ETIKA MORAL DAN JARINGAN SOSIAL EKONOMI DALAM TINDAKAN EKONOMI PENGUSAHA BORDIR TASIKMALAYA

V. ETIKA MORAL DAN JARINGAN SOSIAL EKONOMI DALAM TINDAKAN EKONOMI PENGUSAHA BORDIR TASIKMALAYA

Pendahuluan Bab lima ini, merupakan analisis identifikasi lanjutan terhadap data lapangan pengusaha bordir Tasikmalaya. Adapun yang dianalisis dan diidentifikasi dalam bisnis bordir Tasikmalaya di bab lima ini adalah unsur keterlekatan etika moral dan budaya, serta struktur jaringan sosial pengusaha bordir. Pengidentifikasian keterlekatan etika dan jaringan sosial ini dilakukan karena merupakan konsekwensi logis dari teori sosiologi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu, teori sosiologi dalam perspektif teori sosiologi ekonomi Weberian yang dikembangkan oleh Granovetter 1985, bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan sosial. Tindakan ekonomi sebagai tindakan sosial melekat embedded dalam budaya dan agama, serta jaringan sosial. Pengusaha bordir Tasikmalaya merupakan pengusaha berbudaya Sunda dan beragama Islam. Dalam menentukan nilai-nilai budaya Sunda dan agama Islam yang melekat dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya, diidentifikasi berdasarkan nilai-nilai yang ada pada ajaran agama atau budaya. Nilai etika Islam berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Islam baik secara fiqh, maupun yang sudah dikembangkan menjadi ekonomi Islam, yang bersumber dari kitab suci Al- Qur’an dan Hadis serta pandangan kepada para ahli agama Islam. Nilai etika Sunda berdasarkan budaya Sunda yang sudah turun temurun dianut dan digunakan sehari-hari sampai saat ini, dan dari penulis-penulis yang mengkhususkan diri dalam kebudayaan Sunda serta dikonfirmasi pandangan dari ahli budaya Sunda. Adapun etika ekonomi adalah berdasarkan etika ekonomi formal. Di bagian akhir bab lima ini, dianalisis persamaan- persamaan keterlekatan tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya, baik dari aspek tindakan ekonominya, maupun aspek nilai dari Islam dan Sunda, berdasarkan perspektif teori isomorphisme. Berdasarkan teori dan konsep seperti itu maka pemikiran bahwa nilai-nilai agama Islam dan budaya Sunda dapat mempengaruhi tindakan atau perilaku pengusaha bordir, dan secara tidak langsung dapat mendorong atau menghambat perkembangan industri bordir di Tasikmalaya. Keterlekatan nilai Islam dan Sunda dalam tindakan ekonomi para pengusaha bordir dibahas dalam sub-sub bab berikut. Keterlekatan Etika Moral dalam Tindakan Ekonomi Pengusaha Bordir Etika Moral Ekonomi Islami Dalam pandangan ekonomi klasik dan neoklasik tindakan individu itu bersifat rasional dan instrumental. Artinya tindakan ekonomi seseorang hanya bertujuan untuk memaksimalisasi keuntungan dan memimalisasi biaya atau bersifat kalkulatif. Faktor- faktor lain di luar itu tidak diperhitungkan, seperti adanya nilai-nilai budaya dan agama dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap tindakan ekonomi seseorang. Berbeda dengan pandangan ekonomi klasik dan neoklasik, dalam pandangan sosiologi ekonomi bahwa tindakan ekonomi itu adalah merupakan tindakan sosial Weber 1978. Tindakan ekonomi sebagai tindakan sosial melekat dalam jaringan hubungan pribadi dibanding dalam tindakan aktor. Hal ini berarti bahwa tindakan ekonomi yang dilakukan setiap individu tidak bisa dilepaskan dari hubungan sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, seperti nilai-nilai agama dan budaya. Dalam ajaran agama Islam setiap aktifitas ekonomi individu maupun masyarakat merupakan bagian yang tidak dapat terlepas dari kehidupan beragama. Islam mengatur semua hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya hablumminallah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya hablumminannas. Menurut Malik 2010, Islam menempatkan moralitas dan rasionalitas sebagai bingkai kalkulasi untung rugi berdasarkan pertimbangan rasionalitas ekonomi. Islam merespon keberadaan institusi ekonomi seperti pasar sebagai wahana tempat berlangsungnya transaksi perdagangan yang legal halal dan baik tayyib, karena semua orang perlu mendapatkan alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi. Pada intinya manusia memiliki peranan untuk mengelola sumber daya ekonomi dengan memenuhi prinsip-prinsip dasar keadilan, rasionalitas, serta nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Nilai nilai Islam dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir dapat terlihat dalam Tabel 13. Islam tidak bertentangan dengan berwirausaha. Islam mengundang semua umat Islam untuk menjadi wirausahawan dalam hidupnya dengan mengikuti aturan-aturan dari al Quran dan Hadits. Seorang Muslim yang ingin sukses sebagai wirausahawan maka ia harus beriman dan percaya terhadap Allah SWT. Karakteristik seorang muslimpreneur adalah bertaqwa; mengutamakan ke-halal-an sebagai prioritas, tidak mubadzir menghambur-hamburkan membuang percuma, diniatkan untuk beribadah, mempraktekkan nilai- nilai moral yang tinggi seperti menjauhi riba’, terpercaya jujur, untuk kesejahteraan bersama seperti zakat, berpengetahuan luas, peduli terhadap masyarakat dan lingkungan Faizal Et al. 2013 Keterlekatan pada nilai-nilai agama Islam dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir disebut sebagai keterlakatan religiusitas. Keterlekatan religiusitas dalam kasus pengusaha bordir Tasikmalaya ini memiliki bentuk yang bervariasi dan juga derajat yang berbeda-beda. Ada pengusaha yang lebih kuat terikat dengan nilai-nilai keagamaannya dan ada juga yang lemah, tetapi lebih kuat dipengaruhi nilai-nilai etika budaya Sunda, bahkan ada pengusaha yang perilaku ekonominya merupakan perpaduan kedua nilai yang ada di masyarakat Tasikmalaya. Dalam contoh kasus di bawah ini bagaimana nilai-nilai Islam dan Sunda terlekat dalam setiap aktifitas kehidupannya termasuk perilaku ekonomi. Sebelum terjun dalam bisnis bordir, usaha HMG adalah membuat celana kolor celana pendek untuk laki-laki yang biasanya dipinggang menggunakan karet, di jual di kaki lima atau berkeliling menggunakan sepeda sebelum tahun 1975. HMG memiliki beberapa putera yang menjadi pengusaha bordir juga. Pengusaha HMG mulai menggeluti bisnis bordir sejak tahun 1975. Menurutnya pembuatan kain bordir lebih sulit, dibanding membuat celana kolor sebagai bentuk usaha sebelumnya. Usaha bordir, selain dijahit, kainnya harus dibordir dan disolder dilubangin untuk bordir kerancang. Meskipun begitu pendapatan bordir jauh lebih besar dibanding pembuatan celana yang hanya membutuhkan tenaga untuk menjahit. Karyawan yang bekerja di perusahaan HMG sebanyak 20 orang yang terdiri dari bagian operator komputer 16 orang, dan 4 orang bagian finishing. HMG sekarang sudah berusia 67 tahun. Menurutnya dengan usia seperti itu sudah kurang tenaga dan banyak penyakit yang sudah ia rasakan, bahkan sholatnyapun selama 5 tahun terahir sambil duduk. Tahun depan 2016 beralasan dengan usia dan penyakit gulanya, HMG berencana akan berhenti dalam bisnis bordir dan tahun ini merupakan tahun terakhir dalam bisnisnya. Sementara ini untuk pemasaran HMG titip kepada anak-anaknya yang semuanya bergerak di bisnis bordir. Salah satu puteranya yang bernama H.HS menikah dengan H.DW, anak pengusaha bordir dan berbagai bidang usaha lainnya yang sangat terkenal dan dapat dikatakan sebagai ‘konglomerat’nya di Tasikmalaya. Besannya yang bernama H.WN tersebut, selain usaha bordir juga memiliki usaha lainnya yang sangat variatif seperti tabung gas, kayu, SPBU, BPR, Perguruan Tinggi, dan lain-lain. Lahir dari keluarga petani, HMG tidak mengikuti jejak orang tuanya, tapi tertarik dalam bidang bisnis sejak tamat sekolah SR SD. Ketertarikan dalam bisnis bordir sebenarnya sudah lama, sejak ia bekerja pada usaha bordir H Gazali tahun 1969, tetapi karena tidak ada modal, akhirnya ia hanya berjualan celana kolor yang memerlukan sedikit modal. Keuntungan dari membuat kolor tersebut, sedikit demi sedikit ia kumpulkan untuk membeli kain sebagai bahan yang akan dibordir. Tahun 1972 HMG menikah, dan ia tetap membuat celana kolor dan dipasarkan sendiri keliling menggunakan sepeda. Berjualan celana kolor ini dilakoninya selama kurang lebih 3 tahun, sampai tahun 1975. Selama berjualan celana kolor ini, HMG setia berlangganan membeli kain dengan salah satu toko Cina Babah, yang berada di Tasikmalaya. Tahun 1975 HMG mulai beralih usaha ke bordir. Dengan modal kepercayaan dari seorang Babah Cina yang selama ini jadi langganannya belanja kain kiloan, maka HMG mulai usaha bordir dengan membuat sarung bantal. Dengan penawaran peminjaman kain dari Babah HMG merasa senang di satu sisi, tetapi takut berhutang di sisi lain. Dengan modal bismillah, ahkirnya tawaran tersebut diterimanya. Mulai dari 20 kilo sampai kwintalan ia diberi pinajaman sama Babah. Semakin besar pinjaman, HMG pun semakin takut hutang tidak akan terbayar. HMG pun berusaha untuk lebih hati-hati dengan penggunaan uang hasil penjualan bordir tersebut. Usaha bordirnya akhirnya semakin berkembang. Seiring kemajuan usahanya, banyak toko kain yg menawarkan untuk pinjaman modal kain, tapi HMG tetap setia dengan Babah yang memberi pinjaman modal, sejak awal ia merintis usaha bordir. Menurutnya ia tidak mau berhianat, karena selama ini toko Cina itulah yang telah berjasa sampai berkembang seperti itu. Bahkan ketika HMG membutuhkan kendaraan bermotor untuk transportasi usahanya, iapun dipinjamkan untuk membeli kendaraan tersebut atas nama Babah tersebut. Berdasarkan keterangan HMG, di Tasik itu ada toko yang memberikan hutang kain diakumulasi hutangnya dalam satu tahun menjelang lebaran Idul Fitri. Jenis bordiran yang HMG buat adalah baju koko, kalaupun ada pesanan seperti mukena ia makloonkan ke orang lain yang membuat bordir untuk mukena. Baju koko sendiri lakunya musiman, yaitu 3 bulan menjelang Idul fitrni. Sejak kain bordir tidak lagi kiloan, maka iapun berubah ke meteran. Karena toko Cina langganannya tidak memiliki kain meteran, maka ia pindah ke toko lain yang menjual kain meteran gulungan. Hubungan produksi dengan pekerja tidak terikat, artinya pekerja bebas kerja di orang lain selama tidak ada pekerjaan di perusahaan HMG. Mereka diperbolehkan pindah majikan sesuka pekerja, dan jika nanti sudah tersedia pekerjaan di tempat HMG, mereka boleh balik lagi. Turun naek produksi biasa terjadi selama usaha ini dijalankan. Disamping keuntungan, kerugianpun juga dialaminya. Kerugian biasanya karena pembayaran dari konsumen pedagang agen berupa giro kosong atau konsomen yang menipunya. Dia sendiri tidak langsung berhubungan dengan pelanggan yang biasa membeli bordirannya dalam jumalah besar, tetapi ada mediator atau sales yang menjadi penghubung dengan para konsumernya. Sejak tahun 1983, HMG menjalani usaha dengan menggunakan jasa sales untuk mencari pelanggan. Sales itu sendiri merupakan tetangga dari HMG. Pada saat itu hanya sekitar tiga orang pengusaha bordir yang berada di wilayahnya, yaitu desa Saguling, Kawalu Tasikmalaya. Seperti pada saat peneliti datang ke rumahnya, HMG baru saja memproduksi baju koko untuk anak-anak tanggung sekitar usia SD yang pemesannya membatalkan pesanannya dengan alasan desain bordirnya tidak sesuai dengan yang diinginkan customer. Menurutnya pemesan ini tidak langsung ketemu HMG, tapi melalui tetangganya yang kebetulan membeli baju koko dewasa, dan ia tertarik untuk anak-anak sekolah di daerahnya di Ciamis. Pemesan melalui telpon langsung memesan sebanyak 25 kodi atau 500 buah baju koko tersebut tetapi dengan ukuran tanggung. Saking senangnya HMG langsung memproduksi koko tersebut, tanpa membuat contoh dulu satu buah. Tetapi setelah koko itu jadi semua, ia mengirimkan foto baju koko dengan desain bordir yang ia buat melalui BBM. Ternyata pemesan merasa tidak cocok dengan desain bordirnya karena terlalu rame, tidak minimalis. 500 baju kokopun akhirnya gagal terjual langsung oleh satu pemesan. HMG kebingungan untuk mencari pembeli dalam jumlah yang besar, dan pelanggan yang selama ini belanja bordirannya belum pernah dengan pesan ukuran tanggung seperti yang ia produksi sekarang ini. Begitu juga pengalamnanya dengan pedagang dari Rangkas bitung yang memesan baju koko sampai ratusan kodi. Pemesan tadi hanya memberikan uang muka saja, tanpa melunasi sisanya. Setiap ditagih hanya janji dan janji karena menurut pemesan tersebut ia juga tertipu sama orang lain yang juga akan menjual baju koko tersebut. Salesnya yang merasa malu dan bersalah terhadap bapak HMG. HMG juga merasa tidak tega untuk menuntut sales tersebut, karena hanya memiliki sepeda motor, dan hanya jualan makanan snack untuk anak-anak. Penipuan ini sudah berkali-kali dan teulang. HMG ini terlalu sabar, dan gampang percaya pada orang lain, sehingga sering tertipu. Piutang yang banyak tertunda di pelanggan, membuat HMG mencari cara untuk menagihnya, antara lain dengan surat, telpon, didatangi langsung customernya, dan lain- lain, tetapi tetap banyak yang tidak membayar. Karena kebaikan dan kesabaran HM, utang piutang ini tidak pernah sekalipun HMG memperkarakannya ke polisi. Alasannya karena selama ini ia sudah berhubungan baik dengan para pelanggannya, lebih dari 10 tahun menjadi pelanggan dan HMG sudah merasakan keuntungan dari hubungan dengan para pelanggan tersebut. HMG hanya ingin menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan, meskipun sampai saat ini tetap tidak ada kepastian. HMG sendiri harus menutupi hutang ke toko kain dengan menjual mobil hasil dari bordir juga. HMG memasarkan hasil produksinya, pada awalnya berkeliling menawarkan ke toko-toko di beberapa kota di pulau Jawa selama kurang lebih 25 tahun nganpas ke kota Solo, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain. Pada saat ini HMG memiliki lapak di Tanah Abang di Blok F lantai 5. Meski HMG memiliki lapak di Tanah Abang, ia sendiri tidak pernah pergi memasarkannya sendiri, hanya anaknya yang menjualnya. Sekitar 10 tahun terakhir ini, HMG hanya menitipkan barang dagangannya ke 3 anaknya yang memiliki toko dan lapak di TA. Itupun kalau poduk dagangan anaknya tidak penuh di dalam mobilnya. Permodalan dalam bisnis bordir HMG tidak melalui pinjaman bank, tetapi mendapat kepercayaan berhutang dari toko kain yang sudah menjadi langganannya. Toko langganannya meminjamkan kain terserah bapak HMG mau berapa saja akan ia dapatkan. Menurut HMG ia bisa berhutang ke toko Ajad toko kain kepunyaan ketuturan India sampai ratusan juta. Tetapi sekarang ini HMG tidak berani karena pemasaran semakin menurun. Ajad memberikan hutang kepada pengusaha bordir langganannya tidak pernah dibatasi. Apabila tidak bisa membayar dengan uang, maka diganti dengan tanah. Hasil keuntungan dari usaha bordir selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, juga memberi bantuan kepada 300 fakir miskin, setiap 6 bulan sekali. Santunan ini biasanya dilakukan setiap bulan muharram, sementara tahun ini pas Idul Adha. Hal ini dilakukan HMG sudah puluhan tahun lamanya. Orang-orang yang diberi santunan, berdasarkan data-data dari ketua RT- RT sekitar agar tepat sasaran dan ia sendiri tidak mengenal siapa orang yang diberi santunan tersebut. HMG melakukan ini karena ia memikirkan nasib orang lain yang kekurangan, sementara yang lainnya kelebihan. Seperti yang dituturkannya, “ Ieu jalmi hese sare bakat ku wareg, ieu mah jalmi hese sare bakat ku lapar”, kabarokahan teu lepat, mung iraha digentos ku Gusti Alloh makana urang ngabantu kudu karena Alloh” Ini orang susah tidur karena saking lapar, dan ini orang susah tidur karena kekenyangan. Keberkahan tidak akan salah, cuma kita tidak tahu kapan digantinya oleh Allah, oleh karena itu kalau menolong harus karena Alloh ” Wawancara, HMG, 15 Oktober 2015 . Peribahasa dalam bahasa Sunda seperti yang diungkapkan oleh HM di atas mengindikasikan bahwa HM sangat terpengaruh dengan nilai-nilai budaya sunda silih asih, silih asah, silih asuh dan juga Islam. Empati yang begitu kuat dalam dirinya terhadap apa yang dialami orang lain yang kekurangan, sangat terlekat dalam tindakan ekonominya, sehingga tidak memikirkan untung ruginya dalam berbagi yang dapat berimplikasi pada usaha bordirnya, karena yakin akan mendapatkan balasan dari Yang Maha Kaya. Etika moral tolong menolong atau solidaritas sosial Durkheim, 1984 atau ashabiyah Khaldun, 2000 terhadap sesama yang ditunjukkan oleh HMG sesuai dengan nilai- nilai yang terkandung dalam ALQur’an: “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” QS. 5:2 Perilaku ekonomi lainnya yang terpengaruh dengan nilai-nilai Islam dan budaya Sunda adalah pernah menjadi orang tua asuh, untuk anak sekolah yang tidak memiliki biaya. Menurutnya ia merasa berdosa kalau tidak bisa membantu orang yg tidak memiliki biaya untuk sekolah. Sekitar 40 orang anak yang dibiayai HMG sampai akhirnya berhenti ketika ada program BOS Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah. Dia yakin bahwa “Janji Alloh pasti tepat, orang yang menolong orang lain, pasti Alloh akan menolong kita. Cuma belum tahu kapan waktunya”.seperti yang diungkapkannya Di samping itu HMG sering membantu orang-orang kecil yang membutuhkan pertolongan. Seperti yang diceritakannya, ketika ada seorang ibu2 yg kelihatan lusuh. Dia orang tua yg sudah renta. Punya utang 500.000. untuk modal jualan lotek semacam gado- gado, yang dipinjamnya dari rentenir. Si ibu ini harus mengembalikan setiap bulan dengan bunya 10 , HMG merasa tidak tega, karena uang segitu untuk modal harus pake bunga pula. Menurutnya “Sanes ku seueur, tapi teu tega, artos modal tadi kudu di bungaan 10 artinya bukan karena kebanyakan kaya, tetapi tidak tega, uang modal tadi harus diberikan bunga 10”. Ahirnya ia memberikan uang ke ibu tua tadi sebesar Rp 500,000,- dan ibu tua suruh mengembalikan uang pinjaman dari rentenir tadi. Menurutnya terserah mau mengembalikan kapan uang yang ia pinjamkan, tidak ditentukan. Begitu juga ketika suatu waktu melihat tukang bakso yang sedang dimarahin sama orang karena punya utang Rp 1 juta. Modal tersebut harus dikembalikan dicicil setiap harinya dengan bunga 20 . Dalam tiga hari tukang bakso ini tidak jualan sehingga tidak bisa bayar cicilannya, disebabkan ia pergi menengok keluarganya di kampung. Akhirnya Bp HMG meminjamkan uang kepada tukang bakso tersebut sebesar Rp 600 ribu, tanpa pake bunga dan tidak ditentukan kapan harus mengembalikannya. Perilaku ekonomi HMG sangat terlekat kuat dengan nilai-nilai agama Islam sekaligus nilai Sunda seperti yang telah dijelaskan di atas. Ia tidak membiarkan orang lain dalam keadaan kekurangan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam seperti termaktub dalam QS Al- Ma’un: 1-3 yang artinya “ Celakalah bagi orang-orang yang mendustakan agama 1 yaitu orang-orang yang menghardik anak yatim 2, dan menelantarkan orang-orang miskin”. Selain itu HM juga tidak bisa membiarkan orang yang teraniaya oleh rentenir. Keuntungan yang didapat oleh seorang rentenir merupakan uang riba’ dan riba dalam Islam adalah haram. Sifat penolong, sabar dan ikhlas tercermin dalam perilaku ekonomi serta tindakan sosial sehari-hari. HMG menjadi pengusaha bordir dalam upaya mendapatkan kekayaan sebagai modal kapital agar dapat beramal berjariyah untuk bekal akhirat nanti. Selain itu iapun dapat menyekolahkan putera puterinya ke jenjang yang lebih tinggi, tidak seperti dirinya yang hanya tamatan SD karena ketiadaan biaya. Salah satu puteranya yang bernama HH yang menjadi pengusaha bordir juga sebenarnya dia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, dengan mengambil jurusan agama. Setelah lulus S1 rencananya mau melanjutkan ke jenjang S2 di Cairo Mesir. Selama menunggu panggilan dari Mesir, HH ini ikut berdagang bersama kakaknya ke Tanah Abang. Setelah ikut terjun berdagang tersebut, HH tertarik menjadi pengusaha di bordir juga. Sekarang ia telah memiliki delapan buah mesin bordir komputer dan menikah dengan salah satu anak dari pengusaha bordir yang sangat terkenal di Tasikmalaya. HMG sebagai aktor ekonomi bordir di Tasikmalaya termasuk pengusaha menengah berdasarkan omset atau nilai produksinya. Meskipun demikian HMG perilaku ekonominya sangat terikat dengan ajaran-ajaran agama dan budaya, yaitu nilai-nilai Islam dan budaya Sunda. Di samping itu ia juga sebagai pengusaha yang sangat peduli dan dekat dengan masyarakat biasa cacah karena sering menjadi ‘pahlawan’ bagi mereka. Di wilayah Saguling Kawalu Tasikmalaya selain menjadi perintis pengusaha bordir ia juga menjadi tokoh masyarakat yang disegani karena keluasan pengalamannya. Tabel 13. Keterlekatan pada Nilai Islami dalam Tindakan Ekonomi Pengusaha Bordir Nilai-nilai Islami Tindakan SosialEkonomi Konsep Sistem Sosial Ekonomi Keyakinan keimananritual Melaksanakan ritual kewajiban agama dengan taat Membayar zakat Membuat aturan terkait dengan perilaku keagamaan karyawan Memberi keleluasaaan pekerja untuk beribadah Mendirikan atau membatu lembaga pendidikan Islam pesantrensekolah agama Tidak menggunakan modal Bank riba ’ Kesalehan individu Kesalehan sosialekonomi berbagi Manusia bermanfaat bagi sesama Tanggung jawab bersama Ekonomi non kapitalis Ikhtiar Bekerja keras Belanja kain dan benang sendiri Mengontrol pekerjaburuh Menyiapkan semua kebutuhan produksi bordir Menyiapkan makan pekerja 2-3 kali sehari Mengecek hasil bordir pekerja Memasarkan hasil bordir ke pasar Bekerja optimal Ukhuwah Memberi makan dengan menu yang sama dengan pengusaha Menyediakan sopir dan mobil gratis untuk pekerja maupun tetangga yang akan berobat ke rumah sakit Membawa berobat pekerja kalau sakitkena musibah Memberi oleh-oleh ke pekerja ketika pergi ke luar negeri Mengumrohkan pekerja yang sudah lama bekerja dan loyal Kepedulian sosial Amal Shaleh sedekah Memberi santunan anak yatim Memberi bantuan orang miskin Memberikan sembako masyarakat sekitar tetangga setiap bulantu Memberi sembako setiap 6 bulan sekali sebanyak 300 kk Menjadi orang tua asuh untuk anak-anak yang kurang mampu Ekonomi Berbagi Adil Memberi gaji yang sama kepada semua pekerja sesuai keahliannya Menegur dan menasehati pekerja yang melakukan kesalahan Memberi reward bagi pekerja yang bekerja dengan baik Memberikan perlakuan yang sama kepada semua pekerja, pedagang, pembeli Keadilan distributif Jujuramanah Memberitahukan barang yg tidak bagus atau cacat Mengirim barang sesuai pesanan Menjagatidak mengurangi kualitas dan kuantitas barang Membayar utang sesuai perjanjian Memelihara keakuratan tindakan kerja dan perjanjian Sabar Sabar menunggu pembayaran utang yang tertunda Sabar ketika mengalami kerugian Mengajari pekerja yang lambat dalam bekerja menghindari konflik sosial Tawakal Memproduksi bordir dan medistribusikannya, hasil untungrugi nya diserahkan pada Tuhan Takdir Untung dan rugi yakin sudah ada yang ngatur Menerima apapun yang terjadi Ikhlas Menerima kerugian tidak sedih berlebihan Menerima keuntungan dengan senang dan tidak sombong Sumber: Data lapangan diolah, 2015 Berdasarkan tabel 13. di atas terlihat bagaimana semua perilaku pengusaha bordir yang mencerminkan terlekat dengan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai keimanan menjadi landasan dalam setiap tindakan aktor. Bahkan ritual keagamaan seperti; shalat berjamaah, tidak menerima pekerja yang tidak sholat, mengembalikan pekerja yang tidak jujur kepada orang tuanya ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kebijakanaturan perusahaan. Hal ini akan terlihat pada tindakan pengusaha bordir, yang berbeda antara satu pengusaha dengan pengusaha lainnya dalam pelaksanaannya. Semua yang dituliskan dalam tabel di atas adalah kumpulan tindakan dari semua pengusaha yang menjadi responden. Berdasarkan tindakan-tindakan tersebut yang nantinya akan mengklasifikasikan satu pengusaha dengan lainnya ke dalam tipe-tipe. Etika Moral Ekonomi Budaya Sunda Masyarakat Tasikmalaya sebagai masyarakat Sunda, dalam berperilaku selain dipengaruhi nilai-nilai Islam juga nilai-nilai budaya Sunda ikut mewarnai aktifitas kehidupan sehari-hari termasuk aktifitas ekonomi yang memiliki ciri pandangan hidup sineger tengah dibelah tengah, yang memiliki makna perilaku atau tindakan yang terkontrol agar tetap wajar dan seimbang. Kewajaran ini tergantung pula pada perorangan Warnaen,1987:215. Selanjutnya Warnaen menjelaskan bahwa pandangan hidup orang Sunda dalam berinteraksi yang paling utama adalah menjaga harmonisasi, kerukunan, kedamaian, ketentraman dengan yang lain. Mengalah adalah perbuatan terpuji, bukan aib sepanjang tidak menyinggung nilai anutan atau kebenaran yang dianggapnya paling tinggi yaitu harga diri, kehormatan, keyakinan, dan kata hati. Keributan sebaiknya dihindari, lebih baik menahan diri dengan diam-diam, memendam rasa pundung dari pada melawan dengan kekerasan atau adu otot, sehingga tampak dari luar seperti tidak ada keberanian dan perlawanan dengan kekasaran adalah pilihan yang paling akhir, semua ini melandasi peran sosial orang Sunda dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Para pengusaha bordir pada dasarnya tidak bisa terlepas dari nilai, norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Nilai norma dan etika itu berasal dari agama, budaya atau tradisi lokal maupun budaya luar. Sebagian pengusaha bordir terikat atau terpengaruh dengan nilai-nilai budaya Sunda atau lebih tepatnya memiliki etika moral ekonomi yang melekat pada nilai-nilai Sunda lebih kuat dibanding dengan nilai-nilai agama. Seperti dalam kasus pengusaha di bawah ini yang bernama bapak HJJ dan ibu HRF. Dua pengusaha ini memiliki pengalaman dan karakteristik yang berbeda-beda. Sebelum terjun dalam bisnis bordir, HJJ yang berusia sekitar 60 tahun ini adalah seorang tukang kiridit usaha kredit keliling sejak tahun 1970 sampai tahun 2000. Selama kurang lebih 30 tahun berusaha di bidang kredit, HJJ bisa memiliki rumah di daerah Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan tanah yang ada di daerah Kawalu Tasikmalaya, serta menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Sebelum benar-benar terjun sepenuhnya di usaha bordir HJJ selama 3 tahun, mulai tahun 1997 sampai tahun 2000 usahanya merangkap yaitu tetap di kreditan dan bordir yang mulai di rambahnya. Sejak tahun 2000 usaha HJJ mulai fokus di bisnis bordir. Transformasi usaha tersebut HJJ jalani karena usaha dalam bidang kredit mulai menurun bahkan hampir tenggelam. Dia selalu ingat dengan pesan dari orang tua-tua dahulu, seperti yang diungkapkannya, “ceuk kolot, lamun urang keur di sawah, heg aya emei rawa, heg urang rek tibebes, kudu buru2 hanjat, lamun teu hayang ti bebes. kata orang tua, kalau kita sedang di sawah kerja, terus ada rawa-rawa, terus kita mau terperosok, harus cepat-cepat bangun pindah, kalau kita tidak ingin terperosok ”. Makna dari peribahasa orang tua tersebut mengandung nilai-nilai yang sangat mendalam yaitu kita harus memantau usaha atau pekerjaan kita, jangan terus memaksakan diri dalam suatu usaha yang sudah tidak trend atau sudah tidak dibutuhkan lagi orang banyak, tetapi segera bangkit dan beralih ke usaha lainnya. Hal ini sesuai dengan etika kerja yang dijadikan acuan oleh HJJ adalah bekerja itu harus ulet dan pantang menyerah, dinamis, yang merupakan cerminan dari nilai-nilai Islam. Dalam sebuah ayat al Quran disebutkan bahwa “Allah tidak akan merubah suatu kaum, apabila ia tidak merubahnya sendiri”. Artinya bahwa seseorang atau masyarakat itu tidak akan berubah menjadi lebih baik atau maju kalau tidak berusaha dan berjuang dengan usaha dari orang atau masyarakat tersebut. Menurut HJJ usaha itu harus melihat pasar, apa yang sekarang menjadi trend, itu pula harus dijadikan acuan termasuk dalam desain bordir. Menurutnya tahun 1970an adalah tahun usaha kridit lagi ngetop, sedangkan semakin ke sini semakin jarang orang yang usaha di bidang kreditan yang keliling dengan setoran harian, kalah dengan para pengusaha kredit yang modalnya lebih besar dan bayar bulanan. Sosok HJJ adalah sosok pekerja keras. Hal ini terlihat sejak kelas 3 SD, ia sudah belajar berdagang. Sekolahnya hanya tamatan Sekolah Dasar SD. Sebenarnya neneknya seorang pengrajin bordir, tetapi ia awalnya tidak mengikuti sejak neneknya. Ia sudah memiliki jiwa entrepreneur sejak kecil. Ketika melihat temannya jajan, dia sudah berpikiran untuk bisa menghasilkan uang sendiri dengan bekerja, tidak meminta uang jajan ke orang tua, bahkan hasil jualan dia berikan kepada orang tuanya. HJJ berjualan kayu bakar, jualan gowengan sembako dengan cara dipikul dan berkeliling kampung- kampung. Ketika menginjak usia remaja, sudah ada perasaan malu, ia beralih ke kiridit yang awalnya ikut bekerja dengan orang lain yang menjadi bos dunungan. Selama 3 tahun ia menjadi anak buah tukang kiridit, akhirnya HJJ menjadi tukang kiridit sendiri, dengan bantuan dari dunungan itu sendiri. Selama 30 tahun itulah profesi sebagai seorang kiridit ia jalani bersama dengan beberapa anak buahnya yang membantu keliling untuk menjajakan dagangannya dengan cara dicicil harian pembayarannya. HJJ memasarkan hasil bordirannya ke pasar Tanah Abang setiap Senin dan Kamis bersama-sama rekan seprofesinya pergi bareng-bareng. HJJ berangkat jam 12 malam dan sampai di Tanah Abang sekitar jam 4 pagi. Berjualan di Tanah Abang di lantai 5 Blok F dari mulai pagi hari sampai pukul 14. Setelah itu siap-siap untuk balik ke Tasik lagi berkumpul bersama keluarga dan mengawasi para pekerja bordir yang berada di rumahnya. HJJ mendapatkan kioslapak di Tanah Abang adalah hasil usaha dari Koperasi GAPEBTA Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya yang mendapat kepercayaan dan kerjasama dari pemerintah daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Dengan adanya GAPEBTA ini HJJ merasa sangat terbantu karena bisa mendapatkan tempat yang tetap, tidak harus berpindah-pindah. , Menurut HJJ ada persamaan dan perbedaan antara usaha kridit dengan bordir, yaitu sama-sama mendapat keuntungan, sedangkan perbedaannya adalah kalau kredit pelan-pelan tapi pasti, karena dibayar nyicil setiap hari, sedang bordir bisa dapat langsung besar sekaligus hasilnya. Usaha kridit harus keliling ke kampung-kampung setiap hari, sedangkan bordir tidak perlu keliling yang penting sudah memiliki tempat usaha dan tempat pemasaran. Pekerja dalam pandangan HJJ itu bukan sebagai pekerja, tetapi sebagai partner mitra, seperti yang diungkapkannya, “ saya menjual, pekerja yang mengerjakan, saya bukan bos, tapi saling membutuhkan. Kebanyakan yang bekerja di sini adalah bekerja di luar atau dimakloonkan. Beberapa orang Cengkaw seorang agen yang memiliki anak buah pekerja yang ngemakloon di sini memiliki anak buah yang bekerja untuk membordir. Cengkaw-cengkaw ini lah yang berhubungan langsung dengan saya dan setiap cengkaw memiliki 10- 20 orang perajin bordir “. Sikap atau etika kerja HJJ di atas yang memperlakukan pekerja tidak seperti seorang bos atau memperlakukan pekerjanya sebagai mitra kerja adalah cerminan dari adanya social embeddedness keterlekatan sosial pada nilai-nilai moral budaya Sunda silih asih, silih asah, silih asuh, ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak. Nilai-nilai kebersamaan yang diusung, seperti dalam peribahasa “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Selanjutnya HJJ menambahkan, “ ...dengan pekerja itu sama sederajat dan menjadi partner kerja agar sama- sama mempunyai tanggung jawab, sejajar, tidak ada bos, berdoa bareng- bareng, sama-sama enak, contoh kalau pesenan harga satu potong ngebordir itu Rp 9000, kalau ada lebih, ya.. juga bagi-bagi, jangan sampai untung besar sendiri.” Prinsip-prinsip seperti itu dimiliki dan didapatkan dari pelajaran hidup dan pengalaman hidup yang dialami oleh HJJ ketika mengalami susah dahulu, sehingga dirinya merasa berempati terhadap pekerja silih asih, dan merasakan bekerja itu berat dan cape silih asah dan sama-sama belajar saling mengisi ilmu dan mengingatkan dalam menghadapi segala kesulitan. Oleh karena itu menurutnya antara pengusaha dan pekerja harus saling menunjang silih asuh. HJJ juga menambahkan, “kalau ada kesalahan jangan memarahi pekerja, apalagi sampai tidak membayar tenaganya karena dianggap tidak sesuai keinginan pemilik dalam p ekerjaannya. Bagi saya “anti pisan ngadahar kesang batur” sangat anti memakan keringat orang lain yang artinya tidak membayar pekerja, tapi hanya menasehatinya agar jangan mengulang pekerjaan yang salah itu, barang yang salah atau kurang bagus bor dirannya itu tetap dikembalikan “. Etika-etika kerja HJJ seperti yang diuraikan di atas, sangat sesuai dengan nilai- nilai budaya Sunda dan agama Islam yang harus membayar pekerja tepat waktu. Dalam sebuah Hadis Nabi disebutkan “bayarlah upah pekerja itu jangan sampai kering keringatnya”. Begitu juga kalau ada pekerja yang sakit, HJJ membantu untuk berobat, meskipun semacam jaminan sosial secara formallegal tidak ada, hanya menurutnya “secara kemanusiaan aja membantu”, karena usahanya bersifat kekeluargaan. Produk yang dihasilkan dari usaha bordir HJJ adalah mukena dan kerudung untuk anak-anak sekolah warna putih dan coklat untuk pramuka yang diberi merk Dewi Sri. Bagian produksi ini dibantu oleh anaknya HJJ. Poduksi HJJ tidak menggunakan mesin komputer, tetapi menggunakan mesin juki. Pengiriman barang melalui mobil angkutan umum yang sudah berlangganan, setelah mendapatkan pesanan dari customers melalui telpon. Pembayaran untuk pekerja adalah mingguan dan menggunakan sistem borongan dengan menghitung satuan. Meskipun bayaran pekerja mingguan, tetapi kalau ada pekerja minta bayaran atau gajian bulanan atau dua mingguan juga bisa. Bahkan bisa becer atau kasbon sebelum waktu pembayaran karena terdesak kebutuhan. Keuntungan yang didapatkan dari usaha bordirnya digunakan selain untuk membiayai kebutuhan keluarga juga membantu anak asuh. Keuntungan tersebut dikalkulasi dalam satu tahun, dihitung dan dibagi-bagi, membayar zakat infak didahulukan, baru dihitung sisanya untuk membantu orang yang membutuhkan, seperti membantu anak yatim piatu untuk biaya sekolahnya. Selain itu juga HJJ membantu mempefasilatasi untuk bedah rumahnya, listrik gratis dari deperteman sosial, memanfaatkan otoritasnya sebagai ketua RW. Modal untuk usaha bordir HJJ tidak didapatkannya dari bank, hanya melalui kepercayaan. Kepercayaan dari orang lain atau toko Cina yang selama ini jadi langganannya untuk berbelanja kain yang akan dijadikan bahan mukena dan kerudung anak yang akan dihias dengan bordiran. Begitu juga sewaktu HJJ usaha kredit juga diberikan modal. Pada awalnya ikut bekerja dahulu sama orang. Dan akhirnya HJJ diberi kebebasan untuk berdagang dan berbelanja sendiri dengan bimbingan dari dunungannya. Menurut Giddens 2005 kepercayaan dalam masyarakat pramodern itu akan tumbuh dan berkembang dalam empat lingkungan yaitu hubungan kekerabatan, komunitas masyarakat lokal, kosmologi religius dan tradisi. Sedangkan dalam masyarakat modern, terdapat tiga lingkungan yang dapat menimbulkan kepercayaan yaitu sistem abstrak, relasi personal dan orientasi masa depan. Dalam kasus HJJ mendapat kepercayaan modal dari toko Cina di wilayahnya Tasikmalaya, karena hubungan personal yang sudah terjalin selama HJJ berlangganan belanja kain tidak pernah berbuat curang dan juga bagi toko kain Cina memiliki orientasi ke masa depan, yaitu keuntungan yang akan di raih karena prospek bisnis borbir yang menjanjikan. Usaha bordir HJJ memiliki pelanggan tetap sejak 2005. Perkenalan pertama dengan pelanggan satu ini adalah ketika belanja di pasar Tanah Abang. Sejak awal belanja sampai sekarang HJJJ belum tahu alamat lengkapnya di mana, hanya namanya saja yang HJJ tahu, yaitu HAY berasal dari Padang. Kurang lebih 10 tahun berlangganan dengan HJJ, sampai sekarang pemesanan barang HAY melalui telpon dan pengiriman barang melalui ekspedisi. HJJ memberikan kepercayaan penuh kepada pelanggan jarak jauh ini, meskipun menurut Gambetta, 1988 kepercayaan ini berkaitan dengan ketidakpastian dan keterbatasan perkiraan tentang perilaku orang lain. Tanpa ada rasa khawatir tertipu, sampai saat ini masih tetap menjadi langganan yang dilanjutkan dengan isterinya karena HAY telah meninggal dunia. Kepercayaan HJ terhadap pelanggannya disebabkan karena sistem abstrak. Dalam jarak yang tidak dekat dengan pelanggan HJJ memberikan kepercayaan melalui alat simbolis Alat simbolis adalah sarana pertukaran yang dapat diedarkan seperti uang terlepas dari jarak yang jauh, tetapi dengan simbol uang sebagai alat pembayaran yang bisa mewakili pembeli penggunanya HAY di Padang. Pemasaran usaha bordir HJJ lebih banyak ke luar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga, Malaysia. Menurutnya prospek bordir ke depan masih cerah, meskipun bordir dari Cina sudah masuk, seperti baju koko, asalkan produk mukena tidak diproduksi Cina atau negara lainnya, bordir Tasik akan tetap dapat bertahan. HJJ menjelaskan bahwa ekonomi bordir itu bisa tetap bertahan karena 1 mukena menjadi sentra bordir di Tasik, 2 harus terus berinovasi dengan produk dan desain lebih modern, 3 memiliki etos kerja yang tinggi, ulet dan bekerja keras. Selain bapak HJJ, ibu HRF juga termasuk sebagai pengusaha yang perilaku ekonominya terlekat dengan nilai-nilai kesundaan. Ibu HRF yang telah berbisnis bordir sejak tahun 1997 dengan merk dagang Al-Riyaz. Al Riyaz ini adalah merk baju koko dan mukena yang diproduksinya. Sebelum memproduksi sendiri ibu HRF dan suami ngemakloon dari orang Jakarta. Dalam perjalanan usahanya karena membutuhkan modal HRF mendapatkan dukungan modal dari perbankan. Usahanya sempat mengalami kegagalan pada tahun 2006. Saat itu ibu HRF memasarkan produknya ke pasar Anyar di Bogor. Pasar Anyar mengalami yang menghanguskan ruko-ruko termasuk pedagang baju-baju muslim seperti baju koko dan mukena yang HRF pasarkan di sana. Akibat kebakaran tersebut para pedagang di toko tersebut tidak bisa membayar dagangannya ke ibu HRF bahkan mereka pergi tidak menempati lagi ruko-ruko tersebut dan meninggalkan hutang kepada HRF. Untuk menutupi modal yang telah habis karena banyak pedagang yang tidak bayar, maka HRF menjual mobil. Dan tahun 2007 HRF mulai bangkit lagi dalam usaha bordirnya. Tabel 14 Keterlekatan nilai-nilai sunda dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir Nilai-nilai Sunda Tindakan Ekonomi Konsep Ekonomi Sapapait samamanis, sauyunan Berbagi keuntungan lebih ke pekerja Tidak beralih ke komputer karena tidak mau mengurangi pegawai Memberikan bonus untuk pekerja rajinsesuai target Profit distributif Berehan, bageur Memberi bantuan tetangga yang kesusahan Memberi bantuan anak yang kurang mampu Tutulung kanu butuh, tatalang kanu susah kepedulian sosial Silih asih, silih asah Silih asuh Pinter Singer Mengajari pekerja cara membordir yang baik Mengajari pekerja menjadi pengusaha bordir Transfer kompetensi knowledge, attitude dan skill Cageur Memberi makan pekerja Menyediakan penginapan bagi pekerja Memberikan waktu istirahat Membatu pengobatan pekerja yang sakit atau kecelakan kerja Kepedulian sosial Bener, jujur Membayar upah sesuai dengan perjanjian Membayar utang sesuai perjanijian Memberi tahukan ke konsumen kalau ada barang yang cacat atau kurang Menepati kontrak sosial yang telah disepakati Pamalitabu Mempertahankan kebiasaan orang tua nenek moyang misal tetap mempertahankan alat bordir, motif bordir Percaya pada tahayul pamali menjahit malam hari Memperhatikan petuah dari nenek moyangnya Menjunjung tindakan tradisional Sumber: data lapangan diolah, 2015 Ibu HRF ini terlekat dengan nilai-nilai Sunda yang terlihat dalam perilakunya seperti membebaskan karyawannya berjumlah sekitar 40 orang untuk makan di rumahnya atau memilih mentahnya uang, tidur di rumah sendiri atau tempat yg disediakan dan libur karena keperluan pekerja. Karyawan juga dianggap sebagai keluarga atau saudara yang bisa meminta bantuan apabila dibutuhkan. Menurutnya yang penting pekerjaan beres, antara keluarganya dengan karyawan tetap terjaga hubungan baik dan harmonis. Untuk menjaga keharmonisan dengan tetanggapun ibu HRF di bengkel usaha bordirnya dipasang ruangan kedap udara, agar tidak mengganggu tetangganya karena kebisingan suara mesin komputer yang berjumlah enam buah. Ia memilih usaha di bidang bordir karena ingin berbagi dan membantu orang-orang sekitar yang membutuhkan pekerjaan maupun penghasilan. Keterlekatan dengan nilai-nilai Sunda dari perilaku keseharian HRF ini juga bisa terlihat dari sikapnya yang tidak terus menuntut ganti rugi atau mengejar piutang dari para pelanggannya yang mengalami kebakaran. Ia pasrah dan rela dengan semua yang sudah terjadi, dan berusaha untuk bangkit lagi. HRF lebih baik mengalah daripada harus berkonflik dengan para pelanggannya yang memiliki hutang padanya, Etika Ekonomi Kapitalis Dalam pandangan ekonomi neoklasik prinsip dasar ekonomi modern, asumsi dasar yang memotivasi manusia dalam melakukan tindakan ekonomi adalah pencapaian manfaat utility yang maksimal. Permasalahan untung rugi cost –benefit ratio menjadi pertimbangan yang utama. Apabila keuntungan akan di dapat, apapun akan dilakukan, meskipun harus bertentangan dengan norma dan nilai agama maupun budaya. Tetapi bila kerugian yang akan diraih, maka akan segera ditinggalkannya. Maksimalisasi keuntungan merupakan ciri utama ekonomi kapitalis. Etika ekonomi kapitalis tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat barat, tetapi sudah merasuk hampir ke seluruh penjuru dunia, termasuk masyrakat pedesaan di Indonesia yang sudah mengenal sistem ekonomi modern pasar. Etika ekonomi modern ini terus menggerus etika ekonomi tradisional yang lebih mencirikan pertimbangan moral budaya maupun agama. Hal inipun terjadi di masyakarat Tasikmalaya khususnya dalam komunitas pengrajinpengusaha bordir. Pengusaha bordir di Tasikmalaya yang lebih dari berjumalah 1371 orang, selain memiliki kesamaan bentuk sikap dan tindakan ekonominya, juga memiliki karakteristik perilaku yang berbeda-beda. Pada dasarnya setiap pengusaha menginginkan mendapat keuntungan dari setiap aktifitas ekonominya. Hasil dari keuntungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga ada juga pengusaha yang bertujuan untuk mengembangkan usahanya lebih besar lagi atau terus berkembang atau memperluas usaha dalam bidang lain ekspansi usaha. Dari pengembangan usahanya tersebut, dia akan dapat memenuhi semua keinginannya seperti memiliki rumah yang besar dan megah, memilki kendaraan yang mewah dan keluaran terbaru, membeli tanah ataupun sawah yang luas, juga memiliki usaha-usaha lainnya yang terus berakumulasi pada modal dan keuntungan. Sesudah memilki rumah yang satu, ingin menjadi dua, tiga dan seterusnya. Begitu juga dengan kendaraan dan tanah, akan terus bertambah. Untuk mencapai semua tujuan tersebut maka tindakan ekonomi pengusaha bordir tersebut, melakukan berbagai cara seperti menjual harga kain bordir dengan harga yang tinggi, memberi utang kepada konsumen dengan harga yang tinggi, memberi upah karyawan murahrendah, memaksa karyawan terus bekerja tanpa mengenal lelahistirahat, pekerja di dalam sulit untuk mendapatkan izin karena urusan penting keluarga cuti sakitcuti hamil , bersaing dengan pengusaha lain dalam harga, mengambil karyawan yang masih ada kontrak kerja dengan pengusaha lain, memecat pekerja tanpa kompromi, membajak desain model dari pengusaha lain, hasil keuntungan hanya untuk memperkaya diri dan keluarganya, membuka usaha lain, memonopoli penjualanperdagangan. Untuk lebih jelasnya tentang tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya yang terlekat pada etika ekonomi modern, dapat terlihat dalam tabel 17. Meskipun pengusaha bordir ini terlekat dengan etika ekonomi modern kapitalis, mereka tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban agama lainnya yang menjadi ciri sebagai seorang pengusaha muslim seperti sholat wajib lima waktu, puasa bulan Ramadlan, menunaikan ibadah haji, dan lain-lain. Tabel 15 Keterlekatan etika ekonomi kapitalis dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir Etika Ekonomi Modern Tindakan ekonomi Konsep Ekonomi Kapitalis Maksimalisasi keuntungan Membayar upah pekerja rendah dibawah UMR daerah Menggajiupah karyawan rendahmurah Membeli bahan yang harga murah Memberikan utang dengan perjanjian formal -Menekan biaya produksi dan distribusi serendah rendahnya -Menggaji pekerja rendah Persaingan Menjual barang di bawah harga pasar Membajak pekerja pengusaha lain Membajak desain motif bordir pengusaha lain Membajak pelanggan pengusaha lain Bersaing yang tidak fair dalam sistem produksi dan distribusi dengan pengusaha lain Self interest individualis Monopoli penjualan Tidakkurang peduli pada masyarakat sekitar Memberi izin cuti pekerja sangat ketat Tidak kurang bekerjasama dengan sesama pengusaha Membatasi ruang gerak pekerja Monopoli penjualanperdagangan Utility pemanfaatan maksimal Keuntungan untuk memperkaya diri dan keluarga Membeli membangun rumah baru Menambah kendaraan baru Membeli tanah untuk perluasan usaha Membeli sawah Membeli peralatanmesin baru menambah modal usaha Ekspansi usaha Menumpuk kapital Di samping memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar- besarnya, ada juga pengusaha yang tidak hanya memikirkan nasib diri dan keluarganya, tetapi peduli terhadap kehidupan orang lain, yaitu pekerja, kerabat, tetangga dan masyarakat sekitar. Pengusaha seperti ini memiliki tujuan dari usahanya selain untuk mendapat keuntungan yang dapat dibagi dengan orang lain juga memberi penghidupan untuk pekerja dan masyarakat sekitar. Dia sangat senang dan puas apabila dapat membantu kesulitan orang lain. Berdasarkan Tabel 15 di atas terlihat jelas bahwa sebagian pengusaha bordir Tasikmalaya memiliki karakteristik tindakan ekonominya yang diwarnai oleh etika ekonomi modern yang lebih mengutamakan keuntungan yang maksimal dan utility serta self interest. Bagaimanapun sistem ekonomi modern ini telah mempengaruhi perilaku ekonomi pengusaha bordir, tetapi kembali kepada tujuan atau motif dari usaha dan tindakan kerja mereka yang dapat mengendalikan serta membedakan pengusaha satu dengan lainnya. Struktur dan Jaringan Sosial Pengusaha Bordir Tasikmalaya Secara umum pelaku aktor bisnis terkait dengan industri bordir di Tasikmalaya terdiri dari pelaku-pelaku di jalur produksi yang terdiri dari penyedia bahan baku, pengrajin pekerja dan pengusaha, dan pelaku di jalur distribusi yang terdiri pengusaha pengumpul dan pedagang. Jalur permodalan terdiri dari lembaga keuangan formal dan informal Sedangkan pihak pemerintah dan asosiasi merupakan pelaku non-bisnis, yang berperan dalam mendukung dan mengembangkan industri bordir. Pola hubungan antar pelaku industri bordir Tasikmalaya berupa relasi sosial yang bermuara pada aspek bisnis, dimana hubungan komersial berjalan di atas prinsip-prinsip moral dengan pola hubungan kekeluargaan yang paternalistik antara patron dan klien. Tatanan moral tersebut merupakan perpaduan antara nilai-nilai tradisional, moral agama, kekeluargaan, dan nilai-nilai kapitalis. Demikian halnya dalam keterlibatan kegiatan ekonomi dalam struktur, budaya, politik, bahkan agama. Satu hal lagi yang juga dikemukakan adalah mengenai adanya pengaruh yang demikian kuat dari struktur atau jaringan social terhadap pengembangan ekonomi yang menyangkut masalah pengaruh struktur social terhadap distribusi tenaga kerja, dalam hal ini dijelaskan bagaimana jaringan kerja memainkan peranan penting dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, disebutkan juga peranan jaringan kerja dalam dinamika pasar, terutama dalam hal pergeseran atau bahkan penetapan harga antara pembeli dan penjual yang timbul sebagai akibat jaringan social. Terakhir juga diuraikan oleh Granovetter, bagaimana jaringan sosial berperan sebagai sumber inovasi beserta adopsinya, sebagai gambaran adanya interpenetrasi kegiatan social dalam tindakan ekonomi. Pada dasarnya jaringan social dan perannya dalam pengembangan bisnis berbasis komunitas erat kaitannya dengan teori difusi inovasi yang diperkenalkan oleh Roger 1983. Menurutnya teori ini, masuknya suatu inovasi dalam suatu system social sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain berupa faktor internal yang berupa ciri-ciri atau karakteristik individu yang akan berkonsekuensi pada terjadinya perubahan dalam sistem sosial itu, sebagai akibat dari pengadopsian ataupun penolakan suatu inovasi dalam pengembangan bisnis. Hal ini bisa terlihat dalam kasus pengusaha yang cepat mengadopsi suatu inovasi, seperti adanya mesin baru berbasis komputer, desain bordir yang mengikuti trend di pasar, bahan kain dan benang bordir, itu semua berbeda-beda dalam penerimaan atau penggunaannya anatara satu pengusaha dengan lainnya. Latar belakang pendidikan, budaya, ekonomi modal, mempengaruhi dalam adopsi terhadap hal-hal baru tersebut. Menurut Lawsons 2000, pengaruh inovasi teknologi dan ekonomi menyebabkan perubahan struktur, atau lebih konkritnya adalah perubahan kelas social sebagai akibat adanya mobilitas social. Terutama mobilitas vertical anggota masyarakat, seperti yang terjadi pada masyarakat Tasikmalaya, sebagai akibat ekonomi industri bordir yang menjadi elit sosial baru. Pandangan Lin 2000 tentang ketidakmerataan pendapatan di masyarakat tentunya sangat kontributif dalam menganalisis distribusi sumber-sumber social dalam masyarakat. Sejalan dengan pandangan itu, Granovetter 2005 mengutarakan mengenai teori jaringan social dengan menjelaskan hubungan pengaruh antara jaringan social dengan manfaat ekonomi seperti yang telah diutarakan di awal. Dalam hal ini Granovetter menyebutkan keterlibatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi, seperti halnya, bagaimana jaringan social berperan sebagai sumber inovasi yang terkait dengan teori difusi inovasi. Dalam kasus pengusaha bordir Tasikmalaya yang terjadi adalah jaringan sosial sebagai bagian dari modal sosial pada masa lalu dengan masa kini sudah bebebeda. Masa lalu jaringan sosial pengusaha bordir dalam pemasarannya masih bersifat lokal yakni sekitar wilayah Tasikmalaya. Hal ini berakibat terhadap jangkauan konsumen dan hal produksi bordirnya. Berbeda dengan masa kini jaringan sudah sangat luas, baik pada tingkat regional, nasional bahkan internasional. Berdasarkan teori jaringan seorang individu akan mendapatkan informasi, sumber daya dan dukungan sosial melalui jaringan yang dibangun berdasarkan hubungan sosial Aldrich dalam Heck et al., 2006. Menurut Ritzer dan Goodman 2007 teori jaringan memiliki beberapa prinsip yang berkaitan secara logis, yaitu; 1 ikatan antar aktor biasanya bersifat simetris dalam kadar maupun intensitasnya, 2 ikatan antar aktor harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan yang lebih luas, 3 terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jaringan nonacak, 4 adanya kelompok jaringan menimbulkan terciptanya hubungan silang antar kelompok jaringan maupun antar individu, 5 ada ikatan simetris antara unsur-unsur jaringan dengan akibat bahwa sumberdaya yang terbatas akan didistribusikan secara tidak merata, dan 6 distribusi yang timpang akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan jalan bekerjasama, sedang kelompok bersaing memperebutkannya. Informasi, sumberdaya dan dukungan sosial tersebut dapat digunakan oleh para pengusaha bordir untuk keperluan bisnisnya, bahkan pencarian peluang bisnis yang baru dan prospektif bagi pengusaha bordir. Jaringan yang dibangun berdasarkan hubungan sosial melibatkan kepercayaan. Setiap kepercayaan memiliki suatu lingkungan yang berbeda-beda. Giddens 2005 membaginya menjadi dua lingkungan kepercayaan yaitu masyarakat pramodern dan modern. Powell dan Smith-Doerr 1994 mengajukan dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami jaringan sosial yaitu metode analisis dan preskriptif atau studi kasus. Persamaan antara pendekatan analisis dan pendekatan perskriptif didasarkan atas kerangka kerja konseptual dari keterlekatan, resiprositas dan koneksi yang merupakan jaringan hubungan bagi setiap tindakan tertentu yang melekat dalam struktur sosial yang lebih luas atau masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Kedua, melalui pemakaian bahasa dan model tindakan. Kedua pendekatan tersebut sama menganggap penting kepercayaan trust bagi resiprositas dalam jaringan sosial. Pada awal terbentuknya industri bordir, jaringan yang terbentuk belum begitu rumit seperti yang terjadi pada saat ini. Jaringan produksi yang ada pada sat itu masih terbatas antara pengusaha dengan pekerja yang mayoritas anggota keluarga dekat. usaha bordir yang masih sederhana belum berkembang menjadi industri bordir seperti saat ini hanya terdiri dari usaha rumah tangga yang melibatkan aktor terbatas. Seiring dengan perkembangan bisnis bordir maka jejaring sosial industri bordirpun semakin luas dan rumit. Hubungan produksi pengusaha dengan pekerja tidak hanya terbatas pada keluarga dekat saja tetapi dengan pekerja dari luar yang tidak terikat hubungan keluarga atau kekerabatan, tetapi benar-benar hanya hubungan pekerjaan tetapi dari komunitas dan etnis Sunda Priangan timur khususnya Tasikmalaya. Dari perkembangan ini pula mncullah istilah cengkaw seperti yang dijelaskan di atas, juga pengusaha makloon. Berdasarkan jaringan pemasaranpun berbeda pada masa kemunculan industri bordir dengan masa kini. Pada awalnya jaringan sosial dalam bidang pemasaran terbatas pada jaringan lokal. Pengusaha yang memasarkan sendiri hasil bordirannya terbatas di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya. Begitu juga dengan pedagang pengumpul yang berhubungan dengan pengusaha terbatas pada pedagang dari wilayah sama atau sekitarnya. Artinya pemasarannya belum menjangkau kota-kota atau wilayah laindalam skala nasional dan internasional. Jejaring yang terbentuk sekarang berbeda dengan jaringan awal perkembangannya, seiring dengan pemasaran yang luas sampai menjangkau negara- negara luar, maka jaringan sosial yang terbentukpun berubah dan semakin luas pula dan semakin rumit. Jaringan sosial pengusaha dengan para pedangang di pasar lokal, pedagang pengumpul dari berbagai kota dan wilayah di Indonesia, bahkan jaringan dengan pedagang importir melalui ekspedisi terpercaya. Pedagang dari berbagai wilayah di Indonesia yang berelasi dengan pengusaha bordir ketika bertemu di pasar Tanah Abang semakin memperluas jaringan sosial yang terjalin dalam bisnis bordir Tasikmalaya. Disamping jaringan yang terbentuk secara individual ada juga jaringan yang terbentuk melalui institusi atau lembaga. Sebagaimana Granovetter 2005 menjelaskan bahwa jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan antar personal, antar individu dengan institusi, serta jaringan antar institusi. Jaringan sosial melalui institusi misalnya jaringan yang terjadi antara perusahaan bordir Tasik bekerjasama dengan perusahaan lain seperti perusahaan Al-Lutfi HYN dengan perusahaan Syafira dan Jogja Depart Store.Sementara jaringan social network merupakan dimensi yang bisa saja memerlukan dukungan dua dimensi lainnya karena kerjasama atau jaringan social tidak akan terwujud tanpa dilandasi norma dan rasa saling percaya. Adanya pengaruh jaringan sosial ini juga bisa terlihat dalam hubungan sosial antara pengusaha bordir Tasikmalaya dengan pelanggannya yang berafiliasi terhadap salah satu partai politik tertentu. Pengusaha ini ikut terlibat menjadi pengurus dalam salah partai Islam kasus HMM. Pada dasarnya jaringan yang terbentuk adalah melalui jaringan produksi termasuk permodalan, jaingan distribusi dan konsumsi. Jaringan produksi terdiri dari pemasok bahan untuk bordir, yaitu kain, benang, mesin, dan pekerja. Jaringan permodalan bisa melalui lembaga perbankan maupun perseorangan pinjaman melalui jalur keluarga, kerabat dan tetangga. Sedangkan jaringan distribusi melibatkan organisasi yang lebih luas, melalui jaringan lokal, regional maupun internasional. Jalur distribusi ini dapat melalui pedagang pengumpul, konsumen maupun langsung ke pasar. Lokal meliputi pasar-pasar di Tasikmalaya dan sekitarnya, diantaranya Ciamis, Garut, Banjar dan Singaparna. Sedangkan regional jaringan pemasaran lebih luas dari lokal seperti ke kota- kota besar di Indonesia seperti Bandung, Jakarta, Cirebon, Solo Jogyakarta, Surabaya, Padang, Pekanbaru, Medan, Pontianank, Banjarmasin, Makasar, dll. Sedangkan internasional mengekspor ke negara-negara di luar negeri diantaranya Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Dubai, Arab Saudi dan lainnya. Kegiatan produksi merupakan proses yang diorganisasikan secara sosial untuk menciptakan barang dan jasa. Jaringan sosial yang dibentuk maupun terbentuk oleh pengusaha bordir yang satu dengan lainnya ada yang memiliki kesamaan maupun perbedaan. Kegiatan produksi pada pengusaha yang menggunakan mesin juki yang masih manual seringkali waktunya habis digunakan dalam proses produksi. Jaringan pemasarannya lokal, serta jaringan mendapatkan modal juga cenderung sangat terbatas. Jaringan pengusaha bordir secara umum yang membentuk struktur pengusaha bordir dapat dilihat dalam gambar 5. berikut ini. Gambar 5. Bagan tentang struktur dan jaringan pengusaha bordir Sumber: Diolah dari lapangan 2015 Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian UMKM kota Tasikmalaya, menunjukkan bahwa pelaku bisnis bordir dalam jalur produksi yang pertama adalah pengusaha pengrajin bordir yang secara keseluruhan sampai tahun 2014 berjumlah 1371 yang naik hanya sekitar 4,5 dari tahun 2012 yang berjumlah 1317 orang pengusaha. Jumlah pengusaha tersebut termasuk juga pengusaha yang bergerak dalam bidang permakloonan bordir. Artinya pengusaha makloon ini mengerjakan perbordiran yang disubkontrakkan oleh pengusaha lainnya, atau langsung dari pedagang yang ada di Jakarta atau kota lainnya. Pengusaha makloon bordir ini berada di dua desa di kecamatan Kawalu yaitu desa Telaga Sari berjumlah 64 pengusaha dan desa Gunung Tandala sebanyak 51 orang. Hal ini sesuai dengan temuan Yulianti 2009 yang menyebutkan bahwa dalam industri bordir Tasikmalaya sudah mulai adanya subkontraktor yang mandiri yang ditunjukkan dengan adanya pekerja ataupun pengusahapengrajin yang mensubkontrakkan kembali maklon pekerjaannya pada pihak lain sesuai dengan keahliannya masing-masing. Hal ini berarti industri bordir Tasikmalaya sudah mulai terciptanya spesialisasi dalam industri yang menuju ke flexible production. Berdasarkan UU UMKM no 20 tahun 2008 tentang klasifikasi usaha, pengusaha bordir di Tasikmalaya terbagi menjadi tiga lapisan yaitu pengusaha mikro yaitu yang memiliki nilai produksi maksimal sampai 300 juta rupiah per tahun, pengusaha kecil yaitu nilai produksinya antara 300 juta sampai dengan 2,5 milyar dan pengusaha menengah memiliki nilai produksi sebesar 2,5 milyar sampai maksimal 50 milyar per tahun. Sedangkan pengusaha dengan nilai produksi di atas 50 milyar termasuk pengusaha besar dan dalam penelitian ini tidak diteliti. Untuk lebih detilnya bisa terlihat dalam tabel di bawah ini: PENGUSAHA BORDIR PRODUKSI MODAL DISTRIBUSI G A P E B T A P E K E R J A M A K L O O N C E N G K A W PED AG AN G PEN GU MP UL P A S A R PE M E RI N T A H B A N K PED AG AN G KAI N KELEMBAGAAN SOSIAL A G A M A L O K A L Tabel 16 Jumlah pengusaha bordir tasikmalaya berdasarkan uu umkm no.20 tahun 2008 No Pengusaha Jumlah Persentase Nilai Produksi 1 Pengusaha Mikro 756 55,14 300 juta 2 Pengusaha Kecil 536 39.10 300 juta 2.5 milyar 3 Pengusaha Menengah 79 5.76 2.5 milyar - 50 milyar Jumlah Total Pengusaha 1371 100 Sumber : Data lapangan diolah, 2015 Berdasarkan Tabel 16 di atas terlihat bahwa mayoritas pengusaha adalah pengusaha dalam level mikro dengan nilai produksi dibawah Rp.300.000.000,-,tahun sebesar 55 , sedangkan pengusaha menengah hanya sekitar 5 lima persen. Hal ini berarti pengusaha bordir di Tasikmalaya omzetnya rata-rata masih rendah, dan berdampak pada kalkulasi keuntungan yang juga sedikit. Meskipun demikian pengusaha yang nilai produksinya antara 300 juta sampai 2.5 milyar hampir mencapai 40 536 orang, dan bila digabungkan dengan pengusaha menengah maka nilai produksinya hampir seimbang yaitu 45 : 55 . Artinya perbedaan jumlah pengusaha di Tasikmalaya antara yang besar dan kecil, tidak begitu signifikan atau hampir seimbang. Pengusaha bordir yang berada di Tasikmalaya tidak semuanya langsung terjun menjadi pengusaha bordir, tetapi sebagian besar mereka awalnya menjadi pengrajin atau pekerja dahulu, pemakloon subkontrak atau cengkaw dan baru menjadi pengusaha bordir setelah memiliki cukup modal material, mental dan spiritual. Selain modal material kapital, pengusaha juga harus memiliki modal immaterial keuletan, kesabaran dan kesungguhan serta keyakinan spiritual yang kuat agar bisa terus melanjutkan usaha tersebut dan bertahan dari berbagai faktor yang bisa membuat mereka mengalami kegagalan atau kebangkrutan. Cengkaw adalah agen yang mengkordinir pekerjaan bordiran dari pengusaha ke pekerjaburuh yang berada di luar atau berada di rumah masing-masing. Biasanya seorang cengkaw memilikimengkordinir buruh bordir berbeda-beda, antara lima sampai 20 orang. Setiap cengkaw akan mengambil keuntungan dari setiap helai kain bordiran tersebut, sekitar 10-20 . Perbedaan makloon dengan cengkaw adalah kalau makloon menerima orderan pekerjaan dari pengusaha yang mengsubkontrakan pekerjaannya kepada pengusaha yang khusus memakloon baik itu hanya CMT Cutting, Making dan Triming yaitu memotong, menjahitmembordir dan merapikan atau finishing membuang benang sisa yang menempel di kain, menyetrika, melipat dan memasukkan ke plastik. Ada juga makloon yang mulai dari membuat desain bordir, memilih kain, sampai finishing merapikan, tetapi kebanyakan pengusaha maklon bordir adalah membordir yang sudah ada desainnya pada kain yang sudah dipotong, sedang finishing di lakukan oleh pekerja yang ada di dalam perusahaan. Hal itupun dilakukan oleh pengusaha yang menggunakan mesin bordir semi otomatis dan manual mesin juki dan mesin kejek, sedangkan pengusaha yang menggunakan mesin bordir komputer biasanya maklon itu hanya untuk menyambung bordiran atau menjahit saja. Sedangkan cengkaw, kedudukannya sebagai pekerja yang berada di bawah pengusaha klien dan mengkordinir pekerja-pekerja lain yang tinggal di luar perusahaan. Dengan demikian cengkaw pada umumnya terikat dengan satu pengusaha, sedangkan makloon bekerja tidak terikat dengan satu pengusaha dan merupakan pengusaha mandiri. Meskipun demikian banyak pengusaha bordir atau masyarakat menyamakan antara pemakloon dan cengkaw Aktor atau pelaku selanjutnya dalam jalur produksi adalah pekerja atau karyawan bordir. Berdasarkan catatan dinas industri dan pedagangan kota Tasikmalaya jumlah pekerja bordir sampai tahun 2014, sebanyak 13.520 orang, yang terdiri dari pekerja laki- laki 7.668 dan pekerja perempuan 3.784 orang dalam hal ini ada kekuranglengkapan data tentang jumlah pekerja laki-laki dan perempuan, karena banyak pengusaha yang hanya mengisi jumlah keseluruhan pekerja tanpa merinci secara jelas jenis kelaminnya, sehingga ada 5.852 orang pekerja tidak jelas jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Tetapi berdasarkan data yang ada, bahwa pekerja laki-laki lebih banyak dibanding dengan pekerja perempuan. Data tersebut sesuai dengan hasil observasi peneliti yang menunjukkan pekerja laki-laki pada saat ini lebih banyak dibanding perempuan. Adanya adopsi inovasi teknologi mesin bordir yang dahulu dikerjakan secara manual dan lebih mengedepankan keterampilan tangan bertranformasi ke mesin bordir dengan teknologi komputer, sehingga mengubah struktur pekerja industri bordir yang awalnya mayoritas perempuan menjadi mayoritas laki-laki. M asuknya suatu inovasi dalam suatu system social akan berkonsekuensi pada terjadinya perubahan dalam sistem sosial itu sebagai akibat adopsi atau penolakan terhadap inovasi tersebut, Rogers 1983, dan m enyebabkan perubahan struktur Lawsons 2000. Perubahan pekerja yang awalnya mayoritas laki-laki menjadi perempuan disebabkan teknologi komputerisasi dapat menggeser dan menggantikan tenaga manusia, sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit, dan laki-laki dianggap lebih mampu secara fisik dan mental karena dapat mengoperasikan selama 24 jam dengan pergantian dua shift satu ship 12 jam atau tiga shift shift 8 jam. Rasio perbandingan satu mesin komputer yang besar dengan mesin bordir biasa yaitu 1 : 12 satu berbanding dengan 12 orang tenaga manusia atau satu komputer dapat dioperasikan dengan satu orang tenaga kerja yang menggantikan 12 orang pembordir. Sedangkan mesin komputer yang lebih kecil 1 : 6 satu berbanding enam orang tenaga kerja manusia. Adanya inovasi baru dengan teknologi komputer yang serba otomatis dan lebih efektif serta efisien menghancurkan teknologi sebelumnya yaitu mesin jahitbordir kejek dan juki seperti yang dijelaskan dalam teori “Innovation, market power, creative destruction” Scumpeter 1942. Adapun aktor lain dalam jalur produksi adalah penyedia pemasok bahan dan benang bordir yaitu pengusaha kain yang memiliki toko atau pabrik kain dan pedagang kain. Di kota Tasikmalaya ada dua pedagang kain besar yang sangat dikenal di kalangan pengusaha bordir yaitu toko “Babah” dari etnis Cina dan toko “Ajad” dari etnis India. Kedua pedagang kain ini selalin memiliki toko yang besar juga memiliki macam-macam kain yang lengkap, sehingga tidak mengherankan bagi pengusaha yang membutuhkan kain dalam jumlah yang banyak akan mendatangi dan berbelanja di antara kedua pengusaha kain tersebut. Selain itu kedua pedagang tersebut juga dapat meminjamkan kainnya diutangkan dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu lama sampai satu tahun pada pelanggannya menjelang hari raya Idul Fitri. Sebenarnya pedagang kain di Tasikmalaya bukan hanya kedua pedagang tadi saja, banyak pengusahapedagang kain lainnya yang juga mengutangkan kain untuk pengusaha bordir, tetapi tidak sebanyak dan waktunya tidak bisa lama seperti kedua pedagang tadi, disebabkan modal yang terbatas. Selain pedagang kain di Tasikmalaya, pengusaha bordir juga berbelanja kain langsung ke pabriknya atau ke kota lain seperti Bandung dan Jakarta, atas pertimbangan mendapat harga yang lebih murah dan dapat suplai yang lebih banyak. Jalur pemasaran untuk industri bordir terdiri dari individu maupun perusahaan. Jalur individu adalah melalui pengusaha yang memasarkan dagangannya sendiri, pedagang pengumpul yang datang langsung maupun melalui ekspedisi atau pengusaha yang menjalin relasi dengan pedagang lokal, rejional maupun internasional. Sebagian besar pengusaha bordir memasarkan hasil usahanya sendiri, baik di rumahnya yang sekaligus juga menjadi showroom ataupun di kios-kios pasar lokal tradisonal seluruh wilayah Tasikmalaya maupun pasar-pasar luar Tasikmalaya. Para pengusaha juga nganpas ke pasar-pasar sekitar pulau Jawa, seperti Bandung, Cirebon, Jakarta, Bogor, Solo, Madiun. Surabaya, Yogyakarta dan daerah lainnya. Pada awal mereka memasarkan bordiran itu melalui nganpas untuk mencari pelanggan di daerah lain. Setelah memiliki pelanggan pedagang di kota tersebut, pengusaha hanya menunggu pesanan dan mengirimkan barang melalui jasa ekspedisi atau dikirim sendiri dan pembayaran transferan via Bank atau giro. Tetapi setelah disediakan tempat di Tanah Abang melalui GAPEBTA pada tahun 2007, maka banyak pengusaha yang pemasarannya hanya di pasar Tanah Abang tersebut, dengan alasan pasar Tanah Abang pusat perdagangan terbesar di Indonesia bahkan di Asean. Banyak pedagang-pedagang dari daerah di Indonesia bahkan negara tetangga yang berbelanja di Tanah Abang. Pedagang pengumpul pada umumnya membeli bahan maupun berbagai jenis pakaian yang menggunakan aplikasi bordir dengan motif berbeda-beda dari beberapa pengusaha untuk dijual kembali kepada konsumen. Pedagang pengumpul ini biasanya datang dari daerah yang sama maupun dari daerah yang berbeda dengan daerah pusat bordir. Pada awalnya pedagang pengumpul ini berbelanja dengan pembayaran tunai. Seiring berjalan waktu, lama kelamaan mereka menjadi pelanggan tetap, biasanya barang dagangan bisa dipinjamkan dahulu, atau dibayar sebagian dahulu, dan sebagian lainnya setelah seluruh barang terjual. Ada juga pengusaha memberikan kepercayaan penuh karena sudah lama kenal dan menjadi langganan tetap. Tetapi tidak sedikit para pengusaha yang tertipu dengan pelanggan yang awal pembayarannya lancar, sekitar dua atau tiga bulan, kemudian bulan keempat mereka kabur dengan membawa semua barang dagangan yang baru dipinjamkandiutangkan oleh pengusaha bordir. Aktor lainnya yang terkait dengan bisnis bordir adalah dalam bidang permodalan, baik formal maupun informal. Modal ekonomi bordir ini didapatkan melalui jalur individu atau lembaga ekonomi seperti perbankan. Individu didapatkan dari tabungan sendiri atau penjualan barang berharga seperti logam mulia, penjualan properti tanah, rumah atau properti lainnya, pinjaman seseorang anggota keluarga atau orang lain. Sedang jalur lembaga formal dan informal didapatkan seperti pinjaman dari Bank, koperasi, BMT serta lembaga keuangan lainnya atau rentenir. Modal ini juga bisa didapatkan dari pedagangpengusaha kain yang meminjamkan kainnya sampai satu tahun lamanya. Tumbuhnya kepercayaan dalam relasi sosial ini disebabkan karena kedekatan secara personal relational embeddedness, Granovetter,1985 antara pengusaha bordir dengan pedagang kain yang menjadi langganannya. Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya GAPEBTA adalah sebuah asosiasi yang mewadahi para pengusaha bordir dari Tasikmalaya yang didirikan pada tahun 2000. Pada saat ini GAPEBTA diketuai oleh Ir Asep Ridwan, seorang sarjana peternakan yang menjadi pengusaha bordir. GAPEBTA memiliki peran yang sangat strategis dalam membantu para pengusaha untuk mendapatkan tempat usaha yang permanen dan menjadi mediator dalam urusan kerjasama antar lembaga dan pemerintah daerah. Sampai saat penelitian ini berlangsung anggota GAPEBTA berjumlah 499 pengusaha. Para pengusaha tersebut hampir semuanya memiliki kios atau lapak di pasar Tanah Abang Blok F2 lantai 5. Kios atau lapak yang mereka miliki ataupun sewa dicicil para pengusaha melalui GAPEBTA dengan PD Pasar Jaya. Di samping membayar cicilan kios atau lapak tersebut, pengusaha yang menjadi anggota GAPEBTA juga membayar iuran anggota bulanan. Wawancara, Ridwan, 19 Sept 2014. Pelaku non bisnis yang mendukung usaha bordir selain asosiasi adalah pemerintah. Pemerintah kota Tasikmalaya secara umum meliputi instansi pemerintah yang berhubungan langsung maupun tidak berhubungan dengan bisnis bordir seperti Dinas industri dan Perdagangan Tasikmalaya, Dinas Koperasi dan UMKM kota Tasikmalaya, PT Perhutani dan lain-lain. Instansi-instansi ini memberi kesempatan untuk pengembangan industri bordir melalui penyelenggaraan pameran, membantu permodalan dan promosi dengan memberikan cinderamata kepada tamu-tamu luar yang berkunjung ke kota Tasikmalaya dengan hasil karya perajin diantaranya hasil kerajinan bordir. Dinamika industri bordir setiap pengusaha berdasarkan, lama usaha, mulai perusahaan didirikan sampai saat penelitian ini berlangsung, momenkejadian yang penting dalam perjalanan usahanya, perkembangan wilayah pemasaran, perkembangan omzet yang dicapai dalam satu tahun, serta perkembangan aset yang dimiliki sampai saat ini dapat terlihat dalam lampiran. Jaringan Sosial Pengusaha melalui Lembaga Keagamaan Lembaga pendidikan keagamaan yang ada di Tasikmalaya terdiri dari beberapa macam, diantaranya Pesantren, Taman Pendidikan Al-Quran TPQ, Taman Kanak AlQuran TKQ, Madrasah Diniyah, dan Majelis Taklim MT.. Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan memiliki pengertian yaitu sebuah lembaga pendidikan yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai dan mempunyai asrama tempat menginap santri. Pondok pesantren berdiri dan didirikan dengan tujuan untuk memberikan pendidikan dan pengajaran Islam kepada ummat Islam, agar mereka menjadi masyarakat yang berkualitas baik jasmani maupun rohani, dan memiliki kualitas keimanan, akhlak, ilmu dan amalnya. Taman Pendidikan Al Qur’an TPA adalah lembaga pendidikan islam nonformal untuk anak-anak yang menjadikan siswanya mampu dan gemar membaca Al- Qur’an dengan benar sesuai ilmu tajwid sebagai target pokoknya, dapat mengerjakan shalat dengan baik, hapal sejumlah surat pendek dan ayat pilihan, serta mampu berdo’a dan beramal saleh. Sebagian pengusaha bordir di Tasikmalaya memiliki lembaga pendidikan keagamaan tersebut., diantaranya HAR, HAH, HNQ, dan HMS. Salah satu pengusaha yang memiliki lembaga pendidikan pesantren, sekolah Madrasah Aliyah dan SMP Islam terpadu, serta Majlis Taklim MT adalah bapak HAR, sedang ibu HAH memiliki Taman Pendidikan AlQuran, bapak HNQ memiliki Majlis Taklim dan HM memiliki asrama untuk salah satu pesantren dengan nama Al-Muslim. Berikut profil pengusaha tersebut dengan segala aktifitas ekonomi mereka. Pengusaha HAR adalah penerus generasi kedua dari ayahnya HZI alm yang merupakan pelopor bahkan bisa dikatakan sebagai founding fathernya bordir di Tasikmalaya dan sekitarnya. Berkat usaha dan jasa perjuangan ayahnyalah bordir bisa berkembang sampai saat ini di Tasikmalaya. Nama Tjiwulan bordir di Tasikmalaya sudah sangat terkenal dari mulai berdiri sampai saat ini, meskipun sejak tahun 2000 yayasan yang menaunginya bernama Al-Amin. Selain bergerak dibidang industri bordir Al-Amin juga bergerak dalam bidang pendidikan yaitu adanya sekolah Madrasah Aliyah MA dan pesantren. Di samping itu yayasan Al Amin ini juga menyelenggarakan pelayanan Haji dan Umroh serta kegiatan sosial lainnya seperti mengkoordinir para donatur muslim dari berbagai negara untuk mensedekahkan harta kekayaannya bagi masyarakat miskin yang membutuhkannya. HZI mendapat keterampilan dari salah puteri Tasikmalaya yang bernama Siti Umayah, Siti Umayah sendiri belajar membordir dididik oleh Belanda sekitar awal abad 20, tepatnya tahun 1926. H.AR mulai terlibat dalam bisnis bordir sejak masih muda, ketika ayahnya masih ada. Apa yang telah diwariskan ayahnya berkaitan dengan usaha di bidang bordir sejak tahun 1990an terus ditekuni dan dikembangkannya sampai sekarang bersama dengan saudara-saudaranya. Bukan hanya dalam bidang bisnisnya saja yang HAR tekuni tetapi perilaku keseharian ayahnya juga dijadikan sebagai anutan. Bagaimana kebiasaan- kebiasaan yang diajarkan oleh HZI diteruskan oleh HAR, seperti menerima santri di pesantren Al-Amin yang sebagian santrinya adalah yatim piatu dan anak yang tidak mampu yang biayanya digratiskan atau keperluan uang sekolah serta kesehariannya HAR biayai dari hasil keuntungan bisnis bordirnya. Menurutnya sekitar 30 persen anak yatim piatu dan tidak mampu yang digratiskan seperti yang dituturkannya:. Kalau keuntungan ini lebih diperuntukkan untuk kebutuhan orang banyak. Kan ada anak-anak yang enggak bayar, jadi ada perhatiannya. Yang di sekitar sini, yang dari daerah-daerah juga banyak Bu... Kalau ada sembako, setiap tahunnya kalau ada zakatnya, dikasihkan..Tapi yang terpenting di sini, anak-anak bisa shalat benar aja Bu, bisa baca Quran, terus terampil. Jadi keluaran alumni Al- Amin, yang sudah maju ada, yang wiraswasta juga ada, lumayan lah.” Senada dengan hal di atas HAH, menuturkan; “Kalau ibu kan di sini megang yayasan ya, yayasan khusus TK Al-Qur’an, karena peninggalan ayah. Dulu yang mengelola ayah ibu sendiri dari segala macemnya, tek-tek bengek yang diperlukan dari sekolah, dari yayasan itu kan ayah yang nekel. Ayah meninggal, ayah wasiat harus ibu yang megang gitu. Jadi sekarang ibu pegang anak sekolah, jadi yang seperti yang yatim udahlah gak usah bayar, yang kurang mampu, udahlah dibantu. Alhamdulillah sekarang udah 150 lebih muridnya. Jadi gurunya ada 8, apa 11 gurunya. Dulu mah yayasan Al-Muhajirin Darul Haq, tapi mah sekarang yayasan keluarga. Jadi sekarang mah, anak ibu yang mengajukan, bikin yayasan keluarga, nama ibu”. Ibu HAH menambahkan: “Kalau di bidang kesosialan, istilahnya mah ibu juga suka memperhatikan khususnya ke RT yang ada di daerah ini, apalagi kalau musim kemarau gitu ya. Jadi, kalau ada apa-apa tolong bilang, mungkin ibu atau anak-anak bisa ngebantu. Apalagi kalau ada yang sakit, asal mau ke rumah sakit atau mau ke mana tolong telepon sopir, atau suruh diantar, ya diantar langsung. Jadi jangan sungkan, kalau ada perlu apa, kendaraan atau apa, telepon ibu, nanti ibu telepon supir diantar gitu ya”. Usaha bordir Cjiwulan berdiri sejak tahun 1961 yang dirintis oleh bapak Haji Zarkasi HZI, dan tahun pada 1987 HZI mendirikan lembaga pendidikan bordir. Sedangkan pesantren Al Amin berdiri pada tahun 2000. HZI merintis membuat mesjid, pesantren, dan prasarana jalan yang diaspal menuju ke pesantren dan Balai Pelatihan Bordir Cjiwulan. Selain pesantren juga telah berdiri gedung pendidikan untuk tingkat SMP terpadu dan Madrasah Aliyah Al Amin. Sistem pengajaran di pesantren al Amin adalah perpaduan pesantren tradisional dengan ciri khasnya belajar membaca kitab kuning. Tetapi lebih ditekankan kepada tahfidz hapalan Al Quran, minimal zuz 30 santrinya sudah hapal. Selain pelajaran formal mereka juga diberi pelatihan keterampilan bordir, agar kelak ketika keluar dari pesantrennya mereka memiliki keterampilan membordir dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Modal untuk mengembangkan usaha bordir itu sendiri awalnya menggunakan jasa perbankan. Tetapi seiring perjalanan waktu HAR tidak menggunakan modal dengan jasa bank. Ada hal yang membuat keluarga ini tidak memakai jasa lagi bank. “Kalau modal mah, saya jujur saja sama Pak Haji Zarkasi tahun 1970an itu pakai bank. Keluar dari bank itu tahun 2000 kalau enggak salah Bu. Sekarang mah udah enggak berhubungan dengan bank. Istilahnya sekarang mah, kerja sama dengan orang lain aja, terus bayar. Kalau kirimnya memang transfer lewat bank, tapi transaksinya enggak. Kebetulan relasi kita itu enggak pinjam ke bank. Kalau pinjam ke bank, aduh repot juga. Pengalaman saya, kembalikan modal itu dari bank sampai 20 tahun itu Bu. Berat itu Bu. Makannya sekarang ke rekan-rekan kalau bisa mah jangan pinjam ke bank, kecuali kalau kita kredit mobil atau rumah, itu mah lain lagi, kalau buat modal usaha mah jangan lah. Apalagi kalau Kyai Khoir, itu banyak riba-nya pokoknya jangan. Kalau NU mah agak ringan, masih bisa begini, begini. Tapi kalau dirasakan mah benar Bu. Susahnya minjam ke bank mah, jadi penyakitnya tuh ada aja Bu. Jadi kalau kita udah lancar, ada aja penyakitnya. Jadi kalau bisa mah, jangan lah. Di Indonesia kan, per ekonomian lagi susah, saingan juga banyak, susah ya Bu”. Hampir sama dengan bapak HAR, ibu HAH mendapatkan modal juga awalnya dari perbankan. Tetapi setelah usahanya berjalan dan berkembang seperti saat ini yang telah memiliki toko butik di rumahnya di daerah Telaga Sari Tasikmalaya, juga beberapa konter di pusat perdagangan Thamrin City Jakarta, ibu HAH tidak lagi menggunakan modal dari bank, bank hanya untuk media penyimpanan dan transfer para pelanggan. Mekanisme untuk mendapatkan modal adalah didapatkan dari para pelanggan yang memesan barang dapat dijadikan sebagai sebagian modal awal untuk membeli kain dan kebutuhan lainnya. Antara pengusaha dan pelanggannya sudah saling percaya, sehingga tidak membutuhkan perjanjian hitam di atas putih. HAR menambahkan: “Maksudnya, sistemnya begini. Jadi dia itu sebelumnya pernah bayar sebagian. Itu yang bayar itu maksudnya pembeli, yang pesan barang. Kita setengah dulu bisa, sisanya nanti setelah barang selesai. Jadi ada ikatan batin yang melekat. Kebetulan dia orangnya agak ini lah, tidak membedakan mana yang kafir. Perusahaan di sini kan, An-Nur kerjasama juga kan dengan Saudi. Jadi awalnya itu kan Ciwulan bordir. Awalnya itu mendirikan pesantren Al-Amin. Sekarang juga mendirikan bordir An-Nur, namanya. Sekarang tenaga kerjanya kurang lebih 350an lah. Jadi alhamdulillah lancar. Jadi berkah bekerja sama cukup baik, enggak ada masalah. Dia juga melarang awas jangan pakai bank. Kalau misalkan kita kurang jalan, musyawarah lah, pasti ada jalan keluar”. Selanjutnya HAR menjelaskan modal kepercayaan yang kuat diantara pengusaha dengan pelanggannya, seperti yang dituturkan di bawah ini: “Kalau tertulis mah enggak, lisan aja lah. Udah saling percaya lah. Kalau berhubungan dengan orang Saudi itu kalau enggak salah tahun 1990an. Dari mulai Pak Haji Zarkasi, terus sampai sekarang”. Kepercayaan adalah modal yang sangat penting dalam sebuah hubungan, dan merupakan unsur utama dalam modal sosial Fukuyama, 1999. Dalam ajaran Islam orang yang paling dapat dipercaya adalah Nabi Muhammad, sehingga dikenal dengan panggilan ‘al-amin’ karena kejujurannya. Pribadi yang dapat dipercaya inipun terbawa dalam perilaku ekonominya. Dengan kepercayaan seperti itu maka perniagaannya mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Janelle Brarlow dan Dianna Maul dalam buku mereka Emotional Value: Creating Strong Brand with Your Customer yang mengatakan bahwa banyak pelanggan pada saat ini yang tidak lagi memerlukan sebuah service atau produk dengan kualitas yang tinggi, tetapi sebuah nilai tambah secara emosional yang sangat lebih berharga daripada nilai dari produk atau jasa itu sendiri. Sebaik apapun value yang coba ditawarkan pada konsumen apabila kita tidak bersikap jujur akan menjadi sia-sia. Hal ini telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad Thoriq , 2008. Isomorphisme Tindakan Ekonomi Pengusaha Bordir Dalam sub bab ini penulis akan menjelaskan tentang kesamaan bentuk-bentuk isomorphism etika moral ekonomi pengusaha bordir yang tercermin dalam tindakan ekonomi mereka. Tindakan ekonomi pengusaha ini terlekat dengan etika moral Islam dan Sunda di Tasikmalaya. Menurut Di Maggio dan Powell 1983, organisasi terbentuk oleh lingkungan institusional yang ada di sekitar mereka. Ide-ide yang berpengaruh kemudian di institusionalkan dan dianggap sah dan diterima sebagai cara berpikir ala organisasi tersebut. Proses legitimasi sering dilakukan oleh organisasi melalui tekanan negara- negara dan pernyataan-pernyataan. Teori institusional dikenal karena penegasannya atas organisasi hanya sebagai simbol dan ritual. Selanjutnya D’Maggio dan Powell 1983 menyebutkan ada tiga bentukan institusional yang bersifat isomorphis yaitu, pertama; coersif isomorphis yang menunjukkan bahwa organisasi mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap organisasi lain karena tekanan-tekanan negara dan organisasi lain atau masyarakat yang lebih luas. Kedua; mimesis isomorphis, yaitu imitasi sebuah organisasi oleh organisasi yang lain. Ketiga, normatif isomorphis, karena adanya tuntutan profesional. Sementara konsep lain pada teori institusional menurut Meyer dan Scott 1983 dalam Donaldson 1995 adalah loose-coupling yaitu teori institusional mengambil tempatnya sebagai sistem terbuka. Dalam kasus pengusaha bordir di Tasikmalaya adalah termasuk bentuk yang kedua. Sebagai bentuk mimesis karena para pengusaha ini dalam tindakan ekonominya mengikuti atau meniru pengusaha lainnya yang sudah lebih dahulu berhasil dan bertahan. Perspektif yang lain dikemukakan oleh Meyer dan Scott 1983 dalam Donaldson 1995, yang mengklaim bahwa organisasi berada dibawah tekanan berbagai kekuatan sosial guna melengkapi dan menyelaraskan sebuah struktur, organisasi harus melakukan kompromi dan memelihara struktur operasional secara terpisah, karena struktur organisasi tidak ditentukan oleh situasi lingkungan tugas, tetapi lebih dipengaruhi oleh situasi masyarakat secara umum dimana bentuk sebuah organisasi ditentukan oleh legitimasi, efektifitas dan rasionalitas pada masyarakat. Dalam perusahaan bordir sebagai sebuah organisasi banyak pengusaha yang berhasil mempertahankan usahanya puluhan tahun dan berkembang sehingga dapat meningkatkan aset dan omsetnya. Adanya keberhasilan para pengusaha ini adalah disebabkan diikuti oleh pengusaha lainnya dengan meniru atau mengikuti perilaku yang selama ini dilaksanakan oleh para pengusaha tersebut. Perilaku atau tindakan sosial ekonomi pengusaha tersebut sebagai manipestasi dari nilai-nilai yang dianut mereka. Hal ini mengakibatkan adanya keseragaman bentuk etika dan tindakan ekonomi para pengusaha bordir. Bentuk-bentuk kesamaan tindakan sosial ekonomi tersebut dapat terlihat di bawah ini. Tindakan ekonomi pengusaha bordir di Tasikmalaya yang terlekat dengan etika Islam dan Sunda ini, selain memiliki perbedaan juga memiliki banyak kesamaan bentuk. tindakan ekonominya. Bentuk-bentuk tindakan yang serupa atau similar ini dapat terlihat dalam tindakan ekonomi maupun tindakan sosial berikut ini. 1. Pengusaha memberi kebebasan terhadap para pekerjanya untuk memilih bekerja di luar perusahaan atau di rumah masing-masing, dengan memberikan pinjaman mesin bordir dengan tidak memberikan makan dan uang jajan agar bisa lebih bebas dan dapat mengerjakan pekerjaan lainnya serta lebih dekat dengan keluarga,. Sedangkan pekerja yang ada di bengkel kerja perusahaan, diberikan makan sehari dua sampai 3 kali sehari. Di samping itu mereka juga mendapatkan uang jajan perhari sekitar rp 5000,- 2. Mengambil upahgaji kerja sebelum waktu gajian becer atau memberi pinjaman uang untuk keperluan mendesak dengan jaminan pembayaran upah kerja yang akan dilakukan 3. Memberi bantuan pengobatan ketika mengalami sakit atau kecelakaan, meskipun tidak ada jaminan kesehatan atau asuransi kecelakaan. 4. Melibatkan anggota keluarga, bahkan keluarga besarnya extend family dalam bisnis bordirnya, termasuk tetangga dekat 5. Melibatkan cengkaw semacam agen yang menjadi penghubung antara pengusaha dengan pekerja di luar perusahaan 6. Membayar upahgaji dengan sistem borongan yang dibayarkan dua minggu sekali, kecuali bagian operator komputer, operator mesin, bagian finishing dan bagian administrasi digaji perbulan. Kesamaan bentuk etika moral ekonomi pengusaha bordir bisa diringkas dalam tabel 17 Tabel 17 Kesamaan tindakan ekonomi pengusaha bordir Kesamaan tindakan ekonomi pengusaha bordir No Nilai Tindakan Ekonomi 1 Kekeluargaan Tidak memberikan aturan formaltertulis 2 Keadilan Membayar pekerja sesuai dengan kuantitas dan kualitas kerja 3 Kejujuran Memberi makan 2-3 kali sehari 4 Kerjasama Membayar utang sesuai dengan perjanjian 5 Kepercayaan Menyediakan tempat tinggal bagi pekerja di dalam perusahaanrumah 6 Kepercayaan Menyediakan mesin jahit manual juki bagi pekerja di luardi rumah masing-masing 7 Kekeluargaan Memberi uang jajan perhari sekitar Rp 5.000 8 Kerjasama Menentukan jam kerja operator 2-3 shift selama 24 jam 9 Kepercayaan dan kejujuran Memberi tenggat waktu pembayaran pada pelanggan 10 Kekeluargaan Membedakan harga berbeda antara pelanggan dengan yang bukan pelanggan Sumber: data lapangan diolah. 2015 Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa pengusaha bordir Tasikmalaya memiliki kesamaan bentuk tindakan ekonomi yang mengakibatkan bentuk kemiripan atau similaritas perusahaan yang satu dengan lainnya yaitu bercirikan perusahaan berazas kekeluargaan dan komunitas masyarakat muslim sunda yang memperoleh keuntungan di atas dasar prinsip-prinsip moral. Selain ada kesamaan dalam tindakan ekonomi, pengusaha bordir Tasikmalaya juga memiliki kesamaan dalam tindakan sosial yang mereka lakukan. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya adalah keterlibatan dalam kegiatan sosial keagamaan seperti memberi bantuan untuk kegiatan-kegiatan sosial maupun keagamaan diantaranya sumbangan pembangunan mesjid atau pesantren, bantuan untuk anak yatim piatu. Ikhtisar Berdasarkan penggunaan analisis teori Granovetter perspektif sosiologi ekonomi Weberian terhadap pengusaha bordir Tasikmalaya, keterlekatan nilai agama, budaya, dan ekonomi dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya tersebut adalah nilai- nilai agama Islam, nilai-nilai budaya Sunda, dan nilai-nilai etika formal. Nilai-nilai agama Islam yang melekat diantaranya adalah adil, sabar, siddiq jujur, amal shaleh, tawakal, takdir dan lain-lain. Nilai-nilai budaya Sunda yang melekat diantaranya adalah silih asih silih asah silih asuh, bageur, sauyunan, bener, cageur, dan lain-lain. Sedangkan nilai- nilai etika formal diantaranya adalah bersaing, maksimalisasi keuntungan, dan self interest. Adapun analisis penggunaan teori isomorphisme terhadap keterlekan nilai-nilai dalam tindakan ekonomi menunjukkan adanya bentuk-bentuk yang sama, baik dari aspek nilai-nilai Islam dengan Sunda, maupun aspek tindakan ekonominya. Isomorphisme dari nilai-nilai Islam dan Sunda diantaranya adalah kekeluargaan, kerjasama, kejujuran, kepercayaan dan keadilan, sedangkan isomorphisme tindakan ekonomi diantaranya adalah tidak memberikan aturan formaltertulis, membayar pekerja sesuai dengan kuantitas dan kualitas kerja, memberi makan 2-3 kali sehari, membayar utang sesuai dengan perjanjian, menyediakan tempat tinggal bagi pekerja di dalam perusahaanrumah dan lain-lain. Kesamaan bentuk tindakan isomorphism pada ke tiga tipe pengusaha ini adalah melakukan hal yang serupa dengan pengusaha lainnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk peniruan atau imitasi terhadap perusahaan-perusahaan yang lebih dahulu beroperasi dan mengalami keberhasilan. Kesamaan tersebut baik berupa tindakan ekonomi maupun tindakan-tindakan sosial lainnya. Tindakan ekonomi terjadi dalam hubungan produksi antara pengusaha dengan pekerja, pengusaha dengan pedagang, pemodal maupun dengan masyarakat sekitar yang memiliki kesamaan dalam tindakan sosial.

VI. TIPOLOGI PENGUSAHA BORDIR DAN JARINGAN SOSIAL Pendahuluan