Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 65

2. Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999

Adapun istilah monopoli dalam undang-undang tersebut dipakai merupakan refleksi akibat yang terjadi di Indonesia seperti telah disebutkan sebelumya adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai atau memonopoli bidang-bidang tertentu sama halnya dengan di beberapa negara seperti Amerika Serikat yang menggunakan Antitrust Law yang merupakan ketidaksetujuan terhadap gabungan trust dari beberapa perusahaan besar yang mengakibatkan persaingan terganggu. Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Di mana dalam prinsip per se illegal per se violation atau per se rule dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Sedangkan prinsip rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalusi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan. 66 Kedua prinsip ini terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yang berbunyi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga” di mana kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian lebih lanjut. Selain itu klausul yang menggambarkan prinsip per se 65 Ibid, hlm. 9-10 66 Emmy Yuhassarie, et.al, Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.51999 dan KPPU, 17-18 Mei 2004, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hlm. 104 Universitas Sumatera Utara illegal juga terdapat yaitu adanya istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang dapat mengakibatkan”. 67 Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua prinsip tersebut tetapi sebenarnya kedua prinsip ini saling melengkapi dan tidak merupakan inkonsistensi. 68 Karena per se illegal di satu sisi mempunyai manfaat besar dalam penerapannya yaitu kemudahan dan kejelasannya dalam proses admnistratif, selain itu juga pendekatan ini memiliki daya mengikat yang lebih luas daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai kondisi pasar yang kompleks, yang menyelidiki situasi serta karakteristik pasar. 69 Namun di sisi lain, dalam menghadapi kasus-kasus perjanjian, terutama perjanjian yang tidak tertulislisan, terdapat kesusahan dalam hal pembuktian bahwa telah terjadinya perjanjian yang merusak persaingan. Seperti contoh pada kasus Barber Shop Association, tidak terdapat bukti langsung bahwa asosiasi tersebut menetapkan suatu “harga standar” kepada para anggotanya. Namun, asosiasi melakukan tekanan kepada para anggotanya untuk mengatur harga senilai 300 yen dengan cara mengumumkan hasil penelitian kuesioner yang telah dijawab oleh para anggota. 70 Sedangkan konsep rule of reason memilki keunggulan dengan digunakannya analisi ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan 67 Ibid 68 Ibid, hlm.117, di mana Hakim Burger telah mengantisipasi untuk mengakhiri perdebatan tentang perbedaan yang jelas antara analisis per se illegal dan rule of reason dalam dissenting opinion-nya pada kasus Topco, dengan menyatakan bahwa “per se rules... are complimentary to, and no way incossistent with, ...” 69 Ibid, hlm. 106 70 Kegiatan ini dievaluasi sebagai bukti tidak langsung sebagai bentuk penetapan harga. Ibid, hlm. 108 Universitas Sumatera Utara pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan. 71 Dan di sisi lain, seperti telah disebutkan di atas, bahwa konsep ini juga terdapat kelemahan, yaitu bahwa rule of reason yang digunakan para hakim atau juri mensyaratkan pengetahuan tentang ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu memilki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna mendapat keputusan yang rasional. 72 Oleh karena itu, dalam kasus-kasus persaingan usaha dalam kenyataannya tidak mudah diterapkan prinsip mana yang harus diberlakukan, karena tidak semua orang memiliki persepsi yang sama tentang pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya reasonableness. 73 Terdapat beberapa cara atau analisis dalam membuktikan prinsip atau konsep mana yang harus diberlakukan atau untuk memisahkan secara tegas kedua prinsip ini, antara lainnya 74 a. Bright line test per se rules; dengan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan. : b. Dichotomy model; cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang dilakukan dengan batasan yang jelas antara per se atau rule of reason dan hasilnya dianalisis dengan memperbandingkan alasan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. 71 Ibid, hlm. 111 72 Ibid, hlm. 111-112 73 Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hlm. 102 74 Ibid, hlm. 104-111 Universitas Sumatera Utara c. Truncated analysis of rule of reason quick look theory; pendekatan ini lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat anti persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anti persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian akan dilanjutkan dengan menggunakan analisis rule of reason. d. Model Tradisional 6 Sel; mekanisme ini utnuk menentukan kasus persaingan untuk melihat dulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boikot. e. Rule of reason versi Hakim Old White-Brandies; dengan pendekatan konsekuensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan biaya dan keuntungan, maka pengadilan dapat mengukur beralasankah tindakan yang telah dilakukan. f. Direct-Indirect versi Hakim Peckham; ia menetapkan suatu standar bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan, maka dinyatakan dengan per se illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dilakukan untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat tambahan ancillary. Universitas Sumatera Utara g. Rule of reason versi Hakim Taft; beliau menyarankan pendekatan Hakim Peckham tetapi dengan menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan harus tetap dievaluasi. Pendekatan ini mempertanyakan apakah semua hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Hakim Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal atau horizontal. h. Presumptive Kemungkinan; analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan fungsi ekonomi dari hambatan, keberadaan hambatan yang sifatnya internal atau eksternal, kedudukan para pihak yang relative independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan bila memang sifatnya mutlak, apakah ada pengecualian yang dibolehkan undang- undang.

3. Asas dan tujuan UU No. 5 tahun 1999

Dokumen yang terkait

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6 47 130

ANALISIS PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

1 3 13

ANALISIS EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PEMBATASAN PRAKTEK KARTEL DI INDONESIA.

0 3 10

MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.

0 0 13

PENETAPAN TINGKAT SUKU BUNGA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.

0 0 2

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 19

UU 5 1999 Larangan Praktik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat

0 0 47

PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA MONOPOLI

0 2 21

PERANAN KPPU DALAM MENEGAKKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 8

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian - Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 T

0 0 21