61 Jika seseorang melakukan tindak pidana namun tidak memenuhi ketentuan
diatas, maka perbuatannya harus dipertanggungjawabkan dan dikenakan sanksi yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan unsur-unsur subjektif pada rumusan tindak pidana yang diuraikan diatas, maka diketahui bahwa formulasi pertanggungjawaban pidana
tersebut berdasarkan pada kesalahan berupa kesengajaan. Ada beberapa pasal yang menyebutkan “dengan sengaja” yang berarti unsur-unsur subjektif jelas
tercantum dalam pasal tersebut. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Narkotika yang tidak menyebutkan unsur “dengan sengaja”, namun dari dilihat
dari unsur objektifnya berupa perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan “dengan sengaja”. Contoh Pasal 111 menyebutkan bahwa “setiap orang yang
tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”.
Dalam pasal tersebut perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan
tersebut mengetahui dan dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut.
C. Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Narkotika
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut
stesel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari
76
76
Andi Hamzah, Op.cit., hlm 25-26.
:
62 1.
Pidana mati; 2.
Pidana penjara; 3.
Pidana kurungan; 4.
Pidana denda; 5.
Pidana tutupan Pidana tambahan terdiri dari;
a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
b. Pidana perampasan barang-barang tertentu;
c. Pidana pengumuman keputusan hakim.
1. Pidana Mati
Pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini
hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara
memandang pidana mati itu sendiri.
77
Hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang merupakan hukum positif. Terlepas dari landasan yang
sifatnya legalistik, secara realistis pun kondisi hukum di Indonesia, masih sangat membutuhkan pelaksanaan hukuman mati. Tentunya khusus bagi kejahatan-
kejahatan spesifik. Penjatuhan hukuman mati hanya diputuskan oleh Hakim, kalau kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat meyakinkan.
78
77
Ibid., hlm 29.
78
Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 179-180.
63 2.
Pidana Penjara
Berdasarkan sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat Lembaga
Pemasyarakatan dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua peraturan tata
tertib yang berlaku.
79
Menurut Pasal 12 1 pidana penjara dibedakan menjadi: a
Pidana penjara seumur hidup. b
Pidana penjara sementara waktu. Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat
berat, yakni
80
1 Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal 104, Pasal 365
ayat 4, Pasal 368 ayat 2 :
2 Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati tetapi sebagai
alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya Pasal 106, Pasal 108 KUHP
Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi maksimum umum 15 tahun 12 ayat 2. Pidana penjara sementara dapat
mungkin dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat 3.
79
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 34.
80
Ibid., hlm. 34.
64 3.
Pidana kurungan Merupakan bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si
terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara
yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak
mampu membayar denda yang harus dibayarnya, dalam hal perkaranya tidak begitu berat.
81
4. Pidana Denda
Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu, pidana denda
merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada
larangan jika denda tersebut secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
82
5. Pidana tutupan
Dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh Hakim bagi pelaku dari
sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
83
81
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 23.
82
Ibid., hlm. 24.
83
Ibid.
65 KUHP merumuskan beberapa pidana tambahan, antara lain:
84
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Dalam pasal 35 KUHP ditentukan bahwa yang boleh dicabut dalam putusan Hakim dari hak si bersalah ialah:
1 Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu. 2 Hak untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
baik udara, darat, laut, maupun Kepolisian. 3
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan berdasarkan Undang- Undang dan Peraturan Umum.
4 Hak menjadi penasihat, penguasa dan menjadi wali
5 Kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan atas anak.
6 Hak untuk mengerjakan tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu
Dalam hal perampasan barang-barang tertentu tercantum dalam pasal 39, 40, 41, 42 KUHP
1 Barang-barang milik terhukum yang diperoleh dari kejahatan. 2 Barang-barang milik terhukum yang dipakai untuk melakukan
kejahatan. c.
Pengumuman Putusan Hakim Semua Putusan Hakim sebenarnya sudah diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum, hukuman tambahan yang berupa pengumuman Putusan Hakim disini dimaksudkan agar putusan itu disiarkan istimewa
84
Ibid., hlm. 25-26.
66 secara jelas menurut apa yang ditentukan oleh Hakim dan biayanya di
tanggung oleh terhukum. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sanksi pidana
dibagi atas: 1.
Pidana Mati Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat
beberapa pasal yang menggunakan pidana mati, antara lain: Pasal 113 ayat 2, Pasal 114 ayat 2, Pasal 116 ayat 2, Pasal 118 ayat 2, Pasal 119 ayat 2, Pasal
121 ayat 2, Pasal 133 ayat 2 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana dapat dipidana dengan
pidana mati atau penjara, yang artinya tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum mati apabila melakukan tindak pidana yang telah diatur
oleh Undang-Undang itu sendiri. 2.
Pidana penjara Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat
beberapa pasal yang menggunakan pidana penjara, antara lain: Pasal 113 ayat 2, Pasal 114 ayat 2, Pasal 116 ayat 2, Pasal 118 ayat 2, Pasal 119 ayat 2, Pasal
121 ayat 2, Pasal 133 ayat 2 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan alternatif dari pidana mati yaitu berupa penjara
seumur hidup. 3.
Tindakan berupa Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan tindakan untuk pengembalian kehormatan dan
pemulihan nama baik. Dalam arti mengisolasikan seseorang ke suatu tempat
67 tertentu untuk dipulihkan, karena sesuatu penyakit atau keadaan. Hal ini
merupakan salah satu strategi pemberantasan masalah narkoba. Rehabilitasi semata-mata tidak untuk mengisolasikan pasien narkoba dari lingkungan
masyarakat umum agar terasing dari orang lain, melainkan untuk memulihkan pasien yang ketergantungan.
85
Para pecandu narkotika tidak jarang memberikan dampak terhadap rasa aib bagi anggota keluarganya. Mereka sembunyi-sembunyi untuk melakukan
perawatan medis sendiri swamedikasi, padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Oleh sebab itu, peranan masyarakat untuk
membangun fasilitas sarana rehabilitasi medis amat diperlukan dalam rangka rehabilitasi sosial.
86
Disisi lain, para terpidana narkotika diharapkan mendapat fasilitas lembaga pemasyarakatan khusus, yang dijauhkan dengan para pelaku tindak
pidana lainnya. Para terpidana narkotika selama menjalani hukuman, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk dilakukan pelatihan tentang
kewajiban memberikan informasi, pelatihan keterampilan dalam teknik pembelian terselubung sehingga dapat menunjang peranan penegak hukum.
87
Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan rehabilitasi medis merupakan kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. rehabilitasi pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
85
Ballen Kennedy, Djaman Siregar, Budaya Malu Solusi Memberantas Masalah Narkoba, Jakarta: Gramedium, hlm. 142.
86
Siswantoro Sunarso, Op.cit., hlm. 197.
87
Ibid., hlm. 197.
68 Yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun
masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional.
88
Rehabilitasi sosial merupakan kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
89
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial, yaitu lembaga rehabilitasi
yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, salah satu tujuannya
yang tercantum dalam pasal 4 adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Namun
fakta di lapangan, para penyalah guna dan pecandu narkotika dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di Lembaga Permasyarkatan. Hal ini terjadi karena
penegak hukum menginterpretasikan bahwa memiliki, menguasai, membawa narkotika dibawah ketentuan surat edaran MA, dapat dikonstruksi dalam pasal
sebagai pengedar, sehingga sangat jarang pasal penyalah guna berdiri sendiri. Disisi lain penegak hukum yang menangani kasus penyalah guna narkotika jarang
melakukan langkah-langkah pemeriksaan secara medis dan psikis untuk menentukan seorang yang ditangkap sebagai penyalahguna atau pengedar, serta
tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tingkatan kecanduan dan rencana
88
http:www.psychologymania.com201208pengertian-rehabilitasi-narkoba.html diakses tanggal 5 September 2015 pukul 20.30.
89
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
69 terapi rehabilitasinya, sehingga Hakim merasa sulit dalam memutuskan tindakan
berupa rehabilitasi.
90
90
http:dedihumas.bnn.go.idreadsectionartikel20131119813dekriminalisasi- penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia
diakses tanggal 5 September 2015 pukul 20.40.
70
BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA Studi Putusan No. 479Pid.B2011PN.Mdn
A. Kasus Posisi