peran. Aturan emas ini sering disebut sebagai pendek atan “berdasar kepedulian”. Ketiga pendekatan ini merupakan jalan untuk para jurnalis, setidaknya sebagai solusi bagi mereka saat terjun di dalam masyarakat. Sebab, menurut Kidder, pengambil keputusan yang beretika melibatkan pemikiran yang kompleks dan hampir selalu merupakan usaha keras. Sebagai sebuah profesi, jurnalis berbeda dengan pekerjaan lain yang hanya mengandalkan keahlian. Perbedaan mendasar antara pekerjaan dengan profesi adalah bila pekerjaan hanya menuntut Universitas Sumatera Utara tanggung jawab kepada instansi yang memberinya upah, maka profesi mengemban tanggung jawab lebih luas yakni kepada masyarakat. John C Merril mengungkapkan “Lebih mudah membicarakan hukum daripada etika, sebab etika adalah tentang pribadi, sedangkan hukum berhubungan dengan sosial. Agaknya apa yang diungkapkan John C. Merril ada benarnya. Kecenderungan untuk melanggar etika dalam media massa tak hanya terlihat di berita-berita yang diproduksi tapi juga foto-foto yang dimuat. Unsur Sadisme adalah salah satu hal yang sering digambarkan dalam foto di media massa. William H Siemering sebagai instruktur penyiaran di Afrika, Eropa Timur dan Asia menambahkan, “saya perlu katakan bahwa anda jurnalis perlu misi yang jelas dan pemahaman soal pentingnya infromasi dalam masyarakat dunia. Dedikasi terhadap keakuratan dan kebenaran harus sejajar dengan kepercayaan. Tantangannya adalah bagaimana menyajikan infromasi dengan cara yang menarik sehingga, orang ingin mendengarkan atau membaca apa yang perlu mereka ketahui Natasukarya, 2006: 39. Pernyataan di atas merupakan buah dari kode etik jurnalistik. Bisa juga seperti yang dikatakan seorang penulis, Robert H Estabrook, bahwa pernyataan itu merupakan kebebasan. Dan kebebasan pernyataan tersebut merupakan kode etik yang menghormati tindak tanduk pers Prayitno, 2004: 34. Dalam menjalankan profesi sebagai jurnalis, kode etik merupakan acuan moral dalam menjalankan tugas kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya. Sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik KEJ adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Maka, berdasarkan Peraturan Dewan Pers No. 6Peraturan-DPV2008 yang disepakati 29 organisasi pers di Indonesia menyepakati Kode Etik Wartawan Indonesia KEWI terdapat 7 pasal, yakni Teba, 2009: 136: 1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh dan menyiarkan informasi yang benar. Universitas Sumatera Utara 2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber infromasi. 3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran infromasi serta tidak melakukan plagiat. 4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan infromasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. 5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. 6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record susuai kesepakatan. 7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab. Pelarangan pemberitaan yang mengandung unsur sadis, sangat jelas te rtuang dalam pada pasal 4 berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak memuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul ”. Fotojurnalistik yang mengandung unsur sadis dikhawatirkan akan membuat pembaca trauma, ketakutan, atau gelisah. Tak hanya pembaca, traumatik juga akan dialami oleh korban atau keluarga korban. Namun, seringkali hal ini tidak diindahkan oleh fotografer, redaktur foto, atau pemimpin redaksi suatu media massa, terutama surat kabar. Foto-foto mengandung unsur sadis tetap dimuat agar terlihat lebih sensasional dan menarik perhatian pembaca. Berdasarkan laporan program Dewan Pers Periode 2010-2013, Dewan Pers melakukan penelitian pada wartawan pada tahun 2011. Penelitian ini melibatkan 1.200 responden dari 33 provinsi di Indonesia, dengan menggunakan metode kuantitatif survei. Responden adalah wartawan yang berasal dari suratkabar harian 27, media mingguan 13, media bulanan 4, televisi 25, radio 26, dan online 5. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, tingkat pengetahuan dan ketaatan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Hasil penelitian ini memperlihatkan ada peningkatan jumlah wartawan yang membaca seluruh Kode Etik Jurnalistik, dari 21 responden pada tahun 2007 menjadi 42 pada tahun Universitas Sumatera Utara 2011. Ditemukan juga data yang menunjukkan adanya korelasi: wartawan yang pernah membaca seluruh isi Kode Etik Jurnalistik sebagian besar memiliki pengetahuan yang benar tentang pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Tabel 2. Presentase Membaca Kode Etik Jurnalistik No Uraian Hasil survey 1 Belum pernah sama sekali membaca KEJ 10 2 Pernah membaca seluruh isi KEJ 42 3 Pernah membaca sebagian isi KEJ 48 Sumber: Laporan Akhir Dewasn Pers Periode 2010 – 2013 www.dewanpers.or.id Dewan Pers menegaskan bahwa fungsi Dewan Pers bukanlah menjadi pembela media. Tugas Dewan Pers adalah menegakkan Kode Etik Jurnalistik dan melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers tidak pernah ragu menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers seandainya ada media yang melanggar kode etik. Laporan Dewan Pers tahun 2010-2013, pada tahun 2010 Dewan Pers menerima 421 pengaduan, terdiri atas 117 pengaduan langsung dan 304 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 98 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Lalu pada tahun 2011 Dewan Pers menerima 502 pengaduan, terdiri atas 157 pengaduan langsung dan 345 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 101 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Serta, tahun 2012 Dewan Pers menerima 439 pengaduan, terdiri atas 176 pengaduan langsung dan 263 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 167 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Banyaknya pengaduan ke Dewan Pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan Kode Etik Jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Pers. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran Universitas Sumatera Utara berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers, dan bukan melalui jalur hukum. Kedua, banyaknya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme di Indonesia, ada banyak masalah dalam proses penegakan Kode Etik Jurnalistik. Banyak pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

2.2.4 Fotografi