keliru dan menonjolkan perilaku-perilaku kode-kode etik tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku, baik individu maupun perusahaan, dipengaruhi oleh
lingkungan perusahaan sebagai bentuk tekanan perusahaan, dan juga berpengaruh terhadap ekonomi perusahaan.
Berdasarkan kedua penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa etika moral perusahaan sangat mempengaruhi kinerja sebuah usaha ekonomi. Selain itu dengan tidak
terpenuhinnya etika moral dalam perusahaan yang telah disepakati akan menyebabkan sebuah usaha ekonomi kehilangan kepercayaan dan lebih lanjut akan mengalami
kegagalan atau kehancuran. Untuk lebih jelasnya dapat terlihat dalam tabel berikut. Tabel 3. Penelitian Terdahulu tentang Isomorphisme
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Holder-Webb dan Cohen 2012
Kegagalan perusahaan disebabkan krisis legitimasi problem moralitas melalui etika-etika yang disepakati
yang secara sosial memiliki kesamaan isomorphism seperti Trust dan honesty
Chua dan Rahman 2011
Bentuk perilaku individu maupun perusahaan yang memiliki kesamaankemiripan isomorphism
dipengaruhi oleh lingkungan perusahaan sebagai bentuk pemaksaan coecive berpengaruh juga
terhadap ekonomi perusahaan.
Sumber: Data lapangan diolah, 2014
4. Hasil Studi terhadap Ekonomi Industri Pedesaan
Penelitian yang telah dilakukan oleh Yulianti 2007 yang meneliti UKM industri bordir di Tasikmalaya, dari kajian ekonomi manajemen. Secara umum pelaku bisnis
terkait dengan industri bordir di Tasikmalaya terdiri dari pelaku di jalur produksi yang terdiri dari penyedia bahan baku, pengrajin dan pengusaha; dan pelaku di jalur pemasaran
yang terdiri pengusaha pengumpul dan pedagang. Sedangkan pihak pemerintah merupakan pelaku non-bisnis, yang berperan dalam mendukung dan mengembangkan
industri bordir. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam industri bordir Tasikmalaya sudah mulai adanya beberapa subkontraktor yang mandiri yang ditunjukkan
dengan adanya pekerja ataupun pengrajin yang mensubkontrakkan kembali pekerjaannya pada pihak lain makloon sesuai dengan keahliannya masing-masing. Hal ini berarti,
sudah mulai tercipta spesialisasi dalam industri yang menuju ke flexible production. Walaupun
demikian, dalam
industri bordir
Tasikmalaya masih
terdapat permasalahankendala berkaitan satu dengan yang lain, yang harus diselesaikan secara
komprehensif. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas hubungan antar aktor dengan membangun dan memantapkan jejaring
usahakerjasama antar pelaku industri sehingga dapat menguntungkan berbagai pihak.
Hermansah 2014 meneliti kebertahanan industri kreatif di Bandung, menggunakan paradigma Durkhemian, khususnya konsep autopiesis Luhman dan
struktur agensi Giddens. Industri kreatif yang diteliti ada empat kelompok industri, yaitu, industri alas kaki, kuliner, fashion, dan pertunjukan. Temuan penelitiannya di antaranya
adalah tentang sosiologi produk, resiliensi sistem, dan nilai moral trust yang merupakan inti dari fakta sosial. Ketiga hal tersebut yang mengakibatkan industri kreatif di Bandung
dapat bertahan dan berkesinambungan.
Kedua penelitian yang telah diuraikan di atas dapat dilihat secara lebih jelas dalam tabel di bawah ini
Tabel 4. Hasil penelitian terdahulu tentang industri pedesaan Nama Peneliti
Hasil Penelitian Yulianti 2007
Industri bordir di Tasikmalaya sudah ada pembagian kerja yang terspesialisasi melalui subkontraktor dan
mamadukan pola orientasi keuntungan dengan nilai moral
Hermansyah Industri kreatif dapat bertahan dan berkesinambungan
karena adanya sosiologi produk, resiliensi sistem, dan nilai moral trust
Sumber: Data lapangan diolah, 2014 Berdasarkan berbagai studi yang telah diungkapkan di atas, studi yang berkaitan
dengan spirit nilai-nilai agama yang mempengaruhi perilaku ekonomi, baik yang dilakukan para sarjana barat maupun bukan menunjukkan bahwa seluruh penelitian
tersebut hasilnya hampir sama yaitu ada hubungan antara nilai-nilai agama dengan tindakan ekonomi. Begitu juga dengan hasil studi tentang keterkaitan antara nilai-nilai
budaya atau etnisitas dengan perilaku ekonomi juga menunjukkan hal yang sama, bahwa nilai budaya mempengaruhi tindakan ekonomi seseorang.
Indonesia sebagai negara kepulauan sangat terkenal dengan beragam agama, etnis dan budayanya, yang berimplikasi kepada keragaman perilaku masyarakatnya yang sudah
barang tentu tidak bisa lepas dari nilai-nilai dan norma yang berasal dari agama dan budaya tersebut. Oleh karena itu penulis sangat tertarik dengan studi hal ini, yaitu melihat
hubungan antara perilaku ekonomi para pengusaha bordir yang sudah bertahan kehadirannya hampir satu abad dan kaitannya dengan etika moral. Tindakan ekonomi
mereka diduga kuat dipengaruhi oleh keterlekatan antara nilai-nilai etika agama Islam dan etika budaya Sunda yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Tasikmalaya.
Meskipun dalam penelitian sebelumnya sudah ada peneliti yang meneliti hal tersebut, tetapi kajian tentang pertautan antara nilai agama dan nilai budaya secara jelas belum
terlihat. Penelitian Iskandar misalnya lebih fokus kepada tindakan kerja yang tidak ada hubungan atau tidak melekat disembedded dengan nilai agama maupun adat. Sedangkan
penelitian dalam disertasi ini akan lebih fokus melihat tentang tindakan ekonomi pengusaha bordir dari pertautan kedua etika nilai tersebut. Lebih khusus lagi struktur
sosial yang ada dalam komunitas bordir ini berbentuk dalam kelembagaan pesantren dan lembaga pendidikan lainnya serta komunitas lokal Sunda yang sangat kuat. Penelitian ini
tetap menggunakan paradigma Weberian, khususnya yang berkaitan keterlekatan sosial social embeddedness dari Granovetter. Di samping itu dalam penelitian ini juga, selain
digunakan teori Granovetter tentang keterlakatan sosial social embeddedness juga digunakan teori isomorphisme neo-institutionalism dari DiMagio dan Powell. Hal inilah
yang membedakan penelitian kebertahanan UKM bordir Tasikmalaya dengan penelitian- penelitian sebelumnya. Oleh karena itu peneliti tertarik dan merasa penting untuk
melakukan kajian tersebut.
Dari hasil kajian-kajian terdahulu tentang rasionalitas tindakan ekonomi dan keterlekatan embeddedness tindakan ekonomi, maka peneliti menduga adanya
keterlekatan antara moral etika Islam dan etika moral budaya Sunda di satu sisi, di sisi lain etika ekonomi pasar modern juga tetap dipertimbangkan untuk mendapatkan
keuntungan dalam bisnis bordir. Kedua moral etika ekonomi yang saling bertautan
mempengaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir sehingga industri bordir tetap bertahan, maka novelty yang diusung adalah keterlekatan religiusitas budaya religio-
cultural embeddedness.
Kajian Teoritis
Tindakan Ekonomi Weber dalam Swedberg 1998 menjelaskan bahwa suatu tindakan dikatakan
tindakan ekonomi sepanjang memenuhi makna subjektif yang difokuskan kepada pemenuhan suatu kebutuhan utility. Untuk memahami bagaimana sebuah tindakan
dapat dikategorikan tindakan ekonomi, Weber 1978 menguraikan sebagai berikut:
1. Aktifitas atau tindakan ekonomi dari seorang individu dapat dikatakan tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhitungkan perilaku orang lain.
2. Definisi dari tindakan ekonomi harus memungkinkan dan menghasilkan fakta bahwa semua proses dan objek ekonomi adalah dicirikan sebagai suatu
keseluruhan pemaknaan tentang tindakan manusia dan dalam sejumlah peran, makna, hambatan dan produksi.
3. Tindakan yang dianalisis dalam sosiologi adalah pada awalnya diasumsikan secara rasional. Namun jika realitas empirik tidak sesuai, model rasional dan
bentuk penjelasan lain harus ditonjolkan.seperti tindakan tradional atau tindakan lain yang mempengaruhinya.
4. Semua tindakan ekonomi dipengaruhi tindakan non ekonomi dan tindakan yang bermanfaat kesemuanya dipengaruhi pertimbangan ekonomi.
5. Bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau kejahatan mungkin berorientasi pada ekonomi. Seperti peperangan, perampokan seperti ini “makna
ekonomi” menjadi “makna politik” 6. Penting untuk memasukkan pengelolaanpengaturan disposal dan kontrol
kekuasaan power of control dalam sosiologi tentang tindakan ekonomi, jika tidak ditemukan alasan-alasan lain dari pertukaran ekonomi yang melibatkan
jaringan kerja yang komplit dari hubungan kontraktual.
7. Konsep tentang kontrol keluasaan dan disposal disini akan dilakukan dengan memasukkan kemungkinan adanya kontrol atas kekuasaan tenaga kerja dan aktor
itu sendiri. 8. Yang terpenting dalam tindakan ekonomi difokuskan pada tipe tindakan yang
dicirikan dari hasil akifitas aktor dan perhitungan aktor, yang kemudian mampu menghasilkan analisis yang berbeda dari ilmu ekonomi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam teori tindakan sosial Weberian juga melekat embedded subjective-meaning system dalam setiap tingkah laku
conduct aktor, yang diidentifikasi Weber dalam empat kategori yaitu, traditional, value, afektif, dan instrumental Weber 1978; Swedberg 1998; Ritzer Goodman 2007.
10
Keempat sistem makna ini yang menjadi rasionalitas tindakan sosial, yaitu; 1 Rasional Instrumental Zweckrationalitat, yaitu tindakan rasional yang di
dasarkan pada kesadaran akan pertimbangan dan pilihan yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Tindakan
10
Menurut penulis sistem makna tradisional merupakan identifikasi dari unsur budaya, sistem makna nilai adalah identifikasi dari nilai-nilai agama atau moral, sistem makna afektif merupakan unsur
emosi individu, sedangkan sistem makna instrumental merupakan identifikasi dari orientasi yang bersifat material.
rasional instrumental ini merupakan tindakan yang paling rasional. Individu dilihat memiliki berbagai macam tujuan yang diinginkannya dan atas dasar suatu
kriteria tertentu, ia memilih satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang saling bersaingan itu. Individu itu lalu menetapkan alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan yang telah dipilih tersebut.
2 Rasionalitas yang Berorientasi Nilai Werktrationalitet, yaitu tindakan dimana aktor dipandu suatu nilai dalam menentukan tujuannya. Nilai bisa berubah, namun
sepanjang nilai masih berlaku, maka tetap rasional bagi aktor yang melakukannya. Dalam tindakan seperti ini, memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya
cenderung menjadi sukar untuk dibedakan.
3 Tindakan Tradisional Traditional Action yaitu tindakan yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan masa lalu dan masih dipraktekkan dan diterima begitu saja
tanpa adanya refleksi atau perencanaan si aktor. Satu-satunya alasan pembenaran yang sering dikemukakan si aktor bahwa inilah cara yang sudah dilaksanakan oleh
nenek moyang kami yang sudah berlangsung secara turun-temurun.
4 Tindakan Afektif Affectual Action yaitu tindakan yang dilandasi oleh perasaan atau emosi, tanpa adanya refleksi intelektual dan perencanaan yang sadar.
Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti jatuh cinta, marah, ketakutan, kegembiraan dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu
tanpa refleksi, berarti ia sedang memperlihatkan tindakan afektif. Lebih jauh Weber 1978 menjelaskan bahwa tindakan ekonomi dalam teori
ekonomi lebih berorientsi pada kepentingan materi dan mengutamakan keuntungan utility sedangkan perilaku aktor lain diabaikan atau tidak diperhitungkan economic
action. Dalam sosiologi tindakan ekonomi diarahkan pada kepentingan materi dan ideal dan juga perilaku aktor lain social action. Berbeda dengan sosiologi ekonomi yang lebih
fokus pada tindakan sosial ekonomi social economic action yaitu lebih diarahkan pada kepentingan materi dengan orientasi dan mempertimbangkan perilaku aktor lain.
Tindakan sosial dan tindakan sosial ekonomi juga bisa diarahkan oleh kebiasaan habit atau tradisi, dan emosi khususnya dalam kombinasi dengan kepentingan. Dengan
demikian jelas bahwa Weber berusaha untuk mengkombinasikan antara kepentingan dan memperhitungkan perilaku aktor lain. Swedberg 1998
Pembedaan Weber atas kepentingan dibagi menjadi kepentingan ideal dan kepentingan material, ini yang membedakan sosiologi ekonomi Weber dengan aliran
sosiologi ekonomi baru. Analisis sosiologi baru menempatkan kepentingan ideal sebagai milik sosiologi dan kepentingan material dianggap milik ekonomi. Swedberg 1998
Embedded Theory Keterlekatan Sosial
Keterlekatan adalah tindakan ekonomi terlekat secara nyata dan terus menerus dalam suatu sistem hubungan social Granovetter 1992. Konsep keterlekatan
embeddedness menurut Granovetter 1992 dimaksudkan untuk menganalisa tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat di dalam-jaringan-jaringan sosial
personal yang sedang berlangsung diantara para aktor, selain level institusi dan kelompok.
Tiga proposisi tindakan ekonomi individu menurut Granoveter dan Swedberg 1992: 6 :
1. Tindakan ekonomi adalah tindakan sosial
2. Tindakan ekonomi terbentuk karena bekerjanya kekuatan faktor sosial secara terus menerus
3. Kelembagaan ekonomi adalah wujud konstruksi sosial Granovetter 1992 mengambil jalan tengah diantara dua kubu yang saling
bertentangan dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi secara sosial berada dan tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu dan nilai-nilai yang
dianutnya. Sebagai bentuk tindakan sosial, tindakan ekonomi tertanam di jaringan hubungan pribadi dan institusi sosial ketimbang yang dilakukan oleh aktor. Tindakan ini
disebut tindakan rasionalitas sosial. Dari perspektif ini sangat jelas bahwa tindakan ekonomi, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari pencarian persetujuan, status,
keramahan, dan kekuasaan. Hal ini disebabkan karena perilaku manusia, termasuk tindakan ekonomi dan atributnya, harus selalu sesuai dengan norma-norma yang
berfungsi sebagai pengontrol tindakan aktor. Dengan kata lain tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat embedded dalam hubungan sosial dan struktural
yang sedang berlangsung dari kalangan para aktor Granovetter 1985; 1992.
Granovetter juga tidak setuju dengan konsep dikhotomi keterlekatan dan ketidakterlekatan embbedded
– disembedded dari Polanyi. Menurut Polanyi, tindakan ekonomi dalam masyarakat pra-industri melekat dalam institusi sosial, politik, dan
agama. Kehidupan ekonomi diatur oleh resiprositas dan redistribusi. Sedangkan dalam masyarakat modern kegiatan ekonomi tidak melekat dalam masyarakat, tetapi diatur oleh
mekanisme pasar dan terpisah dengan struktur sosial lainnya self regulation market pasar mengatur dirinya sendiri. Mekanisme pasar ini diatur oleh logika baru yang
menegaskan bahwa tindakan ekonomi tidak melekat disembedded dalam lembaga sosial, politik dan agama. Selanjutnya Granovetter dan Swedberg 1992, menjelaskan
bahwa tindakan ekonomi setiap masyarakat berlangsung di antara keterlekatan kuat underembedded dan keterlekatan lemah overembedded. Granovetter juga
membedakan dua bentuk keterlekatan yaitu keterlekatan relasional dan keterlekatan struktural.
Keterlekatan relasional merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat embedded dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung
diantara para aktor. Damsar, 2009; Syukur, 2013. Keterlekatan relasional ini dicontohkan dengan tindakan ekonomi dalam hubungan pelanggan antara penjual dan
pembeli. Hubungan pelanggan ini terjadi hubungan interpersonal yang melibatkan berbagai aspek sosial budaya, agama, dan politik dalam kehidupan mereka berdua.
Melalui hubungan pelanggan, pembeli dapat memutus mata rantai informasi yang asimetris dengan penjual. Hubungan ini dimulai dari pembeli yang mencari informasi
yang tidak pasti tentang barang dan jasa. Pembeli mencari informasi dari penjual yang mau berbagi informasi dengannya. Berbagi informasi juga harus diperhitungkan sebagai
sebuah keuntungan untuk penjual maupun pembeli. Hal ini akan terus menerus sampai terjadi saling kepercayaan dan kepastian dari kedua belah pihak bahwa berbagi informasi
telah menguntungkan kedua belah pihak Damsar 2009; Syukur 2013. Ketika hubungan penjual dan pembeli yang impersoanal telah sampai pada tahap berbagi informasi yang
pasti dan akurat juga melibatkan kepercayaan, maka hubungan meningkat pada hubungan yang lebih personal, yaitu hubungan pelanggan. Hubungan pelanggan ini tidak
hanya sekedar tindakan ekonomi, tetapi dapat meluas ke dalam aspek sosial, budaya, dan politik. Damsar 2009; Syukur 2013. Pada saat ada pesta di pihak pembeli, maka penjual
akan memberikan kado istimewa. Begitu juga pada saat kena musibah, penjual juga akan datang dan mengirimkan ungkapan dukacita. Sama halnya dengan pihak penjual,
pembelipun akan melakukan hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh pihak penjual.
Keterlekatan struktural adalah keterlekatan yang terjadi dalam suatu jaringan hubungan yang lebih luas yaitu institusi atau struktur sosial. Keterlekatan stuktural ini
bisa dicontohkan dengan hubungan produsen dan konsumen. Mereka dapat membuat kesepakatan diantara keduanya agar terjadi transaksi jual beli. Dalam siatuasi yang
berbeda dapat juga transaksi jual beli tidak dapat secara langsung terjadi antara penjual dan pembeli, tetapi dilakukan melalui seorang kurir. Selain itu bisa juga barang diberikan
lebih dahulu dan pembayaran dilakukan belakangan atau dengan sistem konsinyiasi. Di sini terlihat bahwa kepercayaan terjadi diantara produsen dan konsumen pelanggan
dengan melibatkan seorang kurir. Dalam hal ini keterlekatan antara penjual dan pembeli terjadi melibatkan jaringan dan saling kepercayaan serta aturan main yang disepakati
bersama.
Terkait dengan jaringan sosial Granovetter menguraikan bagaimana jaringan kerja dan jaringan sosial bekerja mendinamisasi tenaga kerja, menentukan besaran harga
barang, meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi dan menjadi sumber inovasi dan adopsi teknologi. Selanjutnya pemikiran Granovetter 2005 tentang jaringan sosial
adalah tentang empat prinsip utama yaitu: 1 norm and densitas network norma dan kepadatan jaringan; 2 the strenght and weak ties kuat atau lemahnya ikatan berupa
manfaat ekonomi yang cenderung diperoleh dari jalinan jaringan ikatan lemah; 3 the important of stuctural holes yang berkontribusi menjembatani relasi individu dengan
pihak luar; 4 the interpretation of economic and non economic action, adanya tindakan- tindakan non ekonomi yang dilakukan individu, yang ternyata memberi kemanfaatan bagi
tindakan ekonominya.
New Instituonalism Institusi Baru dan Isomorphisme dalam kaitan Tindakan Ekonomi
Nee 2005 melalui teori new institutionalism, berusaha menjelaskan bagaimana proses bekerjanya nilai-nilai adat kebiasaan, nilai kepercayaan agama, norma-norma
dan institusi-institusi formal maupun informal dalam proses pengembangan ekonomi masyarakat.
Pemikiran Nee 2003 tentang kelembagaan baru relevan untuk menganalisis konteks keberhasilan atau kegagalan kehidupan ekonomi masyarakat bordir Tasikmalaya,
yang terkait dengan tindakan ekonomi yang bertautan dengan nilai-nilai agama dan nilai adat tradisi. Nee melihat gejala keberhasilan dan kegagalan suatu kehidupan ekonomi
masyarakat secara utuh, dimana ia memperhatikan keberlangsungan mekanisme integrasi hubungan formal dan informal pada setiap level kausal yang terdiri dari level mikro
individu, meso kelompok atau organisasi dan makro policy environment.
Menurut Nee, keberhasilan ekonomi dapat dicapai apabila terjadi harmonisasi hubungan dari level makro kepada lembaga informal atau organisasi di level meso dan
sampai ke level mikro individu. Sebaliknya kegagalan dapat terjadi apabila terjadi kerusakan salah satu mekanisme integrasi atau disebut decoupling. Nee memandang
penting lingkungan institusi dan budaya dalam membentuk tingkah laku ekonomi masyarakat. Nee 2003; Iskandar 2012.
Selanjutnya Nee 2003, menegaskan adanya mekanisme sosial dimana di dalamnya terdapat hubungan keterkaitan dan berkelindan antara unsur formal state rules
dan unsur informal seperti nilai-nilai kepercayaan share belief, jaringan sosial dan
keterlekatan sosial social embeddedness menurut konteks sosial budaya tertentu, yang kemudian menjadi basis bagi individu melakukan tindakan sosial guna mencapai
kepentingan-kepentingan ekonominya. Pada dasarnya apa yang disampaikan Nee 2003 dalam New Institutionalism adalah gabungan dari pemikiran teori pilihan rasional
dikemukakan Coleman, teori ekonomi institusional dan teori keterlekatan sosial embeddedness theory yang digagas Granovetter.
Kritik Nee 2003 terhadap Granovetter 1992, bahwa pemikiran Granovetter memiliki titik lemah yaitu hanya menjelaskan proximate causes tanpa menyentuh large
macro causes. Selain itu, Granovetter tidak dapat menjelaskan mengapa aktor terlepas atau terpisah decouple dari hubungan sosial untuk mengejar kepentingan ekonomi.
Sejalan dengan pemikiran Nee 2003, DiMagio Powell 1983 mengemukakan teorinya tentang isomorphisme dan lebih dikenal dengan aliran neo- institutionalism.
Menurut kalangan Neo kelembagaan satu lingkungan kelembagaan tertentu hanya akan melegitimasi satu bentuk organisasi saja, atau cenderung hanya pada satu bentuk yang
lebih kurang sama similar. Konsep ini dikenal dengan social fitness
Menurut DiMagio dan Powell 1983, institutional isomorphism memeperhatikan berbagai hal di lingkungannya baik yang berbentuk pemaksaan coercive, normatif, dan
mekanisme mimetik. Organisasi-organisasi individual akan cenderung similar tanpa melihat esensinya. Stuktur formal dan non formal juga merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan dalam mempelajari gejala isomorfisme. Keduanya memberi pengaruh pada struktur dan prosedur dalam organisasi.
Entrepeneurship
Kewirausahaan entrepreneurhip merupakan persoalan penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang berkembang. Kemajuan atau kemunduran
ekonomi suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberadaan dan peranan dari kelompok wirausahawan ini. Peter Drucker 1993 menyatakan bahwa seluruh proses perubahan
ekonomi pada akhirnya tergantung dari orang yang menyebabkan timbulnya perubahan
tersebut yakni sang “entrepreneur”. Kebanyakan perusahaan yang sedang tumbuh dan yang bersifat inovatif menunjukan suatu jiwa spirit entrepreneur. Korporasi-korporasi
berupaya untuk mendorong para manajer mereka menjadi orang-orang yang berjiwa entrepreneur, universitas-universitas sedang mengembangkan program-program
entrepreneurhip, dan para entrepreneur individual menimbulkan perubahan-perubahan dramatik dalam masyarakat. Keberhasilan pembangunan yang dicapai oleh negara Jepang
ternyata disponsori oleh para entrepreneur yang berjumlah 2 tingkat sedang, berwirausaha kecil sebanyak 20 dari jumlah penduduknya. Inilah kunci keberhasilan
pembangunan negara Jepang Ranu 1982. Sayangnya, jumlah entrepreneur di Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat untuk menopang perekonomian,
sehingga persoalan wirausaha ini menjadi persoalan yang mendesak bagi suksesnya pembangunan perekonomian di Indonesia.
Menurut Gerry Segal, Dan Borgia, dan Jerry Schoenfeld 2005, toleransi akan resiko, keberhasilan diri dalam berwirausaha dan kebebasan dalam bekerja memiliki
pengaruh positif terhadap minat berwirausaha. Praag dan Cramer 2002 secara eksplisit mempertimbangkan peran resiko dalam pengambilan keputusan seseorang untuk menjadi
seorang entrepreneur. Rees dan Shah 1986 menyatakan bahwa perbedaan pendapatan pada pekerja individu yang bebas entrepreneur adalah tiga kali lipat dari yang didapat
oleh individu yang bekerja pada orang lain, dan menyimpulkan bahwa toleransi terhadap
resiko merupakan sesuatu yang membujuk untuk melakukan pekerjaan mandiri entrepreneur. Gurol dan Atsan 2006 mendefinisikan keberhasilan berwirausaha
sebagai pendorong keinginan seseorang untuk menjadi entrepreneur, karena persepsi keberhasilan sebagai hasil menguntungkan atau berharap untuk berakhir melalui
pencapaian tujuan dari usahanya. Artinya, jika seseorang mencapai tujuan usaha yang diinginkan melalui prestasi, ia akan dianggap berhasil.
Menurut Duchesnau et al. dalam Riyanti 2003, wirausaha yang berhasil adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang juga wirausaha, karena memiliki banyak
pengalaman yang luas dalam dunia usaha. Lebih lanjut Staw mengemukakan bahwa ada bukti kuat wirausaha memiliki orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai
wirausaha. Kemandirian dan fleksibilitas yang ditularkan oleh orang tua seperti itu melekat dalam diri anak-anaknya sejak kecil. Sifat kemandirian yang kemudian
mendorong mereka untuk mendirikan usaha sendiri. Fang Yang 2011 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perbedaan latar belakang sosial membuat perbedaan
motivasi dan minat masyarakat dalam penentuan pekerjaan. Selain itu, menurut Clement K. Wang dan Poh-Kam Wong 2004 menyebutkan bahwa adanya pengaruh positif latar
belakang pekerjaan orang tua terhadap minat berwirausaha. Jaringan Sosial Ekonomi
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi modal sosial selain kepercayaan dan norma. Jaringan networking merupakan hal penting dalam sebuah usaha bisnis.
Jaringan adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul aktor individu dalam
jaringan dan ikatan yaitu hubungan antar para aktor tersebut Damsar 2013. Konsep jaringan dalam kapital sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang
bisa berupa orang atau kelompok organisasi. Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan social yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu
dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan social menjadi kerja sama. Pada dasarnya
jaringan social terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu.
Intinya, konsep jaringan dalam kapital sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan
efektif Lawang 2005.
Lebih lanjut, dalam menganalisis jaringan sosial, Granovetter 2005 mengetengahkan gagasan mengenai pengaruh struktur sosial terutama yang terbentuk
berdasarkan jaringan terhadap manfaat ekonomi khususnya menyangkut kualitas informasi. Menurutnya terdapat empat prinsip utama yang melandasi pemikiran
mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yakni : pertama, norma dan kepadatan jaringan network density. Kedua, lemah atau
kuatnya ikatan ties yakni manfaat ekonomi yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Dalam konteks ini ia menjelaskan bahwa pada tataran empiris,
informasi baru misalnya, akan cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan
kenalan baru relative membuka cakrawala dunia luar individu. Ketiga, peran lubang struktur structur holes yang berada diluar ikatan lemah ataupun ikatan kuat yang
ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar. Keempat,
interpretasi terhadap tindakan ekonomi dan non ekonomi, yaitu adanya kegiatan-kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan social individu yang ternyata
mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini, Granovetter menyebutkan keterlibatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya
jaringan social, seperti adanya keterlibatan pengusaha bordir dengan pelanggannya yang menyangkut kegiatan sosial keagamaan memberikan sumbangan untuk pembangunan
mesjid di daerah tempat tinggal pelanggannya. Etika Ekonomi Sunda
Tidak banyak tulisan yang membahas etnis Sunda sebagai etnis terbesar kedua setelah etnis Jawa. Beberapa tulisan berkenaan dengan kehidupan sosial budaya manusia
etnis Sunda umumnya dimulai dari masa setelah masuknya Islam ke tatar Sunda. Terbatasnya catatan sejarah tentang kehidupan manusia Sunda kemungkinan disebabkan
pola hidupnya yang tidak pernah membentuk suatu tipe komunitas desa dan tidak pernah dikuasai oleh satu kekuasaan politik kerajaan yang terpusat.
Antlov, 2003. Tidak seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, penguasa di tatar Sunda tidak pernah mendirikan satu
kerajaan Sunda yang menyatu. Kerajaan Sunda terakhir, Pajajaran, menguasai Priangan pada abad ke-15 dan ke-17 hanya merupakan kerajaan simbolik di suatu lingkup wilayah
yang luas. Negara-negara kerajaan di sekitarnya merupakan negara-negara otonom yang dipimpin oleh para bangsawan setempat menak sebagai kepala wilayah yang mandiri
Sutherland 1975.
Peran penting kaum menak dalam dinamika politik lokal pun mengalami pasangsurut sejalan dengan terjadinya berbagai perubahan. Ketika Islam mulai
berkembang, muncul aktor baru dalam dinamika politik lokal, yakni kaum ulama. Kaum ulama memainkan peran penting di wilayah Jawa Barat khususnya selama periode 1800-
1870 karena terdapat hubungan yang erat antara kehidupan agama dengan kehidupan material Ensering dalam Antlov 2003:57. Di samping mengurus kepentingan spiritual
masyarakat, para pemimpin agama juga memegang kuasa dan pertanian. Ketika kampung-kampung kecil tumbuh menjadi desa dan pertentangan lokal berkembang
menjadi politik resmi, maka para pemimpin agama sering bekerja sama dengan birokrasi dalam satu jaringan ekonomi dan hak-hak istimewa yang kompleks.
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa tidak berlebihan bila masyarakat Sunda khususnya di wilayah Priangan kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi nilai-nilai
agama Islam yang sudah menjadi adat kebiasaan dalam setiap perilakunya. Di lingkungan budaya Sunda ada ungkapan ciri sabumi cara sadésa, pangasuhna
indung hukum bapa darigama. Secara harfiah, ungkapan tersebut menekankan bahwa di setiap lingkungan ada ciri dan cara tersendiri yang mempengaruhi tindak tanduk para
penghuninya yang berpedoman kepada hukum dan agama Mustapa, 2010. Jika ungkapan ini dikaitkan dengan bidang etika, dapat dikatakan bahwa pada orang Sunda
pun ada kesadaran bahwa di setiap lingkungan budaya, tak terkecuali lingkungan budaya Sunda, tentu ada prinsip-prinsip etis tersendiri yang diterima oleh para penghuni
lingkungan tersebut.
Dalam kaitan dengan hal itu, orang dapat memakai istilah etika Sunda, yang mengacu pada prinsip-prinsip umum di bidang etika yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan budaya Sunda. Prinsip-prinsip tersebut merupakan hasil kreativitas orang Sunda dalam adaptasinya terhadap keadaan lingkungannya dan keadaan zamannya.
Oleh karena itu, etika Sunda tidak dapat dilepaskan dari pandangan dunia dan pandangan hidup orang Sunda. Misalnya, dalam hal pandangan dunia, secara tradisional
orang Sunda melihat adanya tiga lapis jagat, yakni buana luhur jagat atas, buana panca tengah jagat tengah dan buana larang jagat bawah. Umat manusia dilihat sebagai
penghuni buana panca tengah. Sementara dalam hal pandangan hidupnya, orang Sunda berpendirian sineger tengah,
yang secara harfiah berarti ‘dibelah tengah‘ dan dapat ditafsirkan sebagai perilaku atau tindakan yang terkontrol agar tetap wajar dan seimbang.
Kewajaran ini tentu tergantung pula pada perorangan Setiawan 2011. Adapun nasehat atau peribahasa yang berdimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya tersebut, antara lain:
cageur, bageur, bener, pinter, sineger tengah, leuleus jeujeur liat tali, laukna beunang caina herang, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, tiis ceuli herang panon, landung
kandungan laer aisan, pindah cai pindah tampian, kawas kujang dua pangadekna, legok tapak genteng kadek, bawaning mahi ku saeutik, walatra ku pamakayana, éta lembék
haténa, tara panjang pikiran ka anu langka pikasorangeunana, lembék haté leuleus kéjo poéna, leuleus liat ku wujuk saluhureun, sahandapeun, sok kapuji alus bobot
pangayonna, gedé timbang tarajuna.
Pandangan Hidup Orang Sunda Dalam hasil penelitian yang berjudul Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda 1987
Temuan Warnaen dkk. menganalisis dengan membuat kategorisasi bahwa pandangan hidup orang Sunda pada dasarnya mencakup empat hal sebagai berikut: 1. Keberadaan
manusia sebagai pribadi. 2. Hubungan manusia dengan masyarakat. 3. Hubungan manusia dengan alamnya. 4. Hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam konteks mendukung usaha mendapatkan rejeki dan mengumpulkan kekayaan tetap ada etika untuk tidak menghambur-hamburkan harta yang sudah dimiliki
dengan cara mengendalikan diri untuk tetap mengedepankan keselarasan antara kepentingan rohani dan jasmani. Artinya, meskipun harta kekayaan sudah kita miliki
tetapi tidak boleh sombong dan serakah. Adapun etika yang menghambat adalah jangan melihat kepada orang yang lebih dari kita, tapi harus melihat kepada orang yang lebih
rendahbawah dari kita ulah puraga tamba kadenda, kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan. Berdasarkan ungkapan tersebut terlihat bahwa etika orang Sunda
menganjurkan untuk tetap konsisten tidak terpengaruh dengan orang lain yang lebih dari kita, terutama dalam kekayaan.
Kedekatan keluarga bisa menjadi pendukung dalam kemajuan ekonomi masyarakat Sunda. Ha
l ini terlihat seperti dalam peribahasa ‘bengkung ngariung, bongkok ngaronyok
”, “buruk buruk papan jati”. Dengan berkumpul dan berdekatan dengan keluarga bisa saling membantu dan bahu membahu untuk membangun ekonomi keluarga
keluarga besarextend family. Keluarga, selain menjadi faktor pendukung bisa juga menjadi faktor penghambat, seperti dalam peribahasa tersebut. Kedekatan dan
berkumpulnya keluarga mereka bisa jadi tidak ada keinginan untuk melihat dunia luar yang lebih baik sehingga keinginan lebih maju dan lebih profesional. Sedangkan
keterkaitannya dengan etika dalam relasi sosial juga saling mempengaruhi dan mendorong adanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi tetapi tetap peduli dan
berbagi dengan masyarakat lainnya, tidak serakah kekedemes maupun saling mengasihi silih asa, silih asih silih asuh
Menurut Suryalaga 2010, karakter masyarakat Sunda adalah luhung elmuna IQ, jembar budayana EQ, pengkuh agamana SQ, rancage gawena AQ= Aqtuality
Quotient. Individu yg berkarakter: cageur, bageur, bener, pinter, teger, pangger, wanter,
singer, jeung cangker, serta mewujudkan kehidupan yang gemah ripah repeh rapih, silih asih, silih asah dan silih asuh.
Etika Ekonomi Islam
Moral menempati posisi penting dalam ajaran islam, sebab terbentuknya pribadi yang memiliki moral baik akhlaqul karimah merupakan puncak dari seluruh ajaran
islam, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempur
nakan akhlak”. Moral ini merupakan konsekuensi dari rukun iman dan rukun islam.
Ada beberapa nilai ajaran Islam yang berkaitan dengan tindakan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun yang berkaitan langsung dengan
tindakan ekonomi Islam adalah masalah fiqh muamalah, sebagai moral ekonomi islam, yang dapat disederhanakan menjadi dua yaitu nilai ekonomi islam dan prinsip ekonomi
islam Misanam 2011: 57.
11
Fiqh muamalah menjadi dasar nilai dan sistem ekonomi syari’ah, dan berkembang menjadi lembaga-lembaga syari’ah, di antaranya lembaga
perbankan syari’ah Amalia 2009. Bahkan bank-bank swasta dan bank asing juga membuka lembaga bank syari’ah tersendiri. Lembaga keuangan tertinggi di Indonesia,
yaitu, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan OJK membuat divisi tersendiri yang khusus mengatur perbankan syari’ah.
Ada studi tersendiri tentang nilai-nilai ajaran yang perlu dimiliki aktor-aktor entrepreneur muslim yang menggambarkan bagaimana karakteristik seorang pengusaha
muslim yang berhasil dalam bisnisnya dengan berpedoman pada Al Qur’an dan Hadis Nabi. Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah menghindari tindakan ekonomi yang
dilarang, seperti menjauhi riba’, bertaqwa, mengutamakan ke-halal-an sebagai prioritas, tidak mubadzir sia-sia, diniatkan untuk beribadah, mempraktekkan nilai-nilai moral
yang tinggi seperti, jujur, terpercaya amanah, untuk kesejahteraan bersama falah seperti zakat, infak dan sedekah, berpengatahuan luas, peduli terhadap masyarakat dan
lingkungan Faizal, Ridwan dan Kalsom 2013. Hasil temuan penelitian Hermansah 2014 terhadap aktor-aktor industri kreatif di Bandung membuktikan bahwa terpercaya
amanahtrust merupakan etika utama dalam tindakan sosial dan juga tindakan ekonomi, sebagai fakta sosial. Bahkan dalam konteks tindakan ekonomi, dengan bermodalkan nilai
moral tersebut, seorang pengusaha tidak memerlukan modal uang untuk dapat menjalankan usaha industrinya.
Etika Islam ada yang berkaitan langsung dengan tindakan ekonomi, sehingga disebut ekonomi Islam, dan ada yang tidak berkaitan secara langsung namun dapat
mempengaruhi tindakan ekonomi. Ekonomi Islam merupakan salah satu bentuk realisasi visi agama Islam, yaitu sebagai agama yang mengusung fungsinya sebagai rahmatan lil-
‘alamin, agama kebaikan dan kesejahteraan. Ekonomi Islam yang berlandaskan pada tauhid menekankan bahwa segala sesuatu hanyalah milik sang Pencipta, sehingga unsur
keserakahan tidak terpupuk dan mempengaruhi perilaku manusia sebagai pelaku ekonomi.
11
Dalam ajaran hukum fiqh Islam ada empat bagian, yaitu, fiqh ibadah dan fiqh mua’amalah, Fiqh
Jinayah dan fiqh Munakahat. Fqh ibadah membahas praktek ritual Islam. Fiqh mu’amalah khusus
membicarakan tentang tindakan ekonomi dalam perspektif Islam, fiqh jinayat menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan ang dilarang agama dan fiqh munakahat adalah fiqh yang membahas tentang
tatacara atau Undang-Undang pernikahan dalam islam.
Ekonomi islam memiliki tujuan sebagaimana tujuan syariat islam itu sendiri yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat falah melalui suatu tatanan kehidupan yang
baik dan terhormat. Dengan demikian perhatian utama ekonomi islam adalah pada upaya bagaimana manusia meningkatkan kesejahteraan materialnya yang sekaligus akan
meningkatkan kesejahteraan spiritualnya melalui sarana moralitas pelaku ekonomi. Artinya bekerja yang dilakukan dalam konteks beribadah kepada Allah relatif terkontrol,
sesuai dengan ketentuan syariat Islam, tidak hanya mengutamakan keuntungan semata Orgianus 2011
Sistem Nilai dalam Pesantren
Islam, selain unsur nilai, juga berkembang kelembagaan, di antaranya adalah pesantren. Orang Sunda menyeb
utnya “pondok” atau “pesantren”, dan sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok
pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau
tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab
“funduq”artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan. Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat
awal pe- dan akhiran
–an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata
“shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku
suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan Yasmadi 2002:62.
Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identikmemiliki kesamaan arti, yakni asrama tempat santri atau tempat murid
santri mengaji. Sedang secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapatnya pada ahli antara lain: M. Dawam Rahardjo memberikan
pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak
perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu
dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya
sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi Dhofier 1994:1. Sedangkan menurut Karel A. Steenbrink, model
pendiskripsiannya masih bermuara pada seputar hubungan pesantren dengan warisan Hindu-Budha, atau juga hubungan pesantren dengan tradisi kebangkitan Islam abad
pertengahan di Timur-Tengah Steenbrink 1989:23.
Dalam pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah pranata yang muncul dari agama dan tradisi Islam. Secara khusus Nurcholis Madjid
menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren ialah
ahlu’l-sunnah wa-‘l-jama’ah Madjid 1997. Dimana, jika dibahas lebih jauh akar- akar kultural ini akan membentuk beberapa segmentasi pemikiran pesantren yang
mengarah pada watak-watak ideologis pemahamannya, yang paling nampak adalah konteks intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi” pemikiran, misalnya dalam fiqh-
lebih didominasi oleh ajaran- ajaran syafi’iyah, walaupun biasanya pesantren
mengabsahkan madzhab arbain, begitu juga dalam pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan al-
Ash’ary dan juga al-Ghazali Madjid 1997 Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab yang dipakai
menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut madzhab Sunni. Secara lokalistik faham sentralisasi pesantren yang mengarah pada pembentukan
pemikiran yang terideologisasi tersebut, mempengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang berkembang dalam pesantren. Dalam dunia pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki
oleh Kyai, dimana Kyai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap
pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan, karena dari masing-
masing memiliki efektifitas untuk melakukan mobilisasi kultural dan komponen- komponen pendidikannya Rahardjo 1985.
Secara garis besar, lembaga pesantren dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar
Ya’cub 1984 yaitu: 1. Pesantren Salafi : yaitu pesantren yang tetap mempertahankan sistem materi
pengajaranyang sumbrnya kitab –kitab klasik Islam atau kitab dengan huruf
Arab gundul tanpa baris apapun. Sistem sorogan individual menjadi sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak diajarkan.
2. Pesantren Khalafi : yaitu sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yaitu pengajaran secara klasikal, dan memasukan pengetahuan umum dan
bahasa non Arab dalam kurikulum. Dan pada akhir-akhir ini menambahnya berbagai keterampilan.
Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan uraian di atas, teori sosiologi yang digunakan untuk menganalisis industri bordir di Tasikmalaya adalah menggunakan teori Weber dan Granovetter, maka
kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah seperti yang digambarkan sebagai berikut;
Industri Kerajinan bordir sebagai salah satu bentuk UKM di Tasikmalaya bisa bertahan selama hampir satu abad. UKM ini mulai dikenal dan dijalankan sekitar tahun
1920an sampai saat ini. Untuk memahami ketahanan dan kesinambungan kerajinan industri bordir di Tasikmalaya ini maka penting untuk memahami perilaku ekonomi
pengusaha bordir dalam jaringan sosialnya pekerja, pengusaha lain, pedagang, pembeli, dan lain-lain. Kerajinan bordir ini yang pada awal kemunculannya dikenal dan dihasilkan
hanya oleh kalangan tertentu yaitu kaum menak ningrat.Tetapi dalam perjalanan selanjutnya bordir ini dipelajari dan diproduksi oleh kalangan masyarakat biasa cacah
yang terus berkembang dan terus mengalami inovasi sampai saat ini. Kebertahanan industri bordir di Tasikmalaya diduga karena para pengusaha bordir yang memiliki nilai-
nilai keagamaan
Islam: jujur, amanah, halal, adil, tidak riba’, ikhlas, sabar, amal shaleh, untuk kesejahteraan bersama dan nilai-nilai budaya Sunda silih asih silih asah silih
asuh; cageur, bageur, bener, pinter, singer, sauyunan, sapapait samamanis yang kuat yang mempengaruhi tindakan ekonomi mereka.
Nilai-nilai keagamaan yang disosialisasikan melalui lembaga pesantren dan lembaga pendidikan lainnya dan nilai-nilai budaya nilai-nilai komunitas lokal adat
Sunda dan nilai-nilai rasionalis ekonomi bisnis bordir saling bertautan dalam
mempengaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir. Tergantung nilai-nilai mana yang lebih kuat mempengaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir ini, apakah nilai agama,
nilai budaya, atau nilai ekonomi, maka akan mengahasilkan tipologi pengusaha yang berbeda-beda. Seperti yang telah dijelaskan dalam teori Granovetter tentang keterlekatan
sosial yang merupakan kontinum antara keterlekatan kuat Over embedded dengan keterlekatan lemah under embedded maka tindakan ekonomi pengusaha bordir juga
tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Tipe pengusaha tersebut bisa merupakan pengusaha yang lebih kuat pengaruh nilai agama dibanding nilai budaya
dalam tindakan ekonominya, atau sebaliknya nilai adat Sunda yang lebih kuat dibanding dengan nilai agamanya atau bahkan kedua nilai tersebut sama kuat mempengaruhi
tindakan ekonomi pengusaha bordir tersebut. Pun bisa tipe pengusaha yang lebih mengutamakan nilai rasional ekonomi dibanding kedua nilai tersebut.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan di atas, maka kebertahanan atau dinamika ekonomi industri bordir di Tasikmalaya dapat digambarkan sebagai
berikut;
Gambar 1. Kerangka pemikiran: ketahanan industri bordir di tasikmalaya: studi etika moral ekonomi islami pada komunitas tatar sunda
Etika Sunda Etika Islam
Silih asih Jujur
Silih asah Amanah
Silih asuh Halal
Cageur Adil
Bageur Tidak riba
Bener Kesejahte
Pinter Ikhlas
Singer Tawakal
Ikhtiar Sabar
Undersosial ized
Tindakan Ekonomi Pengusaha Bordir
- Perlakuan terhadap buruh dan
masyarakat sekitar -
Persaingan usaha -
Pengembangan bisnis bordir -
Kepemimpinan dan pelestarian bisnis
Jaringan sosial Ketahanan Ekonomi Industri
Bordir
Oversosiali zed
III. METODOLOGI