Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Narkotika

55 c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseoran tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.

B. Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Narkotika

1. Kesalahan Untuk suatu pelanggaran pidana adalah satu syarat mutlak, bahwa selain daripada perbuatan itu melawan hukum, perbuatan itu sebagai pelanggaran larangan atau perintah itu juga diancam dengan hukuman, yaitu undang-undang telah menetapkan bahwa tidak ditaati larangan atau perintah itu diancam dengan suatu hukuman tertentu sebagai akibat hukum. Unsur subjektif dari norma-pidana berupa Kesalahan mens rea sipelanggar norma pidana itu. 65 Kesalahan itu umumnya ialah dengan dikehendaki dan dengan sengaja ataupun oleh karena kealpaan menimbulkan suatu akibat, yang terjadinya terlarang; sebab hanya dalam hal demikian sipelanggar norma pidana itu dapat dipersalahkan itu berarti, bahwa sipelanggar norma pidana itu dapat bertanggung jawab dan hal ini adalah satu syarat mutlak. 66 Kesalahan seperti dimaksudkan diatas ini, mempunyai dua bentuk yaitu : sengaja dolus dan kelalaian culpa. Ada pengecualian mengenai aturan, bahwa harus ada kesalahan pada si pelanggar norma pidana itu; 65 Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955, hlm. 37. 66 Ibid., hlm. 38. 56 terkadang mengenai elemen-elemen tertentu dari suatu norma pidana tertentu tidak diperlukan kesalahan schuldverband. 67 Dengan singkat kesengajaan itu merupakan yang dikehendaki dan orang yang mengetahui. Berdasarkan dua istilah inilah doktrin mengenai kesengajaan itu berasal. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. 68 Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu: 1. Kesengajaan sebagai maksudtujuan opzet als oogmerk Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki willen untuk mewujudkan suatu perbuatan tindak pidana aktif, mengkehendaki untuk tidak berbuatmelalaikan kewajiban hukum tindak pidana pasif dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu tindak pidana materiil. 2. Kesengajaan sebagai kepastian opzet bij zekerheidsbewustzijn Kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan adalah dalam hubungannya erta dengan pengetahuan seseorang tentang sekitar perbuatan yang akan dilakukan beserta akibatnya. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan opzet bij mogelijkheidsbewustzijn. Kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari 67 Ibid., hlm. 39. 68 Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 93. 57 perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan tersebut. Tingkatan sengaja para ahli membedakan sengaja atas 3 tingkatan atau corak seperti 69 1. Sengaja sebagai niat atau tujuan Oggmerk. Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan itu tidak ada, maka perbuatan tidak akan dilakukan. JONGKERS hal 48 mengatakan bahwa sengaja ini adalah bentuk yang paling murni dan bersahaja. : 2. Sengaja dengan kesadaran pasti terjadi: Contoh JONGKERS. A hendak menembak mati si B, ia melihatnya duduk di belakang dinding kaca, untuk mengenai sasarannya, maka si A harus menembak juga kaca itu sampai pecah. Oleh karena itu maka, ia telah bersalah selain daripada membunuh sengaja sebagai niat, juga ia telah dengan sengaja merusak barang sengaja corak kedua, walaupun niatnya hanya membunuh si B, tetapi ia menembah kaca itu untuk mencapai maksudnya. 3. Sengaja yang berinsafkan kemungkinan dolus eventualis. Van Hamel menolah istilah dolus eventualis dan menganjurkan nama eventualiter dolus Jongkers hal 56. Contoh Hoerenschetaart-Arrest, yaitu yang diadili oleh Pengadilan Tinggi Amsterdam tertanggal 19 Maret 1911, dan Mahkamah Agung 69 A.Zainal Abidin, Hukum Pidana, Baraya, 1962, hlm. 54-55. 58 tertanggal 19 Juni 1911. Seorang hendak membunuh seseorang di kota Hoorn, lalu mengirimkan kepadanya kue yang telah ditaruh racun dengan niat hendak membunuhnya. Ia mengetahui bahwa, selain daripada musuhnya dia juga mungkin akan memakan kue itu, dan mungkin pula akan mati. Oleh karena itu ia mengirim kue itu, maka sengajanya dianggap juga ditujukan kepada matinya isteri orang itu, walaupun akibatnya tidak dikehendakinya atau tidak diinginkan. Berikut syarat-syarat bagi pengertian kealpaan culpa, menurut Simons umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan sesuatu perbuatan disamping dapat menduga akibat perbuatan itu, meskipun sesuatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terdapat kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. 70 Kealpaan itu terjadi, apabila yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan berhati-hati, cermat dan sungguh-sungguh, sedangkan ia dapat menduga, bahwa dari perbuatannya itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Dapat diduganya bahwa akibat itu akan timbul adalah syarat mutlak bagi culpa sehingga meskipun yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan berhati-hati, apabila ia tidak dapat menduga akan terjadinya akibat itu, maka perbuatan tersebut dapat dipersalahkan tentang culpa. Berdasarkan uraian diatas tersebut dapat diambil 70 Tirtaamidjaja, Op.cit., hlm. 55. 59 kesimpulan bahwa, tidak setiap perbuatan yang tidak dilakukan dengan berhati-hati dan sungguh-sungguh akan menyebabkan culpa bagi yang melakukan perbuatan itu. 71 Suatu macam khusus kealpaan adalah kealpaan terinsyaf bewuste schuld. Sebagai contoh A mengemudikan mobilnya secara cepat ke stasiun, karena sudah terlambat berangkat dari rumahnya. A mengetahui insyaf bahwa setir mobilnya mengalami sedikit kerusakan, tetapi ia berharapan besar bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia memilih beberapa jalan yang sepi untuk memperkecil resiko. Ia membuat suatu mubengan yang kecil, lebih baik suatu mubengan kecil daripada nanti menyebabkan suatu kecelakaan besar. Walaupun A membuat perhitungan akan hal tersebut, masih juga terjadi kecelakaan yang pada pokoknya tidak disengajai A. 72 2. Kemampuan bertanggung jawab Berdasarkan hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 empat persyaratan sebagai berikut: 73 a. Ada suatu tindakan commission atau omission oleh si pelaku. b. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang. c. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. 71 Ibid., hlm. 56. 72 Utrecht, Op.cit., hlm. 313. 73 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: CV Bandar Maju, 2000, hlm. 67-68. 60 Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”. 74 Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika: 75 a. Ia memperoleh tekanan physic atau psikologis sedemikian rupa sehingga mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya, seperti: gila atau daya paksa. b. Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti: diplomat asing atau anak dibawah umur. 3. Tidak adanya alasan pemaaf Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah: a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam orang itu inwendig, misalnya hilangnya akal, dll. b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu uitwendig, misalnya adanya kealpaan, dll. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut: a. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. b. Pasal 48 mengenai daya memaksa. c. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa. d. Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. 74 Ibid., hlm. 71. 75 Ibid. 61 Jika seseorang melakukan tindak pidana namun tidak memenuhi ketentuan diatas, maka perbuatannya harus dipertanggungjawabkan dan dikenakan sanksi yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan unsur-unsur subjektif pada rumusan tindak pidana yang diuraikan diatas, maka diketahui bahwa formulasi pertanggungjawaban pidana tersebut berdasarkan pada kesalahan berupa kesengajaan. Ada beberapa pasal yang menyebutkan “dengan sengaja” yang berarti unsur-unsur subjektif jelas tercantum dalam pasal tersebut. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Narkotika yang tidak menyebutkan unsur “dengan sengaja”, namun dari dilihat dari unsur objektifnya berupa perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan “dengan sengaja”. Contoh Pasal 111 menyebutkan bahwa “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”. Dalam pasal tersebut perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut mengetahui dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut.

C. Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Narkotika