juga pemahaman pihak luar yang memang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan pelaku usaha tersebut sebelumnya.
C. Sanksi dalam Perjanjian yang Dilarang
Berikut merupakan sanksi yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 dari bagian Perjanjian yang dilarang:
No Jenis perjanjian
Sanksi adminis-
tratif Sanksi
denda yang juga
termasuk administra
tif Pidana pokok
Pidana tambahan
1. Oligopoli
Pasal 4 Penetapan
pembatalan perjanjian,
penetapan pembayara
n ganti rugi Pasal 47
Denda minimal
satu milyar
Rupiah dan
maksimal 25 milyar
Rupiah Pasal 47
ayat 2g Denda minimal
25 milyar Rupiah dan
maksimal 100 milyar Rupiah
atau pidana kurungan
pengganti denda selam-
lamanya enam bulan
Pencabutan izin usaha, larangan
kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan
pelanggaran terhadap UU
untuk menduduki jabatan direksi
atau komisaris sekurang-
kurangnya dua tahun dan selama-
lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang
mengakibatkan timbulnya
kerugian pada pihak lain Pasal
49
2. Penetapan
harga Pasal 5
Ibid Ibid
Pidana denda minimal lima
milyar Rupiah dan maksimal
25 milyar Ibid
Universitas Sumatera Utara
Rupiah 3.
Diskriminasi
harga dan diskon
potongan harga Pasal
6-8 Ibid
Ibid Ibid
Ibid
4. Pembagian
wilayah Pasal 9
Ibid Ibid
Denda minimal 25 milyar
Rupiah dan maksimal 100
milyar Rupiah atau pidana
kurungan pengganti
denda selam- lamanya enam
bulan Ibid
5.
Pemboikotan
Pasal 10 Ibid
Ibid Ibid
Ibid 6.
Kartel Pasal 11
Ibid Ibid
Ibid Ibid
7. Trust
Pasal 12 Ibid
Ibid Ibid
Ibid 8.
Oligopsoni Pasal 13
Ibid Ibid
Ibid Ibid
9. Integrasi
vertical Pasal 14
Menghen -tikan
integrasi vertical
Pasal 47 ayat 2b
Ibid Ibid
Ibid
10. Perjanjian tertutup
Pasal 15 Penetapan
pembatalan perjanjian,
penetapan Pem-
bayaran ganti rugi
Pasal 47 Ibid
Pidana denda minimal lima
milyar Rupiah dan maksimal
25 milyar Rupiah
Ibid
11. Perjanjian dengan
pihak luar negeri
Pasal 16 Ibid
Ibid Denda minimal
25 milyar Rupiah dan
maksimal 100 milyar Rupiah
atau pidana Ibid
Universitas Sumatera Utara
kurungan pengganti
denda selam- lamanya enam
bulan
Sumber: Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999
D. Perjanjian yang Dikecualikan dalam UU No.5 Tahun 1999
Salah satu alasan terdapat perlunya pengecualian dalam hukum persaingan karena ada kebutuhan yang mendasar terhadap pengaturan jenis kegiatan, pihak
maupun industri tertentu yang menyangkut kepentingan umum yang apabila dihitung secara ekonomi, proses produksi yang dilakukan oleh satu perusahaan
saja akan mampu mengurangi biaya produksi secara keseluruhan. Selain itu, perlindungan terhadap pihak yang lemah dalam proses persaingan yang sangat
keras yang dapat mengakibatkan sebagian pelaku usaha tersingkir dari proses persaingan.
134
1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara Latar belakang filosofis yuridis mengenai pengecualian dalam UU No. 5
Tahun 1999 ini adalah berdasarkan Pasal 33 ayat 1 UUD RI Tahun 1945 di mana demokrasi ekonomi Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan, di mana:
2. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat 3.
Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum
134
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 214
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, UUD RI Tahun 1945 sejak awal telah menginstruksikan adanya proteksi terhadap bidang-bidang perekonomian tertentu.
Pada Bab IX, Pasal 50 a dikatakan bahwa yang dikecualikan dari undang-undang ini adalah:
a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku Beberapa unsur yang terdapat dalam Pasal 50 huruf a sebagai berikut
135
Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak secara langsung diamanatkan sebagai peraturan pelaksana dari suatu undang-undang,
maka peraturan tersebut tidak dapat mengeyampingkan UU No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian apabila materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah
UU tersebut bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1999 maka tidak dapat diterjemahkan sebagai pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a
UU No. 5 Tahun 1999. :
Pertama, unsur Perbuatan yang dalam hal ini memiliki makna yang sama dengan kata “kegiatan” yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 terutama dalam Pasal
17 sampai dengan Pasal 29 yang berupa larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan sesuatu. Sehingga ketentuan yang diatur pada pasal-pasal tersebut
dapat dikecualikan apabila dilakukan bertujuan melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
136
Sebaliknya, walaupun peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan perbuatan dan atau perjanjian adalah dalam
135
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No: 253KPPUKepVII2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, hlm. 12
136
Ibid, hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
bentuk Peraturan Menteri misalnya, tetapi jika Peraturan Menteri tersebut diterapkan atas delegasi dari UU, maka perbuatan dan atau perjanjian tersebut
walaupun akibatnya tidak sejalan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha tersebut tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Hal tersebut karena, tindakan
hukum pelaku usaha adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jadi termasuk dalam katagori pengecualian sebagaimana dimaksu
pasal 50 huruf a.
137
Kedua, kata Perjanjian yang sesuai dengan perumusan Pasal 1 angka 7. Ketiga, unsur “bertujuan melaksanakan” yang dapat diartikan bahwa pelaku usaha
melakukan sesuatu tindakan bukan atas otoritas sendiri tetapi berdasarkan perintah dan kewenangan yang secara tegas diatur dalam undang-undang atau peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang. Melaksanakan peraturan perundang-undang tidak dapat
ditafsirkan sama dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. “Melaksanakan” selalu dikaitkan dengan kewenangan yang secara tegas diberikan
pada subjek hukum tertentu oleh undang-undang peraturan perundang-undangan sedangkan “berdasarkan” tidak terkait dengan pemberian kewenangan, tetapi
semata-mata hanya menunjukkan untuk suatu hal tertentu diatur dasar hukumnya.
138
Keempat, kata Peraturan Perundang-undangan yang berlaku mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang termasuk jenis dan hierarki
137
Ibid
138
Ibid, hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Perundang-undagan mencakup UUD RI Tahun 1945, Undang- UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Selain itu, dalam Pasal 7 ayat 4 juga disebutkan Peraturan lainnya seperti peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, LembagaKomisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota, BupatiWalikota, Kepala Desayang setingkat.
139
b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
Ketentuan pengecualian pasal 50 huruf b ini harus dilihat dalam konteks undang-undang Paten, Merek Dagang, Hak Cipta, dll yang relevan dan telah
disesuaikan dengan TRIPS. Tetapi dalam undang-undang hak kekayaan intelektual tersebut tidak ada disinggung kaitannya dengan masalah persaingan
usaha. Maka pengecualian mutlak untuk hak atas kekayaan intelektual dari ketentuan persaingan usaha menimbulkan masalah dalam hukum persaingan
usaha. Selain itu, dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 melarang tanpa kecuali
139
Ibid, hlm. 16-17
Universitas Sumatera Utara
perjanjian eksklusif dan perjanjian distribusi, sedang pasal 50 mengecualikan sama sekali perjanjian lisensi dari jangkauan undang-undang ini.
140
Penemuan dalam bidang hak kekayaan intelektual umumnya bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan umat manusia, sehingga wajar memberikan
hak menikmati penemuannya dengan memberikan hak monopoli yang dilindungi oleh undang-undang dalam kurun waktu tertentu sebelum menjadi milik publik
public domain. Alasan lain ialah penelitian hak atas kekayaan intelektual memerlukan dedikasi, biaya dan waktu yang lama, sehingga apresiasi terhadap
upaya ini diberikan dengan jalan monopoli yang diproteksi.
141
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan Perjanjian de facto antara pelaku usaha tentang penggunaan suatu standar
yang seragam merupakan kartel yang menghalangi persaingan. Di lain sisi, perjanjian tersebut diperlukan untuk memungkinkan terjadinya persesuaian antar
produk industri sehingga dapat menjamin penggunaannya di seluruh dunia.
142
140
Ibid, hlm. 418
141
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 224
142
Knud Hansen, et.al, Undang-Undang No.5 Tahun 1999: Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Law Concerning the Prohibiton of
Monopolistic Practices and Unfair Competiton, Jakarta: GTZ bekerjasama dengan PT Katalis, 2002, hlm. 444-445
Oleh sebab itu, yang dikecualikan hanya standar teknis yng tidak menghalangi persaingan usaha. Bentuk dari standarnya sendiri tidak menentukan, karena
standar yang tidak mengikat juga dapat mengakibatkan hambatan persaingan.
Universitas Sumatera Utara
Yang menentukan adalah, apakah ada perjanjian sesuai dengan Pasal 1 angka 7 yang mengikat perusahaan-perusahaan terkait.
143
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
Hukum Indonesia membedakan antara perwakilan dagang dan agen tunggal sole agent. Apabila Pasal 50 ini menjangkau kedua bentuk tersebut,
maka Pasal 15, yang melarang distribusi vertikal, menjadi tidak berarti. Namun, Pasal 50 d ini pada dasarnya hanya menjangkau perjanjian dengan perwakilan
dagang, tidak dengan penyalur mandiri atau distributor. Hal ini terlihat dalam rumusannya yaitu hanya hanya hubungan keagenan yang dibebaskan.
e. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas Pengecualian akan berlaku atas dasar persyaratan sebagai berikut:
1 Semua pihak yang diikutsertakan berhak atas pemanfaatan hasil penelitian dan
pengembangan bersama tersebut untuk tujuan penelitian lanjutan dan pemanfaatan. Namun, instititut penelitian, lembaga akademis atau pelaku
usaha yang memasok penelitian dan pengembangan sebagai jasa komersial tanpa umumnya aktif dalam pemanfaatan hasil untuk penelitian lebih lanjut
2 Tanpa mengabaikan Pasal 2, di mana perjanjian penelitian dan pengembangan
hanya mengatur penelitian dan pengembangan bersama, masing-masing pihak
143
Hal ini berhubungan dengan spesifikasi teknis murni akan selalu terjadi, apabila disepakati secara mengikat di antara pelaku usaha untuk mematuhi standar yang sebenarnya tidak
mengikat. Tetapi dengan syarat tertentu spesifikasi tersebut dapat diterima, misalnya kalau tidak ada persaingan dan menurut situasi persaingan tersebut tidak mungkin terjadi karena tidak
mempunyai manfaat ekonomi
Universitas Sumatera Utara
harus bebas mandiri untuk memanfaatkan hasil penelitian dan pegembangan bersama dan know-how yang sudah ada sebelumnya yang diperlukan untuk
tujuan pemanfaatan termaksud. 3
Setiap penelitian bersama harus berkaitan dengan hasil yang dilindungi oleh hak kekayaan intelektual atau merupakan know how yang secara substansial
mempunyai kontribusi terhadap kemajuan teknis atau ekonomis dan hasilnya harus bersifat menentukan terhadap produksi produk perjanjian atau terhadap
penerapan proses perjanjian 4
Pelaku usaha yang ditugaskan untuk memproduksi melalui spesialisasi dalam produksi harus disyaratkan menerima tugas dari semua pihak, kecuali kalau
perjanjian penelitian dan pengembangan bersama itu juga mengatur distribusi bersama.
144
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia Pengecualian yang dibicarakan di sini adalah negara sebagai subjek hukum
perdata, bukan subjek hukum internasional. Kalaupun negara membuat perjanjian dengan negara lain ataupun lembaga keuangan internasional maka negara atau
pemerintah di sini dalam kapasitas sebagai subjek hukum perdata jure gestionis bukan sebagai subjek hukum publik jure imperii.
145
g. Perjanjian dan atau kebutuhan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri
144
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 455
145
Emmy Yuhassarie, et.al, op.cit, hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian ini dikecualikan karena tujuannya adalah membuka pasar di luar negeri. Ini tidak terlepas dari sejarah pembuatan UU No. 5 Tahun 1999, di mana
Indonesia saat itu berada dalam krisis ekonomi sehingga diperlukan dorongan untuk melakukan ekspansi dan penetrasi ke pasar luar negeri.
146
h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
Pengecualian ini dianggap sangat khas Indonesia, karena pengecualian ini tidak dikenal di berbagai jurisdiksi.
147
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya Adapun pengecualian ini memang
bertujuan untuk melindungi usaha kecil yang merupakan komponen ekonomi kerakyatan yang dikehendaki UUD RI Tahun 1945.
Usaha koperasi merupakan ciri khas ekonomi Indonesia dan dapat disebut sebagai bentuk klasik kegiatan ekonomi “orang kecil”, yang berasal dari
mentalitas kebudayaan penduduk Indonesia, yaitu secara gotong royong melaksanakan tujuannya.
148
Ketentuan tentang pengecualian koperasi ini erat hubungannya dengan pengecualian “usaha kecil”. Karena meskipun suatu
koperasi hanya beranggotakan usaha-usaha kecil, tetap harus dipastikan bahwa koperasi itu sendiri memenuhi persyaratan yang termuat dalam Pasal 50 huruf h.
Jika tidak, maka untuk koperasi tersebut berlaku UU No. 5 Tahun 1999.
149
146
Ibid
147
Ibid, hlm. 53
148
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 475
149
Ibid, hlm. 479
Dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 juga disebutkan pengecualian oleh Badan Usaha Milik Negara BUMN sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dalam undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN dan atau badan atau lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah.” Perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa monopoli alamiah yang dilakukan
oleh suatu perusahaan jelas akan lebih menguntungkan apabila hal tersebut berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan industri vital.
150
150
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 232
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERJANJIAN PELAKU USAHA DENGAN PIHAK LUAR NEGERI YANG
BERTENTANGAN DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1999 A. Perjanjian Pelaku Usaha dengan Pihak Luar Negeri
1. Gambaran umum perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri
Berbisnis dengan dunia menjadi tema dekade sekarang. Pada tahun 1990- an telah bermunculan berbagai kesepakatan perdagangan di antara negara-negara
di seluruh dunia.
151
Perubahan kebijakan pemerintah didasari oleh kebutuhan dan tuntutan warganya, terutama kalangan bisnis yang memiliki pengaruh besar. Perusahaan-
perusahaan besar dan pedagang-pedagang individual selalu mencari peluang di negara-negara lain untuk membuat kesepakatan atau perjanjian transaksi dalam
pasar internasional. Meskipun beberapa negara terus memaksa mengisolasi diri,
kebanyakan negara mulai mengakui bahwa pengembangan dan pemanfaatan strategi ekonomi global sangat penting bagi pertumbuhan dan pemeliharaan
ekonomi yang kuat. Kebanyakan dorongan untuk menuju globalisasi muncul dari sektor bisnis.
152
151
Putaran Uruguay menghasilkan General Agreement on Tariff and Trade GATT, yang ditandatangani oleh 117 negara pada tahun 1993, North American Free Trade Agreement
NAFTA pada tahun 1993 dan United States Preference Act ATPA pada tahun 1991
152
Karla C. Shippey, J.D, Menyusun Kontrak Bisnis Internasional, Jakarta: PPM, 2001, hlm. 12-13
Universitas Sumatera Utara
Istilah perjanjian dalam hal ini merupakan kesepadanan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa
Belanda
atau “Agreement” dalam bahasa Inggris, yang menyebabkan istilah ini lebih sempit dari istilah “Perikatan”.
153
a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang dimaksudkan tentang
perjanjian yang tertulis semata; Selain itu,
terdapat juga istilah kontrak dengan berbagai macam konotasi dari kata tersebut, seperti:
b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur dalam
perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata-mata c.
Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian
dengan perusahaan-perusahaan mulinasional; d.
Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah
pihak. Adapun penulis menyatakan pemakaian istilah kontrak dalam bagian
perjanjian ini karena kemiripan pengertian dari kedua kata tersebut seperti halnya berikut ini:
a. Kontrak menurut Black Law Dictionary adalah suatu kesepakatan yang
diperjanjikan promissory agreement diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum;
153
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
b. Kontrak menurut Steven H. Gifis adalah serangkaian perjanjian di mana
hukum memberikan ganti kerugian terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap
sebagai suatu tugas; c.
Kontrak, menurut Karla C. Shippey, J.D dalam pengertian yang luas, adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau lebih;
d. Kontrak menurut Pasal 1313 KUHPerdata dalam hal ini disebut perjanjian
sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih;
Jadi, berbeda dengan konotasi-konotasi kontrak di atas bahwa kontrak itu harus tertulis, namun sebenarnya istilah kontrak dapat juga dipakai apabila suatu
perjanjian bukan merupakan perjanjian tertulis
154
seperti yang dicakup dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999.
155
Adapun dari sejarahnya kontrak merupakan akibat dari pengaruh doktrin laissez-faire di mana menurut doktrin tersebut membebaskan para pihak untuk
membuat perjanjian secara bebas karena menurutnya para pihak merupakan penilai yang paling bagus untuk kepentingan mereka masing-masing. Dan ketika
pilihan telah dibuat, pekerjaan dari pengadilan hanyalah sebagai wasit untuk memastikan bahwa para pihak memenuhi janji mereka masing-masing, dan bukan
154
Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta: PT. Prenhalindo, 2000, hlm. 179
155
Definisi Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku
usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Universitas Sumatera Utara
merupakan tugas pengadilan untuk menilai apakah penawaran dalam kontrak yang telah dilakukan adil bagi para pihak atau tidak.
156
Dari pengertian tersebut dapat kita lihat bahwa yang melakukan perjanjian dapat berupa orang perorangan atau badan usaha, yang menurut peraturan di
Indonesia dapat terdiri dari Pasal 1 butir 5 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi pelaku usaha
sebagai berikut: “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.
157
1. Badan usaha yang bukan badan hukum
:
a. Perseroan maatschap
b. Usaha dagang
c. Perseroan firma
d. Perseroan komanditer
2. Badan usaha yang berbentuk badan hukum
a. Perseroan terbatas
b. Perusahaan Negara atau Badan usaha milik negara
c. Koperasi
d. Yayasan
156
Catherine Elliott Frances Quinn, Contract Law, Essex, England: Pearson Education Limited, 2003, hlm. 4
157
M. Udin Silalahi, Badan Hukum dan Organisasi Perusahaan, op.cit, hlm. 4-10
Universitas Sumatera Utara
Selain dalam bentuk kontrak, perjanjian pelaku usaha Indonesia dengan pihak asing yang paling banyak dijumpai merupakan bentuk penanaman modal.
Jenis-jenis penanaman modal asing ke dalam negeri dapat diuraikan berikut
158
a. Joint venture adalah kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik
modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka. Kerjasama yang sering disebut “Contract of Operation” ini tidak membentuk suatu badan
hukum baru seperti pada joint enterprise. Beberapa kontrak yang merupakan bentuk kerjasama antara modal nasional dan orang asing adalah yang dikenal
dengan nama “technical asssitance” atau “technical service”, “franchise and brand use agreement” dan “management contract” yang kesemuanya ini
merupakan non-equity joint ventures. :
b. Joint enterprise merupakan perusahaan terbatas yang dimiliki oleh pemilik
modal asing dan nasional. c.
Kontrak karya terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerjasama
dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional. d.
Production sharing atau bagi hasil dengan cara kredit yang diberikan oleh pihak asing akan dikembalikan beserta bunganya dari produksi perusahaan
yang bersangkutan, yang biasa dikaitkan dengan suatu ketentuan mengenai kewajiban perusahaan nasional tersebut mengekspor hasilnya ke negara
pemberi kredit.
158
C.F.G. Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transisi dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung: Binacipta, 1972, hlm. 129-158
Universitas Sumatera Utara
e. Portofolio investment dimana modal asing menyertai suatu badan usaha dan
decision-making dari perusahaan tersebut juga datang dari pihak asing tersebut namun nama perusahaan serta pengurusnya merupakan orang Indonesia.
2. Pembatasan kebebasan melakukan perjanjian kebebasan berkontrak
Hukum perjanjian Indonesia menganut prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Salah satu syarat sahnya
adalah dalam Pasal 1320 KUHPerdata selanjutnya Pasal 1335 menetapkan perjanjian yang tanpa kuasa atau karena kuasa yang dilarang tidak mempunyai
kekuatan mengikat, dan kuasa yang dilarang itu terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu klausul yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
ketertiban umum. Syarat kausa yang legal merupakan mekanisme netralisasi, yakni sarana
untuk menetralisir prinsip hukum kontrak lain, yaitu prinsip kebebasan berkontrak freedom of contract.
159
Sejalan dengan sejarah dari hukum kontrak tersebut dari bangsa Romawi yang pada waktu itu menganut prinsip tertutup terhadap kontrak
yang kemudian bergeser karena pengaruh hukum Kanonik dengan menganut asas kebebasan berkontrak. Namun, muncul situasi yang menyalahgunakan prinsip
kebebasan berkontrak ini sehingga muncullah kausa yang legal sebagai syarat sahnya suatu kontrak.
160
159
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, op.cit, hlm. 73
160
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Kausa dalam suatu kontrak ada yang disebutkan, tetapi ada juga yang tidak disebutkan atau tersirat.
161
Dan jika ternyata kausa yang tidak disebutkan itu tidak sah menurut hukum maka kontrak tersebut juga dapat dikatakan tidak memenuhi
kausa yang halal.
162
Di dalam pengertian hukum perdata, suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum artinya bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah
ada dan harus dikembalikan kepada suatu keadaan sebelum adanya perjanjian.
163
B. Perjanjian Pelaku Usaha dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999
1. Unsur-unsur pelaku usaha dan pihak luar negeri yang mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat
Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 memuat jangkauan penerapan undang-undang ini hanya berlaku untuk pelaku usaha yang berkedudukan atau
yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 1 angka 5 ini dimodifikasi oleh ketentuan Pasal 16 undang-undang tersebut
yang melarang pelaku usaha Indonesia membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha
tidak sehat dan monopoli. Ketentuan khusus ini diperlukan karena keterkaitan pribadi di dalam Pasal 1 angka 5, di mana materi ketentuan ini tidak menjangkau
pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri dan juga yang tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia meskipun mungkin perilakunya berdampak terhadap
161
Catherine Elliott Frances Quinn, op.cit, hlm.105
162
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, op.cit, hlm. 75
163
Normin S. Pakpahan, Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Pokok- Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: ELIPS, 1994, hlm. 14-15
Universitas Sumatera Utara
pasar di wilayah Indonesia. Dengan demikian, Pasal 16 dapat diterapkan terhadap kartel-kartel internasional.
164
1 Pengertian istilah pelaku usaha dan pihak lain di luar negeri
Unsur-unsur pelaku usaha, pihak lain di luar negeri, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 5 mendefinisikan “pelaku usaha” menurut kegiatannya dan dengan demikian menurut fungsi perilaku usaha di pasar. Dengan demikian,
undang-undang tersebut mengikuti pendefinisian perusahaan menurut fungsi yang dikenal secara internasional.
165
Menurut definisi tersebut, sifat perusahaan ditentukan oleh kegiatan ekonominya. Klasifikasi menurut sistematik undang-
undang terhadap subjek hukum yang melakukan kegiatan usaha
166
Definisi apakah suatu pelaku usaha merupakan orang perseorangan atau badan usaha dinilai terlalu luas, sehingga dapat dipertegas dengan menyatakan
bahwa kegiatan ekonomi ialah segala kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Dimensi kegiatan usaha tidak berpengaruh terhadap definisi istilah
“pelaku usaha” sebab pelaku usaha dapat berupa PT yang tercatat di bursa saham atau seorang pedagang kecil.
tidak berpengaruh di sini.
167
Selain itu, juga tidak diperhatikan apakah pelaku usaha tersebut beroperasi atau mempunyai fasilitas produksi, juga tidak diperhatikan apakah kegiatan
164
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 49
165
Ibid
166
Apakah yang bersangkutan dianggap perseorangan atau badan hukum, ini nyata dalam formulasi undang-undang tersebut melalui kalimat “orang peroarangan atau badan usaha”
167
Kecuali kalau pedagang kecil tersebut dapat dimasukkan ke dalam golongan pengecualian dalam Pasal 50 huruf h
Universitas Sumatera Utara
tersebut dilakukan sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan sampingan. Dapat disimpulkan dari istilah “pelaku usaha” bahwa hanya dari jenis kegiatannyalah
ditentukan apakah subjek hukum ditentukan sebagai pelaku usaha. Dan sebaliknya dapat ditentukan bahwa subjek hukum melalui suatu kegiatan tertentu, tetapi
melalui kegiatan yang lain tidak.
168
1 Dalam arti yang paling luas, kelompok usaha terdiri dari beberapa badan
usaha mandiri yang bergabung menjadi satu kesatuan ekonomi yang mandiri. Badan-badan usaha mandiri tersebut berada dalam suatu kepemimpinan yang
sama yang memperlihatkan ke luar bahwa induk perusahaan membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak perusahaannya.
UU No. 5 Tahun 1999 juga diterapkan terhadap kelompok usaha, asosiasi badan usaha dan badan usaha milik negara BUMN, yang perinciannya sebagai
berikut:
169
Perencanaan tersebut harus meliputi kegiatan ekonomi perusahaan yang pokok seperti misalnya keuangan, pembelian, organisasi, penjualan atau sumber
daya manusia. Di dalam praktiknya, rencana yang seragam ini diformulasikan secara berbeda-beda. Jadi, suatu prestasi yang seragam ini dapat bertahan karena
perintah-perintah induk perusahaan mengikat berdasarkan hukum perusahaan, dan masing-masing perusahaan tidak dapat membantah ketentuan-ketentuan pimpinan
induk perusahaan.
168
Contohnya, pedagang eceran yang menjual barangnya adalah pelaku usaha, tetapi tidak dianggap sebagai pelaku usaha apabila ia membeli barang konsumsi untuk keperluannya
sendiri. Sebab itu sudah termasuk pada katagori seorang konsumen sesuai Pasal 1 angka 15
169
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
Anggota-anggota kelompok usaha yang terkait juga sebagai pelaku usaha, apabila mereka melakukan perjanjian internal di antara mereka sendiri.
Sebaliknya, diragukan, apakah kelompok usaha seluruhnya yang terdiri dari induk perusahaan dan anak perusahaan adalah pelaku usaha yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 5. Kelompok usaha yang terkait berdasarkan hukum perusahaan tetap berada dalam lingkup UU No. 5 Tahun 1999 karena undang-
undang ini tidak berlandaskan pada bentuk hukum struktur badan usaha, melainkan hanya kepada kegiatan usaha.
170
2 Bagi suatu asosiasi badan usaha, hanya perlu diperhatikan secara sistematik
apakah beberapa badan usaha melakukan kegiatan usaha atas dasar perjanjian bersama, meskipun pihak-pihak yang terkait merupakan pelaku usaha sendiri.
Sebagai contoh dapat disebutkan asosiasi professional atau ekonomi. 3
Badan Usahan Milik Negara BUMN dan lembaga-lembaganya juga dapat menjadi pelaku usaha Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999. Secara umum yang
dianggap sebagai BUMN adalah setiap badan usaha yang dapat dipengaruhi oleh negara karena menjadi pemilik, pemegang saham atau karena ketentuan khusus
anggaran dasar badan hukum atau dengan alasan lain.
171
Contohnya, Perseroan Terbatas terbukapublik, di mana negara memegang saham mayoritas atau
menempatkan pejabatnya menjadi pimpinan perusahaan, perusahaan yuang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara juga termasuk
perusahaan publik.
172
170
Ibid, hlm. 52-53
171
Ibid, hlm. 53
172
Tidak ada parameter tetap untuk menentukan apakah kegiatan utama suatu lembaga adalah kegiatan ekonomi. Unsur yang menentukan dalam masing-masing kasus terkait dengan
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan unsur pihak lain di luar negeri tidak terdapat pengertiannya dalam undang-undang, karena memang pasal tersebut sengaja memilih rumusan
yang luas sehingga dapat diterapkan tanpa harus memperhatikan apakah pihak luar negeri tersebut memenuhi persyaratan definisi pelaku usaha sesuai Pasal 1
angka 5. Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa pihak tersebut harus merupakan pihak luar negeri yang melakukan aktivitasnya di luar wilayah
Indonesia.
173
2 Pengertian monopoli
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan pengertian monopoli adalah penguasaan atas produksi danatau pemasaran barang danatau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dalam pengertian tersebut tidak dipakai kata dominasi pasar atau posisi
dominan, melaikan kata penguasaan. Menurut United Nations Conference on Trade and Development
UNCTAD Model Law, terdapat kaitan antara istilah posisi dominan kekuasaan pasar dengan kesanggupan untuk menguasai pasar bersangkutan yaitu posisi
dominan kekuasaan pasar menunjuk kepada tingkat penguasaan nyata atau potensial terhadap pasar oleh satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha yang
bertindak bersama-sama atau merupakan suatu kesatuan ekonomi.
174
pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 ialah apakah kepentingan umum yang harus dipenuhi suatu lembaga negara jelas-jelas tidak berkaitan dengan tujuan mendapat keuntungan ekonomi.
173
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 271
174
UNCTAD, TDBRBPRev. 5 of 20 February 1998, hlm. 27 nomor 55
Sedangkan pengertian pelaku usaha dan kelompok pelaku usaha sama dengan yang termuat
dalam Pasal 1 angka 5 serta penjelasan pada bagian sebelumnya dari skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
3 Pengertian persaingan usaha tidak sehat
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi danatau pemasaran barang danatau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
175
1 persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur
Dari pengertian tersebut, secara sistematik persaingan usaha tidak sehat ditandai tiga criteria alternatif yaitu:
Istilah persaingan dengan cara tidak jujur diambil dari landasan persaingan usaha pada awalnya yaitu Pasal 382 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
serta Pasal 1365 KUHPerdata. Menurut Pasal 382 KUHP istilah “persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur” berkaitan dengan istilah “perbuatan
penipuan”.
176
2 persaingan usaha yang dilakukan dengan melawan hukum
Menurut pengertian ini maka yang dianggap persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melawan larangan undang-undang.
Larangan undang-undang adalah setiap ketentuan dalam undang-undang yang melarang perilaku teretntu dan secara imperatif, yang dapat dilihat dari formulasi
ketentuan yang bersangkutan.
177
3 unsur menghambat persaingan usaha
Di dalam UU No.5 Tahun 1999 tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai hambatan persaingan usaha. Oleh sebab itu, acuan dapat diambil dari tujuan undang-undang
tersebut pada Pasal 2 dan 3, yaitu “mengahambat persaingan usaha” dapat berupa
175
Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999
176
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 65
177
Ibid, hlm. 66
Universitas Sumatera Utara
perilaku pasar tertentu, atau dapat juga berupa perubahan struktur pasar. Perilaku pasar yang dilarang oleh hukum antimonopoli secara kasar dapat dibagi menjadi
diskriminasi dan hambatan. Dengan demikian, suatu hambatan persaingan usaha dalam arti seperti ini adalah segala diskriminasi yang dilakukan oleh penjual
maupun pembeli, yang tidak beralasan. suatu hambtan mengganggu kebebasan bersaing dari pesaing, dan dilarang apabila tidak dapat diselaraskan dengan sistem
persaingan usaha yang bebas.
178
2. Kewenangan dalam memeriksa pelaku usaha lokal danatau asing maupun pihak luar negeri menurut UU No. 5 Tahun 1999
Pengertian Pasal 16 menjadi jelas dalam kaitannya dengan Pasal 1 angka 5 yang mengatur ruang lingkup penerapan secara internasional UU No. 5 Tahun
1999. Sesuai dengan perbedaan yang dimuat dalam pasal tersebut sehubungan dengan prinsip wilayah dari segi subjektif
179
dan objektif
180
, maka Pasal 16 mengatur suatu keadaan khusus apabila melakukan perjanjian dengan pihak luar
negeri
181
178
Ibid, hlm. 67
179
Prinsip di mana hukum yang diterapkan bagi suatu perusahaan, dalam hal ini apabila perusahaan tersebut merupakan perusahaan internasional maka terdapat beberapa teori seperti
“teori tempat pendirian”, yang biasanya dianut oleh negara dengan sistem Anglo-Saxon dan Belanda juga termasuk, yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku bagi perusahaan tersebut
ialah hukum di mana perusahaan tersebut pertama kali didirikan. Ada juga “Teori tempat kedudukan”, yang dianut oleh tradisi Eropa Kontinental, yang menentukan bahwa hukum yang
diterapkan adalah hukum negara tempat kedudukan administratif atau kantor pusat pelaku usaha bersangkutan.
180
Prinsip objektif ini berkaitan dengan lokasi pasar yang relevan sehingga hukum yang berlaku ialah hukum yang berlaku di lokasi pasar tersebut.
181
Mengingat belum ada jawaban yang seragam atas pertanyaan hukum dari negera mana yang harus diterapkan terhadap badan usaha yang kegiatannya internasional.
di mana Pasal 1 angka 5 tidak menjangkau pelaku usaha yang bermarkas besar di luar negeri dan tidak melakukan aktivitas usaha di Indonesia, walaupun
aktivitasnya memberikan dampak di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
UU No. 5 Tahun 1999 menghindari kontroversi internasional tersebut dengan menyatukan teori pendirian dan tempat kedudukan menjadi ketentuan
yang menyeluruh. Secara kumulatif, undang-undang tersebut mensyaratkan pelaku usaha mendirikan usahanya menurut hukum Indonesia
182
dan harus “berkedudukan” di Indonesia juga.
183
Soal kapan suatu badan usaha dianggap berkedudukan di Indonesia perlu dilihat dari kegiatan ekonomi badan usaha yang
ditentukan oleh pimpinan, karena itu wilayah tempat kedudukan pimpinan usahalah yang menentukan.
184
Karena itu, UU No. 5 Tahun 1999 dapat diterapkan terhadap kelompok usahaperusahaan kalau perusahaan induk didirikan di Indonesia sedangkan anak-
anak perusahaan didirikan atau berkedudukan di luar negeri. Sebaliknya, penerapan kumulatif teori tempat pendirian dan tempat kedudukan menurut Pasal
1 angka 5 tersebut dapat berakibat tidak berlakunya undang-undang ini terhadap badan usaha yang didirikan di Indonesia tetapi tidak berkedudukan di Indonesia
dan tidak juga melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
185
Teritorialitas objektif telah terpenuhi ketika pelaku usaha asing melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 terbatas penggunaannya
terhadap kasus di mana perusahaan asing tidak aktif di pasar Indonesia, tetapi mempunyai pengaruh terhadap pasar Indonesia melalui perjanjian. Berdasarkan
keterkaitan antara Pasal 16 dengan Pasal 1 angka 5, maka UU No. 5 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan terhadap perjanjian di mana kedua belah pihak
182
Berarti nama badan usaha tersebut tercatat dalam daftar perusahaan nasional dan berdasarkan hukum Indonesia telah diizinkan pendiriannya.
183
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 55
184
Ibid
185
Ibid, hlm. 55-56
Universitas Sumatera Utara
berkedudukan di luar negeri, sedangkan dampak perjanjian tersebut hanya terasa di pasar Indonesia.
186
Pasal 16 secara eksplisit hanya mencakup masalah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7. Dalam hal ini, yang menentukan adalah efek
hukum yang mengikat, namun di samping itu, efek ekonomi, moral dan sosial juga mengikat. Dan secara juridis perjanjian tersebut adalah perjanjian yang
dibuat secara sah menurut hukum termasuk juga ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
187
Selain itu, perjanjian yang dibuat dalam Pasal 16 bukan hanya menjangkau keadaan di mana sudah terdapat praktek yang anti persaingan dan hanya
dilanjutkan oleh perjanjian – perjanjian tersebut. Tetapi yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa telah terdapat hubungan usaha antara pelaku usaha
Indonesia dengan pelaku usaha atau pihak lain di luar negeri, dan perjanjian yang dibuat menyebabkan hubungan usaha tersebut tidak sesuai dengan UU No. 5
Tahun 1999.
188
Terdapat banyak undang-undang antimonopoli yang diterapkan melebihi perbatasan nasional, tetapi terdapat perbedaan penting antara doktrin dan praktik
hukum pelaksanaannya. Dengan syarat-syarat tertentu, beberapa negara menggunakan yurisdiksi territorial “objektif” sehubungan dengan aktifitas yang
ditentukan di luar negeri dan diterapkan di dalam wilayah nasional, tanpa
186
Ibid , hlm. 266
187
Joni Emirzon, op.cit, hlm. 457
188
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 272; Lihat juga dalam putusan KPPU Perkara Nomor: 03KPPU-L2008, hubungan antara PT Direct Vision yang telah melakukan kegiatan usaha di
Indonesia sejak tanggal 28 Februari 2006 telah menjalin hubungan dengan Astro All Asia Network, Plc sejak tanggal 30 Juni 2006 sebelum PT Direct Vision mendapat hak siar eksklusif
Liga Inggris untuk periode 2007-2010
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan apakah menggunakan anak perusahaan setempat untuk menghubungi pembeli di wilayah nasional. Peraturan Penggabungan Uni Eropa
European Merger Regulation berlaku terhadap penggabungan badan-badan usaha non-Uni Eropa yang melewati batas nilai penjualan minimum yang
diperoleh Uni Eropa, tanpa memperhatikan apakah badan usaha tersebut ada secara fisik di Eropa.
Sedangkan di Amerika Serikat, dikenal penerapan “doktrin akibat” effect doctrine
189
yang memberikan jurisdiksi materiil terhadap “kegiatan pihak luar negeri yang dimaksudkan untuk dan memang menimbulkan akibat yang cukup
berarti di Amerika Serikat
190
” termasuk kegiatan pihak luar negeri
191
tentang impor atau penggabungan badan usaha luar negeri, kegiatan yang mempunyai
“pengaruh langsung, cukup berarti serta cukup dapat diramalkan” terhadap impor atau perdagangan Amerika Serikat,
192
189
Dalam perkara United States v. Aluminium Co. of Am., 148 F.2d 416 2d Cir. 1945 yang menolak doktrin American Banana dan menyatakan tindakan pihak asing yang berdampak
terhadap impor Amerika Serikat adalah termasuk dalam pengaturan Sherman Act. Dalam pertimbangannya, Hakim menyatakan: “…any state may impose liabilities, even upon persons nit
within its allegiance, for conduct outside its borders that has consequences within its borders which the state reprehends.”
190
Dalam kasus Hartford Fire Ins. Co v. California, 509 US 764 S.Ct 2891 1993, Mahkamah Agung Amerika Serikat menggunakan “effect doctrine” dan juga prinsip comity secara
bersamaan. Di mana, perusahaan reasuransi di Inggris telah diangggap melakukan konspirasi dengan perusahaan asuransi di Amerika Serikat dengan membatasi bentuk perlindungan asuransi.
dalam kasus ini, prinsip comity diterapkan secara ketat, yaitu walaupun pemerintah Inggris membolehkan tindakan tersebut namun pemerintah Inggris tidak memerintahkan tindakan tersebut,
sehingga Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak menganggap terdapat konflik yang nyata antara kepentingan pemerintah Inggris dengan kepentingan pemerintah Amerika Serikat sehingga tidak
terdapat pelanggaran terhadap prinsip comity dalam hal tersebut.
191
Stanley N. Barnes, et.al, Report of the Attorney General’s National Committee to Study the Antitrust Laws, Washington: US Government Printing Office, 1955, hlm. 71-72.
contohnya dalam kasus The Alcoa Case, terdapat perjanjian kartel antara Prancis, Swiss dan perusahaan penghasil ingot Inggris dengan pelaku usaha pesaingnya Alcoa, yang berasal dari
Kanada
kasus-kasus hambatan ekspor dan kasus-
192
Joseph P. Griffin, 36th Annual Meeting – 1988 North American Competition Policy,
The Impact on Canada of the Extraterritorial Application of The U.S. Antitrust Laws, Westlaw Journal 57 ANTITRLJ 435, hlm. 2 “Pada tahun 1982 Amerika Serikat mengkodifikasi prinsip
Universitas Sumatera Utara
kasus di mana hambatan persaingan usaha mempengaruhi keuangan atau pembelian barang atau jasa oleh pemerintah Amerika Serikat di luar negeri.
193
Penerapan doktrin ini dapat dilakukan dengan menelaah tiga situasi yaitu: pertama, tidak adanya niat untuk mengakibatkan kerugian pada wilayah Amerika,
namun pada kenyataannya merugikan. Kedua, adanya niat untuk merugikan pihak Amerika namun tidak berhasil atau tidak terjadi kerugian seperti yang diharapkan.
Ketiga, adanya niat untuk merugikan dan niat tersebut berhasil terjadi. Dalam situasi pertama Sherman Act tidak dapat diterapkan karena apabila diterapkan
dapat mengakibatkan “komplikasi internasional terhadap tatanan hukum” yang disebabkan penafsiran hukum yang terlalu luas. Sedangkan untuk situasi kedua
jelas tidak dapat diterapkan karena tidak akan dapat dibuktikan adanya niat tersebut. Oleh sebab itu, untuk melihat efekakibat itu harus dapat dibuktikan niat
dan akibatnya yang sering sekali perilaku ini terjadi di luar wilayah suatu negara hanya saja dampaknya terasa di dalam negeri.
194
Tetapi penerapan doktrin akibatefek ini juga terdapat batasannya dengan adanya “sikap saling menghormati”, maka apabila terjadi “konflik sesungguhnya”
antara hukum Amerika Serikat dengan hukum luar negeri, di mana penerapan hukum Amerika Serikat menyebabkan pelanggaran terhadap hukum negara
yurisdiksi hukum persaingan Amerika Serikat dalam Foreign Trade Antitrust Improvement Act of 1982 FTAIA dan menyatakan bahwa Amerika Serikat mempunyai yurisdiksi terhadap tindakan
anti persaingan yang dilakukan pihak asing apabila: such conduct has a direct, substantial and reasonably forseeable effect A on [domestic or import commerce] or B on export trade or
export commerce…”
193
United States v. Nippon Paper Industries Co. 109F.3d 1
st
Cir. 1997. Dalam perkara ini perusahaan-perusahaan yang berdomisili di Jepang dan melakukan seluruh kegiatan kartel di
Jepang untuk menetapkan harga jual kertas fax ke Amerika Serikat didakwa secara pidana di Amerika Serikat dan yurisdiksi Amerika Tersebut dikuatkan oleh pengadilan banding Amerika
Serikat
194
Lawrence A. Sullivan Warren S. Grimes, The Law of Antirust: An Integrated Handbook, St.Paul. Minn: West Group, 2000, hlm. 976
Universitas Sumatera Utara
lainnya, maka yurisdiksi tersebut tidak dilaksanakan. Yurisdiksi juga tidak akan diterapkan di luar negeri berkaitan dengan kekebalan kedaulatan negara asing
foreign sovereign immunity, tindakan suatu negara act of state, serta paksaan oleh negara asing yang berdaulat terhadap kegiatan yang dilakukan di negara
asing saja, sedangkan instansi-instansi pengawas persaingan usaha Amerika Serikat akan mempertimbangkan perjanjian kerjasama atau kesepakatan yang
dibuat dengan lembaga pengawas persaingan luar negeri, sebelum memulai penyelidikan.
195
Di Jerman, doktrin efekakibat tersebut juga diterapkan dalam kasus persaingan usaha,
196
195
Stanley N. Barnes, et.al, op.cit, hlm. 74-75
196
Effect doctrine mulai dibahas sejak tahun 1972 pada perkara Dyestuff Case 4869, ICI v. Commission Dyestuff [1972] CMLR 557. Pada kasus ini ICI yang didirikan dan berkantor
pusat di Inggris pada saat itu belum menjadi anggota Uni Eropa dituduh melakukan concerted practices kartel dan melanggar Pasal 81 EC Treaty melalui pemberian instruksi kepada anak
perusahaannya di Belgia. Dalam persidangan di European Court of Justice ECJ, General Counsel menggunakan effect doctrine dalam pendapatnya terhadap kasus tersebut: “…the
condition necessary for taking extraterritorial jurisdiction of competition were that the agreement or concerted practice must create a direct and immediate restriction of competiton, that the effect
of the conduct must be reasonably foreseeable, and that the effect produced on the territory must be substantial”. Dalam putusannnya, ECJ tidak mengadopsi effect doctrine yang dikemukakan
oleh General Counsel, ECJ mendasarkan yurisdiksinya kepada argumen-argumen yang kemudian dikenal sebagai “single ecomoic entity doctrine”. Dalam argumen tersebut ECJ menyatakan bahwa
hukum Uni Eropa telah mengembangkan doktrin yang menganggap induk dan anak perusahaan sebagai satu pelaku usaha dalam penerapan hukum persaingan, dengan demikian European
Commission memiliki yurisdiksi terhadap perusahaan Inggris tersebut.
tetapi penerapannya dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum internasional publik maupun hukum perdata internasional dari forum kontrak yang
wajar dan prinsip tidak campur tangan. Dengan demikian, penggabungan badan usaha di luar negeri tidak terkena hukum persaingan usaha Jerman apabila
penggabungan tersebut terhadap pasar Jerman jauh lebih kecil dan kurang berarti dibandingkan dengan akibat yang timbul di luar negeri. Tindakan hanya akan
diambil terhadap bagian penggabungan usaha yang menimbulkan efek “konkrit”
Universitas Sumatera Utara
di dalam negeri. Undang-undang anti persaingan usaha negara-negara Uni Eropa yang baru diberlakukan dan baru diamandemen melarang semua perjanjian,
termasuk perjanjian yang dibuat di luar negeri, yang mempunyai tujuan atau mengakibatkan distorsi persaingan usaha atau penyalahgunaan posisi dominan di
pasar-pasar nasional.
197
Konsideran tersebut secara jelas menggunakan frase “setiap orang yang berusaha di Indonesia” menunjukkan bahwa UU No. 5 Tahun 1999 dapat
Oleh sebab itu, dari beberapa kasus yang diperiksa oleh KPPU akan semakin jelas kesimpulan siapa saja yang termasuk pihak luar negeri.
Sebagaimana disadari bahwa UU No. 5 Tahun 1999 bertujuan untuk melindungi berjalannya mekanisme pasar dengan mencegah timbulnya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat pada suatu pasar. Pasar dalam hal ini tentunya adalah pasar dalam negeri Indonesia, yang saat ini sudah terbuka sehingga siapa saja,
baik pihak dalam negeri maupun pihak luar negeri, dapat berpartisipasi pada pasar Indonesia.
Namun sebagai suatu negara yang berdaulat, Indonesia berhak untuk mempunyai hukum dan institusi untuk menjamin agar mekanisme pasar berjalan
secara efektif, efisien dan wajar. UU No. 5 Tahun 1999 adalah salah satu ketentuan hukum untuk mewujudkan maksud di atas. Konsideran huruf c UU No.
5 Tahun 1999 menyatakan: “bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu…”
197
Australia, Brasil, Kanada, Cile, Republik Ceko, Peru, Polandia dan Republik Slovakia juga termasuk negara-negara yang telah memasukkan doktrin akibatefek tersebut ke dalam
undang-undang mereka.
Universitas Sumatera Utara
diterapkan kepada “setiap orang” tanpa melihat apakah orang yang dimaksud adalah pihak dalam negeri ataupun pihak dari luar negeri, selama orang tersebut
“berusaha di Indonesia”.
198
3. Contoh-contoh kasus di Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU mengenai perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri
Di bawah ini merupakan berbagai contoh kasus di KPPU di mana pihak yang diperiksa merupakan pihak asing, baik itu termasuk ke dalam pelaku usaha
asing ataupun pihak lain di luar negeri: a.
Perkara Nomor : 03KPPU-I2002 Tender Penjualan Saham PT. Indomobil Sukses International
Pada tanggal 20 November 2001, BPPN dan PT Holkido Perkasa mengumumkan tender penjualan 72,63 saham milik pemerintah di PT.
Indomobil Sukses International, Tbk IMSI. Tiga peserta memasukkan penawaran akhir pada tanggal 4 Desember 2001, yaitu PT Alpha Sekuritas
Indonesia, PT Bhakti Asset Management dan PT Citra Sarana Duta Perkasa CSDP. Tanggal 5 Desember 2001, PT CSDP dinyatakan sebagai pemenang
dalam tender divestasi tersebut dengan penawaran total senilai Rp. 625 Milyar. Padahal, sewaktu diambil alih pemerintah, nilai saham dan convertible bond yang
dijual tersebut adalah sekitar Rp. 2,5 Trilyun.
199
Adapun para terlapor dalam kasus ini adalah: PT. Holdiko Perkasa Terlapor I, PT. Trimegah Securities Terlapor II, PT. Cipta Sarana Duta Perkasa
198
Tentang Hukum Bagian Keempat: Aspek Formal dari Putusan KPPU Perkara Nomor: 07KPPU-L2007
199
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Buku Penjelasan Katalog Putusan KPPU Periode 2000- Agustus 2008, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
Terlapor III, Pranata Hajadi Pekerjaan: Pemegang Saham PT Lautan Luas, Tbk, Pemegang Saham PT. Cipta Sarana Duta Perkasa, Direktur Utama PT. Eka Surya
Indah Pratama, Pemegang Hak Eksklusif PT. Alpha Sekuritas Indonesia dalam pembelian saham PT. IMSI Terlapor IV, Jimmy Masrin: Pemegang Saham PT
Lautan Luas, Tbk dan Komisaris PT. Eka Surya Indah Pratama Terlapor V, PT. Multi Megah Internasional Terlapor VI, Parallax Capital Management Pte Ltd.,
Terlapor VII, PT. Bhakti Asset Management Terlapor VIII, PT. Alpha Sekuritas Indonesia Terlapor IX, PT. Deloitte Touche FAS Terlapor X.
Pihak asing dalam kasus ini merupakan Terlapor VII yaitu Parallax Capital Management Pte Ltd. yang merupakan badan usaha berkedudukan di Singapura
yang menurut Majelis Komisi masuk dalam katagori “pelaku usaha”.
200
Adapun tuduhan terhadap Parallax yaitu persekongkolan tender sesuai dengan Pasal 22
UU No. 5 Tahun 1999. Meskipun akhirnya Parallax dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 22
201
b. Perkara Nomor: 07KPPU-L2004 Tender Penjualan Dua Unit Tanker
Pertamina , namun tidak dijelaskan mengapa Parallax yang merupakan
badan usaha asing dapat dikatagorikan sebgai pelaku usaha menurut UU No. 5 Tahun 1999.
Kasus ini terkait dengan proses divestasi dua kapal tanker Very Large Crude Carrier VLCC milik PT Pertamina.
202
200
Putusan Nomor: 03KPPU-I2002, bagian Pertimbangan Hukum Majelis Komisi, hlm. 70
201
Ibid, bagian Amar Putusan, hlm. 110
202
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, op.cit, hlm. 45
Majelis Komisi memutuskan PT Pertamina bersalah telah melanggar Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 serta
Universitas Sumatera Utara
menetapkan denda kepada Goldman Sachs, Frontline, Ltd dan PT. Perusahaan Pelayaran Equinox PT Equinox, masing-masing Rp. 19.710.000.000,-, Rp.
25.000.000.000, - dan Rp. 16.560.000.000,- Adapun para terlapor dalam kasus ini adalah: PT Pertamina Persero
Terlapor I, Goldman Sachs Singapore, Pte. Terlapor II, Frontline, Ltd. Terlapor III, PT Corfina Mitrakreasi Terlapor IV, PT Perusahaan Pelayaran
Equinox Terlapor V. Sedangkan pihak asing yang terdapat dalam kasus ini adalah Goldman Sachs Singapore, Pte. Terlapor II suatu badan usaha yang
didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Singapura berdasarkan Memorandum of Association tanggal 2 Oktober 1986 di hadapan Lee
Beng Tat, Advocate Solicitor dan disahkan dengan sertifikat No. 21651986-W oleh Elizabeth V C Nair, Asst Registrar of Companies, Singapore dan terakhir kali
diubah melalui Memorandum and Article of Association tanggal 8 November 2002 dan didaftarkan pada The Office of The Registrar of Companies, Singapore
berkedudukan di Republik Singapura dengan kegiatan usaha dalam bidang investment banking, sekuritas dan investment management firm yang beroperasi di
beberapa negara termasuk wilayah hukum Negara Republik Indonesia
203
203
Putusan Perkara Nomor: 07KPPU-L2004, bagian Tentang Hukum, hlm. 54
dan Frontline, Ltd. Terlapor III yang berkantor di Par-La-Ville Place, 14 Par-La-
Ville Road Hamilton HM 08, Bermuda, adalah badan usaha yang semula bernama Frontline AB yang didirikan pada tahun 1985 dan terdaftar pada Stockholm Stock
Exchange sejak tahun 1989 hingga tahun 1997. Pada tahun 1997 Frontline AB mengubah tempat kedudukannya dari Swedia menjadi Bermuda dengan nama
Universitas Sumatera Utara
Frontline Ltd., nomor pendaftaran EC-17460 dan saham-sahamnya terdaftar pada Oslo Stock Exchange. Pada Mei 1998 Frontline bergabung dengan LOF dan
sebagai konsekuensinya Frontline terdaftar pada London Stock Exchange dan NASDAQ. Pada Juli 2001 Frontline melakukan terminasi dari NASDAQ dan
sahamnya mulai diperdagangkan di NYSE sejak Agustus 2001. Bahwa kegiatan usaha Terlapor III adalah jasa transportasi penyewaan kapal tanker berupa
Suezmax, Combination Carrier dan VLCC tanker. Bahwa Terlapor III melakukan kegiatan usaha di wilayah hukum negara Republik Indonesia dengan cara ikut
serta dalam proses tender yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berdomisili di Indonesia.
204
KPPU telah menduga bahwa GS Singapura telah melanggar Pasal 16, 19 ayat d dan 22 UU No. 5 Tahun 1999. Namun, menurut Goldman Sachs KPPU
tidak membuat dugaan-dugaan khusus apapun mengenai sifat dari pelanggaran danatau menunjuk kepada perjanjian manapun yang menjadi subyek atas
dugaan pelanggaran sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 16.
205
GS Singapura atau setiap karyawannya tidak pernah membuat perjanjian, pengaturan ataupun
mencapai kesepakatan dengan Frontline danatau Equinox mengenai keputusan Pertamina untuk memenangkan tender kepada Frontline pada tanggal 10 Juni
2004. Frontline telah diperlakukan secara eksklusif sebagai peserta tender yang arms-length
206
204
Ibid, hlm. 54-55
205
Ibid, Tanggapan Atas Dugaan Terhadap Terlapor II, GS SINGAPURA, hlm. 95-96
dalam suatu tender yang kompetitif dan dapat berhasil hanya
206
Prinsip arms-length merupakan suatu kondisi atau fakta di mana para pihak yang
melakukan transaksi secara independen dan berada pada posisi yang seimbang. Prinsip ini biasa dikenal dalam hukum kontrak untuk memastikan dilakukannya perjanjian yang seimbang di antara
kedua pihak meskipun mungkin kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang dibagi bersama
Universitas Sumatera Utara
dengan menawarkan penawaran tertinggi, yang memang dilakukannya. Frontline secara nyata memberikan penawaran tertinggi. Lebih lanjut, tidak ada manfaat
bagi GS Singapore untuk mengungkapkan kepada salah satu penawar setiap informasi mengenai besamya tender yang dimasukan oleh penawar lainnya. Tidak
ada hubungan antara GS Singapura dan Frontline danatau Equinox yang melahirkan suatu perjanjian atau pengaturan yang dapat menimbulkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Majelis Komisi berpendapat lain atas pembelaan dari Goldman Sachs
tersebut di mana berdasarkan hasil pemeriksaan, Majelis Komisi menilai dugaan pelanggaran Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dilakukan oleh
Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III. Di mana diuraikan Pasal 16 sebagai berikut:
207
1 unsur pelaku usaha
Terlapor I memenuhi unsur pelaku usaha sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999.
2 unsur perjanjian
Bahwa Terlapor I telah mengikatkan diri terhadap Terlapor II secara tertulis melalui Engagement Letter tertanggal 3 Mei 2004 mengenai pemberian
jasa financial advisor dan arranger Divestasi VLCC. Bahwa Terlapor I telah mengikatkan diri terhadap Terlapor III secara tertulis melalui Sales and Purchase
Agreement in relation to Hull No. 1540 dan No 1541 “Sales and Purchase
seperti antara atasan dengan bawahan karyawan, ataupun karena memiliki hubungan yang dekat karena hubungan kekeluargaan. Lihat
http:www.bankersonline.com
articlesv04n12 v04n12a8. html.
207
Ibid, bagian Tentang Hukum, hlm. 111-120
Universitas Sumatera Utara
Agreement” tertanggal 11 Juni 2004 mengenai penjualan dan pembelian 2 dua unit VLCC.
3 unsur pihak lain di luar negeri
Bahwa Terlapor I telah membuat perjanjian Engagement Letter tertanggal 3 Mei 2004 dengan Terlapor II yang berdomisili di Singapura. Bahwa Terlapor I
telah membuat perjanjian Sales and Purchase Agreement tertanggal 11 Juni 2004 dengan Terlapor III yang berdomisili di Bermuda.
4 unsur monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
a Engagement Letter
Bahwa Engagement Letter pada pokoknya merupakan perjanjian pemberian jasa berupa financial advisor dan arranger dari Terlapor II kepada
Terlapor I dalam rangka divestasi 2 dua unit VLCC Terlapor I. Atas jasa tersebut Terlapor I melakukan pembayaran kepada Terlapor II atas dasar
perhitungan persentase tertentu dari nilai penjualan 2 dua unit VLCC tersebut. Bahwa Engagement Letter tidak memuat ketentuan-ketentuan yang dapat
mengakibatkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi yang mengakibatkan penguasaan produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Bahwa Engagement Letter tidak memuat ketentuanketentuan
yang dapat mengakibatkan persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa secara tidak jujur
maupun secara melawan hukum maupun dengan cara menghambat persaingan b
Sales and Purchase Agreement SPA
Universitas Sumatera Utara
Bahwa SPA pada pokoknya merupakan perjanjian antara Terlapor I dan Terlapor III yang menetapkan bahwa Terlapor I berkewajiban menyerahkan 2
dua unit VLCC kepada Terlapor III dan atas 2 dua unit VLCC tersebut Terlapor III menyerahkan sejumlah uang kepada Terlapor I. Bahwa SPA tidak
memuat ketentuan-ketentuan yang dapat mengakibatkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi yang mengakibatkan penguasaan produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Bahwa SPA tidak memuat
ketentuan-ketentuan yang dapat mengakibatkan persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
secara tidak jujur maupun secara melawan hukum maupun dengan cara menghambat persaingan. Maka unsur memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
tidak terpenuhi. Atas tuduhan mengenai Pasal 19, Majelis Komisi menyatakan:
Terlapor II adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 karena Terlapor II telah melakukan
kegiatan usaha di Indonesia. Atas tuduhan mengenai Pasal 22, Majelis Komisi menyatakan:
Bahwa Terlapor II merupakan pelaku usaha yang dimaksud Pasal 1 angka 5 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999 karena Terlapor II telah melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Bahwa Terlapor III merupakan pelaku usaha yang dimaksud Pasal 1
Universitas Sumatera Utara
angka 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 karena Terlapor III telah melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
c. Perkara Nomor: 22KPPU-L2005 Tender Pipanisasi oleh PGN
Kasus ini mengenai persekongkolan tender pengadaan pipa untuk proyek transmisi gas jalur lepas pantai Labuhan Maringgai- Muara Bekasi untuk proyek
piapnisasi gas South Sumatera-West Java SSWJ tahap II PT. Perusahaan Gas Negara Persero, Tbk. Hal ini berkaitan dengan dugaan bahwa dalam tender yang
diadakan oleh PGN tersebut terjadi kecurangan dengan menunjuk salah satu peserta tender yaitu Konsorsium SEAPI-Welspun sebagai pemenang dengan cara
yang tidak sah dan adanya diskriminasi terhadap peserta tender lain.
208
Adapun terlapor dalam kasus ini adalah: PT. Perusahaan Gas Negara Persero, Tbk. PGN Terlapor I, Ketua Panitia Tender Pengadaan Pipa Untuk
Proyek Transmisi Gas Jalur Lepas Pantai Labuhan Maringgai – Muara Bekasi Untuk Proyek Pipanisasi Gas South Sumatera – West Java SSWJ Tahap II PT.
Perusahaan Gas Negara Persero, Tbk. Terlapor II, PT. South East Asia Pipe Industries SEAPI Terlapor III, PT. Bakrie Brothers, Tbk. Terlapor IV,
Welspun Gujarat Stahl Rohren Pte. Ltd. Terlapor V, Daewoo International Corporation Terlapor VI, Det Norske Veritas Pte. Ltd, Terlapor VII, PT. Cipta
Dekatama Tastek Terlapor VIII.
209
Berkenaan dengan dugaan pelanggaran Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
208
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, op.cit, hlm.80
209
Putusan Perkara Nomor: 22KPPU-L2005, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
mengatur danatau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”, Majelis Komisi menilai:
210
1 unsur pelaku usaha
Bahwa yang dimaksud Pelaku Usaha dalam perkara ini adalah Konsorsium SEAPI-Welspun yang masing-masing adalah:
a SEAPI adalah perusahaan yang berbadan hukum Indonesia didirikan dan
berkedudukan di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia berupa menghasilkan pipa baja
b Welspun adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan Hukum India dan
berdomisili di India dalam hal ini melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia berupa memproduksi pipa baja untuk proyek pengadaan pipa oleh PGN.
2 unsur pihak lain
a Bahwa PGN merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang
berbadan hukum Indonesia didirikan dan berkedudukan di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha berupa penyediaan pasokan gas bumi untuk
memenuhi permintaan pasar, baik untuk pasokan penjualan maupun transportasi yang dalam perkara ini bertindak sebagai penyelenggara proyek
Pengadaan Pipa untuk Proyek Transmisi Gas Jalur Lepas Pantai Labuhan Maringgai-Muara Bekasi untuk proyek pipanisasi gas South Sumatera-West
Java SSWJ Tahap II; b
Panitia Tender adalah Panitia yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Dirut PGN Nomor 085.K705UT2003 tanggal 19 Mei 2003 yang disempurnakan
210
Ibid, bagian Tentang Hukum, hlm. 40-47
Universitas Sumatera Utara
dengan Keputusan Dirut PGN Nomor 102.K91UT2004 tanggal 19 Mei 2004 yang diperpanjang dengan Keputusan Dirut PGN Nomor 006103.K 91 UT
2005 tanggal 19 Mei 2005 untuk melaksanakan Tender Pengadaan Pipa untuk Proyek Transmisi Gas Jalur Lepas Pantai Labuhan Maringgai-Muara Bekasi
untuk proyek pipanisasi gas South Sumatera-West Java SSWJ Tahap II; c
Daewoo merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Korea dan melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia dalam perkara ini
bertindak sebagai trading house SEAPI; d
DNV Singapore merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Singapore dan melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia berupa
pemberian jasa konsultasi dan sertifikasi dalam perkara ini bertindak sebagai konsultan bagi PGN;
e Bakrie Brothers merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia dalam perkara ini bertindak sebagai holdinginduk perusahaan dari SEAPI;
f Cipta Dekatama merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di
Jakarta dalam perkara ini melakukan kegiatan usaha berupa jasa konsultasi bidang manajemen, teknik, arsitek, pertambangan, pembangunan industri,
percetakan, pertanian, jasa dan angkutan. d.
Perkara Nomor: 07KPPU-L2007 Kepemilikan Silang yang Dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek dan Praktik Monopoli Telkomsel
Pada akhir 2002 divestasi Indosat yang dimenangkan oleh STT, anak perusahaan yang sahamnya 100 dikuasai oleh Temasek, menyebabkan industri
Universitas Sumatera Utara
telekomunikasi seluler di Indonesia mengalami struktur kepemilikan silang. Hal ini karena sebelum divestasi saham Telkomsel yang merupakan operator seluler
terbesar di Indonesia telah dimiliki oleh Temasek melalui anak perusahaannya SingTel dan SingTel Mobile, sehingga secara tidak langsung Kelompok Usaha
Temasek telah menguasai pasar seluler Indonesia dengan menguasai Indosat dan Telkomsel secara tidak langsung.
211
Kewenangan yang dimiliki oleh KPPU terhadap Temasek Holdings, STT, SingTel, STTC, SingTel Mobile, AMHC, AMH, ICL dan ICPL “Kelompok
Usaha Temasek” bergantung dari apakah Kelompok Usaha Temasek dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5
UU No. 5 Tahun 1999. Dibawah ini adalah analisis terhadap pemenuhan unsur Pasal 1 angka 5 UU No 5 Tahun 1999 terhadap Kelompok Usaha Temasek:
Para terlapor dalam kasus ini adalah: Temasek Holdings Pte. Ltd. Terlapor I, Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. Terlapor II, STT
Communications Ltd. Terlapor III, Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd. Terlapor IV, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd. Terlapor V, Indonesia
Communications Limited. Terlapor VI, Indonesia Communications Pte. Ltd. Terlapor VII, Singapore Telecommunications Ltd. Terlapor VIII, Singapore
Telecom Mobile Pte. Ltd. Terlapor IX, PT. Telekomunikasi Selular Terlapor X.
212
1 Unsur “setiap orang atau badan usaha”
211
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, op.cit, hlm. 111
212
Putusan Perkara Nomor: 07KPPU-L2007, bagian Analisis Hukum mengenai
Yurisdiksi KPPU, hlm. 60-64; 594-612
Universitas Sumatera Utara
Bahwa Kelompok Usaha Temasek berdasarkan Anggaran Dasarnya masing-masing adalah badan usaha sehingga unsur ini terpenuhi;
2 Unsur “baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum”
Kelompok Usaha Temasek berbadan hukum Singapura dan didirikan berdasarkan hukum Singapura bukan badan hukum Indonesia. Unsur ini adalah
unsur alternatif, maka dalam hal ini Kelompok Usaha Temasek memenuhi unsur bukan badan hukum
3 Unsur “didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia” Bahwa Kelompok Usaha Temasek didirikan dan berkedudukan di
Singapura, namun sebagai suatu Kelompok Pelaku Usaha melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut: a
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No 5. Tahun 1999 menggunakan pendekatan fungsional yang menekankan pada kegiatan
ekonominya daripada pendekatan subjek hukum. Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka bentuk badan hukum tidak material dalam menentukan suatu
pelaku usaha. b
Pendekatan ini diterapkan dalam teori Single Economic Entity Doctrine, yang memandang hubungan induk dan dan anak perusahaan dimana anak
perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi. Derajat independensi anak
perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain kendali induk
Universitas Sumatera Utara
perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak perusahaan
terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan misalnya terkait dengan pemasaran dan investasi.
c Konsekuensi dari penerapan Single Economic Entity Doctrine ini adalah
pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha
yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat ekstrateritorial.
d Konsideran huruf c UU No. 5 Tahun 1999 menegaskan perspektif tersebut
dengan menyatakan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar. Oleh karena itu sebagai
suatu prinsip umum dalam hukum persaingan, UU No. 5 Tahun 1999 memiliki yurisdiksi atas kondisi persaingan di dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, tanpa memandang siapa pun dan di mana pun pelaku usaha yang menyebabkan dampak terhadap kondisi persaingan tersebut.
e Terminologi “yang melakukan kegiatan” ataupun “yang berusaha di
Indonesia” tidak serta menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut harus berada dalam pasar bersangkutan. Suatu perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha
di negara lain melalui pendirian atau akuisisi terhadap perusahaan yang telah ada di negara tersebut tanpa secara langsung melakukan kegiatan usaha di
dalam pasar bersangkutan negara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain, suatu pelaku usaha dapat mempengaruhi kondisi persaingan di dalam suatu pasar bersangkutan tanpa dia sendiri beroperasi di pasar
bersangkutan tersebut. f
Perspektif ini terlihat pada batang tubuh UU No 5 Tahun 1999 yang banyak menggunakan terminologi ”pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha” dalam
pasal-pasalnya. Kelompok pelaku usaha menurut Knud Hansen, dkk adalah: Beberapa badan usaha mandiri yang bergabung menjadi satu kesatuan
ekonomi yang mandiri. Badan-badan usaha mandiri tersebut berada di bawah satu pimpinan yang sama yang memperlihatkan keluar bahwa induk perusahaan
membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak perusahaannya
g Bahwa berdasarkan fakta yang ditemukan, Indosat dan Telkomsel
dikendalikan oleh Temasek melalui anak perusahaannya. Pengendalian oleh Temasek dapat terjadi karena Temasek bukanlah investor pasif pada SingTel
dan STT sebagaimana juga SingTel dan STT bukan investor pasif pada Telkomsel dan Indosat. Investor pasif didefinisikan sebagai investor yang
tidak memiliki hak suara atas saham yang dimilikinya, tidak diwakili dalam pengurus perusahaan, tidak memberikan arahan dalam kebijakan perusahaan,
tidak mempengaruhi manajemen, tidak memiliki akses terhadap informasi perusahaan yang bersifat sensitif. Di Uni Eropa, bahkan suatu investasi pasif
pada pesaingnya sekalipun dapat dianggap mengurangi tingkat persaingan, terutama dalam pasar yang terkonsentrasi, sehingga melanggar hukum
persaingan. h
Pengendalian oleh Temasek juga terjadi karena Temasek berfungsi sebagai Holding Company dari keseluruhan anak-anak perusahaannya. Tujuan dari
suatu Holding Company adalah untuk mengkonsentrasikan kepemilikan
Universitas Sumatera Utara
saham-saham dengan tujuan untuk mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu atau cabang perusahaan tertentu atau dengan maksud untuk
mengendalikannya. i
Dari sisi penanaman modal, Kelompok Usaha Temasek dapat dilihat sebagai penanam modal asing di Indosat dan Telkomsel. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1
Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, definisi penanaman modal adalah:
Segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia. j
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 penanaman modal asing diartikan sebagai: kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
k Mengacu pada ketentuan tersebut, penanaman modal yang dilakukan oleh
Kelompok Usaha Temasek adalah bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan analisis di atas, dengan demikian
unsur ini terpenuhi. 4
Unsur “baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian” Sebagai Kelompok Usaha, Temasek melakukan kegiatan usaha dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia secara bersama-sama dengan pihak lain melalui perjanjian. Kelompok Usaha Temasek mengendalikan Indosat
bersama-sama dengan pemegang saham lainnya yang masing-masing hak dan
Universitas Sumatera Utara
kewajibannya diatur dalam Anggaran Dasar Indosat. Hal yang sama juga berlaku dalam Telkomsel di mana Kelompok Usaha Temasek bersama-sama dengan
pemegang saham lainnya mengendalikan Telkomsel sesuai dengan ketentuan di dalam Anggaran Dasar Telkomsel. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.
5 Unsur ”menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”
Telkomsel adalah operator seluler terbesar di Indonesia sedangkan Indosat memiliki unit usaha beragam di bidang teknologi telekomunikasi di Indonesia,
antara lain jasa teleponi, jasa selular, dan jasa multimedia. Dengan demikian Kelompok Usaha Temasek memenuhi unsur ini.
Majelis komisi juga berpendapat bahw perusahaan yang memiliki saham sebesar 100 atas suatu perusahaan lain dengan sendirinya telah menunjukkan
adanya suatu kesatuan ekonomi antara perusahaan pemilik saham tersebut sebagai induk perusahaan, dengan perusahaan yang 100 sahamnya dimiliki, sebagai
anak perusahaan.
e. Perkara Nomor: 17KPPU-L2007 Lelang Saham PT Dharmala Sakti
Sejahtera, Tbk di PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Lelang 40 atau setara dengan 1800 lembar saham PT Dharmala Sakti
Sejahtera PT DSS di PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia PT AJMI dimenangkan oleh The Manufactures Life Insurance Company Terlapor I
dengan nilai sebesar Rp. 170 Milyar.
213
213
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, op.cit, hlm. 128
Adapun para terlapor dalam kasus ini adalah: The Manufactures Life Insurance Company Terlapor I, PT Asuransi
Universitas Sumatera Utara
Jiwa Manulife Indonesia Terlapor II, Ari Ahmad Effendi Terlapor III, International Finance Corporation Terlapor IV, PT Balai Lelang Batavia
Terlapor V, PT Graha Karya Reksadana Terlapor VI, Kusmartono Terlapor VII.
214
Pihak asing dalam perkara ini ialah:
215
1 The Manufactures Life Insurance Company Terlapor I, sebuah badan usaha
yang didirikan berdasarkan hukum Kanada dan terdaftar di Hongkong berdasarkan part IX of The Companies Ordinance pada tanggal 31 Agustus
1984, dengan alamat kantor di 48
th
Floor Manulife Plaza, Hongkong. Menurut Majelis Komisi, MLIC merupakan pelaku usaha di Indonesia
karena dalam perkara ini MLIC merupakan salah satu pemegang saham di PT AJMI 51 saham yang mempunyai hak suara dalam menentukan kebijakan
perusahaan dan susunan direksi serta secara langsung menikmati keuntungan atau menanggung kerugian atas kegiatan usaha yang dilakukan PT AJMI. Adapun
setelah menjadi pemenang lelang, kepemilikan saham MLIC menjadi 91 dan selanjutnya MLIC memiliki 95 saham di PT AJMI.
216
2 International Finance CorporationIFC Terlapor IV beralamat kantor di
Gedung Bursa Efek Jakarta Tower 2 Lt.9, Jakarta adalah suatu organisasi internasional yang berkantor pusat di Washington DC, didirikan berdasarkan
Articles of Agreement of International Finance Corporation, The United Nations Convention of The Privileges and Immunities of The Specialized
214
Putusan Perkara Nomor: 17KPPU-L2007, hlm. 1
215
Ibid, bagian Tentang Hukum, sub-bagian Tentang Identitas para Terlapor, hlm. 29-30
216
Putusan Perkara Nomor: 17KPPU-L2007, bagian Tentang Hukum, sub-bagian Aspek Formal, hlm. 35-36
Universitas Sumatera Utara
Agencies pada tanggal 21 November 1947. Indonesia masuk sebagai anggota IFC melalui UU No. 26 Tahun 1956 tentang Keanggotaan Republik Indonesia
pada Badan Keuangan Internasional, yang bertujuan untuk membantu pembangunan perekonomian dengan cara mendorong investasi di perusahaan-
perusahaan swasta. IFC menolak yurisdiksi KPPU dengan alasan bahwa IFC mempunyai hak-
hak istimewa dan imunitas.
217
Namun Majelis Komisi berpendapat lain karena dua alasan: pertama,berdasarkan Article 6 Section 3 Articles of Agreement of
International Finance Corporation, The United Nations Convention of The Privileges and Immunities of the Speciaized Agencies, IFC dapat diperiksa oleh
yurisdiksi yang berkompeten dalam hal ini KPPU di mana IFC memiliki kantor. Kedua, IFC adalah suatu lembaga nirlaba namun pada saat IFC melakukan
penyertaan saham atau modal di Indonesia dalam hal ini IFC tercatat sebagai salah satu pemegeang saham pada PT AJMI selaku Terlapor II dan memiliki hak
suara dalam menentukan kebijakan perusahaan dan susunan direksi serta secara langsung ikut menikmati keuntungan atau menanggung kerugian atas kegiatan
usaha yang dilakukan PT AJMI maka IFC telah melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1999.
218
f. Perkara Nomor: 19KPPU-L2007 Penguasaan Pasar dan Persekongkolan
yang Dilakukan oleh EMI Music South East Asia, EMI Indonesia, Arnel Affandy, SH, Dewa 19 dan Iwan Sastrawijaya
217
Yang terdapat dalam Pasal VI, bagian ke-3 IFC Articles of Agreement, yang melindungi IFC dari panggilan dan permintaan akan dokumen oleh KPPU
218
Putusan Perkara Nomor: 17KPPU-L2007, bagian Tentang Hukum, sub-bagian Aspek Formal, hlm. 32-34
Universitas Sumatera Utara
Perkara ini adalah perkara persaingan usaha yang terkait dengan pembayaran ganti rugi serta persekongkolan dalam hal rahasia perusahaan.
Identitas pelapor yaitu PT Aquarius Musikindo-pun tidak dirahasiakan berhubung permintaan ganti rugi karena dugaan pelanggaran Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999
yang dilakukan oleh para terlapor yaitu
219
Pihak asing yang terdapat dalam perkara ini ialah EMI Music South East Asia Terlapor I yang merupakan suatu divisi EMI Group Hongkong Limited
d.h Manotick limited dan selanjutnya Thorn EMI Hongkong Limited yang didirikan pada tahun 1985 di Hongkong. EMI Music South East Asia didaftarkan
pada tahun 1997 sebagai suatu divisi EMI Group Hongkong Limited dan telah melakukan peran sebagai pemegang jabatan regional EMI Music Group di seluruh
wilayah Asia Tenggara. : EMI Music South East Asia Terlapor
I, PT EMI Indonesia Terlapor II, Arnel Affandy, SH Terlapor III, Dewa 19 Terlapor IV, dan Iwan Sastrawijaya Terlapor V.
220
Adapun Majelis komisi menyatakan bahwa EMI Music South East Asia merupakan pelaku usaha di Indonesia karena melakukan kegiatan usaha di
Indonesia melalui kerjasama dengan Dewa 19, yang dalam perkara ini sebgao Terlapor IV.
221
g. Perkara Nomor: 03KPPU-L2008 Hak Siar Liga Utama Inggris Musim
2007-2010 Para terlapor dalam perkara ini adalah: PT Direct Vision Terlapor I,
Astro All Asia Networks, Plc Terlapor II, ESPN STAR Sports Terlapor III, All
219
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, op.cit, hlm.132
220
Putusan Perkara Nomor: 19KPPU-L2007, bagian Tentang Duduk Perkara, hlm. 5
221
Ibid, bagian Tentang Hukum, hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
Asia Multimedia Networks, FZ-LLC Terlapor IV. Berdasarkan pemeriksaan
pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 16 adalah Astro All Asia Networks, Plc Terlapor II, All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC
Terlapor IV, PT Direct Vision Terlapor I dengan ESPN STAR Sports Terlapor III. sedangkan pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 19 huruf a adalah AAAN, AAMN dan PT DV berkaitan dengan Hak Siar Ekslusif Barclays Premier League Liga Utama Inggris Musim 2007-
2010.
222
Pihak asing dalam perkara ini adalah:
223
1 Astro All Asia Networks, Plc AAAN merupakan badan usaha yang
berbentuk badan hukum berupa perseroan terbuka, yang terdaftar di Inggris dan Wales dan melakukan kegiatan usaha di Malaysia berdasarkan The
Company Act 1985, Memorandum and Article of Association of Astro All Asia Networks, Plc tanggal 22 Juli 2003, yang sahamnya dimiliki oleh Grup
Usaha Tegas sebesar 42, Khazanah sebesar 20, government trust Pemerintah Malaysia sebesar 10, dan publik sebesar 28, saat ini
berkedudukan di All Asia Broadcast Centre, Technology Park Malaysia, Lebuhraya Puchong Sungai Besi, 57000 Kuala Lumpur, Malaysia, merupakan
induk perusahaan yang memiliki berbagai anak perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang usaha televisi berbayar, penyiaran radio,
produksi dan distribusi content TV, serta sejumlah bisnis lainnya di bidang media;
222
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, op.cit, hlm.167
223
Putusan Perkara Nomor: 03KPPU-L2008, bagian Tentang Duduk Perkara, hlm. 4-6
Universitas Sumatera Utara
2 ESPN STAR Sports ESS merupakan badan usaha patungan yang berbentuk
general partnership antara ESPN dan STAR Sports, didirikan di Amerika Serikat berdasarkan hukum negara bagian Delaware dengan kantor cabang
yang terdaftar di Singapura, berdasarkan Certificate of Registration of Foreign Company Form 83 The Companies Act, Cap. 50, Section 371, Company No.
F 05357E yang terdaftar di Singapura pada tanggal 25 Juni 1997 yang ditanda- tangani oleh Miss Tan Shook Yng Acting Deputy Registrar of Companies
and Businesses Singapore, yang sahamnya dimiliki oleh ESPN sebesar 50 dan STARTV sebesar 50, dimana ESPN secara mayoritas dimiliki oleh
Disney Corporation dan STARTV secara mayoritas dimiliki oleh News Corp, saat ini berkedudukan di 151 Lorong Chuan, 03-01 New Tech Park,
Singapore 556741, melakukan kegiatan usaha dalam bidang pengembangan produksi program olahraga, distribusi dan penjualan channel dan hak siar di
wilayah Asia dan anak benua India, termasuk di dalamnya kepada perusahaan televisi berbayar di Indonesia;
3 All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC AAMN merupakan badan usaha
yang berbentuk badan hukum berupa perseroan, yang didirikan pada bulan April 2006 di Dubai, Uni Emirat Arab, yang sahamnya dimiliki 100 oleh
AAAN, saat ini berkedudukan di Dubai World Center Lantai 6, Dubai, Uni Emirat Arab, dan memiliki kantor Cabang di All Asia Broadcast Centre,
Technology Park Malaysia, Lebuhraya Puchong Sungai Besi, 57000 Kuala Lumpur, Malaysia, melakukan kegiatan usaha utama untuk memperoleh
content, membuat channel televisi berbahasa Indonesia dan berbahasa
Universitas Sumatera Utara
Malaysia untuk disuplai kepada operator televisi berbayar yang dioperasikan oleh Astro baik di PTDV di Indonesia, MBNS di Malaysia maupun “Kristal
Astro” di Brunei Darussalam, dan melakukan kegiatan usaha sekunder berupa pengadaan dekorder untuk disuplai ke PTDV di Indonesia.
Pihak asing yang termasuk pelaku usaha sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dalam perkara ini adalah AAAN dan AAMN dengan alasan pendekatan dalam
pembuktian unsur melakukan kegiatan dalma wilayah hukum Indonesia dengan menerapkan teori Single Economic Entity Doctrine
224
h. Perkara Nomor: 18KPPU-L2008 Tender Pengadaan 6 enam unit Gamma
Ray Container Scanner Dirjen Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2007 sedangkan ESS termasuk
pihak lain di luar negeri sesuai dengan Pasal 16 karena ESS hanya memasok chanel-chanel kepada berbagai operator TV berbayar di Indonesia, jadi ini tidak
cukup untuk dianggap melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
Terlapor dalam perkara ini adalah: Panitia Pengadaan Enam Unit Gamma Ray Container Scanner Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2007
Panitia Tender, Terlapor I, PT Putrindo Adiyasa Perkasa Terlapor II, PT Learnit Teknologi Terlapor III, IPS Marketing Resources Singapore Pte Ltd
Terlapor IV, Achmad Budiyanto selaku Pejabat Pembuat Komitmen Terlapor V, Djuneidy Djusan selaku Kuasa Pengguna Anggaran Terlapor VI.
Pihak asing dalam perkara ini adalah IPS Marketing Resources Singapore Pte Ltd yaitu perusahaan yang didirikan di Singapura yang beralamat
224
Ibid, hlm. 36-39, 41-43, bagian Tentang Hukum, sub-bagian Tentang Aspek Materiil, hlm. 154-162
Universitas Sumatera Utara
di 71 Tech Park Crescent, Tuas Park, Singapore 638072
225
yang merupakan satu- satunya distributor resmi penjualan Gamma Ray Container
Scanner Jenis Portal VACIS dan Mobil VACIS merek SAIC adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan namun bukan merupakan
Indonesian Legal Entity dan tidak melakukan kegiatan usahanya di
Indonesia.
226
IPS Marketing Resources dianggap pelaku usaha dengan alasan bahwa ia telah melakukan kegiatan usaha di Indonesia
sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 melalui hubungannya dengan PT Putrindo Adiyasa Perkasa Terlapor II dan PT Learnit
Teknologi.
227
4. Akibat hukum perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat
Seperti halnya telah dijelaskan sebelumnya mengenai akibat hukum dari suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif yaitu suatu kausa yang halal
atau legal seperti halnya pada perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat maka
perjanjian tersebut batal demi hukum.
228
Dalam hubungannya dengan kewenangan KPPU
229
dalam menangani perjanjian yang mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh
KPPU sehingga tidak akan mengikat para pihak lagi.
230
225
Putusan Perkara Nomor: 18KPPU-L2008, bagian Tentang Hukum, hlm. 24
226
Ibid, bagian Tentang Duduk Perkara, hlm. 22
227
Ibid, hlm. 25-33
228
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, op.cit, hlm. 34 dan 75
229
Pasal 47 ayat 2 huruf a UU No. 5 Tahun 1999
230
Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 80
Universitas Sumatera Utara
Sebagai perbandingan, di Inggris, selain dibatasi oleh common law mereka, untuk melakukan tindakan yang menghambat persaingan, secara
terperinci mulai pada tahun 1956 sudah terdapat dalam peraturan perundang- undang mereka. Salah satu tujuan utama Uni Eropa adalah menyelenggarakan
perdagangan bebas bagi negara anggotanya, dan jelas bahwa perdagangan yang menghambat persaingan akan berdampak buruk bagi kebijakan ini. Peraturan
mengenai persaingan usaha terdapat dalam Pasal 85 1 Piagam Komunitas Eropa European Community Treaty dan Undang-Undang Persaingan Usaha tahun
1998. Perjanjian yang bertentangan dengan peraturan secara umum akan batal demi hukum kecuali pengecualian diberikan oleh Direktur Umum Persaingan
Sehat menurut Undang-Undang 1998 atau Pihak berwajib Uni Eropa menurut Piagamnya.
231
231
Catherine Elliott Frances Quinn, op.cit, hlm.185-186
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan