PENDAHULUAN Ketahanan Industri Bordir Di Tasikmalaya Studi Etika Moral Ekonomi Islami Pada Komunitas Tatar Sunda

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang UKM di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi. Selain untuk meningkatkan pendapatan, UKM juga berperan untuk pemerataan pendapatan. Berdasarkan data BPS dan Kementrian Koperasi 2010, bahwa eksistensi UKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia. Pertama, jumlah industrinya yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, dan ketiga, kontribusi UKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 56 dari total PDB di tahun 2010. Di samping itu UKM juga memiliki peran yang besar dalam ketahanan terhadap krisis terutama krisis ekonomi dan moneter tahun 1997. Bahkan, UKM sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor produknya. UKM di negara-negara sedang berkembang pada saat ini sedang menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan ekonomi, politik dan pembangunan yang bisa menjadi peluang maupun ancaman. Permasalahan dan tantangan tersebut diantaranya adalah globalisasi; kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan; industrialisasi, pertanian dan informalisasi ekonomi; korupsi, kebocoran dan inefisiensi; utang luar negeri; lingkungan ekologi dan birokrasi Damanhuri 2012: 79-80. Ketika perekonomian Indonesia dihadapkan kepada krisis yag multi dimensi, industri kecil menengah UKM tetap bertahan dan mampu berperan untuk melaksanakan fungsinya baik dalam memproduksi barang dan jasa di tengah kondisi usaha besar yang tidak mampu mempertahankan eksistensinya. Hal ini cukup beralasan mengingat sektor usaha kecil dan menengah UKM memiliki prospek untuk dikembangkan, juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha besar dilihat dari skala usaha, jumlah tenaga kerja, dan kapasitas produksi sehingga memiliki ketangguhan dan ketahanan dalam menjaga kelangsungan usaha. Berdasarkan data dari kementrian Koperasi dan UKM, pada tahun 2013 jumlah UKM di Indonesia mencapai 56,2 juta unit dan mampu menyerap 97,2 tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Pada tahun berikutnya, tahun 2014, pelaku usaha di Indonesia sebanyak 58 juta pelaku, dan 98,7 adalah pelaku UKM Kementrian Koperasi dan UKM, 2014. Walaupun demikian, di samping mengalami pertumbuhan, UKM di Indonesia sendiri banyak yang tidak dapat bertahan atau sulit berkembang bahkan mengalami kegagalan. Sementara itu badai krisis ekonomi yang berkepanjangan mengancam keberadaan UMKM akibat daya beli masyarakat yang menurun karena lebih memprioritaskan kebutuhan pokok. Faktor lain yang menyebabkan industri kecil gulung tikar adalah meningkatnya harga bahan baku terutama yang berasal dari impor, menurunnya pemasaran, kesulitan memperoleh pinjaman modal, dan keterbatasan akses informasi memperkuat alasan eksistensi industri kecil terancam Nagib Et al. 2000. Salah satu UKM yang tetap bertahan sejak puluhan tahun lalu adalah UKM di bidang kerajinan bordir di kota Tasikmalaya. Secara historis terbentuknya komunitas pengusaha bordir di Tasikmalaya dimulai sejak masa kolonial sekitar tahun 1920-an yang dipelopori putri seorang bupati Tasikmalaya dalam lapisan kaum menak 1 , yang belajar membordir dari orang Belanda, sebagai passion atau kegemaran. Alat yang digunakan pada waktu itu masih sederhana menggunakan mesin kejek 2 yang dioperasikan secara manual. Perkembangan selanjutnya kerajinan bordir ini tidak hanya dipelajari dan dimiliki oleh kalangan menak dan keturunannya tetapi sudah merambah kepada masyarakat kalangan santana dan rakyat kecil cacahsomah yang bekerja sebagai petani, sebagai bagian dari pekerjaan sampingan mereka Lubis,1998:5; Falah,2010:136- 140. Sampai saat ini, industri bordir di Tasikmalaya sudah puluhan tahun bahkan hampir satu abad, artinya sudah kurang lebih dari dua generasi usaha ini turun temurun meskipun mengalami pasang surut. UKM bordir dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan. Sampai tahun 2014, jumlah industri bordir di Tasikmalaya, yang berpenduduk 657.217 orang, mencapai 1371 unit industri, yang melibatkan 13856 pekerja per unit usaha terdiri 1-60 pekerja 3 , sedangkan tahun 2012 jumlah UKM industri bordir sebanyak 1317 unit yang melibatkan tenaga kerja sebanyak 12898 orang Dinas Industri Perdagangan dan UKM, kota Tasikmalaya, 2014. Industri bordir di Tasikmalaya terpusat di daerah Kawalu, dengan jumlah industri sebanyak 1024 unit dengan 9828 pekerja, sehingga melibatkan 10852 orang pengusaha dengan tenaga kerjanya. Kecamatan Kawalu yang berpenduduk 84781 orang, sebagian besar mata pencahariannya adalah petani, dan saat ini 12,8 masyarakat Kawalu terlibat dalam industri bordir yang sebagian besar berada di desa Tanjung Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Tasikmalaya, 2012 Mayoritas penduduk kecamatan Kawalu Tasikmalaya bergerak dalam bidang pertanian tetapi masyarakat desa Tanjung di kecamatan Kawalu Tasikmalaya ini sebagian besar bekerja atau berpenghidupan dari non pertanian yaitu industri bordir. Industri bordir ini menghadirkan peluang usaha yang luar biasa massif bagi penduduk sekitar dan menghasilkan devisa bagi negara karena berhasil diekspor ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Afrika dan Timur Tengah. Hal ini menunjukkan adanya transformasi sosial yang begitu besar pada masyarakat Kawalu Tasikmalaya sejak dekade tahun 1980an dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri, dan ekonomi industri bordir tetap tegar bertahan meski berbagai cobaan dan krisis yang menghadang. Kebertahanan suatu usaha industri dikaji dari perspektif ilmu yang berbeda-beda dan mendapatkan hasil yang berbeda-beda pula. Ada yang mengkaji dari sisi ilmu manajemen, psikologi, theologi, ekonomi, maupun sosiologi. Khususnya dalam kajian 1 Pada masyarakat Sunda sekitar abad ke 19 dan awal abad 20 status sosial dibedakan dalam tiga lapisan yaitu Menak, Santana dan Cacah atau Somah. Menak menduduki status paling tinggi, biasanya sebutan kalangan bangsawan dan keturunannya. Sebutan ini ditujukan kepada bupati dan keturunannya yang pada awalnya keturunan Raja-raja Sunda. Panggilan untuk kaum Menak ini biasanya Raden atau Juragan. Sedangkan panggilan untuk kaum Santana adalah Asep, Ujang, Agus dan Mas .Lubis,1997: 5. Santana ini adalah keturunan menak yang menikah dengan golongan di bawahnya cacah. Golongan Santana berada diantara golongan menak dan golongan cacah. Sedangkan cacah atau somah merupakan masyarakat biasa yang berada pada lapisan terendah. Masing-masing lapisan itu memiliki karakteristik yang berbeda baik dalam sistem maupun perilaku sosial. Seiring dengan perubahan zaman modern, maka pelapisan sosial tersebut tidak ada lagi. Lubis, 1997: 5 2 Mesin kejek adalah mesin jahit yang digerakkan oleh tangan dan kaki secara manual. 3 Adapun industri bordir di Tasikmalaya terpusat di daerah Kawalu, dengan jumlah industri bordir 1024 unit dan 9828 pekerja, sehingga melibatkan 10852 orang. Masyarakat Kawalu yang berpenduduk 84781 merupakan masyarakat petani, saat ini 12,8 penduduknya terlibat dalam industri bordir. Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Tasikmalaya, 2012 sosiologi ekonomi, bertahannya suatu usaha industri ini disebabkan oleh tindakan ekonomi aktor yang terlibat dalam jaringan sosial usaha tersebut. Tindakan ekonomi dalam konteks industri merupakan tindakan sosial. Hal ini ditegaskan oleh Weber 1978: 158-164 ; Swedberg, 1998; Boudon, Raymond and Cherkaoui, 2000, 303-308, bahwa tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial yang berorientasi pada ekonomi economically oriented untuk memenuhi suatu kebutuhan utility. Menurut Swedberg dan Granovetter 1992: 6; 1 Economic action is form of social action Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk tindakan sosial ; 2 economic action is socially situated tindakan ekonomi disituasikan secara sosial; 3 Economic institutions are social constructions institusi-institusi ekonomi dikonstruksi secara sosial. Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat tindakan ekonomi masyarakat. Pandangan ekonomi klasik yang digawangi oleh Smith 1776 dan dikembangkan dalam ekonomi neoklasik berasumsi bahwa seseorang melakukan tindakan ekonomi dengan prinsip maksimalisasi keuntungan dan meminimalisasi biaya. Untung dan rugi merupakan hal utama yang dijadikan sebagai pertimbangan, meskipun harus melanggar nilai nilai norma, agama maupun budaya. Prinsip dasar ekonomi mazhab ekonomi neoklasik selalu membatasi pandangannya pada ranah individu yang masing masing memiliki interest dan harapan atas kegunaan utility. Artinya dalam hal ini tindakan ekonomi berorientasi pada preferensi individu yang mengacu pada kepentingan dan kepuasan individu semata. Dalam pandangan Weber 1978 tindakan ini yang disebut tindakan rasional instrumental atau tindakan rasional formal Polanyi, 2003. Sedangkan dalam pandangan yang berbeda bahwa tindakan ekonomi seseorang itu dipengaruhi atau berorientasi pada nilai-nilai rasional Weber, 1978 atau tindakan rasional substantif Polanyi, 2003. Tindakan ekonomi yang dilakukan seseorang adalah dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraannya. Dalam pendekatan ekonomi neo-klasik, tindakan ekonomi hanya dipengaruhi oleh pertimbangan rasional. Faktor non rasional politik, sosial, agama, nilai budaya atau norma tidak dipertimbangkan karena dinggap tidak rasional. Berbeda dengan pandangan ekonomi neo-klasik, dalam pandangan sosiologi ekonomi, setiap tindakan ekonomi aktor senantiasa terbentuk karena adanya faktor ekonomi dan non ekonomi yang bekerja saling mempengaruhi secara kontinyu Swedberg, 1994. Artinya tindakan ekonomi tersebut di satu sisi memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan rasionalitas ekonomi dan di sisi lain, faktor non ekonomi nilai, norma, agama, jaringan dan struktur yang ada akan menjadi pertimbangan dalam tindakannya. Di samping itu, tindakan ekonomi aktor selain diarahkan pada kepentingan materi dan berorientasi pada utilility juga menempatkan aktor lain dalam pertimbangannya Swedberg, 1998. Tindakan ekonomi juga diarahkan oleh kebiasaan habit, tradisi, dan emosi. Swedberg, 1998; Weber, 1978. Berkaitan dengan pandangan sosiologi ekonomi yang antara lain menyebutkan bahwa setiap tindakan ekonomi aktor senantiasa menempatkan aktor lain dalam setiap pertimbangannya. Hal ini sejalan dengan teori embeddedness keterlekatan yang dikemukakan oleh Granovetter. Teori embeddedness Granovetter berbicara tentang keterlekatan tindakan ekonomi dalam jaringan hubungan pribadi dengan aktor lain yang disebut relational embeddedness, dan jaringan dalam kelembagaan yang disebut structural embeddedness, seperti pemerintahan, pasar, atau lembaga lain Granovetter dan Swedberg, 1992; Damsar, 2009. Di antara penganut dan pengembang mazhab Weberian adalah Granovetter dan Victor Nee. Granovetter mengemukakan teori embeddedness keterlekatan. Meskipun Granovetter pengikut Weber, tetapi dia memiliki pandangan yang berbeda tentang tindakan ekonomi seseorang. Aktor melakukan tindakan ekonomi itu secara sosial tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu maupun nilai-nilai yang dianutnya. Tindakan ekonomi melekat dalam jaringan relasi sosial maupun institusi sosial. Oleh karena itu, tindakan ekonomi yang dilakukan setiap individu tidak bisa dilepaskan dari hubungan sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Konsep seperti memperkuat kerangka pemikiran bahwa nilai-nilai budaya dan agama memiliki pengaruh kuat dalam mendorong kelompok-kelompok masyarakat di pedesaan maupun perkotaan. Adapun menurut Victor Nee 2003, nilai-nilai adat kebiasaan, nilai kepercayaan agama, norma-norma serta institusi-institusi formal maupun informal mempengaruhi proses pengembangan ekonomi masyarakat. Selanjutnya Nee 2003, menegaskan adanya mekanisme sosial dimana di dalamnya terdapat hubungan keterkaitan dan berkelindan antara unsur formal state rules dan unsur informal seperti nilai-nilai agama share belief, jaringan sosial dan keterlekatan sosial social embeddedness menurut konteks sosial budaya tertentu, yang kemudian menjadi basis bagi individu melakukan tindakan sosial guna mencapai kepentingan-kepentingan ekonominya. Pendekatan tersebut menelaah keteraturan struktur kelembagaan formal yang bersinergi dengan kelembagaan informal yang membentuk jejaring sosial dalam mewadahi dan memotivasi serta mengatur tindakan ekonomi. Pada dasarnya apa yang disampaikan Nee 2003 dalam New Institutionalism adalah gabungan dari pemikiran teori pilihan rasional dikemukakan Coleman, teori ekonomi institusional dan teori keterlekatan sosial embeddedness theory yang digagas Granovetter. Konsekuensi dari penggunaan teori tindakan ekonomi mazhab Weberian di atas Granovetter dan Swedberg terhadap industri bordir Tasikmalaya, perlu diidentifikasi yang berkaitan relasi antar aktor dan struktur kelembagaan serta nilai-nilai yang mempegaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya. Nilai-nilai yang berkembang dalam komunitas bordir Tasikmalaya ini didominasi oleh nilai-nilai moral keagamaan dan budaya. Agama yang dominan dianut oleh pengusaha bordir Tasikmalaya adalah agama Islam Falah,2010:228, dan budaya yang melekat adalah budaya Sunda Ekadjati, 1995:14. 4 Sehubungan dengan hal di atas maka kajian yang berkaitan dengan tindakan rasionalitas ekonomi dan nilai- nilai etika agama adalah karya Weber 1976 “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism ”. Dalam karyanya ini Weber mengkaji tentang bagaimana seorang aktor dapat memakmurkan dunia. Caranya adalah dengan bekerja keras, hidup hemat, tidak berfoya-foya, dan menabung. Penganut Calvinisme ini yang menarik perhatian Weber karena mereka rata-rata pebisnis yang sukses. Berbeda dengan penganut Katolik yang menurut Weber tidak sesukses pemeluk Protestan. Keuntungan dari hasil usahabisnis tersebut tidak boleh dihambur-hamburkan dan diakumulasikan dengan modal sebelumnya, sehingga secara tidak langsung modal terus mengalami akumulasi. Hal inilah yang menjelaskan tesis Weber tentang hubungan antara etika Protestan dan berkembangnya kapitalisme di Eropa Barat.` Dalam konteks Islam aktivitas ekonomi merupakan bagian integral dari kehidupan agama. Menurut Chapra 2001 dalam paradigma Islam memberi tekanan pada terintegrasinya nilai-nilai moral dan persaudaraan kemanusiaan dengan keadilan sosial ekonomi yang memiliki tujuan akhir kesejahteraan bersama falah. Hal ini 4 Dalam budaya Sunda dikenal istilah Sunda Priangan. Secara geografis meliputi wilayah Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, Cianjur dan Sukabumi. Tasikmalaya merupakan ibukota Priangan Timur yang meliputi Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Falah, 2010 mengindikasikan bahwa dalam pemikiran keilmuan dalam dunia Islam selama ini mengacu paradigma integratif 5 . Dalam Islam yang berkaitan dengan tindakan ekonomi ada beberapa ajaran, di antaranya adalah masalah fiqh muamalah 6 yang sekarang berkembang menjadi ekonomi syari’ah Amalia, 2009 dan nilai-nilai yang menjadi landasan ekonomi Islam atau etos spiritual individu yaitu iman, ikhsan, ikhlas dan taqwa. Nilai-nilai tersebut diimplementasikan dalam bentuk kesalehan ilahiyah, individual, dan sosial yang menjembatani terciptanya kesejahteraan hidup spiritual dan material. Islam mengajarkan bahwa tindakan ekonomi yang harus dilakukan oleh aktor yang terlibat dalam aktifitas ekonomi adalah untuk memaksimalisasi maslahat. Konsep maslahat ini mengacu pada nilai-nilai kemanfaatan, keberkahan dan keselamatan dunia dan akhirat. Adapun pengejawantahan dari nilai-nilai yang menjadi kewajiban semua umat Islam di antaranya adalah mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah yang menunjukkan umat Islam dianjurkan mempunyai harta lebih, dan berbagi dengan orang lain yang berhak QS. 2: 4. Di samping itu ada nilai-nilai Islam lainnya, yang dapat mempengaruhi tindakan ekonomi di antaranya, nilai-nilai amanah trust, jujur, adil, dan lain-lain. Bahkan, dari nilai-nilai ajaran Islam terbentuk berbagai kelembagaan Islam, di antaranya, lembaga keuangan syari’ah, lembaga zakat, lembaga yatim piatu, dan lainnya. Dalam konteks nilai-nilai budaya Sunda yang berkaitan langsung dengan tindakan ekonomi diantaranya adanya ungkapan peribahasa “mun teu ngoprek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih ” kalau tidak rajin bekerja tidak akan mengunyah, kalau tidak berfikir dan mencari rezeki tidak akan mengaduk nasi Warnaen, 1987: 26. Makna dari peribahasa di atas adalah anjuran untuk mencari rezeki atau harta kekayaan dengan berusaha sekuat tenaga dan segala daya upaya, karena kalau tidak diusahakan sendiri tidak akan mendapatkan apa-apa kekayaan. Artinya bahwa kekayaan itu harus dicari dan diusahakan sendiri. Selain itu, ada beberapa nilai budaya Sunda yang mempengaruhi tindakan ekonomi, di antaranya adalah nilai silih asah-silih asih-silih asuh yang menganjurkan untuk berbagi termasuk dalam kegiatan usaha, nilai cageur-bageur-bener-pinter-singer yang menganjurkan dalam setiap tindakan perlu sehat-baik-benar-cerdas-cekatan yang teraktualiasasi dalam aktifitas ekonomi Setiawan, 2014. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam dan budaya Sunda tentang tindakan ekonomi, di satu sisi menekankan pada anjuran akumulasi kekayaan, di sisi lain tetap diimbangi atau dibatasi dengan memikirkan nasib orang lain agar dapat berbagi demi kesejahteraan bersama. Begitu juga dalam kajian Weber tentang nilai-nilai Calvinisme adalah menganjurkan untuk mengakumulasi modal melalui tindakan hidup sederhana, tidak boros dan rajin menabung, lebih bersifat individual yang tetapi memiliki rasionalitas ekonomi. Masyarakat Tasikmalaya yang kehidupannya diwarnai budaya Sunda 7 dan Islam, pada saat ini, perilaku ekonomi mereka tidak luput dari gempuran etika ekonomi global 5 Tentang paradigma integratif lebih jelasnya lihat dalam Ridzer, Modern Sociological Theory, 2000. 6 Dalam ajaran hukum fiqh Islam ada empat bagian, yaitu, fiqh ibadah dan fiqh mua’amalah, Fiqh Jinayah dan fiqh Munakahat. Fqh ibadah membahas praktek ritual Islam. Fiqh mu’amalah khusus membicarakan tentang tindakan ekonomi dalam perspektif Islam, fiqh jinayat menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang agama dan fiqh munakahat adalah fiqh yang membahas tentang tatacara atau Undang-Undang pernikahan dalam islam. 7 Dalam budaya Sunda dikenal istilah Sunda Priangan. Secara geografis meliputi wilayah Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, Cianjur dan Sukabumi. Tasikmalaya merupakan ibukota Priangan Timur yang meliputi Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Falah, 2010 yang memiliki karakteristik etika ekonomi kapitalis dan liberalis. Etika kapitalis dan liberalis inilah yang sudah merasuk hampir ke seluruh pelosok dunia bahkan desa-desa yang ada di negara-negara sedang berkembang, termasuk desa-desa di Tasikmalaya. Etika ekonomi global ini mulai menggerus etika ekonomi lokal yang lebih mengutamakan kebersamaan dan solidaritas. Oleh karena itu, berdasarkan teori-teori dan penjelasan di atas, masyarakat melakukan kegiatan ekonomi bisa dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang beralasan tindakan ekonominya over under embedded terlekat kuat atau lemah dengan nilai-nilai yang dianut bersama shared belelief, melalui jaringan hubungan pribadi ataupun kelembagaan relational embeddedness maupun structural embeddedness. Shared belief itu bisa berasal dari nilai-nilai agama, budaya maupun lainnya. Hal inilah yang akan dikaji dalam tindakan ekonomi masyarakat Usaha Kecil dan Menengah UKM bordir di Tasikmalaya, khususnya tindakan ekonomi pengusaha bordir yang diduga dipengaruhi oleh etika moral ekonomi Islam dan Sunda dalam jaringan-jaringan individu maupun kelompok. Perkembangan industri bordir di Tasikmalaya yang seakan tidak terpengaruh dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi menimbulkan dugaan bahwa tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para pengusaha bordir tidak semata-mata berlandaskan rasionalitas ekonomi semata, tapi juga oleh aspek lain, seperti diketahui para pengusaha bordir di Tasikmalaya dekat dengan institusi keagamaan seperti pesantren, yayasan yatim piatu, lembaga keuangan syariah dan lain-lain yang syarat dengan nilai-nilai Islam. Selain itu latar belakang budaya lokal Sunda yang mempunyai nilai persaudaraan dan solidaritas yang kuat silih asih silih asah silih asuh, kacai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, bengkung ngariung bongkok ngaronyoksauyunan tampak mewarnai tindakan-tindakan masyarakat yang diduga mempengaruhi tindakan para pengusaha bordir ini. Kedua hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah ada pengaruh dari nilai-nilai agama Islam dan budaya Sunda pada tindakan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terlekat dalam jaringan sosial sehingga industri bordir dapat bertahan? . Rumusan Masalah Pada awalnya komunitas perajin bordir merupakan industri kerajinan rakyat, sehingga industri yang dalam pengelolaannya lebih bersifat padat karya, dikerjakan dalam lingkup kecil atau dengan tenaga kerja di lingkungan keluarga saja. Nilai-nilai sosio kultural ekonomi subsisten 8 pedesaan masih banyak mewarnai kalkulasi rasionalitas ekonomi mereka dalam mengembangkan aktivitas perdagangan. Dalam hubungan sosial produksi mereka lebih banyak mengedepankan nilai moralitas ekonomi dari pada maksimalisasi keuntungan rasionalitas formal. Dalam perkembangannya perajin bordir banyak yang mengembangkan usahanya karena mengikuti permintaan pasar dan mereka banyak yang beralih menjadi pengusaha dengan jumlah tenaga kerja sampai ratusan orang. Bentuk produksi dan distribusinyapun mengalami perubahan seiring dengan sistem ekonomi pasar. Sistem ekonomi pasar dengan basis industri modern berlawanan dengan sistem ekonomi tradisional dengan basis kerajinan rakyat. Industri modern dalam pengelolaannya lebih bersifat padat modal, proses produksinya dilakukan secara massal. 8 Ekonomi subsisten adalah suatu kegiatan produk ekonomi tidak berorientasi pasar, tetapi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri sendiri serta lingkungan sosial terdekat. Evers dan Korf, Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruag-ruang Sosial, 2002; 237 Sedangkan industri tradisional pengelolaannya bersifat padat karya dan lebih bersifat kekeluargaan serta lingkup lebih kecil. Pengusaha bordir Tasikmalaya sebagai salah satu aktor sosial, dalam keadaan sulit sekalipun secara ekonomi berhasil melakukan akumulasi kekayaan, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi 1997 1998, kegiatan usaha mereka menjadi salah satu pilar yang ikut menyelematkan dari keterpurukan ekonomi bangsa. Mereka memiliki semangat entrepreneur yang tinggi dan adaptif. Tidak hanya menyumbang dalam penyerapan tenaga kerja, namun juga memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, hingga menciptakan berbagai peluang usaha lainnya yang menjadi penopang usaha inti. Sebagai “golongan sosial strategis” meminjam istilah Sitorus 1999, para pengusaha bordir merupakan kekuatan sosial potensil dalam rangka transformasi sosial tidak hanya bagi pengusaha bordir tapi juga masyarakat lainnya di wilayah Tasikmalaya, dari masyarakat petani tradisional menuju masyarakat industri bordir. Bertahannya ekonomi industri bordir di Tasikmalaya dari berbagai krisis dan masalah yang menghempaskan usaha mereka, sejalan dengan nilai-nilai kewirausahaan Islami dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam perilaku para pengusaha seperti dalam hubungan jaringan kerja dengan sesama pengusaha, pekerja, serta pedagang. Mereka selalu berusaha untuk menjaga nilai amanah trust atau saling percaya, jujur, dan adil. Begitu pula nilai-nilai Sunda yang mempengaruhi masyarakat Tasikmalaya diantaranya silih-asih silih-asah silih-asuh yang memiliki makna sesama warga untuk saling menyayangi dan mengayomi yang termanifestasikan dalam aktifitas ekonominya. Sebagaimana diuraikan di atas, bagaimana teori embeddedness Granovetter dan isomorphism D’Magio Powell sebagai teori kelembagaan baru, ‘bekerja’ sehingga dapat menjadi alat analisis dalam mengkaji ekonomi industri bordir dapat bertahan. Masyarakat Tasikmalaya berbudaya Sunda dan beragama Islam, yang dengan etika moral ekonomi Islam dan Sundanya diduga mempengaruhi ketahanan dan perkembangan industri bordir melalui jaringan sosial baik secara individu dengan individu maupun kelompok ataupun kelembagaan, yang sampai saat ini sudah bertahan puluhan tahun lamanya dan mengalami perkembangan pasang surut. Dengan demikian masalah utama yang ingin dijawab dalam penelitian sosiologi ekonomi yang terkait industri bordir Tasikmalaya adalah “ Mengapa industri bordir di Tasikmalaya dapat bertahan sampai saat ini hampir satu abad ?” Dalam perkembangan industri bordir Tasikmalaya, ada dua peristiwa besar yang berpengaruh signifikan, yaitu, peristiwa meletusnya gunung Galunggung tahun 1982, dan krisis moneter tahun 19971998. Saat itu produk pertanian merosot tajam karena lahan sebagian besar tertutup debu vulkanik, sehingga lahan yang bisa ditanami sangat terbatas. Akibatnya masyarakat yang sebelumnya bekerja di pertanian terpaksa beralih pada pekerjaan non pertanian, seperti kerajinan tangan. Sedangkan krisis moneter 19971998 mengakibatkan kembalinya masyarakat yang asalnya dari desa ke desa asalnya untuk mencari pekerjaan. Mereka ini mencari sumber nafkah dari kegiatan bordir karena seperti dijelaskan sebelumnya lahan amat terbatas sedangkan masyarakat yang butuh bekerja sangat banyak. Kerajinan bordir di Tasikmalaya yang tumbuh dan berkembang merupakan jawaban atas permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat karena adanya bencana gunung Galunggung dan krisis moneter. Bordir Tasikmalaya yang dulunya hanya diproduksi dalam bentuk pakaian tradional kebaya ternyata mampu berkembang menjadi bermacam-macam perlengkapan rumah tangga seperti taplak meja, seprei, produk ekspor, sampai pada perlengkapan pakaian muslim yang saat ini sangat diminati oleh masyarakat. Produk bordir dari UKM Tasikmalaya ini sanggup bertahan sampai puluhan tahun lamanya sejak awal kemunculan kerajinan bordir, sementara UKM-UKM lain tidak mampu bertahan terhadap krisis ekonomi maupun pasar global. Apa yang menyebabkan usaha UKM ini bisa bertahan dan berkembang sampai saat ini? Mengapa industri bordir di Tasikmalaya mampu bertahan dan berkembang dalam krisis sosial ekonomi selama ini? Apakah industri-industri yang sejak awal diwarnai kultur Sunda dan Islam merupakan suatu aspek yang menyebabkan industri tetap bertahan sampai sekarang. Mengapa perkembangan industri bordir terjadi mobilitas sosial dari aktor-aktornya, mengingat bordir yang dulunya merupakan produk eksklusif dari kaum menak turunan ningrat, saat ini banyak diproduksi dan dipakai masyarakat biasa cacah ? Sejalan dengan pendapat Granovetter adanya keterlekatan embeddedness dalam jaringan aktor-aktor, dan adanya kesamaan bentuk isomorphism etika ekonomi mereka dalam industri bordir bisa terjadi antara pengusaha-pengusaha yang berlatar belakang etnis Sunda dengan aktor-aktor yang berasal dari jaringan yang terbentuk dari kelembagaan Islam. Dengan demikian akan dilihat berbagai tipologi pengusaha dalam jaringan relasi antara budaya Sunda dengan kelembagaan-kelembagaan Islam. Sejauhmana keterlekatan embeddedness kedua aspek ini turut membentuk entepreneurship pada pengusaha-pengusaha bordir di Tasikmalaya. Bagaimana mereka memaknai perilaku ekonomi dalam hal ini antara aktor-aktor etnis Sunda dan Islam? Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana industri bordir di Tasikmalaya dapat bertahan sampai saat ini selama hampir satu abad? a. Faktor-faktor apa yang membuat ketahanan industri bordir di Tasikmalaya? b. Bagaimana tindakan ekonomi pengusaha bordir yang terlekat dengan etika moral ekonomi islami dalam jaringan sosial sehingga industri bertahan? 2. Bagaimanakah tipologi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terbentuk berdasarkan tindakan ekonominya sehingga industri bordir dapat bertahan ? 3. Pada kelompok sosial manakah Menak dan CacahSomah yang berpengaruh terhadap ketahanan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya? Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan: 1. Menganalisis faktor utama yang menyebabkan industri bordir di Tasikmalaya dapat bertahan sampai saat ini yang telah mencapai hampir satu abad. 2. Menganalisis tindakan ekonomi pengusaha bordir yang terlekat dengan etika moral ekonomi islami dalam jaringan sosial sehingga industri bertahan. 3. Menganalis tipologi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terbentuk berdasarkan tindakan ekonominya sehingga industri bordir dapat bertahan 4. Menganalisis dan mengidentifikasi pada kelompok sosial pengusaha yang mana Menak dan Cacah, yang mempengaruhi ketahanan ekonomi industri bordir di Tasikmalaya Hipotesis Pengarah Hipotesis pengarah penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu teori, maupun yang dapat berfungsi sebagai petunjuk kemungkinan arah penelitian dan sama sekali tidak mengikat. Hipotesis pengarah yang dirumuskan bersifat fleksibel, longgar dan terbuka untuk dilakukan perubahan-perubahan bahkan penggantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena hipotesis pengarah tidak terlepas dari pertanyaan- pertanyaan penelitian, maka hipotesis pengarah dalam penelitian ini merupakan penjabaran dari pertanyaan penelitian. 1. Embeddedness keterlekatan antara etika moral Islami dan etika budaya Sunda dalam jaringan sosial kemitraan, perkawinan intermarriage, dan suksesi kepemimpinan transisional mempengaruhi tindakan ekonomi pengusaha bordir sehingga industri dapat bertahan 2. Tindakan ekonomi yang terlekat embedded dengan etika moral Islami dan Sunda membentuk tipologi pengusaha bordir yang berbeda. 3. Etika moral Islam dan Sunda pada kelas sosial pengusaha bordir Menak mempengaruhi ketahanan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya Kegunaan Penelitian Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori dan konsep sosiologi ekonomi pedesaan khususnya menyangkut ketahanan ekonomi, mobilitas sosial ekonomi, keterlekatan tindakan ekonomi, kelembagaan dan tipologi pengusaha aktor. Kegunaan praktis diharapkan para pihak yang terkait, terutama pengambil kebijakan agar dapat menciptakan regulasi yang menguntungkan semua pihak, sehingga pada gilirannya akan tercipta kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Lebih jauhnya diharapkan mampu menjadi model untuk pemberdayaan masyarakat di wilayah lain. Novelty 1. Penelitian tentang studi Ketahanan Industri Bordir ini adalah melalui pendekatan etika moral ekonomi Islami dan budaya Sunda, sedangkan studi-studi sebelumnya menggunakan analisis etika moral budaya, atau etika moral agama saja. 2. Penelitian ini menggunakan kerangka teori dan konsep keterlekatan embeddedness dari Granovetter dan kesamaan bentuk etika isomorphism dari D’Magio Powell, sedangkan kajian-kajian sebelumnya hanya menggunakan teori embeddedness. 3. Penelitian ini juga semakin menguatkan hasil penelitian sebelumnya bahwa golongan menak tradisional feodal berdasar kebangsawanan pada masyarakat Sunda khususnya tanah Priangan, sudah tidak ada lagi, akan tetapi industri bordir memunculkan golongan cacah masyarakat kebanyakanpetani bertransformasi menjadi menak baru elit sosial ekonomi baru dengan karakteristik yang hampir sama. 4. Penelitian ini membuktikan bahwa ketahanan dan keberlangsungan industri bordir di Tasikmalaya disebabkan adanya keterlekatan etika moral agama Islam dan budaya Sunda dalam tindakan ekonomi pengusaha melalui jaringan sosial, sehingga novelty yang diajukan adalah teori keterlekatan Islam- kultural Islamy-cultural embeddedness theory. 5. Ketahanan dan perkembangan industri bordir di Tasikmalaya juga diperkuat oleh struktur jaringan, khususnya keterlibatan dari pemerintah dalam jaringan sosial ekonomi produksi dan distribusi. Ruang lingkup Penelitian ini dibatasi pada kajian sosiologi ekonomi komunitas bordir di Tasikmalaya khususnya di kecamatan Kawalu yang berkaitan dengan ketahanan ekonomi industri bordir. Karena penelitian ini merupakan studi kasus, maka hasilnya tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh populasi pengusaha bordir di Tasikmalaya. Menurut Kamus besar bahasa Indonesia, ketahanan adalah daya tahan, kekuatan, stamina, imunitas, kekebalan, resistensi, Toleransi, kegigihan, keuletan, kekuatanketetapan hati, kesabaran, ketabahan, ketegaran. Ketahanan budaya adalah kekuatan dan keteguhan sikap suatu bangsa, dalam mempertahankan budaya asli, termasuk budaya daerah dari pengaruh budaya asing yang kemungkinan dapat merusak dan membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Ketahanan ekonomi adalah daya tahan, kegigihan, keuletan, kekuatan, kesabaran, ketabahan dalam segala aktifitas yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan ketahanan industri adalah daya tahan, kekuatan, kegigihan, keuletan dan kesabaran para pengusaha bordir dalam segala aktifitas ekonomi yang berhubungan dengan produksi dan distribusi serta konsumsi bordir.

II. KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL