VI. TIPOLOGI PENGUSAHA BORDIR DAN JARINGAN SOSIAL Pendahuluan
Pada dasarnya setiap individu memiliki kesamaan maupun perbedaan dalam perilaku sehari-harinya. Persamaan dan perbedaan ini dipengaruhi berbagai faktor,
diantaranya; nilai dan norma masyarakat di lingkungannya, preferensi yang menjadi acuan tindakannya, orientasi dan tujuan dalam tindakan tersebut, cara serta alat yang
digunakan. Begitu juga dalam tindakan ekonomi seseorang akan memiliki persamaan maupun perbedaan tersebut.
Persamaan dan perbedaan tersebut dapat terlihat dalam tindakan ekonomi para pengusaha bordir Tasikmalaya yang dapat dibedakan dalam beberapa tipologi. Tipologi
pengusaha bordir dalam penelitian ini dapat dibedakan berdasarkan keterlakatan tindakan ekonomi mereka terhadap etika moral Islami dan etika moral Sunda yang dapat mengikat
perilaku mereka. Ikatan nilai moral Islami dan Sunda dalam tindakan pengusaha bordir Tasikmalaya, memiliki variasi yang berbeda dari ikatan kuat dan ikatan lemah. Dalam
bab ini akan dibahas bagaimana tipe-tipe pengusaha tersebut terkait dengan jaringan sosial yang dibangunnya baik bersifat intra maupun ekstranya, juga pada level lokal,
regional maupun internasional atau global. Disamping itu akan dibahas tentang hubungan sosial dan perlakuan pengusaha bordir terhadap pekerja maupun masyarakat sekitar
pabrik atau bengkel kerjanya. Selain itu juga akan diungkap mengenai bagaimana pengembangan ekonomi bordir dan strategi untuk mempertahankan usahanya sebagai
akibat keterlakatan dengan nilai-nilai Islam dan Sunda, bagaimana pandangan pengusaha dalam menghadapi persaingan usaha serta tipe dan suksesi kepemimpinan dalam bisnis
keluarganya.
Tipologi Pengusaha Bordir Tasikmalaya
Keterlekatan dan ketidakterlekatan embeddedness-disembeddedness pertama kali digagas oleh Polanyi 1953 dan dikembangkan pada tahun 1985 oleh Granovetter.
Menurut Polanyi, tindakan ekonomi masyarakat melekat dalam institusi-institusi ekonomi dan non ekonomi. Pada masyarakat nonindustri tindakan ekonomi melekat pada
institusi-institusi non ekonomi, sedangkan pada masyarakat modern tindakan ekonomi terlepas dari institusi sosial karena diatur oleh pasar. Smelser dan Swedberg
1994;Turner,1998; Ritzer dan Goodman 2007. Berbeda dengan Polanyi, Granovetter 1985;1992 berpendapat bahwa setiap aktivitas ekonomi pada masyarakat industri
modern pun memiliki keterlekatan sosial social embeddedness pada institusi non ekonomi seperti agama dan budaya meskipun keterlekatannya berada pada garis
kontinum kuat dan lemah. Hal ini diperkuat dengan studi Zusmelia 2007 yang menunjukkan adanya keterlekatan tindakan ekonomi pedagang kayu manis di pasar
Nagari dalam sistem kekerabatan. Begitu juga Kartono 2004 menemukan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan orang Bawean di Malaysia membentuk jaringan yang kuat
sehingga menjadi strategi pengembangan ekonomi. Sedangkan kajian Syukur 2013 membuktikan adanya keterlekatan tindakan ekonomi penenun pada budaya masyarakat
Wajo. Berdasarkan keterlekatan tindakan ekonominya yang telah di bahas pada bab sebelumnya maka tipologi pengusaha bordir terbagi menjadi tiga tipe yaitu, Pengusaha
Islami-Sundanis, Pengusaha Sunda-Islami dan Pengusaha kapitalis.
Tipe Pengusaha Islami-Sundanis
Religiusitas religiousity adalah sebuah ekspresi spiritual dengan sistem keyakinan nilai, hukum yang berlaku dan ritual Kaye dan Raghavan, 2000. Religiusitas
memiliki arti keshalihan dan pengabdian yang besar terhadap agama. Religiusitas merupakan aspek yang dihayati oleh individu dalam hati, getaran hati nurani seseorang
dan sikap personal Mangunwijaya, 1986. Menurut Glock and Stark Rahmat,2003 ada lima dimensi religiusitas seseorang yaitu 1 dimensi ideologi atau keyakinan, 2 dimensi
ritualitas atau ibadat, 3 dimensi penghayatan pengalaman, 4 dimensi pengetahuan dan 5 dimensi pengamalan.
Berikut ini bagan gambar 6 yang menggambarkan adanya keterlekatan tindakan ekonomi pengusaha bordir Tasikmalaya terhadap etika moral nilai-nilai Islam.
Gambar 6 Bagan Keterlekatan Nilai-Nilai Islami dalam Tindakan Ekonomi Pengusaha
Islami-sundanis Berdasarkan gambar 6 pada tipe pengusaha religius islamis-sunda nilai-nilai Islam
sebagai etika moral menjadi landasan dalam tindakan ekonomi mereka. Nilai nilai seperti berperilaku jujur, adil, sabar, ikhlas, dan beramal shaleh dapat ditemui dalam perilaku
mereka. Hal ini bukan hal yang ‘aneh’, tetapi sudah terinternalisasi dalam tindakannya
sebagai pengejawantahan dari ajaran-ajaran agama yang mereka yakini apalagi dari kalangan pengusaha bordir Tasikmalaya banyak yang ikut terlibat dalam aliran-aliran
tarikat yang banyak dianut oleh masyarakat Tasikmalaya, seperti aliran Naqsabandiyah Qadiriyah yang terpusat di pesantren Suryalaya, Al-Idrisiyah, Sajiliyah dan lain-lain.
Tidak ada data tertulis tentang aliran mana yang paling banyak dianut oleh mereka, tetapi berdasar informasi dari salah satu pengurus peantren Suryalaya para pengusaha ini
banyak yang menjadi penganut Naqsabandiyah Qadiriyah, karena mereka sering datang dan mengikuti ritual tarikat tersebut di pesantren Suryalaya.
PENGUSAHA ISLAMI-SUNDANIS
NILAI TINDAKAN
1. Amal Shalih, 2. Jujur
3. Adil 4. Sabar
5. Kekeluargaan
Ukhuwah 6. Ikhlas
7. Tawaqal 8. Silih asah-asih-asuh
9. Bageur
Kesalehan individu Kesalehan sosialekonomi
berbagi Manusia bermanfaat bagi
sesama Tanggung jawab bersama
Ekonomi non kapitalis Bekerja optimal
Kepedul;ian sosial Ekonomi berbagi
Keadilan Distributif Menghindari konflik sosial
Menerima apapun yang
terjadi Memelihara keakuratan
1 berbuat baik 2 tidak boleh
berbohong. 3. tidak
membeda- bedakan
4 harus lebih hati- hati
5. tidak boleh egois
6. tidak boleh
riya’ NORMA
Pada tipe ini mereka memiliki jaringan yang luas dari mulai jalur produksi, permodalan, distribusi dan kelembagaan. Pada jalur produksi para pengusaha ini
buehubungan dengan pekerja yang didapatkan melalui cengkaw ataupun teman dan kerabat. Selain itu juga berhubungan dengan pemakloon yang mengerjakan bordir atas
pesanan dari pengusaha islami sundanis ini. Pada jalur permodalan tipe pengusaha ini berjejaring dengan pengusaha kain yang memberi kepercayaan untuk meminjamkan
kainnya sampai satu tahun lamanya. Pada jalur distribusi pengusaha islami sundanis berjejaring dengan pedagang di pasar Tanah Abang dan juga pedagang pengumpul yang
datang langsung ke bengkelnya atau melalui promosi sales yang biasanya adalah tetangga ataupun kerabat. Sedangkan jalur kelembagaan mereka terlibat dalam lembaga sosial,
keagaamaan maupun budaya untuk membantu para anak yatim, para duafa juga keluarga pekerja yang kurang mampu dengan mendirikan pesantren dan yatim piatu untuk
masyarakat sekitar yang kurang mampu.
Nilai-nilai tersebut dapat terlihat dalam hubungan sosial dengan keluargakerabat dan lainnya. Pada kalangan pengusaha islami-sundanis juga memiliki jaringan kuat
dengan keluarga atau kerabat yang memberikan basis motivasi yang lebih besar untuk saling memberikan bantuan. Jaringan kuat dikalangan pengusaha menak religius ditandai
oleh adanya hubungan yang bersifat emosional yang intensif, keintiman, dan perilaku resiprokal. Tindakan aktor dalam jaringan yang seperti tidak dilandaskan pada saling
perhitungan. Tolong-menolong diantara sesama kerabat menjadi pemandangan yang lazim dijumpai dalam kehidupan sosial para pengusaha bordir religius. Namun demikian,
kegiatan tolong menolong tidak dijumpai dalam rangkaian kegiatan usaha bordir karena berbagai proses kegiatan membordir yang dilakukan pengusaha sudah melibatkan jasa
dan upah. Pengusaha bordir dengan sukarela selalu membantu tetangga, kerabat, dan teman jika mereka melaksanakan hajatan, demikian pula sebaliknya. Keterlibatan
pengusaha religius kalangan menak dalam kegiatan hajatan yang dilaksanakan oleh tetangga, kerabat, dan teman bukan dalam bentuk membantu berbagai pekerjaan yang
diperlukan dalam acara hajatan tersebut, karena kesibukannya, namun dia memberikan bantuan berupa uang atau barang. Bahkan pengusaha religius kasus HYN memberikan
sumbangan sembako setiap bulan untuk tetangga sekitar rumah sekitar 300 keluarga.
Sikap saling menerima dalam hal pemberian hadiah dan hukuman antara pengusaha bordir dan buruh bordir merupakan bentuk keterlekatan embeddednes
tindakan sosial-ekonomi pada nilai-nilai agama Islam maupun kultur Sunda yaitu mendidik untuk bekerja lebih rajin, dan ulet. Islam mengajarkan ummatnya untuk
berusahabekerja dan mencari rejeki dengan giat ‘bekerjalah kamu seolah-olah kamu akan hidup abadiselamanya dan beramalberibadahlah kamu seolah-olah kamu akan
mati esok hari”, al-Hadis. Hadis lainpun menyebutkan “tak ada makanan yang seseorang makan yang lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Sungguh, Nabi
Daud AS makan dari hasil kerjanya.” HR. Bukhari no. 2072. Berdasarkan kedua hadis di atas sangat jelas bahwa umat Islam diharuskan untuk bekerja dengan sungguh-sungguh
yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri dan keluarganya. Selain ajaran-ajaran agama, ajaran-ajaran budaya Sunda juga banyak menganjurkan untuk bekerja dengan giat
agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti dalam ungkapan “mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek, mun teu ngarah moal ngarih” artinya kalau tidak
berpikir, bekerja, dan mencari penghidupan maka tidak akan bisa makan atau memenuhi kebutuhan hidup, sebagai bagian dari ajaran-ajaran dalam masyarakat Sunda.
Kepercayaan yang muncul dari jaringan yang dimiliki oleh bapak HMG, bapak HMM, bapak HAR serta ibu HAH dengan para tetangga, kerabat, dan teman karena
mereka saling kenal dan memiliki nilai yang sama. Pemaknaan akan adanya nilai yang sama yang dianut diantara mereka muncul karena interaksi sosial intensif dan terjadi
dalam hubungan persahabatan, kekeluargaan, dan pertetanggaan. Kasus HAR menunjukkan hal tersebut. Bapak HAR ini yang memiliki lembaga pendidikan formal
setingkat SLTA dan pondok pesantren serta lembaga pendidikan informal yaitu Lembaga Pelatihan Keterampilan Bordir yang sebagian siswa maupun santrinya adalah siswa yang
kurang mampu dan anak yatim piatu. Siswa yang kurang mampu dan yatim piatu ini digratiskan untuk biaya pendidikannya, bahkan bagi siswa yang menjadi santri nyantren
disediakan pemondokan. Setiap tahun pada bulan Ramadlan yayasan Al-Amin yang dimiliki HAR dan keluarganya bekerjasama dengan lembaga filantrofi muslim dari
beberapa negara membagikan sembako ribuan bingkisan untuk tetangga dan masyarakat Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya. Bahkan ke berbagai daerah yang sedang mengalami
musibah atau kekurangan. Sehingga kerabat, tetangga dan masyarakat sekitar sangat dekat dan terjalin hubungan yang harmonis.
Tetapi bisa juga nilai bersama itu merupakan warisan sosial yang mereka peroleh dalam keluarga dan masyarakatnya yang ditransformasikan melalui proses sosialisasi.
Hubungan kuat terjadi antara sesama pengusaha Islami-sundanis yang tinggal berdekatan dalam satu kampung. Hubungan diantara mereka terjadi tidak hanya melalui saling
membantu dalam kegiatan bordir tetapi juga saling membantu dalam kegiatan sosial. Para pengusaha bordir saling membagi informasi tentang berbagai model dan jenis pakaian,
desain gambar, motif dan bahan kain bordir yang laris terjual di pasar. Meskipun terlihat mereka saling bersaing dalam memasarkan hasil bordiran yang di produksi, namun
mereka tidak menganggap teman sesama pengusaha sebagai saingan. Berdasarkan kasus bapak HMG, bapak HAR, bapak HMM dan ibu HAH, maka dapat dipahami bahwa
kegiatan untuk saling berbagi informasi tentang berbagai hal terkait kegiatan membordir sudah menjadi kebiasaan diantara sesama pengusaha bordir. Upaya sesama pengusaha
bordir mendapatkan pangsa pasar untuk kain atau baju bordiran yang dihasilkan, tidak dimaknai sebagai suatu persaingan, karena dalam pandangan mereka bahwa setiap orang
memiliki rizkinya masing-masing dan sudah diatur oleh Allah SWT, sebelum manusia lahir ke dunia. Pemaknaan seperti itu nampaknya yang melahirkan keharmonisan
hubungan diantara mereka dan tidak adanya perselisihan. Hubungan sosial melalui jaringan kuat yang dilandasi hubungan emosional biasanya cenderung menjadi hubungan
yang dekat dan menyatu. Diantara aktor yang terlibat terdapat kecenderungan untuk saling menyukai atau tidak menyukai perilaku aktor lainnya. Oleh karena itu, kontrol
sosial yang relatif kuat diantara pelaku memudahkan munculnya nilai-nilai dan norma- norma yang berfungsi mengembangkan kontuinitas hubungan sosial yang relatif stabil
sepanjang waktu. Akibatnya jaringan kuat ini akan menghasilkan rasa solidaritas yang tinggi, dimana aktor berusaha cenderung mengurangi kepentingan-kepentingan
pribadinya. Tindakan saling memberi dan menerima resiprokal diantara para aktor terpola secara tradisional berdasarkan saling keterhubungan diantara mereka. Prinsip
resiprokal ini melekat dalam ajaran Islam yang menekankan untuk saling tolong menolong dalam keb
aikan “dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan saling tolong menolong dalam keburukan dan kemaksiatan
” dan budaya orang Sunda yang mengedepankan hubunngan atas dasar silih asih silih asah silih asuh
saling menyangi, tolong menolong dan saling mengingatkan dan belajar untuk sama- sama maju, serta saling menjaga dan prinsip seorang Sunda yang “super” yaitu
cageur,bageur, bener, pinter dan singer sehat, baik sayang pada orang lain, benar, pintar, dan menjaga keseimbangan atau keharmonisan, tiis ceuli herang mata
“sejuk
pendengaran, bening penglihatan”, maknanya hidup dalam ketenangan dan kedamaian dan titip diri sangsang badan harus bisa menitipkan diri yaitu perilaku hendaknya
disesuaikan dengan lingkungan
Jaringan sosial yang terbentuk antara pengusaha Islami-sundanis dengan buruh atau pekerja bersifat jaringan kuat. Preferensi pengusaha religius ini dalam merekrut
pekerja yang bukan berasal dari kerabat didasarkan pada pertimbangan saling kenal diantara mereka sebelumnya. Buruh atau pekerja di kalangan pengusaha bordir meliputi
dua macam, yaitu pekerja yang berada di dalam rumah atau pabriknya operator mesin bordir komputer atau mesin juki dan buruh atau pekerja yang di luar pabrik atau
dimakloonkan kepada cengkaw-cengkaw semacam agen yang mendistribusikannya lagi ke buruh atau pembordir dengan sistem borongan. Pengusaha tipe pengusaha Islami-
sundanis ini terkadang meminta pertimbangan kerabat dalam memilih calon pekerja yang bekerja di pabriknya yang akan direkrut, jika pekerja tersebut belum dikenal sama sekali
sebelumnya. Jaringan sosial antara pengusaha ini dengan pekerja melibatkan adanya hubungan emosional, kepentingan, dan power kekuatan. Timbulnya hubungan
emosional dalam jaringan pengusaha dengan pekerja dilandasi oleh adanya hubungan kekerabatan dan pertemanan sehingga cenderung lebih mantap dan harmonis. Jaringan
antara pengusaha Islami-sundanis dengan buruh pada kasus ibu HYSHYN melibatkan adanya kepentingan interest diantara keduanya. Ibu HYS ingin mendapatkan
keuntungan dari penjualan baju koko bordir yang dihasilkan buruh, sedangkan buruh bordir ingin mendapatkan upah dari kain yang mereka bordir.
Hubungan seperti ini melibatkan adanya tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan. Ketika tujuan-tujuan tersebut sudah
tercapai, maka biasanya hubungan tersebut tidak berkelanjutan. Dalam konteks penelitian ini putusnya kerjasama dalam pekerjaan antara pengusaha bordir Islami dengan buruh
tidak sertamerta memutus jaringan sosial yang terjadi diantara keduanya. Hubungan diantara keduanya sering berlanjut dalam acara saling mengundang diantara mereka jika
salah pihak melakukan hajatan. Bahkan pengusaha HYS memberikan suatu ikatan jaringan yang kuat dengan buruh dengan memberikan semacam reward imbalan kepada
pekerja yang memiliki loyalitas dan bekerja sudah lama dengan prestasi dan reputasi yang baik dengan memberikan hadiah umroh gratis. Begitu juga berkaitan dengan pekerja atau
buruh yang sakit yang membutuhkan bantuan untuk berobat maka pengusaha Islami- sundanis ini memberikan bantuan untuk berobat. Kondisi ini terjadi karena adanya
persinggungan antara hubungan emosional dan hubungan kepentingan dalam jaringan sosial antara pengusaha bordir dan buruh bordir. Hubungan diantara keduanya bukan
hanya diikat oleh logika untuk saling mencari keuntungan kepentingan, tetapi juga diikat oleh hubungan kekerabatan dan pertemanan dan persaudaraan dan kesamaan dalam
nilai-nilai yang dianut.
Jaringan sosial yang terbentuk diantara sesama pengusaha bordir Islami-sundanis yang saling bertetangga lebih bersifat jaringan kuat. Jaringan ini diikat oleh hubungan
emasional dan adanya kepentingan interest tertentu. Hubungan diantara keduanya terjadi melalui saling membantu dalam kegiatan sosial tetapi tidak dalam kegiatan bordir.
Berbagai rangkaian dalam kegiatan bordir sudah melibatkan pertukaran uang dan jasa. Para pengusaha tipe Islami-Sundanis saling membagi informasi tentang berbagai jenis
model pakaian, motif dan bahan kain bordir yang laris terjual di pasar. Meskipun terlihat mereka saling barsaing dalam memasarkan hasil bordiran yang diproduksi, namun
mereka tidak menganggap teman sesama pengusaha sebagai saingan. Tindakan pengusaha Islami-Sundanis untuk saling membagi informasi terhadap tetangga mereka
yang sesama pengusaha mencerminkan adanya ikatan kepentingan ekonomi diantara keduanya. Terdapat keinginan untuk mendapatkan kepastian akan produk yang mereka
hasilkan untuk bisa laku dijual di pasar. Demikian pula dalam hal pemberian upah kepada orang lain dalam kegiatan membordir dan menjahit pakaian baju koko, mukena,
kerudung ataupun baju gamis menunjukkan adanya kepentingan ekonomi. Pihak yang menawarkan jasa dalam kegiatan mendesain gambar, membordir dan menjahit,
membutuhkan upah, sedangkan pengusaha Islami-Sundanis memerlukan bantuan dari orang tersebut untuk kegiatan produksinya. Sedangkan hubungan antara sesama
pengusaha bordir Islami-Sundanis yang tidak bertetangga hampir tidak terjalin jaringan sosial. Keduanya saling mengenal nama dan sekedar tahu, kecuali yang sama-sama
menjadi anggota Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya GAPEBTA, sebagai suatu wadah atau asosiasi yang mewadahi para pengusaha dalam suatu organisasi pengusaha
bordir. Jaringan sosial antara pengusaha bordir Islami-Sundanis dengan pedagang kain dan benang bersifat kuat. Meskipun jaringan sosial yang terjadi antara pengusaha Islami-
Sundanis dengan pedagang kain dan benang bersifat kuat intim dan intensif, namun hubungan keduanya cenderung vertikal hirarkis. Jaringan keduanya diikat adanya
hubungan emosional dan interes. Hubungan emosional yang muncul karena mereka saling dan akrab dan sering bertemu dan hubungan ini melibatkan adanya hubungan
perasaan sekampung atau sesama orang Sunda Tasik. Tetapi yang sangat terlihat hubungan vertikal dan sifatnya hirarkis antara pengusaha Islami-Sundanis dengan
pedangang kain yang berbeda etnis China dan India dan masih berada dalam lingkaran ketiga dalam referensi pengusaha bordir dalam membangun jaringan. Hubungan kedua
belah pihak berlangsung secara tidak seimbang karena satu pihak mempunyai kekuatan yang lebih kuat dibanding pihak lain, atau terjadi hubungan patron-klien. Gejala ini
sejalan dengan Willer 1999 yang mengemukakan bahwa jaringan sosial bisa membentuk hubungan yang bersifat vertikal dan horisontal. Dalam konteks penelitian ini
menunjukkan bahwa jaringan sosial antara pengusaha bordir Islami-Sundanis dengan pedagang kain dan benang ini menempatkan posisi pengusaha bordir bapak HYN dan
HU dalam posisi klien anak buah sedangkan pedagang kain dan benang berada pada posisi patron bos.
Setiap pengusaha Islami-sundanis memiliki langganan tetap untuk membeli kain dan benang bordir dari para pedagang benang dan kain yang ada di Kota Tasikmalaya
dan Bandung. Keintimaan hubungan dan frekuensi pertemuan yang intensif membuat kepercayaan yang muncul diantara keduanya sangat kuat. Pengusaha bordir Islami-
Sundanis, terkadang meminjam kain pada pedagang Babah dan Ajad tanpa adanya jaminan barang dan perjanjian tertulis yang dibuat. Harga kain yang dipinjam biasanya
berbeda jika kain tersebut di bayar kontan. Bahkan peminjaman kain bordir tersebut dapat dibayar setahun sekali di bulan puasa menjelang lebaran. Kepercayaan yang sangat luar
biasa tinggi diberikan oleh pedagang kain ini kepada para pengusaha bordir disadarkan atas adanya interest atau kepentingan pedagang kain yaitu keuntungan. Kain dan benang
yang dibeli dengan sistem kontan biasanya lebih murah dibandingkan dengan kain dan benang yang dibeli dengan sistem pinjam hutang. Pinjaman kain dan benang yang
dilakukan oleh pengusaha Islami-Sundanis hanya dicatat dalam sebuah buku yang isinya tentang jumlah dan harga kain atau benang yang dipinjam. Pedagang kain dan benang
biasanya menentukan kapan seharusnya benang tersebut harus dilunasi oleh pengusaha bordir Islami-Sundanis. Pelunasan bisa saja dilakukan jika sudah memiliki uang,
meskipun batas waktu pelunasan belum jatuh tempo. Jaringan antara pengusaha Islami- Sundanis dan pedagang kain dan benang terjalin karena karena adanya saling
membutuhkan secara ekonomi, namun dalam realitasnya menunjukkan bahwa hubungan tersebut bersifat tidak setara. Pengusaha bordir tipe Islami-Sundanis cenderung tunduk
pada berbagai aturan main yang ditetapkan oleh pihak pedagang kain dan benang seperti besaran bunga yang ditetapkan, waktu pelunasan dan lain-lain. Penghianatan terhadap
aturan main atau kesepakatan tersebut bisa membuat jaringan antara keduanya terputus. Putusnya jaringan diantara pengusaha Islami-Sundanis dengan pedagang kain dan
benang bisa membuat hilangnya pula kepercayaan pengusaha tipe Islami-Sundanis dimata pedagang kain dan benang lainnya, karena pedagang kain dan benang memiliki
jejaring tersendiri diantara sesama pedagang kain dan benang, seperti yang terjadi pada kasus pengusaha HUJ yang mengalami kebangkrutan dan tidak ada lagi memberikan
pinjaman kredit kain atau benang karena diantara sesama pedagang kain dan benang saling memberikan informasi. Oleh karena itu, pengusaha bordir sangat menjaga
kepercayaan kepada pedagang kain dan benang yang menjadi langgannya. Pengusaha Islami-Sundanis merasa malu menghianati aturan main yang ditetap oleh padagang kain
dan ‘benang. Jika mereka tidak bisa menyelesaikan hutangnya sesuai dengan aturan main yang dit
etapkan oleh ‘Babah’, maka ia akan menjelaskan alasan-alasannya kepada bos kain etnis China dan India. Biasanya pedagang kain dan benang akan memaklumi dan
bisa menunda pembayaran jika alasan yang dikemukakan oleh pengusaha masuk akal, tetapi tetap harus sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan.
Pada tipe pengusaha Islami-sundanis seperti yang terlihat dalam gambar 7, jaringan sosial yang terbentuk adalah melalui berbagai jalur yaitu produksi, distribusi,
modal, dan juga kelembagaan. Pada jalur produksi pengusaha Islami-Sundanis berjejaring dengan pekerja, cengkaw dan pemakloon. Sedangkan jalur permodalan terdiri
dari mandiri, dan pinjamin kain berdasarkan kepercayaan dari pedagang kain. Untuk jalur distribusi mereka berjejaring dengan pengusaha pengumpul pada tingkal lokal, nasional
dan global. Tipe pengusaha Islami-sundanis sebagian besar memasarkan dagangannya di Pasar Tanah Abang dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mereka juga mengekspor
barang dagangannya ke berbagai negara. Selain berjejaring dalam jalur distribusi mereka berjejaring denga lembaga pemerintah, lembaga sosial keagamaan. Lembaga sosial
keagaamaan yang mereka bentuk atau dirikan seperti yayasan yatim piatu, pesantren untuk yatim piatu, taman pendidikan al Quran TPA yang juga gratis bagi keluarga yang
tidak mampu atau anak-anak para pekerja bordir di perusahaannya. Pengusaha tipe ini juga berjejaring dengan asosiasi Gabungan PengusahaBordir Tasikmalaya GAPEBTA
yang memfasilitasi pengadaan tempat berjualan di pasar Tanah Abang.
Solidaritas dengan kerabat dan tetangga juga senantiasa dijaga, karena melalui kerabat dan tetangga tersebut, selalu menjadi perantara dalam kegiatan jual beli antara
pengusaha Islami dan konsumennya tanpa mereka meminta imbalan jasa. Saling percaya trust antara pengusaha dan pembeli juga senantiasa terjaga. Pembeli biasanya memesan
baju koko atau mukena kepada pengusaha tanpa adanya suatu jaminan, sebaliknya pengusaha mau menerima pesanan dari pembeli meskipun tanpa adanya jaminan uang.
Saling percaya merupakan strategi adaptasi ekonomi yang dijalankan oleh pengusaha Islami-sundanis tersebut untuk bertahan. Penghematan dalam konsumsi rumah tangga
juga dilakukan ketika pengusaha sepi order penjualan, bahkan terkadang mereka tidak menghadiri undangan pesta perkawinan demi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Gejala ini sejalan dengan temuan Hefner 1983 pada masyarakat Tengger di Jawa Timur dimana masyarakat Tengger cenderung mengurangi konsumsi keluarga dan mengurangi
pesta dalam kegiatan ritual pada saat kondisi keuangan keluarga terganggu. Jaringan sosial yang terbentuk antara pengusaha Islami-sundanis dengan pedagang benang yang
bukan menjadi langganan lebih bersifat jaringan lemah. Jaringan seperti ini diikat oleh suatu kepentingan dimana pengusaha ini ingin mendapatkan benang untuk kebutuhan
bordir, sedangkan pedagang benang ingin mendapatkan keuntungan dari benang yang mereka jual. Ketika kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari kegiatan jual benang
tersebut, maka jaringan yang terjadi diantara keduanya menjadi putus. Sementara itu, jaringan sosial yang terbentuk antara pengusaha ini dengan pedagang benang yang
menjadi langganan lebih bersifat jaringan kuat. Kepercayaan trust diantara keduanya sangat kuat. Hubungan diantara keduanyapun sangat intim dan sering disela-sela
transaksi jual beli yang dilakukan berlanjut kepada saling menceritakan masalah dan pengalaman hidup yang mereka hadapi. Hubungan juga bisa berlanjut pada saling
mengundang dalam acara perkawinan atau hajatan lainnya, bahkan hubungan bisa saling mempengaruhi dalam kesamaan pilihan politik. Berbagai jaringan sosial yang dimiliki
oleh pengusaha Islami dalam kegiatan usaha bordirnya lebih bersifat diad duaan dan triad tigaan sehingga analisis yang tonjolkan berada pada struktur hubungan, kesetaraan
dan ketidakseteraan sosial, dan kecenderungan terjadinya pertukaran.
Sumber Data lapangan diolah, 2015 Gambar 7. Bagan Jaringan Sosial Pengusaha Islami-Sundanis
PENGUSAHA BORDIR
PRODUKSI MODAL
DISTRIBUSI KELEMBAGAAN
P E
K E
R J
A C
E N
G K
A W
M A
K L
O O
N
PEDAG ANG
M A
N D
I R
I
P E
N G
U M
P U
L PASAR
G A
P E
B T
A
P E
M E
R I
N T
A H
SOSIA L
A G
A M
A
Pengusaha Islami-Sundanis
OVER EMBEDDED: Islam Sunda
Under: Ekonomi L
O K
A L
G L
O B
A L
N A
S I
O N
A L
L O
K A
L
Islam Nilai-nilai Spiritual: Sabar, ikhlas, adil, tawakkal, jujur,
amanah, ikhtiar, taqdir.
Tipe Pengusaha Sunda-Islami
Hubungan sosial antara pengusaha bordir dan pekerjanya juga melibatkan selain kedekatan emosional dan prinsip kekeluargaan juga adanya power kekuatan yang
menempatkan pengusaha bordir sebagai pusat power atau bos patron sedangkan buruh bordir berada pada bawahan klien Scott, 1981. Pusat power mempunyai kewenangan
dalam mengkaji kinerja dan mengontrol setiap kegiatan dalam kegiatan produksi. Hubungan sosial yang melibatkan adanya power tidak dapat menyandarkan diri pada
kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajiban mereka secara sukarela, tanpa adanya insentif. Oleh karena itu, dibutuhkan distribusi penghargaan dan sanksi reward
and sanction yang bersifat informal guna menyokong timbulnya kerelaan dengan nilai dan norma yang ditetapkan oleh pusat power. Pengusaha bordir memiliki perhatian yang
berbeda terhadap para buruh bordir yang dimilikinya. Bagi buruh yang memiliki kinerja yang bagus akan mendapat sanjungan dan diberikan bonus berupa barang dan uang,
bahkan ‘umroh’ gratis, sedangkan buruh yang tidak memiliki kinerja yang bagus akan ditegur atau dimarahi oleh pusat power pengusaha bordir dengan cara yang santun.
Meskipun buruh menjadi klien, tetapi tetap budi bahasa di jaga, karena ada istilah ‘hade gogog hade tagog, nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang
’. Pengusaha bordir tipe pengusaha Sunda-islami ini senantiasa menjaga hubungan baik dengan buruh bordir yang
memiliki kinerja yang bagus. Pemberian reward dan punisment dalam bentuk sanjungan dan teguran dianggap patut dan layak diberikan oleh pengusaha Sunda-islami sebagai
pihak yang mengontrol jalannya kegiatan produksi. Sedangkan bagi buruh bordir yang mendapat sanjungan dan teguran juga rela menerima dan menganggap wajar perlakukan
seperti ituPada komunitas bordir Tasikmalaya, selain terlekat dengan nilai-nilai Islam juga terlekat dengan nilai-nilaietika moral Sunda. Nilai-nilai Sunda dalam kasus
Tasikmalaya bukanlah nilai-
nilai seperti ‘Sunda wiwitan’, tetapi Sunda Priangan yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam serta pengaruh budaya Jawa setelah menjadi bagian dari
kerajaan Mataram. Etika silih asah, silih asih dan silih asuh merupakan prinsip-prinsip yang sangat kuat mempengaruhi perilaku pengusaha bordir tersebut. Menurut salah satu
sumber Ghani, 2015 bahwa prinsip-prinsip silih asah silih asih silih asuh itu sendiri
dipengaruhi oleh ajaran Islam “watasaubilhaqqi watawasaubishsahbri” saling mengingatkan dalam kebenaran dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Tipe
Pengusaha Sunda-Islami dalam bekerjaberusaha untuk dapat berbagi dengan sanak saudara atau kerabat dan tetangga. Selain dapat berbagi secara materi juga dapat berbagi
dalam ilmu keterampilan membordir dan selalu saling mengingatkan saling mengontrol agar lebih baik. Begitu juga dengan prinsip cageur, bageur, bener, pinter dan
pangker yang mereka pegang sebagai landasan dalam tindakan ekonominya pengusaha sunda-islami. Kata cageur merupakan kata pertama yang diungkapkan dalam rangkaian
kata-kata tersebut, karena cageur sehat jasmani dan rohani sesorang akan dapat berbuat sesuatu kebaikan atau kebenaran jika dirinya sehat. Orang yang sakit baik jasmani
maupun rohani tidak akan dapat bekerja dengan benar atau baik. Oleh karena itu prinsip cageur itulah yang pertama disebutkan atau sebagai pangkal. Nilai-nilaietika moral
Sunda ini dapat terlihat dalam tindakan ekonomi Pengusaha Sunda-Islami seperti gambar 8, berikut ini.
Sumber Data lapangan diolah, 2015
Gambar 8 Bagan tindakan ekonomi tipe pengusaha Sunda-Islami Refleksi dari nilai-nilai moral Sunda tercermin dalam hubungan sosial yang
terjadi antara pengusaha bordir tipe PENGUSAHA SUNDA-ISLAMI dengan kalangan kerabat dan tetangga serta teman juga bersifat jaringan kuat. Hubungan diantara mereka
diikat oleh hubungan rasa emosi. Durabilitas pertemuan yang masih intensif atau keintiman yang dibalut oleh rasa kekeluargaan, kedaerahan dan perasaan senasib masih
mewarnai hubungan diantara mereka. Tolong-menolong dalam bentuk keterlibatan secara fisik dan materi pada acara daur kehidupan lifecycle yang terkait dengan upacara
kesedihan seperti kematian masih selalu dilakukan, sedangkan daur kehidupan yang terkait kegembiraan perkawinan, aqiqah, sunatan, dan lain-lain tidak mesti dilakukan
dengan terlibat secara fisik dalam kegiatan tersebut, namun secara finansial mereka terlibat. Pengusaha Sunda-Islami sering mengirimkan amplop sumbangan sebagai tanda
keterlibatan mereka dalam acara daur kehidupan yang terkait kegemberiaan. Tolong- menolong diantara mereka tidak hanya terjadi dalam upacara daur kehidupan, tetapi juga
terjadi jika ada salah satu pihak yang mengalami kemalangan kecelakaan, kebakaran, sakit dan kematian. Pihak yang mengalami musibah, sering dikunjungi secara langsung
dan diberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan masing-masing pihak. Hal ini sesuai
dengan ajaran Sunda yang menyebutkan “kudu tutulung kanu butuh, tatalang kanu susah”
PENGUSAHA SUNDA-ISLAMI
NILAI TINDAKAN
1. Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh
2. Cageur Bageur, Bener, Pinter,
Singer, Pangker 3. Sapapait Samamanis
Kebersamaan, 4. Sederhana
5. Sopan, Ramah, Lembut
6. Amanah 7. Adil
Ekonomi berbagi Keadilan Distributif
Menghindari konflik
sosial Menerima apapun yang
terjadi Memelihara keakuratan
tindakan kerja Income distribution
Tutulung kanu butuh tatalang kanu susah
kepedulian sosial Menepati kontrak sosial
Menjunjung tindakan tradisional
NORMA 1. Harus mengasihi
dan berbagi 2. harus sehat, baik,
bener, cerdas, dan mawas diri
3. tidak boleh egois 4. tidak boleh pamer
5. tidak boleh
sombong 6. menjaga
kepercayaan 7. tidak membeda-
bedakan
yang memiliki makna tolong menolong itu bagian dari tradisi orang Sunda yang turun temurun dari nenek moyang.
Selain itu kalangan kerabat sering menjadi penghubung sales dalam mempertemukan antara pembeli hasil bordiran dengan pihak pengusaha. Kalangan
kerabat terkadang ada yang meminjam baju bordir kepada para pengusaha untuk mereka jual ke tempat lain. Sebaliknya kalangan pengusaha sering menitipkan hasil produksi
baju koko, mukena, baju muslim, kerudung, baju gamis kepada para kerabat yang pergi merantau ke daerah lain. Karakter orang Tasik yang senang merantau tradisi usaha
ngiriditkeun ke berbagai wilayah merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh kalangan pengusaha untuk mendistribusikan kainbaju bordir yang mereka produksi.
Hubungan antara pengusaha bordir dengan kerabat dalam kegiatan pendistribusian kainbaju bordir membentuk jaringan sosial yang dilandasi oleh kepentingan interest,
dimana masing-masing pihak ingin mendapatkan keuntungan dari kainbaju bordir yang mereka distribusikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa jaringan sosial antara pengusaha
bordir dengan kerabat bisa melibatkan adanya hubungan yang dilandasi emosi dan kepentingan sekaligus. Gejala seperti terjadi pada kasus pengusaha bordir seperti bapak,
HJ, dan bapak HE. Sedangkan kasus bapak HM dan pak HAS tidak mengandalkan kerabatkeluarga dalam proses pendistribusian baju bordir tetapi melalui sales atau broker
seseorang yang menjadi mediator dalam memasarkan hasil bordiran dengan mencari pembeli atau pelanggan.
Meskipun buruh menjadi klien, tetapi tetap budi bahasa di jaga, karena ada istilah ‘hade gogog hade tagog, nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang’. Pengusaha bordir
tipe Sunda-islami ini senantiasa menjaga hubungan baik dengan buruh bordir yang memiliki kinerja yang bagus. Pemberian reward dan punisment dalam bentuk sanjungan
dan teguran dianggap patut dan layak diberikan oleh pengusaha Sunda-islami sebagai pihak yang mengontrol jalannya kegiatan produksi. Sedangkan bagi buruh bordir yang
mendapat sanjungan dan teguran juga rela menerima dan menganggap wajar perlakukan seperti itu
Jaringan sosial yang terbentuk diantara sesama pengusaha bordir Sunda-Islami yang saling bertetangga lebih bersifat jaringan kuat. Jaringan ini diikat oleh hubungan
emasional dan adanya kepentingan interest tertentu. Hubungan diantara keduanya terjadi melalui saling membantu dalam kegiatan sosial juga dalam kegiatan bordir.
Adanya kedekatan emosi karena memiliki nilai-nilai yang sama, menganggap para pengusaha lain adalah satu budaya Sunda dan saling bersaudara. Meskipun begitu,
berbagai rangkaian dalam kegiatan bordir sudah melibatkan pertukaran uang dan jasa. Para pengusaha tipe pengusaha Sunda-Islami saling membagi informasi tentang berbagai
jenis model pakaian, motif dan bahan kain bordir yang laris terjual di pasar. Meskipun terlihat mereka saling barsaing dalam memasarkan hasil bordiran yang diproduksi, namun
mereka tidak menganggap teman sesama pengusaha sebagai saingan. Tindakan pengusaha Sunda-Islami untuk saling membagi informasi terhadap tetangga mereka yang
sesama pengusaha mencerminkan adanya ikatan kepentingan ekonomi diantara keduanya. Terdapat keinginan untuk mendapatkan kepastian akan produk yang mereka
hasilkan untuk bisa laku dijual di pasar. Demikian pula dalam hal pemberian upah kepada orang lain dalam kegiatan membordir dan menjahit pakaian baju koko, mukena,
kerudung ataupun baju gamis menunjukkan adanya kepentingan ekonomi. Pihak yang menawarkan jasa dalam kegiatan mendesain gambar, membordir dan menjahit,
membutuhkan upah, sedangkan pengusaha sunda-islami memerlukan bantuan dari orang tersebut untuk kegiatan produksinya. Demikian pula dalam hal pemberian upah kepada
orang lain dalam kegiatan membordir dan menjahit pakaian baju koko, mukena, kerudung ataupun baju gamis menunjukkan adanya kepentingan ekonomi. Pihak yang
menawarkan jasa dalam kegiatan mendesain gambar, membordir dan menjahit, membutuhkan upah, sedangkan pengusaha Sunda-Islami memerlukan bantuan dari orang
tersebut untuk kegiatan produksinya. Sedangkan hubungan antara sesama pengusaha brodir Islami-Sundanis yang tidak bertetangga hampir tidak terjalin jaringan sosial.
Keduanya saling mengenal nama dan sekedar tahu, kecuali yang sama-sama menjadi anggota Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya GAPEBTA, sebagai suatu wadah
atau asosiasi yang mewadahi para pengusaha dalam suatu organisasi pengusaha bordir.
Jaringan sosial antara pengusaha bordir Sunda-Islami dengan pedagang kain dan benang bersifat kuat. Meskipun jaringan sosial yang terjadi antara pengusaha Sunda-
Islami dengan pedagang kain dan benang bersifat kuat intim dan intensif, namun hubungan keduanya cenderung vertikal hirarkis. Jaringan keduanya diikat adanya
hubungan emosional dan interes. Hubungan emosional yang muncul karena mereka saling dan akrab dan sering bertemu dan hubungan ini melibatkan adanya hubungan
perasaan sekampung atau sesama orang Sunda Tasik. Tetapi yang sangat terlihat hubungan vertikal dan sifatnya hirarkis antara pengusaha Sunda-Islami dengan
pedangang kain yang berbeda etnis China dan India dan masih berada dalam lingkaran ketiga dalam referensi pengusaha bordir dalam membangun jaringan. Hubungan kedua
belah pihak berlangsung secara tidak seimbang karena satu pihak mempunyai kekuatan yang lebih kuat dibanding pihak lain, atau terjadi hubungan patron-klien. Jaringan sosial
bisa membentuk hubungan yang bersifat vertikal dan horisontal. Dalam konteks penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan sosial antara pengusaha bordir Sunda-Islami
dengan pedagang kain dan benang ini menempatkan posisi pengusaha bordir bapak HJJ dan ibu HE dalam posisi klien anak buah sedangkan pedagang kain dan benang berada
pada posisi patron bos.
Pada Gambar 9 terlihat bagan jaringan sosial pada pengusaha tipe pengusaha Sunda-Islami. Jaringan sosial yang terbentuk dalam pengusaha Sunda-Islami adalah
melalui jalur produksi, distribusi dan kelembagaan. Jalur produksi terlihat mereka berjejaring dengan pekerja, cengkaw, dan pemakloon. Pada jalur distribusi tipe ini
berjejaring dengan konsumen langsung, pedagang pengumpul tingkat lokal dan juga pasar lokal. Sedangkan dalam jalur permodalan pada tipe ini selain dari mandiri juga
mendapat pinjaman dari pedagang kain utang di wilayah Tasikmalaya yang sudah menjadi langganannya. Jaringan dengan lembaga pemerintah terjalin dalam hal promosi
atau diikutsertakan dalam pameran yang skupnya tingkat lokal dan regional. Keterlibatan mereka dalam kelembagaan sosial budaya juga sangat kental karena mereka termasuk
yang masih mempertahankan tradisi-tradisi yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
Preferensi pengusaha bordir dalam merekrut buruhnya dilandasi pada keterampilan membordir yang dimiliki oleh pekerjaburuh, adanya hubungan saling kenal
antara pengusaha dan buruh atau pengusaha mengenal latar belakang keluarga dari buruh. Buruh direkrut dari berbagai desa yang ada di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya.
Hubungan antara pengusaha dan buruh lebih bersifat informal dan kontraktual, sehingga setiap saat buruh bisa dipecat dan buruh juga bisa berhenti sendiri bekerja atau pindah
bekerja pada majikan lain. Lokasi bekerja para buruh pada masa lalu terpusat di rumah atau sekitar rumah majikan, namun pada saat ini lokasi bekerja para buruh tersebar
dimana-mana karena melalui agen cengkaw-cengkaw, kecuali yang bekerja sebagai operator mesin komputer dan bagian finishing melipat kain atau baju dan membersihkan
benang bekas bordiran yang tidak terpakai dan masih menempel di kain, menyetrika, mengemasnya dengan plastik dan mengepaknya perkodi.
Pengusaha bordir Sunda-islami biasa membawakan peralatan bordir mesin juki ke rumah buruh bordir untuk berproduksi. Buruh yang bekerja di rumah majikan dan di
rumah masing-masing pada dasarnya mendapatkan upah yang sama, tetapi karena yang bekerja di rumah sendiri itu melalui cengkaw, maka mendapatkan upah yang berbeda
tergantung kebijakan cengkaw mengambil sebagian upah untuk dirinya sebagai agen penghubung dengan majikan. Operator komputer dan bagian administrasi mereka
mendapat gaji bulanan. Hal yang membedakan antara buruh yang bekerja di lokasi rumah majikan dan yang bekerja di lokasi rumahnya sendiri adalah jatah makan. Bagi buruh
yang bekerja di rumah majikan, maka jatah penginapan, makan pagi, siang dan malam ditanggung oleh majikan. Sedangkan buruh yang memilih bekerja dirumahnya sendiri,
maka tidak ada jatah penginapan dan jatah makan. Tidak adanya penggantian uang penginapan dan uang makan kepada buruh yang memilih bekerja dirumahnya disebabkan
karena dia tetap bisa mengerjakan berbagai pekerjaan dirumahnya dan bisa dekat dengan keluarga sambil membordir.
Sumber: data lapangan diolah, 2015 Gambar 9. Jaringan Sosial Pengusaha Sunda-Islami
PENGUSAHA BORDIR
PRODU KSI
MODAL DISTRIBUS
I KELEMBAGA
AN
P E
K E
R J
A C
E N
G K
A W
PEDAGA NG KAIN
M A
N D
I R
I
P A
S A
R L
O K
A PE
DA GA
NG PE
NG UM
PUL
P E
M E
R I
N T
A SOSIAL
B U
D A
Y A
Pengusaha Sunda Islami
OVER EMBEDDED:Sunda Islam Under: Ekonomi
Sunda Spiritual: Silih asih, silih asah, silih asuh,
cageur, bageur, bener, sauyunan, bengkung ngariung bongkok
L O
K A
L K
O N
S U
M E
Tipe Pengusaha Kapitalis.
Pengusaha bordir di Tasikmalaya pada tipe pengusaha kapitalis ini, memiliki keterlekatan yang lebih kuat terhadap nilai-nilai ekonomi formal. Meskipun demikian,
bukan berarti mereka tidak terlekat dengan nilai-nilai Islam dan Sunda, mereka tetap menjalankan ajaran
–ajaran agama Islam. mereka memiliki orientasi maksimalisasi keuntungan dengan cara bersaing untuk memenuhi self interest dan utility. Sebagai
muslim mereka tetap melakukan sholat, puasa, zakat dan haji. Haji sendiri sebagai simbol status sosial dan keagamaan juga. Hal ini dapat terlihat dalam gambar 10. di bawah ini
Sumber: Data lapangan diolah, 2015
Gambar 10 Bagan keterlekatan tindakan ekonomi pada nilai-nilai ekonomi kapitalis Hubungan sosial yang terjadi antara pengusaha bordir tipe pengusaha kapitalis
dengan kalangan kerabat dan tetangga serta teman bersifat jaringan kurang kuat. Hubungan diantara mereka diikat oleh hubungan rasa emosi. Durabilitas pertemuan
yang sudah kurang intensif atau keintiman yang dibalut oleh rasa kekeluargaan, kedaerahan dan perasaan senasib kurang mewarnai hubungan diantara mereka. Interaksi
dengan lembaga pasar dan etika ekonomi global lebih banyak mewarnai perilaku ekonominya. Tolong-menolong dalam bentuk keterlibatan secara fisik dan materi pada
acara daur kehidupan yang terkait dengan upacara kesedihan seperti kematian kadang- kadang masih dilakukan, ketika tipe pengusaha kapitalis ini tidak sedang sibuk dengan
urusan usahanya. begitupun daur kehidupan yang terkait kegembiraan perkawinan, aqiqah, sunatan, dan lain-lain tidak dilakukan dengan terlibat secara fisik dalam kegiatan
tersebut, namun secara finansial mereka terlibat. Pengusaha bordir sering mengirimkan amplop sumbangan sebagai tanda keterlibatan mereka dalam acara daur kehidupan yang
Pengusaha Kapitalis
NILAI TINDAKAN
1. Maksimalisasi keuntungan
2. Persaingan 3. Kebebasan
4. Self interest 5. Utility
Memperkaya diri sendiri
Menekan biaya produksi dan distribusi serendah rendahnya
Menggaji pekerja rendah Bersaing yang tidak fair dalam
sistem produksi dan distribusi dengan pengusaha lain
Membatasi ruang gerak pekerja Monopoli penjualanperdagangan
Ekspansi usaha Menumpuk kapital
1. Tidak ada larangan memperoleh
keuntungan dengan cara
apapun
2. Memandang usaha sejenis sebagai
saingan 3. Membolehkan
segala cara 4. Semua untuk
kepentingan sendiri
5. Yang penting kegunaannya
Norma
terkait kegemberiaan. Tolong-menolong diantara mereka didasari atas kepentingan dan menjaga nama baik serta hubungan yang kurang akrab yang terjadi dalam upacara daur
kehidupan. Tetapi jika ada salah satu pihak yang mengalami kemalangan kecelakaan lalu lintas, kebakaran, dan sakit. Pihak yang mengalami musibah, jarang dikunjungi secara
langsung, hanya diberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan masing-masing pihak. Hubunga antara pengusaha bordir dengan buruh bordir juga melibatkan adanya
kepentingan interest, emosional dan power kekuatan diantara keduanya. Point interest dan power lebih dominan dibanding kedekatan emosional. Pengusaha bordir ingin
mendapatkan keuntungan dari penjualan kain dan baju bordir yang dihasilkan pekerjaburuh, sedangkan buruh bordir ingin mendapatkan upah dari kain yang mereka
bordir. Hubungan seperti ini melibatkan adanya tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan. Ketika tujuan-tujuan tersebut sudah
tercapai, maka biasanya hubungan tersebut bisa tidak berkelanjutan. Dalam konteks penelitian ini putusnya kerjasama dalam pekerjaan antara pengusaha bordir kapitalis
dengan buruh tidak serta merta memutus jaringan sosial yang terjadi diantara keduanya. Hubungan emosional yang muncul disebabkan karena mereka merasa berasal dari sesama
etnis Sunda urang Sunda, dan umumnya masih dalam satu wilayah kabupaten atau kota yang sama. Hubungan diantara keduanya sering berlanjut dalam acara saling
mengundang diantara mereka jika salah pihak melakukan hajatan. Kondisi ini terjadi karena adanya persinggungan antara hubungan emosional dan hubungan kepentingan
dalam hubungan sosial antara pengusaha bordir dan buruh bordir. Hubungan diantara keduanya bukan hanya diikat oleh logika untuk saling mencari keuntungan kepentingan,
tetapi juga diikat oleh hubungan kesukuan dan kedaerahan.
Jaringan sosial antara pengusaha bordir dan pekerjanya juga melibatkan adanya power kekuatan yang menempatkan pengusaha bordir sebagai pusat power atau bos
patron sedangkan buruh bordir berada pada bawahan klien. Pusat power mempunyai kewenangan dalam mengkaji kinerja dan mengontrol setiap kegiatan dalam kegiatan
produksi. Jaringan sosial yang melibatkan adanya power tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk memenuhi kewajiban mereka secara sukarela,
tanpa adanya insentif. Oleh karena itu, dibutuhkan distribusi penghargaan dan sanksi reward and sanction yang bersifat informal guna menyokong timbulnya kerelaan
dengan nilai dan norma yang ditetapkan oleh pusat power. Pengusaha bordir memiliki perhatian yang berbeda terhadap para buruh bordir yang dimilikinya. Bagi buruh yang
memiliki kinerja yang bagus akan mendapat sanjungan dan diberikan bonus berupa barang dan uang sedangkan buruh yang tidak memiliki kinerja yang bagus akan ditegur
atau dimarahi oleh pusat power pengusaha tenun. Pengusaha bordir tipe pengusaha kapitalis ini senantiasa menjaga hubungan baik dengan buruh bordir yang memiliki
kinerja yang bagus. Sanksi dalam bentuk pemecatan atau pemutusan hubungan kerja sering terjadi dalam konteks penelitian. Pemberian reward dan punisment dalam bentuk
sanjungan dan teguran bahkan pemecatan dianggap patut dan layak diberikan oleh pengusaha kapitalis sebagai pihak yang mengontrol jalannya kegiatan produksi.
Sedangkan bagi buruh bordir yang mendapat sanjungan dan teguran sebagian menerima dan menganggap wajar perlakukan seperti itu, tetapi sebagian merasa atau menganggap
tidak adil. Bagi pengusaha waktu setiap saat dihitung dengan keuntungan, sehingga kalau ada pekerja yang meminta izin tidak bekerja karena ada urusan keluarga, sangat sulit
mendapatkan izin. Meskipun begitu, pengusaha tipe ini tetap masih memiliki sikap menghargai kinerja buruhnya. Sikap saling menerima dalam hal pemberian hadiah dan
hukuman antara pengusaha bordir dan buruh bordir merupakan bentuk keterlekatan
embeddednes tindakan sosial-ekonomi pada nilai-nilai kultur Sunda yaitu mendidik untuk bekerja lebih rajin, dan ulet mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal
nyapek, mun teu ngarah moal ngarih artinya kalau tidak berpikir, bekerja, dan mencari penghidupan maka tidak akan bisa makan atau memenuhi kebutuhan hidup, sebagai
bagian dari ajaran-ajaran dalam masyarakat Sunda. Preferensi pengusaha bordir dalam merekrut buruhnya dilandasi pada keterampilan membordir yang dimiliki oleh buruh,
adanya hubungan saling kenal antara pengusaha dan buruh atau pengusaha mengenal latar belakang keluarga dari buruh. Buruh direkrut dari berbagai desa yang ada di Kabupaten
dan Kota Tasikmalaya. Hubungan antara pengusaha dan buruh lebih bersifat informal dan kontraktual, sehingga setiap saat buruh bisa dipecat dan buruh juga bisa berhenti sendiri
bekerja atau pindah bekerja pada majikan lain. Lokasi bekerja para buruh pada masa lalu terpusat di rumah atau sekitar rumah majikan, namun pada saat ini lokasi bekerja para
buruh tersebar dimana-mana karena melalui agen cengkaw-cengkaw, kecuali yang bekerja sebagai operator mesin komputer dan bagian finishing melipat kain atau baju dan
membersihkan benang bekas bordiran yang tidak terpakai dan masih menempel di kain, menyetrika, mengemasnya dengan plastik dan mengepaknya perkodi. Pengusaha bordir
biasa membawakan peralatan bordir mesin juki ke rumah buruh bordir untuk berproduksi. Buruh yang bekerja di rumah majikan dan di rumah masing-masing pada
dasarnya mendapatkan upah yang sama, tetapi karena yang bekerja di rumah sendiri itu melalui cengkaw, maka mendapatkan upah yang berbeda tergantung kebijakan cengkaw
mengambil sebagian upah untuk dirinya sebagai agen penghubung dengan majikan dan mengkorrdinir para buruh. Sedangkan operator komputer dan bagian administrasi mereka
mendapat gaji bulanan. Hal yang membedakan antara buruh yang bekerja di lokasi rumah majikan dan yang bekerja di lokasi rumahnya sendiri adalah jatah makan. Bagi buruh
yang bekerja di rumah majikan, maka jatah penginapan, makan pagi, siang atau malam serta uang jajan ditanggung oleh majikan. Sedangkan buruh yang memilih bekerja
dirumahnya sendiri, maka tidak ada jatah penginapan dan jatah makan. Tidak adanya penggantian uang penginapan dan uang makan kepada buruh yang memilih bekerja
dirumahnya disebabkan karena dia tetap bisa mengerjakan berbagai pekerjaan lain dirumahnya dan bisa dekat dengan keluarga sambil membordir.
Dalam Gambar 11 di bawah terlihat bahwa bagaimana jaringan sosial yang terbangun berdasarkan hubungan produksi, permodalan dan distribusi serta kelembagaan
antara tipe pengusaha kapitalis dengan berbagai aktor dalam jaringan sosial tersebut. Dalam jaringan produksi pengusaha berhubungan dengan pekerja, cengkaw perantara
dengan pekerja dan pemakloon. Tetapi ada sebagian pengusaha yang berhubungan dengan pekerja tidak melalui cengkaw, biasanya pengusaha dengan skala usaha mikro
yang hanya memiliki beberapa pekerja. Jaringan permodalan tipe pengusaha kapitalis berasal dari perbankan dan sebagian mandiri modal sendirikeluarga. Pada jaringan
produksi tipe ini memiliki hubungan sosial dengan para pedagang pengumpul yang langsung datang ke pasar tingkat nasional bahkan global seperti Tanah Abang. Di Pasar
Tanah Abang atau Thamrin City mereka bertransaksi. Selain pasar tingkat nasional dan global seperti tanah Abang ini, pengusaha kapitalis juga berjejaring dengan pasar Global
melalui ekspor ke berbagai negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Saudi Arabia. Sedangkan pada jalur kelembagaan, berjejaring dengan pemerintah melalui
keikutsertaan dalam pameran-pameran. Selain dengan pemerintah, pengusaha kapitalis juga berhubungan dengan asosiasi GAPEBTA terutama terkait dengan pemasaran di
pasar Tanah Abang dan kelembagaan sosial dalam masyarakat yang bersifat formal, artinya apabila ada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang disetujui aparat
pemerintahan minimal oleh ketua RTRW, tipe pengusaha kapitalis baru akan ikut terlibat seperti sumbangan acara PHBI, atau peringatan Kemerdekaan RI.
Sumber: Data Lapangan diolah, 2015 Gambar 11 Jaringan Sosial Pengusaha Kapitalis
PENGUSAHA BORDIR
PRODUKSI MODAL
DISTRIBUSI KELEMBAGAAN
P E
K E
R J
A C
E N
G K
A W
M A
K L
O O
N B
A N
K M
A N
D I
R I
P E
N G
U M
P U
L PASAR
G A
P E
B T
A
P E
M E
R I
N T
A H
S O
S I
A L
F O
R M
A L
Pengusaha Kapitalis
OVER EMBEDDED:Kapitalis Under: Islam dan Sunda
Kapitalis Materil Maksimalisasi keuntungan,
persaingan, kebebasan G
L O
B A
L
N A
SI O
N A
L
Hubungan sosial antara pengusaha bordir dengan pengusaha kain dan benang ditandai adanya jaringan lemah. Pengusaha bordir seperti pada kasus pak HIP, dan HND,
dengan pengusaha kain dan benang lebih menonjolkan hubungan yang bersifat ekonomis atau interes dimana masing-masing pihak ingin mendapatkan keuntungan atau profit.
Setiap pengusaha bordir memiliki langganan untuk membeli kain dan benang dari para pedagang yang ada di Tasikmalaya, Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Frekuensi
pertemuan yang kurang intensif, kecuali dengan pedagang di Tasikmalaya, membuat kepercayaan yang muncul diantara keduanya menjadi lemah. Ikatan yang mengikat
jaringan diantara keduanya dilandasi oleh kepentingan untuk saling mendapatkan keuntungan dari transaksi jual beli kain dan benang bordir yang dilakukan. Pengusaha
tipe pengusaha kapitalis , terkadang meminjam kain pada pengusaha kain tanpa adanya jaminan barang dan perjanjian yang dibuat dalam selembar kertas. Pinjaman kain ataupun
benang yang dilakukan oleh pengusaha bordir dari pengusaha kain hanya dicatat dalam sebuah buku yang isinya tentang jumlah kain yang dipinjam dan harga kain yang
dipinjam. Pedagang kain biasanya menentukan kapan seharusnya benang tersebut harus dilunasi oleh pengusaha bordir. Semakin besar usaha produksi perusahaan dan
kelancaran pembayaran, semakin besar dan lama dalam peminjaman kain dan benang kredit. Sebaliknya semakin kecil perusahaan omset maka semakin kecil pula
peminjaman kredit kain. Peminjaman kain untuk dibordir bisa sampai satu tahun untuk pembayarannya, biasanya dilakukan pada bulan Ramadlan, atau menjelang lebaran dan
ditotal dalam jangka satu tahun. Meskipun pedagang kain dan benang menentukan batas waktu pelunasan kain dan benang bordir yang dipinjam, namun terkadang ada pengusaha
bordir yang mundur pembayarannya dari batas waktu yang ditentukan. Hal ini tidak akan mengganggu hubungan jaringan sosial dan kepercayaan para pedagang kain, apabila tidak
berulang-ulang dan dengan alasan yang masuk akal. Tetapi bila pembayaran yang sering meleset dari perjanjian bahkan kredit macet, maka yang terjadi tidak akan diberikan
pinjaman kain ataupun benang untuk selanjutnya, dan hal ini akan tersebar diantara sesama pedagang kain, karena jaringan diantara mereka kuat, selanjutnya akan masuk
daftar blacklist, tidak ada kebijakan yang menguntungkan pembordir dengan alasan apapun, karena mereka kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan maksimal untuk
usaha dagangnya “business is busines”. Di sinilah perbedaan antara para pengusaha bordir yang semuanya adalah pribumi Sunda Tasik dengan para pedagang kain yang
mayoritas non pribumi etnis China dan India atau perusahaan kain di luar Tasikmalaya. Kalau pengusaha bordir meskipun tipe pengusaha kapitalis tetapi tetap masih ada sedikit
dipengaruhi etika moral Islam dan atau Sunda dalam perilakunya. Sedangkan para kapitalis benar-benar menerapkan etika ekonomi formal.
Tindakan ekonomi semua tipe pengusaha bordir di atas, dalam jaringan sosial produksi antar aktor pada berbagai tipe pengusaha bordir di Tasikmalaya dapat terlihat
pada tabel 18.
Tabel 18 Jaringan pengusaha bordir dalam kegiatan produksi
TIPOLOGI JARINGAN
Pengusaha Islami-Sundanis Pengusaha Sunda-Islami
Pengusaha Kapitalis Kerabat,
Tetangga, dan Teman
Hubungan intim dan non ekonomi
Hubungan intim dan non ekonomi
Kurang intensif tetapi intim
Pengusaha Islami-
Sundanis Hubungan intim dan non
ekonomi tidak ada hubungan
Kurang intensif tetapi intim
Pengusaha Sunda-Islami
tidak ada hubungan Hubungan intensif, intim
dan non ekonomi Kurang intensif tetapi
intim, kepentingan ekonomi
Pengusaha Kapitalis
Hubungan intensif, intim dan kepentingan ekonomi
Hubungan intensif,
intim, kepentingan
ekonomi Hubungan tdk intens,
kurang akrab
cenderung bersaing,kepentingan
ekonomi Pedagang
Pengumpul bukan
pelanggan Hubungan
akrab, tidak
intens dan
kepentingan ekonomi
Hubungan akrab, tidak intens dan kepentingan
ekonomi Hubungan
akrab, tidak
intens dan
kepentingan ekonomi Pedagang
Kain Hubungan akrab, intim, ada
trust ,kepentingan ekonomi Hubungan akrab, tidak
intens dan kepentingan ekonomi
Hubungan akrab,
intens dan
kepentingan ekonomi Pedagang
Benang Hubungan akrab, intens dan
ada trust
kepentingan ekonomi
Hubungan akrab, tidak intens dan kepentingan
ekonomi Hubungan
akrab, intim,
intens dan
kepentingan ekonomi
Sumber: Data lapangan diolah, 2015
Perbedaan Karakteristik Tipologi Pengusaha Bordir
Bertahannya ekonomi industri bordir di Tasikmalaya tidak lepas dari dinamika yang terjadi pada para pengusaha bordir dengan muncul dan tenggelamnya berbagai tipe
pengusaha. Tipologi Pengusaha ini terbentuk berdasarkan kuat dan lemahnya keterlekatan over embeddedunder embedded, Granovetter, 1985; Granovetter
Swedberg,1992 etika ekonomi Islam dan Sunda pada tindakan ekonomi pengusaha. Tipe-tipe tersebut adalah Pengusaha Islami-Sundanis yaitu pengusaha yang terlekat kuat
dengan etika agama Islam dan lemah dalam etika ekonomi Sunda, Pengusaha Sunda- Islami yaitu pengusaha yang terlekat kuat dengan etika budaya Sunda dan lemah dengan
etika Islam, dan Pengusaha Kapitalis yang lemah pada kedua etika tersebut Islam dan Sunda, tetapi terlekat kuat pada etika ekonomi pasar modern. Untuk lebih jelasnya
pembentukan tipologi pengusaha tersebut dapat terlihat dalam matriks di bawah ini.
Tabel 19. Tipologi Pengusaha Bordir di Tasikmalaya berdasarkan Kuat dan Lemahnya Keterlekatan Etika Agama dan Budaya
Etika Budaya Sunda Etika Agama Islam
Over Under
Over Pengusaha Sunda-Islami
Under Pengusaha Islami-
sundanis Pengusaha Kapitalis
Sumber: Data Primer diolah, 2015 Pengusaha yang bertipe Islami-Sundanis ada sembilan pengusaha yaitu HAR,
HAH, HMG, HMM, HYN, HOD, HAG, HNQ, dan HWT. Tipe pengusaha Sunda-Islami terdiri dari empat pengusaha, HJJ, HES, HMN, HRF, dan yang terakhir tipe pengusaha
kapitalis terdiri dari tiga pengusaha yaitu HIT, HNG, HUG. Kuat dan lemahnya etika agama pengusaha bisa dilihat dalam pelaksanaan kewajiban agama secara konsisten
dalam tindakan ekonominya, seperti memperlakukan pekerja sesuai nilai-nilai Islam, yaitu memberikan upah tepat waktu, memperlakukan mereka sebagai mitra, membantu
pengobatan ketika sakitmengalami kecelakaan, memberi pinjaman becer, memberikan THR, dan lain-lain. Perlakuan terhadap kerabat, tetangga, dan teman: membantu dalam
kesulitan baik materi maupun non materi, mengahadiri acara daur hidup seperti pernikahan, sunatan, selamatan rumah dan persaingan dengan sesama pengusaha, yaitu
pengusaha bersaing ketika di pasar tetapi bermitra dalam acara kemasyarakatan.
Selain berdasarkan kuat dan lemahnya keterlekatan etika Islam dan Sunda dengan tindakan ekonomi pengusaha, bertahannya industri bordir inipun dapat dilihat melalui
pertama, lamanya usaha, yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu, 15 - 25 tahun dikategorikan cukup bertahan, 26 -40 tahun adalah pengusaha dengan kategori bertahan,
dan 40 tahun adalah pengusaha yang lanjut. Kedua, Besaran Usaha dalam satu tahun berdasar UU UMKM tahun 2008, yang terdiri pengusaha mikro dengan nilai produksi
sampai 300 juta, pengusaha kecil, 300 juta
– 2,5 milyar, dan pengusaha menengah, 2,5 milyar
– 50 milyar. Ketiga, berdasarkan Dinamika Usahanya, yang terdiri dari cukup bertahan, bertahan dan lanjut
Tabel 20. Tipologi Pengusaha Bordir berdasar Lama Usaha, Besarnya Usaha, dan
Dinamika Usaha
Pengusaha Sunda Islami Pengusaha Islami
Sundanis Pengusaha Kapitalis
Lamanya usaha
: . Cukup Bertahan 1
. Bertahan 2 . Lanjut 3
1, 2 1 ,2 ,3
1
Besarnya Usaha :
. Mikro 1 . Kecil 2
. Menengah 3 1 dan 2
2 dan 3 1, 2 dan 3
Dinamika Usaha
: . Stabil 1
. Dinamis 2 . Sangat Dinamis 3
1 .1, 2 dan 3
3
Sumber: Data primer diolah, 2015
Berdasarkan tabel 19 dan 20 di atas dapat terlihat bahwa kategori lama usaha
pada tipe pengusaha Islami-Sundanis cukup variatif, yaitu cukup bertahan, bertahan dan lanjut, sedangkan pada tipe Sunda-Islami bertumpu pada kategori pertama dan ke-dua
yaitu cukup bertahan dan bertahan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa lama usaha tidak mempengaruhi ketahanan industri bordir di Tasikmalaya, karena pada tipe Islami-
Sundanis lama usaha berbeda-beda, dari yang paling rendah sampai paling tinggi cukup bertahan sampai lanjut ada pada tipe ini. Berdasarkan besarnya usaha dapat terlihat tipe
Pengusaha Islami-Sundanis berada pada kategori pengusaha menengah yang memiliki nilai produksi paling tinggi, sedangkan tipe pengusaha kapitalis memiliki semua kategori
besarnya usaha tersebut. Begitu juga dengan dua tipe lainnya, pengusaha Islami-Sundanis termasuk tipe pengusaha dengan kecil dan menengah, sedangkan pengusaha Sunda-
Islami termasuk dalam kategori pengusaha mikro dan kecil. Berdasarkan kategori besar usaha tersebut dapat disimpulkan bahwa besarnya usaha tidak mempengaruhi
bertahannya industri bordir, tetapi dipengaruhi oleh keterlekatan etika Islam dan Sunda pada tindakan ekonomi pengusahanya. Sedangkan berdasarkan dinamika usaha dapat
terlihat bahwa tipe Pengusaha Islami-Sundanis memiliki tiga kategori, yaitu stabil dan dinamis, dan sangat dinamis. tipe pengusaha Sunda-Islami termasuk dalam kategori
dinamis dan sangat dinamis, dan tipe pengusaha kapitalis masuk dalam kategori stabil dan sangat dinamis. Yang menarik adalah tipe pengusaha kapitalis ini, dinamika usahanya
sangat dinamis artinya turun dan naiknya usaha sangat drastis, sangat berbeda dengan tipe pengusaha Sunda-Islami yang stabil dalam dinamikanya. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan berdasarkan indikator ketahanan usia usaha, besaran usaha, dan dinamika usaha ekonomi industri bordir di Tasikmalaya dipengaruhi oleh etika agama Islam dan
etika budaya Sunda karena terbukti tipe pengusaha Islami-Sundanis kecenderungan kuat terlekat dengan etika agama dan lemah terlekat dengan etika Sunda adalah tipe
pengusaha yang paling lama bertahan, termasuk pengusaha menengah tertinggi nilai produksinya, serta dinamikanya stabil stabil usahanya besardi atas dan dinamis naik
turunnya tidak drastis.
Dalam ajaran agama Islam setiap aktifitas ekonomi individu maupun masyarakat merupakan bagian yang tidak dapat terlepas dari kehidupan beragama. Islam mengatur
semua hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya hablumminallah dan hubungan manusia dengan sesamanya hablumminannas. Menurut Malik 2010, Islam
menempatkan moralitas dan rasionalitas sebagai bingkai kalkulasi untung rugi berdasarkan pertimbangan rasionalitas ekonomi. Islam merespon keberadaan institusi
ekonomi seperti pasar sebagai wahana tempat berlangsungnya transaksi perdagangan yang legal halal dan baik tayyib, karena semua orang perlu mendapatkan alokasi dan
distribusi sumber daya ekonomi. Pada intinya, manusia memiliki peranan untuk mengelola sumber daya ekonomi dengan memenuhi prinsip-prinsip dasar keadilan,
rasionalitas, serta nilai-nilai moral dan etika kehidupan.
Pada intinya relasi sosial ekonomi terbentuk karena adanya jaringan sosial ekonomi pengusaha bordir yang berhubungan dengan produksi, permodalan, dan
pemasaran. Dalam hubungan produksi pengusaha berelasi dengan pekerja, baik pekerja yang ada di dalam maupun pekerja yang berada di luar
18
. Dalam bidang permodalan pengusaha berelasi dengan pedagang kain dan pihak perbankan, dan dalam bidang
pemasaran berhubungan dengan pedagang pengumpul dan pedagang di pasar. Di samping
18
Pada industri bordir di Tasikmalaya, sebagian pekerjanya berada di dalam dan sebagian besar berada di luar bengkel kerja perusahaan atau dibawa ke rumah masing-masing melalui cengkaw agen yang
mendistribusikan pekerjaan kepada pekerja di luar
itu pengusaha juga berelasi dengan masyarakat sekitar yang berada di lingkungan wilayahnya. Relasi sosial ekonomi tersebut dapat terlihat berdasarkan tabel di bawah ini.
Tabel 21 Relasi Sosial Ekonomi Pengusaha Bordir Relasi Sosial-
Ekonomi Pengusaha
Tindakan Ekonomi Pengusana Islami-
Sundanis Pengusaha Sunda-
Islami Pengusaha Kapitalis
Pekerja Keluarga besar
Mitra Patron-Klien
Pengusaha lain Teman
Teman Pesaing
Pedagang Mitra
Mitra Mitra
Pemodal Mitra
Mitra Mitra
Masyarakat lokal
Saudara Keluarga
Mitra Sumber: Data Primer diolah, 2015
Berdasarkan tabel 21 di atas, dapat terlihat bahwa banyak memiliki kesamaan bentuk isomorphism etika, seperti terlihat dalam tipe-tipe pengusaha Sunda-Islami, dan
pengusaha Islami-Sundanis yang menganggap pekerja, pedagang, pemodal itu adalah mitra, dengan pengusaha lain sebagai teman, kecuali tipe pengusaha kapitalis yang
memiliki relasi sosial ekonomi dengan pekerja bersifat patron-klien, atasan dan bawahan meskipun tetap saling membutuhkan. Sedangkan dengan sesama pengusaha
hubungannya dianggap sebagai pesaing, tetapi tetap bermitra dengan pedagang, pemodal, dan masyarakat lokal. Hal ini berarti semakin mengukuhkan tipe pengusaha kapitalis
terlekat kuat dengan nilai-nilai ekonomi. Sedangkan tipe pengusaha lainnya terlekat kuat dengan etika Islam, etika Sunda, maupun kedua etika tersebut seperti dalam kasus
pengusaha tipe pengusaha Sunda-Islami yang terlekat dengan nilai-nilai Sunda, dalam relasi kerja dengan pekerjanya, seperti yang diungkapkan oleh HJJ berikut ini:
“ ...dengan pekerja itu sama sederajat dan menjadi partner kerja agar sama-sama mempunyai tanggung jawab, sejajar, tidak ada bos, berdoa bareng-bareng, sama-
sama enak, bengkung ngariung bongkok ngaronyok contoh... kalau pesenan harga satu potong ngebordir itu Rp 9000, kalau ada lebih, ya.. juga bagi-bagi, jangan
sampai untung besar sendiri.” Berdasarkan pernyataan di atas, tindakan ekonomi pengusaha HJJ dipengaruhi
oleh nilai-nilai Sunda, seperti dari ungkapan bengkung ngariung, bongkok ngaronyok yang artinya susah senang sama-sama merasakan, tidak untung sendiri, tetapi berbagi
dengan pekerja.
Begitupun relasi sosial ekonomi yang terjalin dengan masyarakat sekitar yang memperlakukan mereka sebagai keluarga dan saudara terlihat dari pernyataan salah
seorang pengusaha tipe Islami-Sundanis, yang dituturkan oleh HMG; “... Ieu jalmi hese sare bakat ku wareg, ieu mah jalmi hese sare bakat ku lapar”,
kabarokahan teu lepat, mung iraha digentos ku Gusti Alloh makana urang ngabantu kudu karena Alloh” Ini orang susah tidur karena saking lapar, dan ini
orang susah tidur karena kekenyangan. Keberkahan tidak akan salah, cuma kita tidak tahu kapan digantinya oleh Allah, oleh karena itu kalau menolong harus
karena Allah ...” Dari pernyataan di atas maka dapat dikatakan bahwa tindakan ekonomi HMG,
pada tipe Islami-Sundanis dipengaruhi oleh nilai-nilai agama maupun budaya. Hal ini
terlihat jelas pertautannya antara kedua etika tersebut, satu sisi melalui peribahasa Sunda, di sisi lain dikaitkan dengan ajaran Islam. Semua tipologi pengusaha yang telah dijelaskan
di atas dapat digambarkan dengan bagan dalam tabel 22.
Tabel 22 Perbandingan tipologi pengusaha bordir Tasikmlaya
TABEL PERBANDINGAN TIPOLOGI PENGUSAHA BORDIR TASIKMALAYA
Pengusaha Islami- Sundanis
Pengusaha Sunda- Islami
Pengusaha Kapitalis Sikap
Keterangan Sikap
Keterangan Sikap
Keterangan Tindakan
Ekonomi Ada nilai
agama Tawakal
ikhlas, amal shalih,
ukhuwwah, jujur, adil,
falah,taqwa Ada nilai
budaya Silih asah,
silih asih silih asuh,
Sapapait samamanis
Etika formal
Sesuai aturan
Tindakan Keagamaan
Aturan perusahaan
Sholat berjamaah
Memiliki tanggung
jawab dunia akhirat
pada pekerja
individual Urusan masing-
masing individ
ual Urusan
pribadi
Tindakan sosial
Ada nilaidomi
nan untuk keagamaan
Santunan untuk
keagamaan Ada nilai
budaya Sapapait
samamanis formal
Harus ada surat resmi
aparat pemerintah
Penggunaan Bahasaistil
ah Dominan istilah agama
Dominan istilah Sunda Dominan bahasa
formal
Berdasarkan tabel 22. Terlihat perbandingan antara tipe pengusaha Islami- Sundanis, pengusaha Sunda-Islami dan pengusaha kapitalis. Tipe pengusaha Islami-
Sundanis dalam tindakan ekonominya ada motivasi nilai agama, pengusaha Sunda- Islami, nilai budaya, dan pengusaha kapitalis nilai etika formal. Dalam tindakan
keagamaan, pada tipe pengusaha Sunda-Islami menjadi aturan perusahaan seperti mewajibkan shalat berjamah, sedangkan tipe pengusaha Sunda-Islami dan pengusaha
kapitalis, tindakan keagamaan adalah urusan pribadi. Begitu juga dengan kegiatan sosial tipe pengusaha Islami-Sundanis bermotivasi dengan nilai agama, sedang pengusaha
Sunda-Islami nilai budaya dan pengusaha kapitalis dengan formalitas seperti surat RTRW.
Berdasarkan semua penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap tipe pengusaha bordir memiliki kecenderungan dinamika yang berbeda-beda. Tipe pengusaha
Islami-Sundanis memiliki
kecenderungan untuk
dapat berkembang
dan kerkesinambungan dalam usahanya disebabkan keterlekatan tindakan ekonominya yang
kuat pada nilai-nilai agama dan budaya dalam jaringan produksi dan distribusi, tetapi kontinum keterlekatannya lebih kuat pada nilai-nilai agama. Etika moral ekonomi yang
melekat kuat seperti kejujuran dan menjaga amanah menjadi modal sosial terhadap kepercayaan yang terus terbangun antar jaringan produksi maupun distribusi tersebut.
Dengan modal sosial kepercayaan tersebut menjadi nilai dan modal utama agar dapat bertahan bahkan berkembang, bahkan dengan nilai kejujuran dan amanah trust ini,
modal uang atau kapital tidaklah menjadi hal utama, karena pengusaha bisa bekerja membordir dengan pinjaman kain dari pedagang kain dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu nilai etika moral ekonomi yang terbangun adalah tawakal dan ikhlas karena dalam nilai tawakal bahwa seorang pengusaha akan terus bekerja keras untuk
kelangsungan usahanya tetapi dia sabar dan ikhlas menerima apa hasilnya, baik keuntungan maupun kerugian. Misalkan mengalami kerugian dalam usahanya maka akan
terus berusaha lagi, tidak putus asa dan prustasi bahkan stress. Berbeda dengan pengusaha tipe pengusaha kapitalis yang memilki kecenderungan keterlekatan kuat pada etika
ekonomi kapitalis, sehingga ketika mengalami kerugian cenderung tidak menerima atau pasrah, karena dalam pikirannya hanya berorientasi keuntungan materi semata. Stres
cepat menghinggapi pelaku usaha tipe seperti ini seperti dalam kasus HUJ. Stres yang berat membuat pengusaha tersebut tidak dapat berfikir jernih dan bekerja dengan baik,
maka semakin memperparah usahanya sehingga kecenderungan untuk mengalami kebangkrutan sangat rentan. Sedangkan tipe pengusaha Sunda-Islami memiliki
kecenderungan dinamika usaha yang stagnan, meskipun tetap mengalami naik turun tetapi tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan pengusaha tipe pengusaha Sunda-Islami
ini terlekat pada nilai-nilai Sunda yang lebih mengedepankan kebersamaan sauyunan, kesetaraan egalitarian serta masih kuatnya menjaga tradisi dan nilai-nilai yang
diwariskan turun temurun dari orang tuanya. Solidaritas yang kuat tercermin dalam tipe pengusaha Sunda-Islami ini seperti tetap mempertahankan pemilihan teknologi yang
lama mesin jahit manual karena menjaga agar tidak mengurangi tenaga kerja yang ada serta menjaga tradisi dalam desain bordirannya yang masih tradisional. Semua gambaran
ini bisa digambarkan dalam bagan dibawah ini gambar 12.
Sumber: Data dari lapangan diolah, 2015
Gambar 12. Bagan perkembangan, stagnan dan rentan tipologi pengusaha bordir
Pengusaha Bordir
Pengusaha Sunda-Islami Pengusaha Kapitalis
Nilai
Sauyunan Kacai jadi
saleuwi kadarat
jadi salebak
Silih asih silih asah
silih asuh Solidaritas
mekanik Stratifikasi
sosial tertutup
Menjaga tradisi
Solidarita s
Organik Stratifika
si Sosial Terbuka
Tradisi memudar
Ikhtiar Sabar
Ikhlas Adil
Tawaka l
Amanah Pengusaha Islami-Sundanis
Tindakan Nilai
Nilai Tindakan
Tindakan
Maksimali sasi
keuntunga n
Persainga n
kebebasan Eksploitatif
Expansif Persaingan
Bebas Liberalisasi
Stagnan Berkembang
Rentan
Transformasi Etika Ekonomi Formal Ke Etika Ekonomi Moral
Tindakan ekonomi sebagai tindakan sosial adalah tindakan seseorang tidak dapat terlepas dari sistem nilai sosial budaya maupun agama yang berkembang di masyarakat.
Kadang sulit membedakan tindakan ekonomi seseorang karena dorongan rasionalitas ekonomi atau karena basis moral ekonomi yang tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan
budaya atau agama dalam masyarakat, meskipun tujuan utama dari perilaku ekonomi adalah mendapatkan keuntungan.
Ketika seseorang berbisnis atau memiliki suatu usaha dalam bidang apapun biasanya mempunyai tujuan yaitu bagaimana usaha tersebut berkembang atau minimal
dapat bertahan agar tetap memberikan penghasilan atau keuntungan bagi aktor pengelola usaha tersebut. Berbagai strategi dijalankan agar usaha itu tetap berjalan, diantaranya
melalui perkawinan antar pengusaha dengan basis bidang usaha yang sama, memberikan reward kepada pekerja yang memiliki prestasi baik, memberikan sumbangan kepada
masyarakat sekitar, baik rutin atau sekali-kali dalam momen tertentu, semacam CSR kalau dalam perusahaan modern. Hal ini diduga agar dapat dukungan sosial dan sebagai
rasa tanggung jawab sosial perusahaan. Selain itu juga dapat melalui atau menerapkan manajemen modern dalam menjalankan usahanya. Hal ini terlihat dari adanya sistem
pengaturan dan pengelolaan yang lebih profesional dan modern. Semua strategi ini dilakukan oleh keluarga pengusaha bordir yang bernama HYN.
Pernikahan dua keluarga yang memiliki usaha yang sama memiliki kecenderungan untuk tetap bertahan bahkan berkembang. Hal ini dapat terjadi karena
saling mendukung baik dalam hal permodalan, pewarisan dan keberlanjutan usaha tersebut. Keterlekatan dengan basis jaringan pernikahan diantara sesama pengusaha
memiliki etika saling menjaga usaha akan tetap berlangsung, tidak saling menjatuhkan ataupun tidak terjadi persaingan diantara sesama pengusaha tersebut. Hal ini bisa terlihat
dalam kasus pengusaha bordir HYN di bawah ini:
HYN dan isterinya HRS merupakan satu keluarga pengusaha bordir yang turun temurun dari orang tuanya. Bahkan HYN merupakan generasi ketiga dari
kakeknya yang memang sudah menggeluti dunia bordir. Sedangkan isterinya HRS, merupakan generasi kedua dari ayahnya HWN yang sudah puluhan tahun
menjadi pengusaha bordir. Keluarga pengusaha ini mulai terjun dalam bisnis bordir sekitar tahun 2000. HYN memiliki 2 orang putera masih usia sekolah. Usia
HYN dan isterinya sekitar 35 sampai 40 tahun. Dia masih termasuk pengusaha muda yang sudah berhasil dan berkembang sangat pesat. Rumahnya sangat luas
dan mewah. Di pintu gerbangnya juga terdapat ruangan untuk security yang dapat mengawasi keluar masuk rumah tersebut. Selain ada halaman depan yang
ditanami berbagai tanaman bunga juga memiliki halaman samping dan belakang yang melingkari rumah tersebut. selain memiliki rumah yang sangat besar dan
luas, keluarga ini juga memiliki beberapa kendaraan yang mewah keluaran terbaru yang berhasil peneliti amati di garasi belakang rumahnya, yang terparkir berjajar
di garasi dan halaman depan. Di seberang rumahnya terdapat pabrik atau tempat usaha bordirnya yang sangat luas dan terdiri dari dua tingkat. Di bagian depan
ada ruangan untuk security seperti juga di halaman depan rumahnya. Di bagian depan samping kiri dari gerbang masuk terdapat mushola yang lumayan besar dan
cukup bagus desainnya. Ruangan pabriknya terdiri dari beberapa bagian, sesuai dengan fungsinya. Ada bagian pengoperasian komputer, bagian penyimpanan
kain gulungan, bagian finishing pengepakan dan di atas kantor bagian
manajemen perusahaan. Dalam lima tahun terakhir HYN memiliki tindakan ekonomi yang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya. Dahulu HYN hanya
memikirkan keuntungan yang maksimal dari usaha bordirnya. Setiap saat selalu dihitung dengan untung dan rugi. Menurutnya waktu adalah uang. Jadi tidak boleh
waktu sia-sia tanpa perhitungan keuntungan. Hal itu membuatnya stres karena setiap saat hanya untung rugi yang dipikirkannya. Tetapi akhirnya setelah banyak
merenung dan membaca buku-buku agama ia merubah mindset yang selama ini selalu membuatnya stres. HYN kemudian memiliki prinsip bahwa waktu adalah
milik Allah. Harta hanyalah sebagai titipan. HYN tidak lagi terkungkung dengan usahanya yang selama ini membelenggunya, meskipun manajemen modern tetap
dijalankan oleh ahli yang profesional. Baginya kerja adalah ibadah dan mencari rizki yang berkah. Observasi, September 2015
Perusahaan ini memiliki pekerja sekitar 200an orang. Pekerja atau karyawan tersebut terdiri dua macam, yaitu karyawan yang bekerja di dalam perusahaan rumah
sebagai staf administrasi, manajemen, dan karyawan sebagai operator komputer dan bagian finishing menyetrika, meliapat dan mengemas pakaian dalam plastik dan dus,
dan kedua pekerja yang berada di luar perusahaan yaitu yang memakloon. HYN memilki sekitar 100 orang karyawan yang bekerja di dalam. Sedangkan selebihnya bekerja di luar
sebagai cengkau dan perajin. Biasanya seorang cengkau memiliki anak buah pekerjaperajin yang membordir dengan jumlah berbeda-beda, yaitu antara 10 sampai
20 orang.
HYN memiliki mesin komputer mesin bordir generasi ke 3 dan terakhir sampai saat ini untuk bordir sebanyak 30 buah, dengan operator sebanyak 60 orang, karena tiap
komputer dioperasikan oleh dua orang pekerja dengan pembagian shif siang dan malam, nonstop 24 jam. Mesin bordir komputer ini memiliki 12 jarum yang menggantikan tenaga
kerja dengan mesin bordir manual sebanyak 12 orang. Selain mesin bordir komputer, H YN juga memiliki mesin juki mesin generasi ke dua yaitu mesin bordir manual tapi semi
otomatis karena sudah tidak menggerak-gerakkan kaki lagi seperti mesin generasi pertama yaitu mesin kejek.
Setelah tahun 2010 sampai penelitian ini dilakukan terdapat perubahan dalam pendangan hidupnya yang berimplikasi terhadap perilaku sehari-hari termasuk dalam
tindkan ekonominya. Perubahan pandangan terhadap kerja dan bisnisnya sangat signifikan terlihat akibat banyak berinteraksi dengan nilai-nilai agama maupun niali-nilai
budaya melalui buku-buku yang sering dibacanya dan mendengarkan ceramah-ceramah dari pengajian yang sering diikutinya, seperti yang dituturkan olah HYN;
“Dalam lima tahun terakhir saya memiliki pandangan yang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya. Dahulu saya hanya memikirkan keuntungan yang
maksimal dari usaha bordir. Setiap saat selalu dihitung dengan untung dan rugi, waktu adalah uang. Jadi tidak boleh waktu disia-siakan tanpa perhitungan
keuntungan. Hal itu membuat saya stres karena setiap saat hanya untung rugi yang dipikirkan. Tapi akhirnya setelah banyak merenung dan membaca buku-
buku agama saya merubah mindset yang selama ini selalu membuat stres. Padahal waktu adalah milik Allah, harta hanyalah sebagai titipan. Bekerja
adalah ibadah dan mencari rejeki yang berkah ”.
HYN tidak lagi terkungkung dengan usahanya yang selama ini membelenggunya. Meskipun demikian manajemen modern perusahaan tetap dijalankan oleh ahli yang
profesional. Dalam menjalankan roda usahanya HYN mengangkat seorang General Manajer GM, yang emembawahi manajer produksi dan manajer bidang pemasaran.
Dalam bisnis modern penegelolaan organisasi sangat penting demi kelangsungan perusahaannya. Dengan demikian HYN merasa lebih tenang dan khusuk dalam
menjalankan ibadah dan kegiatan sehari-hari tanpa terbebani bisnisnya. Seperti yang terlihat peneliti saat berkunjung ke rumahnya HYN sedang melakukan shalat Ashar di
mushola yang berada di pabrik bordirnya, seberang rumahnya. Peneliti cukup lama menunggu HYN karena kebiasaannya setelah melakukan shalat wajib dilanjutkan dengan
shalat ashar dan pengajian bersama-sama karyawan perusahaannya. Setelah kembali ke rumahnya HYN juga ditemani seorang ustadz, dan ketika wawancara mulai berlangsung,
beberapa orang sekitar enam laki-laki datang menggunakan baju koko putih, peci putih, dan rata-rata menggunakan sarung atau bercelana putih. Selain itu bapak-bapak muda ini
juga, sebagian terlihat berjenggot. Dari informasi yang didapatkan mereka akan pergi mengaji mengadakan tabligh di daerah Singaparna kabupaten Tasikmalaya.
Granovetter dan Swedberg 1992:9 menyatakan bahwa tindakan ekonomi secara sosial melekat pada jaringan hubungan pribadi dibanding yang dilakukan aktor.
Keterlekatan sosial bagi HYN, dalam hubungan sosial produksi, dengan pekerja atau pengrajin bordir, terlekat dalam hubungan kekeluargaan atau relational embedded
keterlakatan relasional Granovetter 1992. Pekerja tidak dianggap hanya sekedar pekerja yang diambil tenaganya saja, tetapi HYN merasa memiliki kewajiban untuk
membimbing dan mengarahkan perilaku pekerjanya sesuai dengan tuntunan agama, dan ajaran-ajaran orang Sunda silih asih silih asah silih asuh yang dianggapnya sesuai
bahkan dengan ajaran-ajaran Islam
— sebagai keluarga besar. HYN berpandangan bahwa punya tanggung jawab besar terhadap para pekerja, bukan hanya masalah duniawi, tetapi
juga akhirat. HYN menghawatirkan akan dipertanyakan di akhirat bagaimana memperlakukan para pegawai. Seperti yang diungkapkannya,
”Maneh teh ngagawekeun tanagana, ari anak2na teu diarah artinya kamu itu
hanya menggunakan
tenaganya saja,.kalau
anak-anaknya tidak
diperhatikan. Kalau hanya mengikuti kerja profesional, teu nurut pecat wae tidak nurut pecat saja. Berinteraksi dengan pekerja juga berarti belajar sabar,
menerima kenyataan. Dengan membina karyawan dengan pendekatan agama
dapat menjadi manu sia yang sholeh, menjadi berkah.”
Pada awalnya HYN memang mengejar target keuntungan semaksimal mungkin atau dalam istilah ekonomi mengedepankan rasionalis ekonomi. Dalam pemikiran
ekonomi konvensional, manusia dianggap memiliki kemampuan rasionalitas ekonomi untuk memaksimalkankannya demi kepentingan diri sendiri. Tetapi setelah dia
mendapatkannya tidak menjadikannya senang dan puas. Seperti yang dituturkan HYN bahwa kepuasaan dunia tidak ada batasnya. Dari kegelisahan-kegelisahan dan
ketidakpuasan dengan apa yang dia dapatkan, dia terus berfikir dan merenung sampai ahirnya pola pikirnya berubah, bahwa usaha itu tidak hanya hitung-hitungan secara
rasionalitas ekonomi saja, tetapi ada hal lain yang bisa membuat HYN lebih tenang, bahagia dan memberi kepuasan tersendiri yaitu lebih pasrah menerima kenyataan bahwa
semua sudah diatur sama Sang Pemilik dan secara ekonomi tidak mengalami kerugian. Seperti yang dia ungkapkan,
“ hasil atau keuntunganpun jadi tidak berkurang, kalau ada kerugian tidak membuat saya stres seperti waktu-waktu sebelumnya yang selalu perhitungan
secara ekonomis dan matematis. Waktu itu milik Allah, hasil atau keuntungan itu sebagai amanah, pekerjapengusaha diharuskan berperilaku ekonomi yang
bener sesuai dengan tuntunan agama, misalnya kalau ada barang cacat tidak boleh ditutup-tutupi, antara pemilik pengusaha dengan karyawan harus saling
memiiliki, seperti dalam peribahasa Sunda “sawah urang oge, kudu diolah bareng-bareng ladang tempat kerja kita, harus dikerjakan dan dijaga
bareng- bareng”.
Berdasarkan pernyataan HYN di atas, tindakan ekonomi kedua pengusaha tersebut melekat kuat over embedded dalam nilai-nilai agama maupun nilai budaya
Sunda. Dalam ajaran agama Islam, bagaimana berperilaku ekonomi harus mengikuti aturan sesuai Alquran dan Hadis Nabi, diantaranya untuk berbuat
‘adil dan tidak boleh curang, mengurangi timbangan dan atas dasar suka sama suka QS 83:1-3; QS 4:29, tidak
riba’ mengambil keuntungan yang berlebihan seperti renterir HR Muslim, juz 3, no 1219. Selain ajaran Islam, nilai-nilai dari budaya lokal Sunda juga mewarnai tindakan
ekonominya.
Setiap aktivitas ekonominya mengalami transformasi pemikiran setelah banyak berfikir, merenung dan membaca buku-buku agama. Wujud dari perilaku keseharian yang
menurut HYN sebagai manifestasi dari tanggung jawabnya diantaranya adalah ketika waktu sholat datang semua produksi berhenti dahulu untuk sholat berjamah, dilanjutkan
dengan belajar agama, membahas satu ayat Quran atau Hadits Nabi secara bergantian. HYN meyakini ada
‘tangan-tangan Tuhan’ yang akan membantu untuk urusan usahanya. Dia tidak merasa takut rugi atau berkurang keuntungannya dengan mengambil waktu
untuk urusan keagamaan. Hal ini dimulai sekitar dua tahun terahir. Awalnya HYN sering melamun memikirkan keuntungan atau kerugian atas usahanya.
Dia sering
stress kalau memikirkan usahanya tersebut. Kemudian dia sering membaca buku-buku agama
dan mulai memikirkan tujuan hidupnya untuk apa? makna kerja itu apa? Sehingga dari kegalauannya ahirnya HYN menemukan makna dan tujuan hidup yang bukan hanya
sebatas menghitung untung rugi semata sebagaimana visi bisnis modern dengan orientasi rasionalitas ekonomi yang membuatnya cape dan stress, tetapi jauh lebih dari itu
jangkauan visinya diperpanjang sampai akhirat, dengan selalu bersyukur terhadap yang selama ini didapat. Baginya makna kerja itu amanat, ibadah, dan semua bisnis yang
dijalankannya karena yakin akan rizki Allah dan kepasrahan akan hasilnya, serta hasilnya itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan untuk digunakan apa. Jadi dalam
berbisnis dengan hati, bisnis tetap dijalankan, aspek agama harus dikaitkan dengan hal pekerjaan.
Perilaku ekonomi HYN dalam kesehariannya adalah memberikan sumbangan kepada masyarakat sekitar yang berada di wilayah tempat tinggalnya. Sumbangan
diperuntukan keluarga kurang mampu, kebutuhan sekolah anak-anak karyawan, guru ngaji. Selain aktivitas ekonomi rutin yang dilakukan setiap bulan, HYN juga
mengumrohkan karyawan sebagai reward bagi karyawan yang rajin dan bekerja telah lama, sehingga menjadi senang dan betah untuk tetap bekerja pada perusahaannya.
Memberi sumbangan kepada masyarakat sekitar dan reward kepada karyawan teladan juga merupakan tindakan ekonomi dengan dasar rasionalitas nilai Weber, 1978;
Swedberg, 1998; Ritzer dan Goodman, 2007.
Sebagai pengejawantahan dari terlekatnya nilai- nilai agama Islam ‘bayarkanlah
upah pekerja jangan sampai kering keringatnya’ hadis Nabi dalam aktivitas ekonominya, HYN juga menggaji karyawan tepat waktu, tidak boleh ada karyawan yang
telat digaji, bahkan boleh meminjam dahulu becer kalau karyawan ada keperluan yang mendesak. HYN menambahkan bahwa gaji untuk karyawannya harus dipersiapkan untuk
menggaji setahun. Menurut HYN perilaku itu dilakukan karena dalam ajaran agama maupun ajaran-budaya lokal Sunda merupakan prinsip-prinsip yang ia pegang selama
ini. Meskipun demikian dia tetap menggunakan manajemen modern dalam
perusahaannya, sehingga terlihat ada kolaborasi antara rasionalitas moral ekonomi dan rasionalitas formal. Artinya perilaku ekonomi yang diterapkan pengusaha HYN memiliki
dua sisi yang berbeda yaitu ketika jaringan sosial internal pekerja dan warga sekitar lebih mengedepankan etika moral ekonomi sedangkan dengan jaringan sosial institusi
formal pasar, rasional ekonomi lebih utama.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa pengusaha bordir Tasikmalaya dapat mempertahankan usahanya dengan berbagai strategi, diantaranya:
1. Intermarriege yaitu menikah dengan sesama pebisnis bordir orangtuanya sama- sama memiliki usaha di bidang yang sama
2. Memberikan reward penghargaan berupa bonus kepada para karyawan yang berprestasi seperti memberikan hadiah Umroh.
3. Memberikan sumbangan kepada masyarakat sekitar setiap sebulan sekali, semacam CSR kalau dalam perusahaan modern. Hal ini diduga agar dapat
dukungan sosial dan sebagai rasa tanggung jawab sosial serta kemungkinan menghindari komplain karena polusi suara atau polusi darat karena limbah kain
dan benang bordir.
4. Di samping menerapkan prinsip-prinsip moral etika islam dan lokal Sunda juga menerapkan manajemen modern. Hal ini terlihat dari adanya sistem pengaturan
dan pengelolaan yang lebih profesional dan modern. Berdasarkan ke empat strategi di atas maka apa yang dilakukan oleh aktor
pengusaha brodir Tasikmalaya kalau mengacu pada teori keterlekatan sosial Granovetter, maka aktor ini memang perilaku ekonominya tidak dapat terlepas dari nilai- nilai yang
menjadi acuan dalam berperilaku sehari-hari masyarakat atau dengan kata lain melekat kuat overembedded dalam perilaku ekonomi HYN, terutama setelah mengalami
transformasi moral etika ekonomi. Hal inilah yang membuat usaha bordir aktor HYN tetap bertahan bahkan berkembang. Di samping perilaku ekonomi HYN yang terlekat
pada nilai-nilai agama juga mendapat legitimasi sosial dari masyarakat sekitar yang terbukti banyaknya dukungan dengan terserapnya tenaga kerja.
Menunjukkan bahwa pengusaha yang kecenderungan atau lebih terlekat dengan nilai
– nilai atau berlandaskan pada etika ekonomi modern memiliki kecenderungan rentan terhadap gagal. Hal ini terlihat dari gambar tersebut bagaimana yang beorientasi
keuntungan maksimal tetapi minim nilai agama atau budaya, ketiga mengalami kerugian cenderung gampang stress. Nilai kesabaran dan keikhlasan yang ada dalam nilai agama
dan budaya tidak dimilikinyadigunakannya seperti terjadi dalam kasus pengusaha HYN dan HUJ. Bahkan HUJ lebih ngeri lagi karena sampai mengalami depresi berat dan
anaknya meninggal karena diguna-guna oleh teman kerjasama yang ternyata menjadi musuh dalam selimut.
Selain HYN, kasus pengusaha HJG mengalami hal yang sama, tindakan ekonomi dengan basis transformasi etika ekonomi formal menjadi etika ekonomi moral.
Pengusaha HJG, memulai usaha bordir pada tahun 1999. Ketika mengalami perkembangan dan kejayaan dalam usaha bordirnya sekitar tahun 2000an sampai tahun
2010, ia menggunakan sistem ekonomi modern dengan orientasi pasar dan maksimalisasi keuntungan. Orientasi duniawi menjadi landasan dalam bisnisnya. Pada saat itu nilai-nilai
agama kurang atau tidak dijadikan sebagai dasar dalam perilaku sehari-harinya. Pundi- pundi rupiah yang terus terkumpul hingga membuatnya lupa diri bahwa kekayaan yang
ia miliki hanya semata-mata hasil kerja kerasnya, sehingga melupakan dimensi lain seperti agama dan budaya yang melingkupinya. Dengan rumah megah, mobil berjejer
sampai lima buah, tanah luas dan pekerja banyak, ia lupa diri bahwa itu hanya sementara.
Dalam membangun jaringan sosial hanya untung rugi yang menjadi pertimbangannya. Sampai suatu hari ia mengalami kebangkrutan karena ditipu sesama rekan bisnisnya dan
ia pun difitnah menyelewengkan uang yang dikelola bersama. Dalam kasus ini terjadi persaingan bisnis yang tidak sehat diantara kedua pertemanan ini. HJG harus membayar
semua kerugian akibat ditipu rekan bisnisnya, serta mengembalikan nama baiknya yang sudah tercemar di masyarakat terutama dalam jejaring bisnisnya yang sudah tidak
memiliki kepercayaan lagi.
Kepercayaan trust merupakan modal sosial yang sangat penting suatu komunitas Putnam, 1993; Fukuyama, 1999. Ketika jaringan bisnis hancur karena hilangnya
kepercayaan, maka hancur pula semua yang sudah dimiliki pengusaha HJG, sehingga ia harus kehilangan semuanya, bukan hanya kekayaan hasil keuntungan dari usahanya tetapi
keluarga juga harus hancur karena kehilangan figur. HJG harus memulai melangkah lagi usaha bisnisnya dari nol. Dengan duka yang masih dalam bahkan ia hampir stres berat
karena saking tidak mampu menanggung semua kesedihan karena harus kehilangan segala-galanya, ia mulai menyadari bahwa selama ini ia salah melangkah karena berusaha
tidak dilandasi dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Setelah menyadari hal itu ia banyak belajar agama dengan seorang ustadz sehingga mengembalikan kepercayaan
dirinya untuk mulai usaha kembali dengan modal sedikit sisa dan ngemakloon pada pengusaha lain. Menurutnya tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan orang lain
terhadapnya karena peristiwa sebelumnya. Tetapi HJG tetap yakin bahwa usahanya berada di jalan yang benar dengan berpegang pada etika agama atau nilai-nilai islam.
Bekerja adalah ibadah dan mencari keberkahan. Prinsipnya ia tidak mau berhutang lagi untuk menambah modal, tapi sedikit-sedikit mengumpulkan dari keuntungan yang
diraihnya. Menurutnya uang bukan segala-galanya, tapi kita mempunyai kewajiban untuk bekerja untuk menafkahi anak isteri dan dapat berbagi dengan orang lain yang
membutuhkan. Semua yang dilakukan oleh HJG merupakan transformasi nilai etika ekonomi formal menjadi etika moral ekonomi Scott, 1981.
Suksesi Kepemimpinan Keluarga Pengusaha Bordir
Perusahaan keluarga merupakan perusahaan mayoritas dan menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti. Bukan hanya di negara Indonesia, tetapi di berbagai negara
di dunia ini, perusahaan keluarga ini banyak memberikan kontribusi kepada negara. Di India, Timur tengah dan negara-negara Teluk, hampir keseluruhan perusahaannya milik
keluarga,. Selain itu di Jerman dan Australia sebesar 67 adalah perusahaan swasta milik keluarga pun menunjukkan hal yang sama Kaye dan Wallau dalam Halim, 2002. Di
Indonesia sendiri, perusahaan milik keluarga ini mencapai 159.000 96 dari seluruhnya 165.000 perusahaan Pikiran Rakyat, 16 Nopember 2008.
Perkembangan bisnis keluarga tentunya tak lepas dari suksesi kepemimpinan dari setiap pemimpin dalam setiap generasi. Suksesi kepemimpinan sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan perusahaan keluarga. Akan tetapi ada hal yang membuat perusahaan keluarga menjadi mundur atau pailit. Hal tersebut bisa jadi karena adanya
konflik diantara pemimpin dalam perusahaan tersebut. Potensi konflik dapat terjadi dalam suksesi kepemimpinan karena berbeda nilai orientasi antar generasi. Biasanya generasi
pertama yang masih terlibat karena sebagai motor penggerak utama dengan anggota keluarga yang terlibat dalam perusahaan. Pimpinan generasi berikutnya yang memiliki
pandangan visioner dengan dukungan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi
dibanding generasi pertama akan kemungkinan dirongrong oleh anggota keluarga lainnya. Apabila dalam konflik tersebut tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan,
maka kecenderungan usaha akan menjadi terpecah menjadi dua perusahaan dengan kedua generasi tersebut. Dalam suksesi kepemimpinan keluarga biasanya yang menjadi titik
tolaknya adalah kepada siapa dan kapan perusahaan itu akan diwariskan.
Seorang pemimpin dituntut memiliki wawasan dan pemikiran yang visioner dan berorientasi jangka panjang. Burns 1978 membagi tipe kepemimpinan menjadi tipe
traksaksional dan transformasional. Pemimpin yang bertipe transaksional, pengikutnya akan termotivasi untuk melakukan suatu hal yang menarik bagi kepentingan diri sendiri,
sedangkan pemimpin dengan tipe transisional, pengikut akan dimotivasi untuk melampaui kepentingan dirinya sendiri demi keuntungan organisasi Bass,1985.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pemimpin transisional memiliki karakter kharismatik, adanya pertimbangan dari individu, stimulasi intelektual memiliki motivasi inspirasional.
Hasil studi Vellajo 2009, secara empiris menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam perusahaan keluarga lebih transisional, jika dibandingkan dengan perusahaan non
keluarga. Selanjutnya Vellajo 2009 juga menemukan kepemimpinan dalam perusahaan keluarga terus menjadi transisional seiring dengan perkembangan perusahaan.
Berkaitan dengan suksesi kepemimpinan tersebut, pengusaha bordir di Tasikmalaya sebagai bentuk dari perusahaan keluarga, memiliki karakter kepemimpinan
transisional dengan ciri-ciri nilai-nilai dan keyakinan tertentu, visi bersama, orientasi jangka panjang dan kesetiaan dan kepercayaan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka
model kepemimpinan transisional lebih banyak berperan di perusahaan bordir di Tasikmalaya.
Pada pengusaha bordir Tasikmalaya, contohnya kasus HAR, pada generasi pendiri HZS kepemimpinan diperlihatkannya melalui kemampuannya menampilkan
visi masa depan untuk bisnis milik keluarga, dan mampu membuat pengikutnya percaya dan memiliki keyakinan untuk mencapai visi itu, peran faktor karisma dan pertimbangan
individu akan sangat menonjol. Sisi kepemimpinan yang kharismatik dalam diri HZS ini terlihat karena HZS sebagai perintis dalam usaha bordir di Tasikmalaya yang dimulai
tahun 1961. Di sisi lain, dalam kemitraan yang melibatkan antara saudara satu keturunan dalam keluarga besar, ketika pemimpin harus berorientasi kerja tim, maka stimulasi
intelektual dan faktor motivasi inspirasional akan sangat berguna untuk menginsipirasi pengikut serta melibatkan pengikut untuk bekerja sama. Kepemimpinan di dalam bisnis
keluarga juga dilihat dari dimensi lain terutama menyangkut sifat kepribadian dan sikap yang terbangun dari generasi pendahulu dalam menjalin hubungan dengan generasi
penerusnya.
Sebelum HZS meninggal, sudah dipersiapkan pemimpin dalam perusahaannya kepada anak tertuanya yaitu HAR. Pergeseran kepemimpinan antar generasi ini yakni
antara orang tua ke anak generasi pertama ke generasi ke dua. Pengusaha bordir tersebut menerapkan perdistribusian kekuasaan dan kewenangan kepada anak pertama dengan
dibantu tim dari keluarga saudara sekandung. Sebenarnya peran dominan ketika masih gennerasi pertama adalah pendiri, tetapi setelah pendiri mulai menginjak usia manula
maka kepemimpinan dan peran transisional generasi kedua menjadi lebih dominan. Pengaruh pemimpin yang kuat ditransfer pada generasi setelahnya.
Pada tipe pengusaha Islami-Sundanis pola kepemimpinannya hampir sama antar generasi. Berdasarkan pandangan Nicholson et al, 2004, ada enam tipe hubungan yang
terjadi dalam kepemimpinan dan pengikutnya. Dalam usaha bordir di Tasikmalaya hampir semua pengusaha menunjukkan hubungan antar generasi, yakni orang tua ke
anak. Kemudian copreneurial dari salah satu pasangan ke pasangan lainnya, begitu juga intragenerasi yaitu dari orang tua ke anak.
Meskipun ada suksesi kepemimpinan dalam usaha keluarga, tetapi sebagian besar yang ditemukan bahwa sebelum ada suksesi tersebut generasi kedua atau ketiga sudah
membuat atau mendirikan usaha yang sama. Inilah yang menjadi kendala ketika kepemimpinan generasi pertama sudah tidak sanggup untuk menlanjutkan kepemimpinan
dalam perusahaan tersebut, sebagai akibat usia yang sudah lanjut atau karena sakit yang lama maupun meninggal dunia.
Ciri lain dalam usaha bordir di Tasikmalaya , hampir terjadi pada semua pengusaha adalah pelibatan pasangan dalam stuktur hubungan kepemimpinan tersebut.
Mayoritas suami atau istri dalam satu perusahaan yang sama ikut mengelola dan mengambil serta menentukan keputusan. Kepemimpinan pada usaha bisnis bordir yang
cenderung usaha milik keluarga kepemimpinannya bersifat otoriter Birley seperti dikutip dalam Fiegener et al, 1994. Kecenderungan ini disebabkan rasa ketakutan yang dimiliki
oleh generasi pendahulu atau pendiri. Ketakunan-ketakutan yang dimiliki antara lain disebabkan adanya pengalaman masa lalu, baik dari lingkungan keluarga maupun di luar
lingkungan keluarga seperti terjadi pada kasus bapak HUJ yang mengalami pailit karena bekerja sama dengan orang lain sesama pengusaha bordir.
Selain gaya otoriter yang kuat dalam usaha milik keluarga, juga budaya paternalistik yang kental. Hal ini ditunjukkan dengan kedudukan pendiri atau generasi
pendahulu, yang dinggap sebagai pihak yang paling berpengaruh, sehingga sub ordinast dan generasi penerus memerlukan pendapat dan keputusan generasi pendahulu.
Selain itu gaya kepemimpinan dalam usaha milik keluarga juga menunjukkan gaya berkomunikasi yang unik karena cenderung informal. Komunikasi informal ini tidak
memerlukan batasan-batasan dalam menyalurkan informasi. Komunikasi jenis ini lazim terjadi dalam budaya paternalistik yang lebih mengedepankan kekeluargaan, meskipun
ada batasan-batasan yang membedakan antara pemimpin dengan bawahannya sesuai norma-norma yang berlaku dalam budaya Sunda secara umum. Pada gambar 13 bawah
ini bagan yang menunjukkan bagaimana suksesi kepemimipinan usaha keluarga bordir di Tasikmalaya itu berlangsung.
Generasi 1 Suami
– Istri
Anak
Pemasaran Produksi
Perusahaan Baru
Produksi
Suksesi Suksesi
Melanjutkan Perusahaan Baru
Gambar 13 Suksesi kepemimpinankaderisasi perusahaan bordir tasikmalaya Berdasarkan gambar bagan di atas bahwa suksesi kepemimpinan atau pewarisan
perusahaan bordir di Tasikmalaya ada dalam beberapa bentuk atau tahap yaitu usaha yang didirikan suamiisteri dan biasanya melibatkan pasangannya tersebut, sebelum waktu
suksesi itu terjadi mulai melibatkan anak atau keluarga lainnya dalam menjalankan usahanya. Biasanya anaknya yang sudah dianggap dewasa atau cakap dilibatkandiberi
tanggung jawab untuk mengurus pemasaran ataupun produksi. Anak yang sudah bisa usaha sendiri maka akan diberikan langsung perusahaan baru. Tetapi ada juga yang
anakkeluarga lainnya dilibatkan terus dalam usaha orang tuanya, sampai orang tua generasi pertama ini sudah tidak sanggup lagi menjalankan roda usahanya karena faktor
umur, sakit atau meninggal. Generasi kedua ini tinggal melanjutkan usaha yang sudah dirintis orangtuanya sebagai generasi pertama, sedangkan anak yang sudah diberikan
perusahaan baru sejak orangtuanya masih ada tetap melanjutkan usahanya tersebut, dan usaha orang tuanya dilanjutkan oleh adik atau saudaranya yang lain.
Penetrasi Nilai -Nilai Islam Sunda Dalam Industri Bordir
Kehadiran industri bordir di Tasikmalaya yang telah mencapai hampir satu abad lamanya sejak awal abad ke 20, yaitu pada masa penjajahan Hindia Belanda. Bordir hadir
atas jasa seorang keturunan menak Sunda Priangan yang mewariskankannya kepada masyarakat biasa cacah membawa perubahan sosial ekonomi yang sangat signifikan.
Perubahan tersebut bukan hanya sekedar perubahan dalam struktur komunitas industri bordir, tetapi secara luas membawa transformasi dalam struktur masyarakat tatar Sunda
khususnya Tasikmalaya. Keterlekatan supra struktur yaitu nilai-nilai islami yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam perilaku ekonomi para pengusaha bordir tersebut
membuat industri ini dapat bertahan.
Bordir sebagai sebuah seni menghias pakaian dengan memadukan benang warna warni pada awalnya adalah bagian dari pencirian kaum bangsawan menak sunda pada
acara-acara tertentu kaum bangsawan. Hiasan bordir yang diaplikasikan dalam bebagai pakaian kaum menak pada saat itu merupakan suatu simbol status yang menjadi pembeda
antara bangsawan dan masyarakat kebanyakan atau cacahsomah. Pada saat itu hiasan bordir banyak diaplikasikan terutama pada pakaian kebaya yang menjadi ciri khas kaum
menak perempuan. Seni bordir yang berkembang masa awal pada kalangan menak Sunda meskipun corak dan motifnya masih sederhana tetapi menjadi simbol sosial
mereka.
Pada perkembangan selanjutnya seni bordir ini tidak lagi dipelihara dan dijadikan sebagai sebuah budaya kaum menak, karena sudah ditranformasikan kepada masyarakat
kebanyakan cacah. Ketika Siti Umayah mentransfer keterampilannya pada H Z masyarakat biasa dan HZ mengajarkan kembali kepada kerabat HZ dan masyarakat
sekitar, maka bordir menjadi berkembang tidak hanya sebagai warisan budaya tetapi sudah menjadi kebutuhan masyarakat banyak. Bordir terus mengalami kemajuan ketika
sudah menjadi bagian dari keterampilan masyaakat cacah. Kalangan cacah ini merupakan masyarakat kebanyakan yang memiliki keagamaan Islam yang kuat.
Pada tahap selanjutnya bordir ini mengalami perkembangan yang pesat ketika para cacah yang memiliki nilai islami menjalankan bisnis bordir tersebut. Nilai-nilai
kesundaan yang sudah melekat dalam seni bordir dan nilai-nilai islami melekat dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir bertemu dalam ruang kesenian dan kekuasaan.
Perembesan nilai Islami terhadap nilai budaya Sunda terjadi pada saat pertemuan pengusaha bordir memproduksi berbagai -jenis bordir. Nilai- nilai islami yang
terinternalisasi dalam tindakan ekonomi pengusaha bordir tipe Islami-Sundanis, dengan berlatar belakang dari kalangan cacah dan mengalami mobilitas sosial naik menjadi
menak baru karena penguasaan skill berhasil dalam bisnis bornir berpenetrasi dengan nilai budaya Sunda dalam ruang kesenian dan kekuasaan politik.
Sedangkan pengusaha bordir tipe pengusaha Sunda yang bertipe Sunda Islamis merupakan tipe pengusaha dengan kecenderungan tindakan ekonominya terlekat kuat
pada nilai-nilai budaya Sunda. Nilai silih asah silih asih silih asuh, bageur, sapapait samamanis yang intinya bahwa pengusaha Sunda-islamis lebih mengutamakan solidaritas
sosial mekanik adanya kebersamaan diantara pengusaha dengan pekerjanya. Nilai-nilai budaya Sunda yang merembes terhadap nilai islami terjadi pada ruang keagamaan dan
ruang budaya. Seorang pengusaha Sunda-Islamis akan terlihat lebih islami ketika dia berada dalam tindakan keagamaannya. Nilai-nilai budaya Sunda yang lebih
mempengaruhi tindakan ekonomi Pengusaha Sunda-Islami berpenetrasi dengan nilai- nilai islami juga dalam ruang budaya. Budaya produksi dalam industri bordir
teraktualisasi dalam berbagai jenis produksi bordir yaitu produk mukena, baju koko, baju muslim, dan kerudungjilbab. Selain itu dalam produksi bordir tidak mengeksploitasi
pekerja tetapilebih mengedepankan kebersamaan.
Ikhtisar
Keterlekatan tindakan ekonomi pengusaha bordir dengan nilai-nilai etika Islam dan nilai-nilai budaya Sunda serta etika ekonomi modernpasar dapat dilihat dari kuat
lemahnya keterlekatan over embedded-under embedded nilai-nilai tersebut. Pengusaha yang terlekat kuat dengan etika Islam, dan lemah dengan etika Sunda dan ekonomi pasar
adalah tipe Pengusaha Islami-Sundanis, yang terlekat kuat dengan nilai-nilai budaya Sunda, tetapi lemah dengan nilai-nilai Islam dan etika modern adalah tipe Pengsaha
Sunda-Islami dan terakhir pengusaha yang terlekat kuat dengan etika ekonomi kapitalis, dan lemah terlekat dengan etika ekonomi Islam dan Sunda merupakan tipe Pengusaha
Kapitalis.
Pengusaha Islami-Sundanis memiliki karakteristik yang bersifat kekeluargaan, mengedepankan persaudaraan tolong menolong sebagai pengejawantahan dari nilai-
nilai ukhuwah islamiyah dan religiusitasnya dimanifestasikan dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat melalui pendirian atau membangun lembaga pendidikankeagamaan
seperti pesantren atau sekolah Islam dan yayasan yatim piatu dan majlis taklim.memiliki perilaku yang mementingkan kewajaran, keseimbangan, dan keharmonisan dalam
kehidupannya sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya Sunda silih asih silih asah silih asih dan sineger tengah.
Tipe pengusaha Sunda-Islami memiliki ciri lebih menjalankan tradisi-tradisi yang diwariskan orang tuanenek moyang mereka dan mengedepankan sikap kebersamaan
yang kuat sauyunan tidak menonjolkan diri sendiri dan lebih besifat kolektivisme komunal kacai jadi saleuwi, kadarat jadi salebak. Sedangkan pengusaha kapitalis
memiliki karakter yang lebih kuat dalam pertimbangan ekonomi formal dibanding sisi moral, dan lebih individual. Meski demikian tipe pengusaha kapitalis ini tetap masih
memiliki kepedulian terhadap kegiatan sosial keagamaan di lingkungannya, secara formal. Ada kecenderungan bahwa tipe pengusaha kapitalis ini bertransformasi ke tipe
pengusaha Islami-Sundanis keterlekatan kuat dengan nilai-nilai agama karena materi semata tidak menjamin kebahagiaan seseorang.
Pada tipe Sunda-Islami hubungan sosial ekonomi produksi antara pengusaha tipe ini dengan pekerja diikat dengan kekeluargaan yang kuat. Sentimen kedaerahan yang
kental mewarnai dalam hubungan mereka. Semua pekerja dapat dikatakan berasal dari wilayah Tasik dan sekitarnya dan beretnis Sunda, sehingga perasaan seperti saudara turut
mempengaruhi hubungan tersebut. Oleh karena itu pekerja dianggap seperti bukan buruh tetapi partner dalam bekerja. Meskipun ada peraturan secara tidak tertulis, pekerja merasa
bahwa itu adalah bagian dari tanggung jawab mereka yang harus dilaksanakan tanpa menjadi beban. Hubungan yang bersifat horizontal antara pengusaha dengan pekerja lebih
dapat menciptakan hubungan yang harmonis. Pengusaha lebih baik mengalah dari pada berkonflik dengan pekerja. Karakteristik seperti ini merupakan ciri-ciri orang Sunda
mengalah dari pada berkonflik atau pundung.
Tipe pengusaha seperti ini dikatakan stagnan karena dengan mengedepankan nilai-nilai sauyunan kebersamaan mereka lebih memikirkan hubungan kekeluargaan
dan kebersamaan dengan pekerja sehingga tidak mengadopsi inovasi baru mesin bordir
komputer karena dapat mengurangi atau merumahkan PHK pekerja. Sebenarnya pengusaha ini mampu untuk membeli mesin komputer tersebut untuk meningkatkan
efisiensi kerja dan secara otomatis meningkatkan keuntungan, tetapi tidak dilakukan karena lebih mengutamakan nasib pekerja, kalaupun terpaksa ada yang menggunakan
mesin komputer, pengusaha tetap memberi pekerjaan pegawai buruhnya menjadi penjahit.
Pengusaha bordir Tasikmalaya dalam hubungan produksi dengan para pekerjanya memperlakukan mereka seperti dalam suatu keluarga besar extend family. Pekerja
dianggap sebagai bagian dari keluarga pengusaha. Etika kerja pengusaha terhadap pekerja menganggap pekerja seperti saudara bagian dari keluarga besar. Hal ini sesuai dengan
nilai- nilai agama Islam bahwa “ sesama muslim adalah saudara”, sehingga mereka lebih
terlihat l ebih “memanusiakan” pekerja dibanding dengan mengeksploitasi mereka.
Perilaku yang dijalankan para pengusaha di atas mencerminkan seorang muslimpreneur. Pengaruh nilai-
nilai Islam “dalam hartamu ada sebagian hak orang lain” melalui zakat, infak, sedekah dan budaya Sunda silih asih, silih asah, silih asuh melekat kuat over
embedded dalam tindakan ekonomi pengusaha religius kulturalis. Empati yang begitu kuat dalam diri pengusaha seperti ini, terhadap apa yang dialami orang lain yang
kekurangan, sangat terlekat dalam tindakan ekonominya, sehingga tidak memikirkan untung ruginya dalam berbagi yang dapat berimplikasi pada usaha bordirnya. Etika moral
tolong menolong dan solidaritas sosial
Pada tipe pengusaha kapitalis, hubungan produksi antara pengusaha kapita dengan para pekerjanya bersifat rasional formal. Etika yang diusung adalah maksimalisasi
keuntungan. Pekerja tidak diberi kebebasan seperti pada pengusaha lainnya. Meskipun tidak ada perjanjian tertulis, pekerja yang meminta izin tidak masuk karena ada urusan
penting tidak diizinkan kecuali dengan perjanjian yang sangat ketat. Alasan pengusaha tidak memberi izin karena operasionalisasi kerja akan terganggu semua sehingga
merugikan perusahaan. Hubungan patron-klien meskipun masih terlihat, tetapi cenderung mengembangkan etika maksimalisasi keuntungan dibanding tolong menolong dan
kebersamaan. Pekerja yang membuat kesalahan langsung dipecat tanpa banyak pertimbangan.
Pengusaha bordir di Tasikmalaya sebagai bentuk dari perusahaan keluarga, memiliki karakter kepemimpinan transisional yang memiliki ciri nilai-nilai dan
keyakinan tertentu, visi bersama, orientasi jangka panjang dan kesetiaan serta kepercayaan. Meskipun ada suksesi kepemimpinan dalam usaha keluarga, tetapi sebagian
besar yang ditemukan bahwa sebelum ada suksesi tersebut, generasi kedua atau ketiga sudah membuat atau mendirikan usaha yang sama. Inilah yang menjadi kendala ketika
kepemimpinan generasi pertama sudah tidak sanggup untuk menlanjutkan kepemimpinan dalam perusahaan tersebut, sebagai akibat usia yang sudah lanjut atau karena sakit yang
lama maupun meninggal dunia.
Ciri lain dalam usaha bordir di Tasikmalaya baik tipe pengusaha Islami- Sundanis, pengusaha Sunda-Islami maupun pengusaha kapitalis adalah pelibatan
pasangan dalam stuktur hubungan kepemimpinan tersebut. Mayoritas suami atau istri dalam satu perusahaan yang sama ikut mengelola dan mengambil serta menentukan
keputusan. Kepemimpinan pada usaha bisnis bordir yang cenderung usaha milik keluarga kepemimpinannya bersifat otoriter dan bersifat paternalistik.
VII. TEORITISASI KETAHANAN PENGUSAHA INDUSTRI BORDIR TASIKMALAYA