menyebabkan cacat atau mengganggu fungsi, dan memerlukan perawatan jika cacat atau gangguan fungsi menyebabkan atau kemungkinan akan menyebabkan rintangan
bagi kesehatan fisik maupun emosional dari pasien. Salzmann mendefinisikan maloklusi sebagai suatu keadaan yang memberikan pengaruh merugikan terhadap
estetik, fungsi, maupun bicara.
1,15
Menurut beberapa studi epidemiologi yang dilakukan pada remaja Amerika Serikat dilaporkan 11 remaja umur 12-17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8
mempunyai maloklusi ringan dan 25,2 mempunyai maloklusi yang berat sehingga beberapa kasus memerlukan perawatan. Penelitian Gan-Gan tentang maloklusi pada
murid-murid SMP di wilayah Kotamadya Bandung menunjukkan prevalensi maloklusi telah mencapai 90,79. Keadaan ini mencakup maloklusi berat 26,32,
maloklusi sedang 11,84 dan maloklusi ringan 11,84 cit. Dewi.
3
2.2.1 Etiologi Maloklusi
Menurut Robert E. Moyers, maloklusi disebabkan oleh:
16
1. Herediter 2. Gangguan tumbuh kembang. Dapat terjadi karena faktor idiopatik, seperti
mikrognatia, facial cleft, oligodontia, dan anodontia. 3. Trauma
a. Trauma prenatal dan cedera pada masa kelahiran - Tekanan intrauterine pada masa kehamilan dapat menyebabkan hipoplasia
mandibula. - “Vogelgesicht”, yaitu terhambatnya pertumbuhan mandibula karena
ankilosis pada TMJ. - Lutut atau kaki yang tidak simetris dapat menekan wajah sehingga
menyebabkan pertumbuhan wajah yang asimetris atau retardasi perkembangan mandibula.
b. Trauma postnatal - Fraktur rahang dan gigi
- Trauma pada TMJ 4. Agen fisik
a. Pencabutan prematur gigi desidui b. Makanan
5. Kebiasaan buruk a. Mengisap ibu jari
b. Menjulur-julurkan lidah c. Mengisap dan menggigit bibir
d. Menggigit kuku 6. Penyakit
a. Penyakit sistemik - Penyakit demam dapat mengganggu perkembangan gigi pada masa balita
dan kanak-kanak. b. Gangguan pada kelenjar endokrin
- Disfungsi endokrin pada masa prenatal dapat menyebabkan hipoplasia gigi.
- Disfungsi endokrin pada masa postnatal dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan menjadi lebih lambat atau lebih cepat, seperti proses osifikasi
pada tulang, waktu erupsi gigi, dan kecepatan resorpsi gigi desidui. c. Penyakit lokal
- Penyakit nasofaringeal dan gangguan fungsi pernafasan - Penyakit gingiva dan periodontal
- Tumor - Karies. Dapat menyebabkan kehilangan dini gigi desidui, terganggunya
urutan erupsi gigi permanen, dan kehilangan gigi permanen. 7. Malnutrisi
2.2.2 Klasifikasi Maloklusi
Menurut Edward Angle, pengklasifikasian oklusi gigi berdasarkan hubungan anteroposterior lengkung gigi-gigi atas dan bawah, dan tidak melibatkan hubungan
lateral serta vertikal, gigi berjejal, malposisi lokal dari gigi. Pengklasifikasian ini digunakan secara luas dan berfungsi sebagai sarana yang sangat baik dalam
mendeskripsikan gambaran umum tentang maloklusi sehingga dapat memfasilitasi perbedaan persepsi maloklusi dalam profesi.
1,17
a. Klas I Angle Klas I merupakan hubungan anteroposterior yang sedemikian rupa dengan
gigi-gigi berada pada posisi yang tepat di lengkung rahang, ujung gigi kaninus atas berada pada bidang vertikal yang sama seperti ujung distal gigi kaninus bawah. Gigi-
gigi premolar atas berinterdigitasi dengan cara yang sama dengan gigi-gigi premolar bawah, dan tonjol anterobukal dari molar pertama atas tetap beroklusi dengan groove
bukal dari molar pertama bawah tetap. Jika gigi insisivus berada pada inklinasi yang tepat, overjet insisal adalah sebesar 3 mm.
1
b. Klas II Angle Pada hubungan Klas II, lengkung gigi bawah terletak lebih posterior daripada
lengkung gigi atas dibandingkan dengan hubungan Klas I. Karena itulah, keadaan ini kadang disebut sebagai “hubungan postnormal”. Pada kasus Klas II 1P, tonjol
distobukal molar pertama tetap rahang atas berada dalam sulkus antara bagian mesial dan tengah dari tonjol bukal molar pertama tetap rahang bawah.
1,17
Ada dua tipe hubungan Klas II yang umum dijumpai, dan karena itu, Klas II umumnya
dikelompokkan menjadi dua divisi, yaitu:
1,17
1. Klas II divisi 1 Lengkung gigi mempunyai hubungan Klas II dengan karakteristik gigi-gigi
insisivus sentralis dan lateralis atas proklinasi, dan overjet insisal yang besar, juga disertai fungsi bibir yang abnormal, obstruksi nasal dan pernafasan melalui mulut.
2. Klas II divisi 2 Lengkung gigi mempunyai hubungan Klas II dengan gigi insisivus sentralis
atas berinklinasi ke lingual dan memiliki overbite insisal yang besar. Gigi insisivus lateralis atas bisa proklinasi atau retroklinasi dengan fungsi bibir yang normal.
c. Klas III Angle Pada hubungan Klas III, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior terhadap
lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan Klas I. Oleh karena itu, hubungan ini kadang-kadang disebut juga sebagai “hubungan prenormal”. Umumnya ditemukan
susunan gigi yang berjejal pada rahang atas. Gigi insisivus dan kaninus bawah berinklinasi ke lingual karena adanya tekanan dari bibir bawah ketika bibir berusaha
untuk menutup. Pada beberapa kasus bisa menyebabkan terjadinya deformitas pengucapan.
1,17
2.2.3 Derajat Maloklusi