diperintahkan kepada All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC memperbaiki perjanjian dengan Terlapor III: ESPN STAR Sports
terkait dengan pengendalian dan penempatan hak siar Barclays Premiere League musim 2007-2010 agar dilakukan melalui proses
yang kompetitif di antara operator TV di Indonesia.
B. Saran
Berikut merupakan saran yang dapat disampikan oleh Penulis terhadap penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan pihak asing baik pihak asing
tersebut merupakan pelaku usaha maupun hanya pihak lain dalam suatu perjanjian:
1. Perluasan dan pemberian informasi sebagai pembelajaran bagi para pelaku
usaha yang melakukan perjanjian dengan pihak lain di luar negeri agar jangan sampai perjanjian yang dibuat dapat mengakibatkan monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat. 2.
Apabila perjanjian yang melanggar hukum persaingan tetap dilakukan maka seharusnya dapat ditindak tegas oleh KPPU dengan berkoordinasi dengan
Lembaga Pengawas Persaingan Usaha negara lainnya apabila terjadi hambatan di mana pihak asing tersebut tidak menunjukkan sikap kooperatif.
3. Dengan adanya hubungan KPPU dengan Lembaga Pengawas Persaingan
Usaha negara lain sekarang ini dalam berbagai forum seperti di kawasan ASEAN, International Competition Network, bahkan tingkat internasional,
maka diharapkan dapat saling berkonsultasi untuk menyelesaikan konflik yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi akibat perbedaan undang-undang, kebijakan dan kepentingan nasional berbagai negara, kesediaan untuk secara sukarela saling menukar informasi
yang tidak bersifat rahasia mengenai hambatan persaingan usaha yang berpengaruh terhadap kegiatan usaha.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian
Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti perikatan, persetujuan dan bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata
36
, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
37
Dari pengertian ini dapat dilihat salah satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri.” Sejalan dengan
pengertian tersebut dalam Pasal 1233 KUH Perdata
38
disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.
Menurut Subekti, suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
39
Terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, definisi Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain Dengan demikian, hubungan antara
perikatan dan perjanjianpersetujuan adalah jelas bahwa perjanjian menerbitkan
perikatan antara dua orangpihak yang membuatnya.
36
Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatang yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
37
Bandingkan dengan kontrak adalah suatu perjanjian tertulis antara dua orang atau lebih orang pihak yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu hal tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim, op.cit, hlm. 42; kontrak adalah di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu,
biasanya secara tertulis dalam buku Abdul R. Saliman, et.al, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 41
38
Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umumnya, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
39
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1984, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Selain dari pengertian yang diberikan KUH Perdata dan Undang-Undang tersebut, dapat dilihat juga
pengertian lain dari istilah perjanjian.
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
40
Maka dari peristiwa itulah timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
41
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya Harahap mengartikan Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau
harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk
menunaikan prestasi.
42
Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur perjanjian antara lain, hubungan hukum rechtbetrekking yang menyangkut
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.
43
R. Setiawan dalam bukunya lebih condong memakai istilah perikatan sebagai terjemahan dari verbintenis, karena dari segi terminologis sendiri
verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat.
44
40
Ibid
41
Ibid
42
M. Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 6
43
Ibid
44
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, 1987, hlm. 1
Perikatan mengandung pengertian suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-
subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak
Universitas Sumatera Utara
yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
45
Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi.
46
Menurut Subekti, perikatan memilki arti yang lebih luas dari kata “Perjanjian”, sebab dalam buku III KUH Perdata juga diatur masalah perikatan
yang timbul dari perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad dan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan atau
perjanjian zaakwaarneming.
47
Dapat dilihat juga bahwa perikatan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari ialah perikatan yang
bersumber dari perjanjian, bukan yang bersumber dari undang-undang. Sedangkan kontrak memiliki arti yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau
persetujuan yang tertulis.
48
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:
49
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.”
45
Ibid, hlm.2, diterjemahkan dari buku L.C. Hofmann, Het Nederlands Verbintenissenrecht, eerste gedeelte Wolters-Noordhoff
46
Ibid, diterjemahkan dari buku A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands Burgerlijk Wetboek
47
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2003, hlm. 122
48
Subekti, Hukum Perjanjian, loc.cit
49
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
50
Kata sepakat disini harus diberikan secara bebas oleh kedua pihak,
51
sehingga tercapai persesuaianpersetujuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu:
52
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis
2. Bahasa yang sempurna secara lisan
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
5. Diam atau membisu, tetapi asal bisa dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannnya, adalah cakap
menurut hukum.
53
1. Orang-orang yang belum dewasa
Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
50
Subekti, Hukum Perjanjian ,op. cit, hlm. 17
51
A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 10
52
Salim, H.S, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 33
53
Subekti, Hukum Perjanjian, loc.cit
Universitas Sumatera Utara
3. Orang perempuan dalam hal-hal yag ditetapkan oleh undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Suatu perjanjian harus memliki objek tertentu. Setidaknya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan
nanti aka nada. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan umum, pelabuhan umum,
gedung-gedung umum, dll, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian, barang tersebut juga harus dapat ditentukan jenisnya.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan syarat kempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan
dengan sebab yang halal itu ialah isi dari perjanjian itu sendiri.
54
2. Jenis-Jenis Perjanjian secara Umum
Selain itu, yang tidak hala maksudnya yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:
55
1. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma
54
Ibid, hlm. 20
55
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 80
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.
3. Perjanjian atas beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari piahk yang lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 4.
Perjanjian bernama Perjanjian ini termasuk perjanjian khusus karena ia memiliki nama sendiri.
Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-sehari.
5. Perjanjian tidak bernama
Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula pernjain tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat dalam KUH Perdata, tetapi terdapat
dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini pada prakteknya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
6. Perjanjian obligatoir
Perjanjian obligatoir merupakan perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
7. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan penyerahan kebendaan.
8. Perjanjian konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut
pasal 1338 KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat. 9.
Perjanjian riil Dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang sudah berlau sesudah
terajadi penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
10. Perjanjian liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang.
11. Perjanjian pembuktian
Perjanjian pembuktian merupakan perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
12. Perjanjian keuntung-untungan
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian keasuransian.
13. Perjanjian publik
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah,
dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan-
Universitas Sumatera Utara
bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang setara, kisalnya perjanjian ikatan dinas.
14. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung beberapa unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar sewa-menyewa
tapi pula menyajikan makanan jual-beli dan juga memberikan pelayanan.
B. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 1. Latar belakang Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat UU No. 5 Tahun 1999
Sejarah lahirnya UU No.5 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari fenomena keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi baik yang berlangsung
dari negara lain di dunia maupun yang dari dalam negeri; di mana sejak tahun 1930-an orang baru memulai menggunakan kacamata hukum ekonomi atau Droit
Economique yang pada waktu itu baru mencakup peraturan-peraturan administrasi negara. Tumbuhnya hukum ekonomi ini berpangkal pada konsepsi negara
kesejahteraan, yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak hanya menyerahkan kepada warga negara sendiri
saja untuk memenuhi segala kebutuhan sebagaimana pendirian paham liberal. Untuk itu Prancislah yang pertama mengusahakan keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan umum tersebut melalui kaidah-kaidah administrasi
Universitas Sumatera Utara
negaranya.
56
Keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi ini menjadikannya suatu bidang yang berhubungan langsung dengan kebijakan ketahanan nasional
dan politik negara.
57
Demikian juga halnya dengan sejarah hukum ekonomi di Indonesia yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Landasan hukum bagi struktur
ekonomi Indonesia yang dualistis tercantum dalam Pasal 131dan 163 Indische Staatregeling Stb. 1854:2 dan Stb. 1855:2. Pasal-pasal tersebut merupakan
kaidah yang sesungguhnya menunjang kebijaksanaan ekonomi yang dualistis, karena memberi peran yang dominan kepada golongan Eropa dalam sektor bisnis
internasional, industri dan perbankan. Golongan Bumiputera dalam sektor agraris atau penghasil bahan mentah dan Golongan Timur Asing sebagai pedagang
perantara bagi kedua golongan tersebut.
58
Kebijaksanaan yang dualistis ini menyebabkan terjadinya kesenjangan pada tata kehidupan ekonomi, sehingga peluang-peluang usaha yang tercipta
dalam kenyataanya belum dapat membuat masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di sektor ekonomi.
59
Meskipun Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat dalam bidang perekonomian saat era booming
minyak berlalu dan dimulainya era investasi asing di Indonesia sekitar tahun 1970-an.
60
56
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta: Djambatan, 2000, hlm. 21
57
Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 277
58
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, op.cit, hlm. 22
59
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 186
60
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia sangat rapuh dan tidak mau bersaing.
61
Fakta menyebutkan bahwa reformasi dipicu oleh gejolak akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan yang merupakan kesalahan manajemen ekonomi
pemerintahan Orde Baru, meskipun tuntutan agar Indonesia mempunyai suatu undang-undang antimonopoli sudah muncul pada tahun 1990-an namun tidak
didukung oleh political will dari pemerintah saat itu.
62
Krisis terjadi karena rusaknya pilar ekonomi dalam segi perbankan, kebijakan moneter dan pinjaman
utang luar negeri yang tinggi.
63
Dalam upaya mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan Januari 1998 Indonesia menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari
program bantuan International Monetary Fund IMF. Dari 50 butir memorandum maka serangkaian kebijakan deregulasi segera dilakukan pemerintah pada waktu
itu, beberapa diantaranya yang bersinggungan dengan persaingan usaha adalah:
64
a. Butir 31 bulan November, pemerintah menyusun strategi ambisius
untuk reformasi structural yang bertujuan untuk membawa ekonomi kembali ke arah pertumbuhan yang cepat dengan mengubah ekonomi berbiaya tinggi
ke ekonomi yang lebih terbuka, efisien dan kompetitif. Untuk itu strategi yang ditujukan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing, deregulasi
61
Hermansyah, op.cit, hlm. 11
62
Ibid, hlm. 10
63
Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm.23
64
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 7-9
Universitas Sumatera Utara
kegiatan domestic dan mempercepat program swastanisasi sekaligus mempertimbangkan langkah menghadapi kemiskinan.
b. Butir 32 pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih
terbuka dan meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli Bulog untuk program gandum, kedelai, bawang putih. Importer diperkenankan
menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri, kecuali gandum. c.
Butir 33 Harga Patokan Sementara HPS semen dihapus serta penurunan harga bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tariff produk
kimia akan diturunkan menjadi 5 mulai 1 Januari 1999. Dengan demikian tariff maksimum produk-produk ini ditargetkan mencapai 10 pada tahun
2003. d.
Butir 41 terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang produk pertanian seperti cengkeh, jeruk dan vanilla akan memiliki kebebasan menjual
dan membeli komoditinya tanpa ada batasan wilayah. BPPC akan dibubarkan pada bulan Juni 1998.
e. Butir 43 monopoli Bulog aqkan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1
Februari 1998, semua pedaganag akan diizinkan untuk mengimpor gula dan memasarkannya pada pasar domestic, dan petani akan dibebaskan dari
ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu. Salah satu yang diatur dalam Letter of Intent tersebut adalah untuk
menjamin adanya iklim persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Universitas Sumatera Utara
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
65
2. Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999
Adapun istilah monopoli dalam undang-undang tersebut dipakai merupakan refleksi akibat yang terjadi di
Indonesia seperti telah disebutkan sebelumya adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai atau memonopoli bidang-bidang tertentu sama halnya dengan di
beberapa negara seperti Amerika Serikat yang menggunakan Antitrust Law yang merupakan ketidaksetujuan terhadap gabungan trust dari beberapa perusahaan
besar yang mengakibatkan persaingan terganggu.
Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Di mana dalam prinsip per se illegal per se violation atau per se rule dinyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.
Sedangkan prinsip rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalusi mengenai akibat
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan.
66
Kedua prinsip ini terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yang berbunyi “yang dapat mengakibatkan”
dan atau “patut diduga” di mana kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian lebih lanjut. Selain itu klausul yang menggambarkan prinsip per se
65
Ibid, hlm. 9-10
66
Emmy Yuhassarie, et.al, Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.51999 dan
KPPU, 17-18 Mei 2004, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hlm. 104
Universitas Sumatera Utara
illegal juga terdapat yaitu adanya istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang dapat mengakibatkan”.
67
Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua prinsip tersebut tetapi sebenarnya kedua prinsip ini saling melengkapi dan tidak merupakan
inkonsistensi.
68
Karena per se illegal di satu sisi mempunyai manfaat besar dalam penerapannya yaitu kemudahan dan kejelasannya dalam proses admnistratif,
selain itu juga pendekatan ini memiliki daya mengikat yang lebih luas daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai kondisi pasar yang
kompleks, yang menyelidiki situasi serta karakteristik pasar.
69
Namun di sisi lain, dalam menghadapi kasus-kasus perjanjian, terutama perjanjian yang tidak
tertulislisan, terdapat kesusahan dalam hal pembuktian bahwa telah terjadinya perjanjian yang merusak persaingan. Seperti contoh pada kasus Barber Shop
Association, tidak terdapat bukti langsung bahwa asosiasi tersebut menetapkan suatu “harga standar” kepada para anggotanya. Namun, asosiasi melakukan
tekanan kepada para anggotanya untuk mengatur harga senilai 300 yen dengan cara mengumumkan hasil penelitian kuesioner yang telah dijawab oleh para
anggota.
70
Sedangkan konsep rule of reason memilki keunggulan dengan digunakannya analisi ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan
67
Ibid
68
Ibid, hlm.117, di mana Hakim Burger telah mengantisipasi untuk mengakhiri perdebatan tentang perbedaan yang jelas antara analisis per se illegal dan rule of reason dalam
dissenting opinion-nya pada kasus Topco, dengan menyatakan bahwa “per se rules... are complimentary to, and no way incossistent with, ...”
69
Ibid, hlm. 106
70
Kegiatan ini dievaluasi sebagai bukti tidak langsung sebagai bentuk penetapan harga. Ibid, hlm. 108
Universitas Sumatera Utara
pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan.
71
Dan di sisi lain, seperti telah disebutkan di atas, bahwa konsep ini juga terdapat kelemahan, yaitu bahwa rule of reason yang digunakan para hakim
atau juri mensyaratkan pengetahuan tentang ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu memilki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna
mendapat keputusan yang rasional.
72
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus persaingan usaha dalam kenyataannya tidak mudah diterapkan prinsip mana yang harus diberlakukan, karena tidak
semua orang memiliki persepsi yang sama tentang pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah
melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya reasonableness.
73
Terdapat beberapa cara atau analisis dalam membuktikan prinsip atau konsep mana yang
harus diberlakukan atau untuk memisahkan secara tegas kedua prinsip ini, antara lainnya
74
a. Bright line test per se rules; dengan mengevaluasi tujuan dan akibat dari
tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan. :
b. Dichotomy model; cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang
dilakukan dengan batasan yang jelas antara per se atau rule of reason dan hasilnya dianalisis dengan memperbandingkan alasan dan konsekuensi yang
ditimbulkannya.
71
Ibid, hlm. 111
72
Ibid, hlm. 111-112
73
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hlm. 102
74
Ibid, hlm. 104-111
Universitas Sumatera Utara
c. Truncated analysis of rule of reason quick look theory; pendekatan ini lebih
melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat anti persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk
membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anti persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian akan
dilanjutkan dengan menggunakan analisis rule of reason. d.
Model Tradisional 6 Sel; mekanisme ini utnuk menentukan kasus persaingan untuk melihat dulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya
horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boikot.
e. Rule of reason versi Hakim Old White-Brandies; dengan pendekatan
konsekuensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat
keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan biaya dan keuntungan, maka pengadilan dapat mengukur beralasankah
tindakan yang telah dilakukan. f.
Direct-Indirect versi Hakim Peckham; ia menetapkan suatu standar bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan,
maka dinyatakan dengan per se illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dilakukan untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan
para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat tambahan ancillary.
Universitas Sumatera Utara
g. Rule of reason versi Hakim Taft; beliau menyarankan pendekatan Hakim
Peckham tetapi dengan menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan harus tetap dievaluasi. Pendekatan ini mempertanyakan apakah semua
hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Hakim Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal
atau horizontal. h.
Presumptive Kemungkinan; analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan fungsi ekonomi dari hambatan, keberadaan hambatan yang
sifatnya internal atau eksternal, kedudukan para pihak yang relative independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan bila
memang sifatnya mutlak, apakah ada pengecualian yang dibolehkan undang- undang.
3. Asas dan tujuan UU No. 5 tahun 1999
Tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 terdapat dalam Pasal 3 dan konsiderans secara implisit. Pada bagian konsiderans, dapat ditarik tiga tujuan
umum yang hendak dicapai dalam penyusunan undang-undang ini. Pertama, di dalam konsiderans tercantum tujuan yang sangat umum dan klise bahwa undang-
undang ini ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi pada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun
1945.
75
75
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, op.cit, hlm. 187
Kedua, di dalam konsiderans juga disebutkan bahwa undang-undang ini disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang ikut serta dalam proses
Universitas Sumatera Utara
produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar
secara wajar. Ketiga, secara tersirat juga dinyatakan bahwa undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah pemusatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
Secara lebih tegas, tujuan UU No. 5 Tahun 1999 ini dicantumkan dalam Pasal 3 yang bersama-sama dengan Pasal 2 berada di bawah bab tentang asas dan
tujuan.
76
Tujuan UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 adalah:
77
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2.
Mewujudkan iklim usaha kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. 3.
Mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Asas UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas dicantmkan dalam Pasal 2. Menurut pasal tersebut, asas kegiatan usaha di Indonesia adalah, “demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara pelaku usaha dan kepentingan umum.”
4. Subjek hukum dalam UU No. 5 tahun 1999
76
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 75- 76
77
Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut subjek hukum sesuai dengan yang dimaksud dengan kata “orang” dalam
KUHPerdata Buku I Bab I.
78
Jadi, dapat dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama atau
kebudayaanya adalah subjek hukum. Di samping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat badan-badan kumpulan manusia yang oleh hukum diberi
status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut Badan Hukum.
79
Dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1999 sebagai landasan kebijakan dari Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, maka yang dapat dikatakan subjek hukum
adalah pelaku usaha Subjek hukum ini dapat mengadakan hubungan hukum
yang akan menimbulkan hak dan kewajibannya dalam lalu lintas hukum.
80
Definisi pelaku usaha tersebut tidak membedakan antara perusahaan terbuka dan perusahaan tertutup. Sepanjang pelaku usaha itu melakukan kegiatan
ekonomi di wilayah Repulik Indonesia, Undang-Undang Antimonopoli dapat , di mana menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999
merupakan setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
78
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 139
79
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 227
80
M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2007, hlm. 279
Universitas Sumatera Utara
diterapkan jika pelaku usaha melanggar ketentuannya.
81
Selain itu, pelaku usaha ini melakukan kegiatannya dalam pasar yang pada terminologi ekonominya dapat
disamakan dengan pelaku dalam pasar. Produsen perusahaan adalah pemegang peranan kunci dalam memproduksi barang yang akan dijual di pasar untuk para
konsumen. Dimana pelaku dalam pasar atau ekonomi ini akan berupaya mencapai keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya dengan
mempertimbangkan variabel biaya atau cost yang harus dikeluarkan.
82
5. Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia
Dalam pembahasan mengenai pengawasan atau penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia maka tidak terlepas dari lembaga independen
83
atau non-struktural
84
yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU.
85
Dalam menangani dugaan pelanggaran dan upaya penegakan hukum, KPPU dapat memperoleh sumber-sumber informasi atau bukti-bukti, baik dari luar, misalnya
laporan dari pihak ketiga, maupun yang dilakukan dari dalam yang berdasarkan inisiatif anggota KKPU sendiri.
86
Apabila informasi adanya pelanggaran itu diperoleh dari pihak luar, maka KPPU berkewajiban memprosesnya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan
dalam waktu selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari dan ia diwajibkan pula
81
Ibid, hlm.280
82
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 50-51
83
Pasal 30 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999: “Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekeuasaan pemerintah serta pihak lain ”
84
Pasal 1 ayat 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha: “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 merupakan
lembaga non-struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.”
85
Pasal 30 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999
86
Pasal 38 UU No. 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
menjaga kerahasiaan pihak yang melaporkannya.
87
Inisiatif pemeriksaan tentang dugaan adanya pelanggaran undang-undang ini juga dapat dilakukan oleh KPPU
meskipun tidak didahului adanya laporan dari siapapun.
88
Jika terjadi pelanggaran, maka pihak yang diduga melakukannya itu berkewajiban memenuhi panggilan KPPU, termasuk pula menyerahkan bukti-
bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, apabila KPPU menganggap alat bukti itu merupakan dokumen yang penting dan dapat
membuktikan terjadinya atau tidak terjadinya pelanggaran. Dan bagi pihak yang menolak bekerjasama maka akan dikenakan sanksi.
89
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Tahapan-tahapan pemeriksaan di KPPU dapat dibagi menjadi dua tahap pemeriksaan, yaitu:
Pengertian pemeriksaan pendahuluan dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat 14 Peraturan Komisi No. 12006
90
2. Pemeriksaan Lanjutan
, yang berbunyi sebagai berikut: “pemeriksaaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan.”
Pemeriksaan lanjutan pertama kali disebutkan di dalam ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999, dan dijelaskan secara detail dalam Pasal 1 ayat
15 yang berbunyi sebagai berikut: “serangkaian kegiatan yang dilakukan
87
Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1999
88
Pasal 40 UU No.5 Tahun 1999
89
Pasal 41 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1999
90
Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU
Universitas Sumatera Utara
oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran.” Pemeriksaan
lanjutan biasanya dilakukan apabila KPPU telah menemukan indikasi adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila KPPU
memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada.
91
Setelah KPPU menyelesaikan pemeeriksaan lanjutan, KPPU diwajibkan untuk memutuskan telah terjadi atau tidak pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun
1999 dalam tenggang waktu 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan.
92
Adapun putusan tersebut harus dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang juga harus diberitahukan kepada pelaku usaha terkait.
Apabila terbukti bersalah dan pelaku usaha tersebut tidak menerima putusan tersebut, maka dapat diajukan upaya keberatan selambat-lambatnya 14 hari
setelah menerima pemberitahuan putusan dari KPPU.
93
91
Destivano Wibowo Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 19
92
Pasal 43 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1999
93
Pasal 44 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Winston Churchill pernah menyatakan bahwa pokok dari pidato seorang sosialis yang dihormati ialah suatu dosa apabila seseorang memperoleh
keuntungan, tetapi menurut beliau justru dosa yang sesungguhnya apabila seseorang mengalami kerugian.
1
Seiring dengan pernyataan Churchill tersebut, pelaku usaha mendirikan dan menjalankan usahanya murni bertujuan untuk
memperoleh keuntungan, dengan menggapai kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang yang ada.
2
Peluang-peluang usaha yang tercipta dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpatisipasi
dalam pembangunan di sektor ekonomi.
3
Untuk itu setiap pengusaha sebaiknya mengetahui dalam sistem perekonomian mana ia sedang bergerak.
4
1
“The substance of the eminent Socialist gentleman’s speech is that making a profit is a sin, but it is my belief that the real sin is taking a loss” by Winston Churchill dalam The New
International Webster’s Pocket Quotations Dictionary, United States: Trident Press International, 2005
2
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 9
3
R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan dan Larangan Praktek Monopoli, Yogyakarta: Liberty bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Jayanabra Yogyakarta, 2002, hlm. 49
4
M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Yogyakarta: Liberty,1991, hlm. 74
Campur tangan pemerintah atau kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi harus menjadi bahan yang
diperhatikan oleh setiap pemimpin perusahaan. Campur tangan seperti itu tentu berbeda bagi masing-masing sistem perekonomian, mulai dari paham
merkantilisme, kapitalisme, komunisme maupun sosialisme yang berbeda satu di
Universitas Sumatera Utara
antaranya.
5
Menurut Sombart, terdapat tiga macam sistem perekonomian yang pernah berlaku di Eropa secara berturut-turut yaitu: pertama, perekonomian
tersendiri kedua, kerajinan dan pertukangan
6
ketiga, kapitalisme. Pada sistem perekonomian pertama belum ada tukar menukar, ekonomi pada umumnya
bersifat setempat dan mencukupi diri sendiri. Sedangkan pada sistem ekonomi kedua, tukar menukar atau barter sudah lazim sehingga perekonomian berpusat
pada manorial estate.
7
Setelah itu beralilah kepada paham merkantilisme, di mana negara berusaha mendapatkan emas sebanyak mungkin melalui perdagangan luar
negeri.
8
Paham merkantilisme ini kemudian menuai pertentangan dari mereka yang mementingkan pertanian, yaitu paham Physiocratisme, yang dianjurkan oleh
Quesnay. Ia berpendapat bahwa hanya pertanian yang produktif sedangkan perniagaan dan industri tidak, sebab mereka tidak menghasilkan barang, hanya
mengubah atau mengedarkan hasil-hasil pertanian.
9
Tidak lama kemudian, kedua ajaran tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan sistem perekonomian
kapitalisme.
10
5
Ibid
6
Kedua sistem ini disebut juga masa sebelum Kapitalisme atau Pra Kapitalisme
7
Di dalam manorial estate, pelaku utama perekonomian adalah orang-orang yang bekerja di lapangan pertanian dengan pimpinan kaum bangsawan. Susunan masyarakat pada masa itu
sedemikian rupa sehingga seorang bangsawan dapat mengatakan bahwa semua kekuasaan yang ada padanya untuk memimpin masyarakat dalam lingkungannya berdasarkan kehendak Tuhan; di
mana kehidupan yang dialami seseorang menurut pendapat pada masa itu merupakan nasib, yang sudah ditakdirkan Tuhan, lihat M. Manullang, loc.cit.
8
Menurut paham ini, sumber kekayaan adalah perdagangan.
9
Kaum Physiocrat berpendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran, manusia membutuhkan bahan-bahan atau barang-barang yang nyata dan ini hanya dapat dihasilkan oleh
pertanian.
10
Kapitalisme pada mulanya berkembang di Inggris pertengan abad ke-18. Tepatnya pada masa Adam Smith mengeluarkan bukunya “The Wealth of Nations” pada tahun 1776. Yang
kemudian paham ini dibawa dan dikembangkan di daerah Barat Laut Eropa dan Amerika Utara, lihat M. Manullang, loc.cit.
Ajaran pokok dari gerakan besar, individualis-rasionalis di berbagai
Universitas Sumatera Utara
bidang seperti keagamaan, politik, ilmu pengetahuan dan ekonomi, itu adalah kebebasan perseorangan yang terkenal dengan semboyan “Liberte, Egalite,
Fraternite” pada zaman revolusi Prancis. Di bidang perekonomian, gerakan tersebut terjelma dengan adanya
kebebasan perseorangan di setiap sektor ekonomi, bukan hanya sektor ekspor seperti pada sistem merkantilisme. Campur tangan pemerintah pada bidang
perekonomian tidak perlu sebab dengan demikian akan tercipta kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Menurut Adam Smith, ada “invisible hands”
yang akan memimpin segala tindakan perseorangan itu ke arah kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, di mana dikenal dengan suatu semboyan
laissez faire, laisser aller, le monde va de lui meme.
11
Adapun sistem lain yang terus berkembang ialah sistem ekonomi komunisme atau ekonomi Perintah yang bersifat totaliter dengan putusan-putusan
ekonomi dibuat oleh pusat, di mana sistem ini sangat berbeda dengan sistem kapitalis atau ekonomi pasar tersebut di atas. Negara menetapkan di mana
seseorang harus bekerja, pekerjaan apa yang harus dipilih, apa yang harus dimakan, apa yang harus dihasilkan, berapa tinggi harga yang harus ditetapkan,
bagaimana cara menanam modal simpanan dan lainnya.
12
Karena akibat-akibat yang dinilai merugikan dari sistem komunisme dan kapitalis tersebut, maka
paham sosialisme dalam perekonomian mendapat perhatian orang.
13
11
M. Manullang, op.cit, hlm. 76
12
Ibid, hlm. 78
13
Tidak jelas kapan sebenarnya paham tersebut lahir, sebab Plato dalam bukunya Respublika telah pernah menyebutkan hal itu. Demikian juga Kaum Kristen telah lama cenderung
menganutnya dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, lihat M. Manullang, ibid
Universitas Sumatera Utara
Sosialisme dan komunisme merupakan dua paham yang berbeda meskipun ada orang yang berpendapat bahwa itu merupakan dua hal yang semacam.
Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan sistem ekonomi sosialisme adalah ekonomi kesejahteraan sedangkan dalam sistem ekonomi komunisme adalah ekonomi
perintah. Dalam ekonomi sosialisme, lebih banyak bersifat anjuran daripada bersifat perintah.
14
Di Indonesia sendiri, Pasal 33 UUD tahun 1945 yang merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan perekonomian nasional
yang menjelaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi ialah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.
15
Hanya saja pada praktiknya, peluang-peluang yang ada pada pelaku usaha tertentu digunakan secara curang dan tidak terarah yang menyebabkan kerugian
ekonomi bukan hanya bagi pelaku usaha lainnya dan konsumen, namun juga bagi perekonomian nasional; sebagai contoh di Indonesia dengan dibentuknya Badan
Penyangga dan Pemasaran Cengkeh BPPC pada tahun 1991 yang memberikan kewenangan tunggal untuk membeli cengkeh dari petani cengkeh dan
kewenangan menjual kepada para produsen rokok.
16
Kecurangan-kecurangan dalam menjalankan usaha atau bisnis ini pada awalnya timbul dari suatu persaingan antar pelaku usaha,
17
14
M. Manullang, op.cit, hlm. 80
15
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, Medan: Pusataka Bangsa Press, 2004, hlm. 1
16
Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000, hlm. 1
17
Hermansyah ,loc.cit
meskipun sudah ada
Universitas Sumatera Utara
etika-etika antar sesama pelaku usaha dalam menjalankan usahanya.
18
Namun apabila sudah merambah pada tahap-tahap kecurangan dan merugikan pihak lain, inilah yang menyebabkan timbulnya peranan hukum dalam
melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi, sehingga dinamika kegiatan ekonomi tersebut dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan fungsi hukum itu sebagai sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum, serta
sarana untuk pembaharuan masyarakat. Dari gambaran tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ekonomi akan mempengaruhi peta hukum.
Sebaliknya, perubahan hukum juga akan memberikan dampak yang luas terhadap ekonomi.
Sebab persaingan antar para pelaku usaha merupakan hal yang wajar dan memang
merupakan persyaratan mutlak bagi terwujudnya ekonomi pasar.
19
Sebagai contoh perilaku pelaku usaha dalam persaingan usaha yang paling banyak didengungkan adalah tuduhan monopoli yang merupakan suatu bentuk
penguasaan pangsa pasar; di mana adanya suatu kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang produk atau jasa tertentu. Selain itu terdapat juga
beberapa potensi perilaku usaha yang menyimpang, antara lain: penentuan harga, predatory pricing dan pre-emptive expansion, kartel, merger, integrasi vertical,
persaingan di tingkat pembeli monopsoni, penguasaan pasar.
20
18
M. Udin Silalahi, Badan Hukum dan Organisasi Perusahaan, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005, hlm. 79
19
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung: Refika Aditama, 2004, hlm. 45
20
Ayudha D. Prayoga, et.al, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Proyek Elips, 1999, hlm. 12-19
Universitas Sumatera Utara
Perilaku menyimpang yang disebutkan di atas dapat terjadi dalam setiap sistem hukum.
21
Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme, dengan instrumen adanya kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi serta
kebebasan informasi telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya.
22
Meskipun gagasan untuk menerapkan Undang-Undang Antimonopoli dan mengharamkan kegiatan pelaku usaha yang curang telah dimulai sejak 50 lima
puluh tahun sebelum Masehi, dapat dilihat dari Peraturan Roma yang melarang tindakan pencatutan atau mengambil untung secara berlebihan dan tindakan
bersama yang mempengaruhi perdagangan jagung, Dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme, monopoli juga terbentuk
secara khas, yaitu peran pemerintah sebagai pusat pengendali segalanya.
23
terdapat suatu dilema bagi sektor hukum ketika melarang monopoli. Terutama mengenai pertanyaan klasik
sejauh mana monopoli ini harus dilarang, sebab apabila pelarangan monopoli yamg tidak tepat tentunya dapat mengakibatkan terhambatnya kompetisi bagi para
pelaku usaha demi mendapat keuntungan dan efisiensi.
24
Selain itu dalam Magna Charta tahun 1349, Inggris juga telah melarang monopoli dan perjanjian-perjanjian yang membatasi kebebasan individual untuk
berkompetisi secara jujur restraint of trade. Di Amerika Serikat, awal terbentuknya Sherman Act pada tahun 1890, yang disempurnakan dengan Clayton
Act pada tahun 1914 dimulai dalam rangka mengakomodasi keinginan akan hak
21
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 3
22
Ibid
23
Insan Budi Maulana, op. cit, hlm. 7
24
Munir Fuady, Hukum Antimonopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 22-23
Universitas Sumatera Utara
untuk bersaing.
25
Yang selanjutnya diikuti dengan terbentuknya Federal Trade Commission Act pada tahun 1914 di mana lahirlah suatu lembaga khusus yang
menangani persaingan usaha dan perlindungan konsumen
26
Di Jepang sebagai negara yang masyarakatnya secara tradisional tidak mengenal hukum persaingan, pada akhirnya membentuk Undang-Undang
Antimonopoli Jepang pada tahun 1947 Law concerning the Prohibition of Private Monopoly and Preservation of Fair Trade; terlepas dari intervensi
kekuatan sekutu allied force yang dipimpin Amerika Serikat saat melakukan okupasi di Jepang dalam rangka meghilangkan konglomerasi, dekonsentrasi
terhadap perusahaan-perusahaan besar dan menghilangkan kartel-kartel yang ada pada masa sebelum perang.
, Robinson Patman Act pada tahun 1936 yang menyempurnakan pasal 2 Clayton Act tentang diskriminasi
harga, Cellar-Kefauver Act pada tahun 1950.
27
Di negara-negara Eropa, peraturan tentang persaingan usaha terdapat dalam Perjanjian Uni Eropa yang ditandatangani pada
tahun 1992 dan mulai berlaku pada tahun 1994 secara khusus diatur dalam Bagian Ketiga dengan judul Policy of the Community Bab I dengan judul Rules on
Competition; meskipun pada dasarnya negara-negara Eropa telah terlebih dulu memilki hukum persaingan usahanya sendiri.
28
Di Indonesia sendiri, peraturan perundang-undangan secara khusus mengenai persaingan usaha baru dikenal saat diundangkannya Undang-Undang
25
Ayudha D. Prayoga, et.al, op. cit, hlm. 31
26
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 204
27
Ayudha D. Prayoga, et.al, op. cit, hlm. 33-34
28
Contohnya Belanda memiliki Economic Competition Act Wet Economische Medediging yang diundangkan pada tahun 1958, Jerman memilki Unfair Competition Act sejak
tahun 1909, di Inggris terdapat Undang-Undang Monopoli dan Praktek Pembatasan pada tahun 1948 dan Fair Trading pada tahun 1973
Universitas Sumatera Utara
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diharapkan dapat menjamin terciptanya iklim usaha yang sehat,
adil, dan bebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme KKN.
29
Di samping itu, Undang-Undang ini juga diharapakan dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat internasional yang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.
30
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Adapun tujuan dari Undang-Undang ini dapat dilihat dalam pasal 3
Undang-Undang Antimonopoli, yakni:
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjaimin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha uang besar, menengak, kecil maupun mikro
c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha d.
Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha Dengan perkataan lain, eksistensi Undang-Undang Antimonopoli ini
adalah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dengan cara mencegah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta untuk menciptakan
ekonomi pasar yang efektif dan efisien demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
31
29
Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm. 51
30
Ibid, hlm. 55
31
Hermansyah, op. cit, hlm. 15
Iklim persaingan usaha yang sehat mendorong pelaku usaha melakukan inovasi supaya dapat bersaing dan dapat bertahan pada pasar yang bersangkutan, selain
Universitas Sumatera Utara
dapat menguntungkan konsumen dari sektor banyaknya pilihan dan harga yang beraneka ragam.
Secara khusus di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri yang bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun mengenai perjanjian ini, pengaturannya dalam Undang-
Undang tersebut mendapat tempat tersendiri dapat dilihat dari suatu bab khusus mengenai perjanjian yang dilarang.
32
Pada bagian kesepuluh Pasal 16 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di
luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun bentuk-bentuk perjanjian
yang dimaksud dalam Pasal 16 ini ialah perjanjian-perjanjian yang telah disebutkan pada pasal-pasal sebelumnya,
33
baik tertulis maupun tidak tertulis,
34
1. Perjanjian oligopoli pasal 4 ayat 1 dan 2
yaitu:
2. Perjanjian penetapan harga pasal 5-8
3. Perjanjian pembagian wilayah pasal 9
4. Perjanjian pemboikotan pasal 10 ayat 1 dan 2
5. Perjanjian kartel pasal 11
6. Perjanjian trust pasal 12
7. Perjanjian oligopsoni pasal 13 ayat 1 dan 2
32
Bab III : Perjanjian yang Dilarang yang terdiri dari 10 bagian dan 13 pasal dari pasal 4-16
33
Munir Fuady, op. cit, hlm. 72-73
34
Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
8. Perjanjian integrasi vertikal pasal 14
9. Perjanjian tertutup pasal 15 ayat 1-3
Adapun siapa saja pihak lain di luar negeri ini tidak jelas, sebab menimbulkan beberapa persepsi misalnya apakah yang dimaksud perusahaan atau
badan hukum Indonesia yang merupakan cabang afiliasi dari perusahaan asing
35
B. Perumusan Masalah