33 penelitian. Sehingga penelitian yang dilakukan bukan aktivitas yang
bersifat trial and error.
34
4. Analisis Data
Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data penelitian melalui penelitian
kepustakaan dengan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan
studi dokumen dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ilmiah ini.
Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: 1 Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; 2
Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; 3 Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, defenisi dan substansi yang berasal dari
berbagai litelatur terkait dalam penelitian ini serta yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait.
35
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat dan disusun atas 5 bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
34
Bambang Sunggono, Op.cit., hlm. 112.
35
Abdulkadir Muhammad Loc.cit., hlm. 92.
34
BAB I PENDAHULUAN
Dalam Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang dilakukan dalam penulisan skripsi.
BAB II FORMULASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU. NO. 35 TAHUN 2009
Dalam Bab ini akan membahas mengenai pengertian tindak pidana narkotika ditinjau dari peraturan perundang-undangan, unsur-unsur tindak pidana
narkotika serta jenis-jenis tindak pidana narkotika yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan.
BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA Studi Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 479Pid.B2011PN.Mdn
Dalam bab ini akan membahas mengenai penerapan pidana materil pada
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479Pid.B2011PN.Mdn,
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan Pengadilan Negeri Medan
Nomor 479Pid.B 2011 PN.Mdn serta prosedur hukum pemberantasan
penyalahgunaan Narkotika oleh Oknum POLRI dikaitkan dengan Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 479Pid.B2011PN.Mdn yang dikaji lebih
lanjut mengenai Upaya Penal dan Upaya Non-Penal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.
35
BAB IV PENUTUP
Dalam Bab V ini adalah merupakan hasil pembahasan dari keseluruhan skripsi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan saran-
saran dari penulis terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
36
BAB II FORMULASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT
UU NO. 35 TAHUN 2009
A. Bentuk Tindak Pidana Narkotika dalam UU Narkotika
Istilah narkotika, bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya, berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang
memberitakan tentang penggunaan narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya.
36
Berbagai penelitian mengemukakan bahwa faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika yakni Pertama faktor individu terdiri dari aspek
kepribadian, dan kecemasan atau depresi. Termasuk aspek kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat yang tidak sabar dan rendah diri.
Sedangkan yang termasuk kecemasan atau depresi karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri dalam penggunaan
narkotika. Kedua faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pergaulan. Ketiga faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung,
dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis. Keempat faktor narkotika, karena mudahnya narkotika didapat dan didukung
dengan faktor-faktor tersebut, sehingga semakin mudah timbulnya penyalahgunaan narkotika.
Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya
36
dr-syaifulbakhri.blogspot.co.id201203tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1diakses tanggal 2 September 2015 pukul : 13.00 Wib.
37 menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena
tindak pidana narkotika tidak menggunakan KUHPidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan Undang-Undang R.I. No. 35 Tahun 2009.
37
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah adalah diperkenalkan oleh pihak Pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini
banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana
Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.
38
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk
tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan
pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
39
Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat yang di dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini
mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenai
sanksi.
37
Ianbachruddin.blogspot.co.id201111tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1 diakses tanggal 2 September 2015 pukul 14.00 Wib.
38
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana cetakan ke-5, Jakarta:Rajawali Pers, 2014, hlm. 49
39
Moeljatno, Op.cit., hlm. 54.
38 Sudarto berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap dalam
pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat
Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah
mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat.
40
Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum.
Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya
menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkoba tidak menggunakan KUH Pidana sebagai dasar pengaturan,
akan tetapi menggunakan UU No. 35 Tahun 2009. Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh KUHAP,
akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU narkotika dan narkotika.
Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang
40
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip 1990, hlm. 45.
39 merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam
Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak
pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka
apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika
secara tidak sah sangat membahayakan bagi nyawa manusia.
41
1. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan I.
a Pasal 111
Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Unsur Objektif
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan. 3
Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Pertimbangan Putusan MA menyangkut Pasal tersebut bahwa “tetapi
bagaimana perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan tersebut dilakukan oleh para terdakwa lebih merupakan
asumsi dari Jaksa Penuntut Umum bahwa sebelum para terdakwa
41
Supramono, Op.cit., 2001, hlm. 56.
40 ditemukan sedang menghisap ganja pastilah didahului oleh perbuatan
sebagaimana dakwaan Penuntut Umum”.
42
b Pasal 112
Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Unsur Objektif
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan. 3
Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Pertimbangan dalam Putusan MA No.1071KPid.Sus2012 “bahwa
ketentuan Pasal 112 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 merupakan ketentuan keranjang sampah atau pasal karet. Perbuatan para
pengguna atau pecandu yang menguasai memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan
Pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam menerapkan hukum sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-
hal yang mendasar terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau maksud terdakwa.”
43
42
http:icjr.or.idicjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna- narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20.
43
Ibid.
41 c
Pasal 113 Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I.
Unsur Objektif 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. 3
Unsur Narkotika Golongan I. Kegiatan yang menyangkut produksi narkotika diatur dalam pasal ini,
namun diatur dalam pasal tersebut bukan hanya perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum memproduksi saja, melainkan perbuatan yang
sejenis dengan itu untuk semua golongan.
44
d Pasal 114
Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I.
Unsur Objektif 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.
3 Unsur Narkotika Golongan I.
44
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, hlm. 169.
42 Berkaitan dengan tindak pidana ini perbuatan menyalurkan dan
menyerahkan termasuk ke dalam perbuatan jual beli narkotika, karena peredaran narkotika sebagaimana dimaksud di dalamnya terdapat unsur
yang salah satunya meliputi kegiatan dalam rangka perdagangan.
45
e Pasal 115
Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I.
Unsur-unsur tindak Unsur Objektif 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito. 3
Unsur Narkotika Golongan I. Kerancuan pasal tersebut terdapat dalam ayat 1 yang tidak
mencantumkan Narkotika Golongan I bukan tanaman, karena dalam ayat 2 dicantumkan Narkotika Golongan I bukan tanaman.
46
f Pasal 116
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain.
Unsur Objektif 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur menggunakan. 3
Unsur Narkotika Golongan I.
45
Ibid, hlm. 174.
46
http:gogonugraha.blogspot.co.id diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.30
43 g
Pasal 127 Mengatur tentang setiap penyalahguna.
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur penyalahguna bagi diri sendiri.
3 Unsur Narkotika Golongan I.
Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah
penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui
pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara
medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.
47
2. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan II.
a Pasal 117
Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan II. Unsur Objektif
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan.
3 Unsur Narkotika Golongan II.
47
http:www.pn-nunukan.go.idindex.phpzoo-templatedownload80-sample-data- articlesjoomlaextensionsmodulesdemo1170-penjatuhan-pidana-mati-dalam-tindak-pidana-
narkotika diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.30
44 Narkotika Golongan II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan,
digunakan dalam terapi. Contoh : Morfin dan Petidin.
48
b Pasal 118
Mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika
Golongan II. Unsur Objektif
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan.
3 Unsur Narkotika Golongan II.
c Pasal 119
Mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara, jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, jual beli, menukar, atau menyerahkan.
3 Unsur Narkotika Golongan II.
d Pasal 120
Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II.
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
48
Gatot Supramono, Op.cit., hlm. 176.
45 2
Unsur membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito. 3
Unsur Narkotika Golongan II. e
Pasal 121 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan, atau
memberikan untuk digunakan oranglain Narkotika Golongan II. 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain. 3
Unsur Narkotika Golongan II. f
Pasal 127 Mengatur tentang penyalahguna.
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur penyalahguna bagi diri sendiri.
3 Unsur Narkotika Golongan II.
3. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan III.
a Pasal 122
Mengatur tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III.
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan.
3 Unsur Narkotika Golongan III.
b Pasal 123
Mengatur tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III.
46 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. 3
Unsur Narkotika Golongan III. c
Pasal 124 Mengatur tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan III.
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan. 3
Unsur Narkotika Golongan III. d
Pasal 125 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut atau mentransito Narkotika Golongan III. 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito. 3
Unsur Narkotika Golongan III. e
Pasal 126 Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan oranglain.
1 Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
2 Unsur menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain.
47 3
Unsur Narkotika Golongan III. f
Pasal 127 1
Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2
Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3
Unsur Narkotika Golongan III. Suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana apabila:
49
1. Adanya korban;
2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;
3. Harus berdasarkan asas ratio principle, dan
4. Adanya kesepakatan sosial public support.
Tujuan pengaturan Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain:
50
1. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
danatau pengembangan ilmu pengetahuan; 2.
mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika;dan 3.
memberantas peredaran gelap narkotika. Melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari
suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undang- undang melawan hukum formil dan dapat bersumber pada masyarakat melawan
hukum materil. Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut
49
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2011, hlm. 45.
50
Kusno Adi. Kebijakan Kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Malang: UMM Press, 2009, hlm. 18.
48 dengan bertentangan dengan asas-asa hukum masyarakat, sifat tercela tersebut
tidak tertulis.
51
Berdasarkan undang-udang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya
sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-
undangan.
52
Sifat terlarang yang harus dibuktikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung dari redaksi rumusan dan paham yang dianut. Contohnya, sifat
terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum objektif terletak pada tidak adanya izin dari si pemilik benda, dan inilah
yang harus dibuktikan.
53
Dalam hal yang terakhir, bagaimana mengenai kenyataan bahwa tidak semua orang akan mengetahui tentang begitu banyak dan luasnya tindak pidana
dalam undang-undang. Hal atersebut tidak perlu menjadi kendala karena dalam hal berlakunya hukum pidana didasarkan pada adagium, yakni “setiap orang
dianggap mengetahui hukum”. Jadi dengan terpenuhinya perbuatan yang dilarang beserta unsur-unsur lainnya, sudah demikian dianggap seseorang itu mengetahui
bahwa perbuatan itu dilarang undang-undang.
54
Suatu perbuatan yang dapat dipidana oleh hukum, harus dipenuhinya unsur actus reus yakni unsur esensial dari kejahatan physical element dan mens
51
Adami Chazawi, Op.cit., hlm. 86.
52
Ibid., hlm. 86-87.
53
Ibid., hlm. 88.
54
Ibid., hlm. 89.
49 rea mental element yakni keadaan sikap batin. Actus non Facit Reum nisi mens
sit rea, bahwa asas tersebut diatas menyatakan suatu perbuatan tidak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tidak bersalah.
55
Actus reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum unlawful act sedang kan mens rea mencakup unsur pembuat delik yaitu sikap batin yang
menurut pandangan monitistis tentang delik disebut unsur subjektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat. Pandangan monistis yang ditinggalkan oleh Hoge
Raad, “sesungguhnya di dalam literatur Belanda tentang arti strafbaar feit pada masa ini sedang mengalami perkembangan sehingga tidak ada kesatuan pendapat
lagi. Sebagaimana halnya beberapa waktu lalu.” Di dalam ucapan van Hattun di atas, sesungguhnya strafbaar feit diberi arti strafbaar feit adalah sama dengan
syarat-syarat orang dijatuhi pidana.
56
Mens rea amat erat sekali hubungannya dengan asas keine trafe onhe schuld yakni tidak ada pidana jika orang tidak bersalah. Mens Rea adalah sikap
batin pembuat yang oleh pandangan monistik terhadap delik tersebut sebagai unsur subjektif, yang kalau unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya
pertanggungjawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas dolus dan culpa lata, tidak adanya
dasar pemaaf veronstschuldingsground yang semuanya melahirkan
schuldhaftigheit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuatan delik.
57
55
A.Z. Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 47.
56
H. Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika UU. No. 35 Tahun 2009, Jakarta: Rineka Cipta, 2012, hlm. 252.
57
Ibid., hlm. 253.
50 Dalam tindak pidana narkotika yang menjadi objek hukum adalah
perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum yang memenuhi asas legalitas formil dan materiil.
a. Legalitas formil yaitu suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. b.
Legalitas materiil yaitu hukum yang belaku di dalam kehidupan masyarakat. Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku heteromon. Unsur dari
luar diri pelaku tindak pidana narkotika dapat kita kaji yaitu perbuatan manusia, akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, keadaan-keadaan tertentu, sifat
melawan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
58
Unsur Subjektif, unsur yang berasal dari dalam diri pelaku tindak pidana. Unsur dari dalam diri Pelaku tindak pidana narkotika dapat diketahui unsur kesengajaan
sebagai maksud, unsur kesengajaan kemungkinan, unsur kesengajaan keinsafan pasti, ataupun kesadaran secara penuh dalam melakukan tindak pidana. Dimana
pelaku sadar akan perbuatannya dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan bertanggug jawab sebagai keadaan batin orang normal, yang sehat.
Dalam tindak pidana narkotika subjek hukum yang dapat dipidana terbagi atas: a.
Setiap orang b.
Badan Hukum atau Korporasi c.
Pegawai Negeri
58
http:zain-informasi.blogspot.com201311pasal-111-uu-no-35-tahun-2009- tentang_3719.html diakses pada tanggal 13 Agustus 2015 pukul 17.00.
51 Perbuatan yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana ialah :
1 Perbuatan yang dilakukan tanpa hak
2 Perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum dimaksudkan ialah perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk
pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perbuatan melawan hukum ini dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, doktrin membedakan
Wederrechtelijk melawan hukum
59
1. Wederrechtelijk formil
:
Terdapat apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk materiil
Sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dalam UU No. 35 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam
dengan sanksi pidana, yakni
60
a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika.
:
59
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 415.
60
Ibid., hlm. 256.
52 b.
Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor
narkotika. c.
Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika. d.
Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika.
Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara bekerjasama yang peranannya
berbeda.
61
Adapun perbuatan medeplictig dalam membantu melakukan kejahatan misalnya meminjami peralatan, memberi informasi, menghalang-halangi
pengejaran, dan sebagainya. Perbuatan tersebut dilakukan sebelum atau pada saat kejahatan dilakukan, sebenarnya bukan hanya dalam bentuk materil, tetapi dalam
bentuk moril pun dapat dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan sekongkol atau
Yang dimaksud berbeda peranannya, karena dalam rangka melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku pleger dan ada yang
bertindak sebagai medeplictig, masing-masing dengan “pekerjaan” yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan, tidak bertindak langsung
melakukan pekerjaan, akan tetapi fungsinya hanya memperlancar jalannya pelaksanaan kejahatan.
61
Gatot Supramono, Op.cit, hlm. 80.
53 “tadah” heling melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut
dalam Pasal 221 KUHP”.
62
Dasar hukum orang yang membantuk melakukan kejahatan adalah Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: a.
Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan. b.
Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Permufakatan jahat dapat terjadi apabila suatu kejahatan dilakukan oleh beberapa orang. Sebelum melakukan perbuatan, mereka berunding dan
melahirkan kesepakatan untuk melakukan sesuatu kejadian. Istilah permufakatan jahat dikenal dengan sebutan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi ini, maka
perlu dipahami pandangan Sutherland yang dikutip oleh J.E. Sahetapy, yaitu: “ the value of criminal statistic as a basis for the measurement of criminality...
decrease as the procedures takes us farther away from the offence itself’.
63
Jika terus berpegangan pada angka peradilan pidana, maka harus dipertimbangkan:
1. Para penjahat dalam menjalankan perbuatan mereka yang tidak terpuji itu
acapkali tidak diketahui oleh lembaga penegak hukum dan instansi administrasi yang bertugas mengawasi aktivitas korporasi.
62
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama, 2003, hlm. 60.
63
J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Eresco, 1994, hlm. 23.
54 2.
Bilamana diketahui maka penjahat korporasi itu mungkin saja tidak diadili, 3.
Seandainya si penjahat itu diadili juga, maka ada kemungkinan yang bersangkutan tidak dipidana.
Pengertian korporasi di dalam hukum pidana sebagai ”ius constituendum” dapat dilihat dalam usul Rancangan KUHP Baru Buku I 19871988, dalam Pasal
120 yang menyatakan:
64
a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
“korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.” Dari perumusan ini,
jelaslah bahwa kumpulan teorganisasi ini, dalam praktiknya di kalangan para pelaku kejahatan sering melakukan kejahatan dengan melibatkan beberapa orang
sebagai suatu organisasi. Ternyata rumusan korporasi menurut Rancangan KUHP Baru tersebut di atas, mirip dengan pengertian korporasi di negeri Belanda, dan
dapat dijumpai dalam Pasal 51 W.v.S Belanda Pasal 59 KUHP Indonesia, yang berbunyi:
b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan
tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:
1 badan hukum atau;
2 terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu,
demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau;
3 terhadap yang disebutkan di dalam 1 dan 2 bersama-sama.
64
Siswanto, Op.cit., hlm.158.
55 c.
Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseoran tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.
B. Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Narkotika