Hasil Studi tentang Hubungan Agama Nilai Moral dan Tindakan

II. KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

State of The Art Berbagai literatur yang peneliti review terbagi dalam tiga bagian yaitu hasil studi tentang tindakan ekonomi rasional yang terlekat dengan nilai moral agama, studi tentang keterlekatan embeddedness tindakan ekonomi dengan nilai-nilai budaya, studi tentang isomorphisme etika dan kelembagaan baru new institutionalism dan neo- institutionalism, serta kajian industri pedesaan dan UKM yang dapat bertahan dan berkembang. Kajian sosiologis tentang tindakan ekonomi rasional dapat terlihat dari hasil studi-studi yang banyak dilakukan oleh sarjana luar Barat dan non Barat dan sarjana dalam negeri; diantaranya Weber 1976, Bellah 1992, Geertz 1983;1992, Peterson Predenburg 2009, Castles 1992, Collins 1997, Kato 2014, Mujiburrahman 2009, Malik 2010, Faizal 2013, Wilde et.al 2010, Lenggono 2011 dan Ahmad 2013. Kajian tentang embeddedness atau keterlekatan tindakan ekonomi dapat terlihat dari hasil studi: DiMagio Louch 1998, Kafi 2012, Iskandar 2012, dan Syukur 2013. Sedangkan studi yang berkaitan dengan isomorphisme dan kelembagaan baru diantaranya hasil studi; Holder Webb Cohen 2012, Chua Rahman 2010, dan Iskandar 2012 serta kajian bordir di Tasikmalaya; Yulianti 2007.

1. Hasil Studi tentang Hubungan Agama Nilai Moral dan Tindakan

Rasional Ekonomi Studi yang utama tentang hubungan agama dengan tindakan rasional ekonomi yang banyak dijadikan rujukan, meskipun masih menjadi perdebatan, adalah karya Weber 1976, “Protestant Ethic and The Spirit Capitalism”. Dalam karyanya ini Weber mengkaji tentang kemungkinan adanya hubungan antara nilai-nilai agama dengan perilaku ekonomi. 9 Weber meneliti bagaimana masyarakat Eropa Barat yang mengalami perkembangan secara ekonomi sehingga mencapai semangat kapitalisme. Weber 1976, menemukan adanya nilai-nilai keagamaan spirit dalam Protestan khususnya Sekte Calvin yang puritan. Dalam ajaran Protestan ini adanya ”calling” panggilan yaitu konsepsi agama tentang tugas hidup yang ditentukan oleh Tuhan, yaitu harus bekerja sebagai tugas suci untuk mencapai keselamatan sebagai ummat terpilih. Dalam kerangka teologis semangat kapitalisme ini selaras dengan cara mengumpulkan kapital melalui ketekunan bekerja, hemat, perhitungan, rasional dan sanggup menahan diri. Sukses hidup yang dihasilkan oleh bekerja keras bisa dianggap sebagai pembenaran bahwa ia sebagai pemeluk agama merupakan orang yang terpilih. Abdullah 1979, menyebutkan “semangat kapitalisme” dimungkinkan oleh proses “rasionalisasi dunia”. Studi lain yang berkaitan dengan suksesnya pengusaha karena karena keterlekatan nilai-nilai moral keagamaan dalam jaringan sosial adalah karya Bellah 1992, yang meneliti tentang Agama Budhis Tokugawa. Bagi Bellah, --yang mengkritisi karya Weber tentang etika religius yang terlalu menitikberatkan kepada motivasi pribadi- - dengan tidak menegasikan motivasi pribadi yang mempengaruhi perkembangan ekonomi Jepang, juga terkait dengan struktur kelembagaan tradisional dalam situasi- situasi tertentu. Dalam Tokugawa Religion, dibahas bagaimana pengaruh Budhisme Jodo serta Gerakan Hotoku dan gerakan Shingaku di Jepang yang memungkinkan terjadinya 9 Tesis Weber ini sampai sekarang sering diperdebatkan dan menjadi penelitian empiris dan tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme Abdullah, 1979: 4-9 kemajuan Jepang karena rasionalis tindakan. Sistem dan struktur sosial di Jepang struktur sosial meliputi gambaran sistem nilai, empat subsistem fungsional ekonomi, politik, integrasi dan motivasional serta unsur2 konkrit. Sistem nilai diutamakan dengan nilai politis yang lebih ditonjolkan dengan partikuler dan prestasi peformance. Partikuler lebih ditunjukan dengan tanggungjawab lebih diutamakan pada kolektifitas seperti kepala keluarga, tuan feodal dan kaisar. Sistem politik juga sebagai nilai utama kesetiaan seperti para samurai kepada Shogun dan masyarakat umum kepada Kaisar secara sukarela. Aliran konfusius sangat mempengaruhi nilai moralitas para prajurit dan samurai dengan bushidonya yang intinya mengajarkan kepada kesetiaan, hidup hemat dan sederhana, menahan diri dan sikap rajin dan pengabdian diri yang tinggi serta penghargaan diri terhadap pengembangan ilmu. Nilai-nilai tersebut tidak hanya mempengaruhi para prajurit serta samurai tetapi pedagang, petani serta masyarakat awam. Gerakan hotoku adalah gerakan yang dipelopori seorang petani yang memilki rasa tanggungjawab moral serta untuk meningkatkan produksi para petani dalam sistem kekeluargaan dan kesetiaan dan patuh terhadap orang tua. Sedangkan singoku merupakan gerakan kaum pedagang di perkotaan yang dijadikan rujukan oleh gerakan petani di pedesaan. Sejalan dengan penelitian Bellah, Collins 1997, berdasarkan hasil penelitiannya, menunjukkan motivasi agama yang mendorong umatnya untuk menjadi kapitalisme, tidak hanya berasal dari agama Kristiani Eropa, tetapi agama Budha di Jepang yang merubah komunitas petani menjadi pembuka jalan industri kapitalisme, pada era Tokugawa. Karya Clifford Geertz 1983 , “ The Religion of Java” yang diterjemahkan menjadi “Abangan Santri dan Priyai dalam Masyarakat Jawa”, membahas tentang masyarakat Islam di Jawa yang dia kategorikan menjadi tiga golongan yaitu golongan Santri, Priyayi dan Abangan. Golongan santri terdiri dari para pedagang tradisonal sukses yang dipengaruhi oleh nilai-nilai etika religius Islam juga dukungan struktur kelembagaan. Etika ekonomi para pedagang kaum santri ini adalah hemat, ulet dan muslim taat, sehingga dari sikap tersebut mendorong terciptanya rasionalitas ekonomi. Sedangkan struktur kelembagaan yang ada di Mojokuto adalah karena menjadi pusat perdagangan dan membentuk jaringan bisnis yang panjang dan padat. Pedagang merupakan tokoh-tokoh utama yang jumlahnya melebihi normal dalam kapasitas kota sebesar itu. Geertz 1992, yang meneliti kaum pedagang Muslim di Pare – sebuah kota kecil di Jawa timur- dan para pengusaha bangsawan di Bali, melihat mereka sebagai perintis yang potensial bagi munculnya kelas pengusaha industri yang sedikit jumlahnya. Melalui sejumlah penelitian yang lama dan intensif di Mojokuto dan Tabanan, Geertz 1992, menyimpulkan bahwa meskipun masyarakat di kedua kota kecil tersebut melalui proses sejarah pertumbuhan yang berbeda, namun telah menghasilkan segolongan kaum enterpreneurs yang memiliki sikap dan tingkah laku ekonomi yang serupa. Di Mojokuto golongan ini muncul dari kaum santri yang berpikiran maju, yang memasuki sektor perdagangan, umumnya sektor perdagangan kecil, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di daerah sekelilingnya. Di Tabanan, golongan pengusaha muncul sesudah revolusi fisik, ketika kemerdekaan mulai menimbulkan ancaman-ancaman langsung atas kehidupan para ningrat penguasa, yang kemudian menimbulkan desakan pada golongan ningat ini untuk melakukan perubahan-perubahan fundamental dalam sikap hidup dan tingkah lakunya. Berlainan dengan di Mojokuto, di Tabanan golongan enterpreneurs itu berasal dari kaum ningrat penguasa, priyayi pamong praja Bali. Perbedaan latar belakang dan sejarah asal ini tampaknya tidak berpengaruh atas persamaan-persamaan yang kemudian muncul, ketika kedua golongan masyarakat tersebut muncul sebagai enterpreneurs di daerahnya masing-masing. Fakta-fakta tersebut terlihat dalam persamaan berikut; pertama, pada kedua masyarakat terjadi perubahan- perubahan yang memungkinkan munculnya economic rationality dan kemudian digunakan dalam kehidupan sehari-hari; Kedua, pada kedua masyarakat timbul suatu proses pertumbuhan dari nilai-nilai baru – semacam economic ethic – yang memberikan keleluasaan pada economic rationality untuk memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat. Penelitian Kato 2014 yang menyebutkan bahwa ekonomi kapitalis dalam Islam tidaklah asing sebagai teologi yang mendorong Muslim ikut berpartisipasi dalam bisnis. Dia menjelaskan bagaimana seorang muslim yang religius tetapi juga seorang pengusaha yang berhasil. Kato memberikan contoh kasus seorang ustadz yang terkenal dan dipercaya masyarakat yaitu Yusuf Mansur dengan strategi mengasimilasikan antara sedekah dan usaha Multi Level Marketing MLM nya. Penelitian Kato ini menunjukkan adanya nilai-nilai agama yang mendorong seseorang menjadi businessman melalui jaringan multi level marketing untuk mengembangkan usaha dalam berbagai bidang melalui penanaman modal bersama antar anggota. Selanjutnya penelitian Petersen dan Vredenburg 2009 yang menunjukkan bahwa CSR perusahaan mempertimbangkan, tidak hanya moralitas bahkan ada perhitungan ekonomi, dan berdampak pada rasionalitas ekonomi perusahaan, di antaranya pengembangan pasar baru bagi perusahaan. Artinya ada hubungan antara etika moral dengan rasionalitas ekonomi. Melalui CSR perusahaan mendapat keuntungan secara ekonomi karena secara tidak langsung perusahaan tersebut mempromosikan produknya dan memperluas jaringan pemasaran melalui tempat-tempat baru yang diberi bantuan CSR. Penelitian lain adalah apa yang dilakukan oleh Ahmad dan Kadir 2013, yang meneliti tentang karakteriktik entrepreneur dan praktek nilai-nilai Islam yang hasilnya berpengaruh terhadap kesusksesan pengusaha di Kelantan dan Selangor, Malaysia. Tindakan ekonomi dengan rasionalitas nilai inilah yang membuat para entrepreneur tersebut menjadi berhasil dalam usahanya Penelitian Lenggono 2011 menggambarkan bagaimana pembentukan ekonomi lokal pada masyarakat Bugis di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kemunculan golongan sosial pengusaha perikanan lokal Ponggawa berasal dari golongan non elit atau kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat Bugis yang feodal. Selain itu kemunculan Ponggawa ini merupakan hasil dari beroperasinya kebijakan pembangunan yang membuka “ruang” bagi terciptanya “berkah terselubung”, akibat absennya negara dalam mengelola hutan negara. Lenggono 2011 selanjutnya menjelaskan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial kapitalis yang khas hybrid. Golongan ini juga menjadi penggerak transformasi sosial-ekonomi masyarakat Delta Mahakam dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Gejala kebangkitan tersebut merupakan gejala “konsolidasi ekonomi lokal” yang berpangkal pada dua hal. Pertama, terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah ” yang bersumber dari ajaran agama Islam. Kedua, adalah terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Lenggono juga mengungkapkan hubungan patron-klient antara Ponggawa dengan pengusaha migran yang lebih lemah, menciptakan hubungan eksploitatif terselubung dengan membangun mekanisme hutang lunak namun mengikat, serta mengembangkan jalur perdagangan berlapis, bahkan melakukan eksploitasi dengan penciptaan struktur pasar yang monopolistis dan monopsonistis. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi passe’ menolong sehingga mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatif. Pola hubungan patron-klient yang adaptif inilah yang mampu menopang keberlangsungan ekonomi lokal berbasis pertambakan yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Apa yang telah dikaji oleh Lenggono 2011 dengan ekonomi lokal pengusaha ikan di Delta Mahakam berkaitan dengan para pengusaha yang dapat ‘melebarkan sayap’ usahanya ke berbagai bidang untuk menjadi kapitalis yang ekspansionis. Hal ini tidak terjadi pada pengusaha bordir di Tasikmalaya. Meskipun para pengusaha bordir ini usahanya sudah besar atau menjadi pengusaha sukses akan tetapi mereka tetap loyal dan berkomitmen dalam usaha bordir maupun usaha-usaha yang mendukung kegiatan bordir. Begitu juga studi Malik 2010, yang meneliti perubahan orientasi keagamaan orang Gu-Lakudo, sinkretis-mistik Islam dengan agama tradisi leluhur pada konsepsi Islam modern-rasional menumbuhkan etos ekonomi kompetitif bersumber pada nilai ajaran Islam dalam perdagangan. Malik menemukan adanya transformasi nilai-nilai agama mendorong terjadinya rasionalitas ekonomi pada pengusaha Gu-Lakudo. Penyatuan antara kegiatan keagamaan yang dilakukan di mesjid dan perdagangan di pasar yang didalangi seorang agen H Abdul Syukur. Temuan Malik ini berbeda dengan yang terjadi pada pengusaha bordir Tasikmalaya yang justru adanya perpaduan keterlekatan nilai-nilai agama dan budaya Sunda yang mendorong etos ekonomi pengusaha semakin menguat. Penelitian Syukur 2013 tentang rasionalitas tindakan ekonomi penenun menunjukkan “mix rasionality” antara tindakan rasional formal dengan tindakan rasionalitas moral ekonomi dalam satu tindakan nyata. Tindakan mix-rasionalitas adalah tindakan ekonomi moral dan rasional yang menyatu dalam satu tindakan kompromistis. Selanjutnya Syukur 2013, mengemukakan tiga tipe penenun yang memiliki tindakan berbeda dalam kehidupan sosial ekonominya. Tipe pertama, rasional moral lebih menonjol dari rasionalitas formal. Tipe kedua, Penenun ATBM yang tindakan sosial ekonominya cenderung seimbang antara tindakan rasional formal dengan tindakan rasional moralnya, sedangkan tipe ketiga, pengusaha tenun yang memiliki tindakan rasional formal yang lebih menonjol dibandingkan dengan rasional moral. Syukur juga menunjukkan bukti empiris teori mix rasiolitas penenun Bugis Wajo yaitu 1 penenun Gedogan lebih mengedepankan nilai-nilai kultural dalam memproduksi kain tenun, namun disisi lain penenun gedogan ingin mendapat keuntungan ekonomis dari produksi kain tenun yang dihasilkan; 2 Pengumpulan kapital yang dilakukan oleh pengusaha tenun selain untuk urusan dunia pengembangan usaha, juga digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan; 3 Pengusaha tenun tidak serta merta mematikan dan mengekploitasi penenun yang lebih lemah melainkan bermitra dengan penenun ATBM dan penenun gedogan yang posisinya lebih di bawah. Kemitraan ini melibatkan adanya rasa solidaritas moral disatu sisi, namun disisi lain kemitraan tersebut mendatangkan keuntungan ekonomis kepada masing-masing pihak; 4 Kehadiran patron pengusaha dan penenun ATBM memberikan jaminan sosial dan pekerjaan serta upah kepada para klien buruh untuk bekerja sepanjang yang diinginkan klien, namun patron pengusaha dan penenun ATBM juga mendapatkan keuntungan ekonomi atas kerja kain tenun yang dihasilkan oleh klien buruh tenun. Semua hasil studi tentang adanya hubungan antara etika moral nilai-nilai agama dengan perilaku ekonomi, lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 1 Tabel 1 Studi penelitian terdahulu tentang hubungan nilai-nilai agama dengan perkembangan ekonomi Peneliti Hasil Penetian Weber 1976 Adanya Hubungan agama Protestan dengan perkembangan ekonomi kapitalis di Eropa melalui tindakan rasional seperti hemat, hidup sederhana, menabung Bellah 1992, Terdapat hubungan Nilai-nilai moral agama Tokugawa dengan perkembangan ekonomi di Jepang melalui gerakan Hotoku dan Singoku Geertz 1983 Nilai -nilai etika religius Islam yang menghasilkan segolongan kaum enterpreneurs dari kalangan santri di Mojokuto karena adanya etika ekonomi hemat, ulet dan taat serta struktur kelembagaan perdagangan yang mendukung. Peterson Predenburg 2009 Terdapat hubungan antara etika moral dengan rasionalitas ekonomi melalui jaringan CSR Collins 1997 Adanya hubungan Motivasi agama menjadi perkembangan kapitalisme seperti di Eropa dan Jepang Kato 2014 Nilai-nilai agama yang mendorong seseorang menjadi businessman melalui jaringan MLM Mujiburrahman 2009 Tidak ada hubungan antara identitas agama dan ekonomi etnisitas Malik 2010 Adanya transformasi nilai-nilai agama Islam mendorong terjadinya rasionalitas ekonomi pada pengusaha Gu- Lakudo Lenggono 2011 nilai dasar “bekerja adalah ibadah ” yang bersumber dari ajaran agama Islam memunculkan golongan pengusaha lokal Ponggawa di Delta Mahakam melalui hubungan patron-klien dan jaringan berlapis serta absennya negara Ahmad dan Kadir 2013 Nilai -nilai Islam berpengaruh terhadap kesuksesan pengusaha di Kelantan dan Selangor, Malaysia Sumber: Data lapangan diolah, 2014

2. Hasil studi tentang Keterlekatan Embeddedness Tindakan Ekonomi dengan