Keaslian Penelitian Metode Penelitian dan Penulisan

19 pertanggungungjawaban pidana terhadap anggota polri yang menyalahgunakan narkoba. b. Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal penanganan terhadap anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkoba sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya. c. Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang upaya yang dilakukan oleh Polri Sumatera Utara dalam penanganan terhadap anggota Polri yang menyalahgunakan narkoba, sehingga masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanganan terhadap anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkoba.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara bahwa judul tentang “Penegakan Hukum Terhadap Oknum POLRI Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479Pid.B2011Mdn”, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup yang diangkat untuk dikaji dan diteliti dalam penelitian ilmiah ini. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan secara moril, karena dalam melakukan penelitian ini, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian 20 yang harus dijunjung tinggi bagi Peneliti atau Akademisi dalam melakukan penelitian hukum.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana

Indonesia merupakan negara hukum sesuai pasal 1 ayat 3 UUD 1945. 14 a. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan negara Indonesia dibatasi oleh hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat, perilaku masyarakat diatur dalam aturan hukum. Salah satu perilaku yang diatur oleh hukum ialah tindak pidana narkotika. 15 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. : 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat 3. 15 Aruan Sakidjo, Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum: Hukum Pidana Kodifikasi, Yogyakarta: Balai Aksara, 1988, hlm. 16. 21 Definisi tersebut meskipun secara teoritis adalah benar, tetapi oleh karena tidak memberi gambaran tentang isinya hukum pidana itu tadi, bahkan hanya menyebut akibat hukumnya saja, maka tidak memuaskan. Menurut Pompe, Utrecht, Nederland Handboek Nederlans Straftrecht 4e, “Hukum Pidana, demikian Pompe, adalah semua aturan-autran hukum yang menentukan terhadap perbuatan- perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu.” 16 Pendapat yang lebih memuaskan adalah definisi dari Van Hamel dalam bukunya Inleiding studie Ned. Strafrecht 1927, yang berbunyi: “Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum rechtsorde yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.” b. Istilah Tindak Pidana dan Tindak Pidana Khusus Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut : 17 1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang- undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, diganti dengan UU No 192002. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono Prodjodikoro. 2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Mr. Van Schravendijk 16 Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, hlm. 58. 17 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hlm. 67-68. 22 dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam buku beliau Hukum Pidana. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 baca Pasal 14 ayat 1. 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam buku Hukum Pidana I. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana. 4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang- undang dalam Undang-Undang No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak baca Pasal 3.

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana, yang didefinisikan 23 beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. 18 Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 19 Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Di satu sisi tidak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. 18 Ibid., hlm. 67-68. 19 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT Bina Aksara, 1985, hlm. 54. 24

2. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali resosialisasi terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: 20 a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya. b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan c. Berangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. 1. Pengertian Polisi Istilah Polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda- beda. Pengertian Polisi yang sekarang misalnya adalah berbeda dengan pengertian 20 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: 2001, Citra Aditya Bakti, hlm. 46. 25 Polisi pada awal ditemukannya istilah Polisi itu sendiri. Adapun pengertian Polisi diantaranya adalah sebagai berikut : 21 a. Pertama kali ditemukannya Polisi dari perkataan Yunani “Politea” yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Pada masa itu yaitu abad sebelum Masehi, negara Yunani terdiri dari kota-kota tidak saja menyangkut pemerintahan negara kota saja, tetapi juga termasuk urusan-urusan keagamaan. Baru setelah timbul agama Nasrani, maka pengertian Polisi sebagai pemerintahan negara kota dikurangi urusan agama. b. Di negara Belanda pada zaman dahulu istilah Polisi dikenal melalui konsep Catur Praja dan Van VOLLENHONEN yang membagi pemerintahan menjadi 4 empat bagian, yaitu : 1 Bestuur 2 Politea 3 Rechtspraak, dan 4 Regeling Dengan demikian Politie dalam pengertian ini sudah dipisahkan dari Bestuur dan merupakan bagian pemerintahan tersendiri. Pada pengertian ini Polisi termasuk organ-organ pemerintah yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum. c. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan pengertian Polisi dalam bahasa Inggris : “Police Indonesia the English language came to mean of planning for improving ordering communal 21 Warsito, Op.Cit., hlm. 5-7. 26 existence”, yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal tolak dari pemikiran, bahwa manusia adalah mahluk sosial hidup berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati bersama. Ternyata diantara kelompok itu terdapat anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Berdasarkan pemikiran ini kemudian diperlukan Polisi baik organnya maupun tugasnya untuk memperbaiki dan menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat tersebut. d. Analog dalam pengertian-pengertian diatas, untuk jelasnya dapat disimak pengertian yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia No.13 Tahun 1961 pada pasal 1 ayat 1 yang dinyatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri. 22 2. Fungsi dan Tugas Kepolisian Fungsi Kepolisian dapat diartikan sebagai yang menyangkut tugas dan wewenang, termasuk pula di dalamnya pelampauan batas-batas wewenang yang diberikan. 23 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 24 22 Ibid., hlm. 5-7. Pada abad ke V sebelum Masehi fungsi Kepolisian adalah meliputi seluruh kegiatan-kegiatan dan 23 Ibid., hlm. 85. 24 Undang-undang No. 2 Tahun 2002. 27 usaha yang dilakukan oleh seluruh pemerintahan negara kota. Dengan demikian fungsi Kepolisian masih meliputi seluruh urusan kesejahteraan, keamanan dan ketertibas serta tugas-tugas pemerintahan lainnya. Tugas Kepolisian adalah menjaga serta menjamin ketertiban dan keamanan umum dalam rangka usaha untuk kemakmuran rakyat, sebagai usaha- usaha yang dilakukan oleh tugas dari bestuur. 25 Untuk dalam merealisir tugas Polisi tersebut maka fungsi Kepolisian menjalankan tugas : Preventive recht zirg yaitu memaksa penduduk suatu wilayah menaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya preventif supaya tata tertib masyarakat tetap terpelihara. 3. Wewenang Kepolisian Di dalam Undang-Undang No.13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kepolisian negara, maupun Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang-wewenang Kepolisian Negara dalam penyelidikan suatu perkara. 26 Polri diberikan wewenang seperti tercantum pada pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kewenangan yang dipunyai oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari Wewenang yang sifatnya umum tidak terdapat di dalamnya, dan dalam kata-kata secara logis dapat dipastikan bahwa dimana ada penugasan haruslah ada wewenang-wewenang yang menyertainya. Sebab tanpa tugas yang mendasar Polisi untuk bertindak, tugas tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik. 25 Ibid., hlm. 91. 26 Ibid., hal. 98. 28 kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan yang menyatakan suatu peristiwa pidana dan harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana dan mencari dan menemukan pelaku tindak pidana tersebut. 27 Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada Polri umumnya dapat dibedakan menjadi 2 2 yaitu : wewenang-wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan asas Legalitas dan Plichmatigheid yang sebagian besar bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan, dimana sebagian besar bersifat represif. Sedangkan istilah umum dan khusus hanyalah untuk memudahkan mempelajarinya atau memahami kewenangan yang ada pada Polri, tetapi keduanya juga saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. 4. Tanggung Jawab Kepolisian Seorang Kepolisian bertanggung jawab kesalahan yang dibuatnya menurut sistem pertanggungjawaban, dan untuk jelasnya adalah sebagai berikut : 28 1 Pelanggaran dari norma hukum pidana akan menghadapkan ia kemuka Pengadilan Perdata Pengadilan Negeri 2 Apabila ia merugikan orang lain dalam melaksanakan tugas atau perintah jabatan yang sah, maka negaralah yang bertanggung jawab, sehingga setiap 27 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan: USU Press, 2009, hlm. 16-17. 28 Ibid., hlm. 104. 29 orang yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi dari negara berdasarkan suatu “onrechtmatig overheidsdaad”. Melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Tinjauan Hukum Mengenai Tindak Pidana Narkotika

Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP ada beberapa macam tindak pidana yang berada di luar KUHP, biasa disebut sebagai “Tindak Pidana di luar KUHP” atau disebut juga sebagai “Tindak Pidana Khusus”. Tindak pidana ini adalah tindak pidana yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang diciptakan atau dibuat oleh Pemerintah. Perundang- undangan ini diciptakan karena belum terdapat tindak pidana yang dimaksud dalam KUHP. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang dilarang yang berhubungan dengan narkotika adalah : 29 1. Menanam, memelihara, mempunyai, dalam persediaan, memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman. 2. Memiliki, menyimpan, untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan Golongan III. 3. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika golongan I, II, III. 29 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. 30 4. Membawa, mengirim, mangangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, II, dan III. 5. Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, II, III. 6. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, II, III untuk digunakan oleh orang lain. 7. Menggunakan narkotika golongan I, II, III. Bahaya narkotika karena penyalahguna menjadi “addict” pecandu setelah melewati ketergantungan jiwa dan fisik. Belum lagi bahaya sampingan lainnya, situasi ketertiban dan keamanan bagi masyarakat seperti pencurian, penodongan, perampokan, perampasan, pembunuhan, pemerkosaan. Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi nyawa manusia. 30 30 Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta: Djambatan. 2001, hlm. 45. 31

F. Metode Penelitian dan Penulisan

1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang terdiri dari: 31 a. Inventarisasi hukum positif b. Penemuan asas hukum c. Penemuan hukum inkonkreto d. Perbandingan hukum e. Sejarah hukum f. Harmonisasi hukum g. Sinkronisasi hukum Berdasarkan 7 jenis penelitian yang diuraikan diatas, maka yang paling tepat adalah inventarisasi hukum positif dan penemuan hukum inkonkreto. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data tersebut digolongkan menjadi : 1 Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti dan sifatnya mengikat, terdiri dari : a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika 2 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan penjelasan bahan hukum primer, terdiri dari : 31 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 41. 32 a. Buku-buku yang membahas tentang narkotika dan psikotropika. b. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan psikotropika. 3 Bahan Hukum Tersier Merupakan bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasasn terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Contoh: abstrak, almanak, buku pegangan, buku petunjuk, buku tahunan, ensiklopedia, indeks artikel kamus, penerbitan pemerintah, sumber biografi, sumber geografi, dan timbangan buku. 32 Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri dari 33 a. Kamus hukum : b. Kamus bahasa Indonesia c. Kamus Bahasa Inggris d. Artikel artikel dan laporan dari media massa surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya 3. Alat Pengumpulan Data Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi Kepustakaan Library Research dan studi dokumen. Studi kepustakaan dalam penelitian ini adalah mencari landasan teoritis dari permasalahan 32 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 30. 33 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 52. 33 penelitian. Sehingga penelitian yang dilakukan bukan aktivitas yang bersifat trial and error. 34 4. Analisis Data Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data penelitian melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan studi dokumen dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ilmiah ini. Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: 1 Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; 2 Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; 3 Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, defenisi dan substansi yang berasal dari berbagai litelatur terkait dalam penelitian ini serta yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait. 35

G. Sistematika Penulisan