1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna sering merasa tidak puas, terutama mengenai penampilan fisiknya sendiri.
Bagaimana perasaan seseorang mengenai penampilan fisik inilah yang disebut dengan gambaran tubuh Valencia, 2008. Cash Deagle dalam Jones, 2002
mendefinisikan gambaran tubuh sebagai derajat kepuasan individu terhadap dirinya secara fisik yang mencakup ukuran, bentuk, dan penampilan umum.
Seiring berkembangnya zaman, pola pikir manusia mengenai gambaran tubuhnya sendiri juga semakin berubah, dimana individu cenderung
mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki penampilan fisik yang bagus akan memperoleh penghargaan yang lebih dari lingkungan Cash,
1990. Oleh karena itu banyak orang yang rela untuk merubah penampilan atau bentuk tubuhnya agar menjadi lebih ideal.
Di negara dengan budaya yang lebih maju, bentuk tubuh yang langsing diasosiasikan dengan kebahagiaan, kesuksesan, kemudaan, dan penerimaan
sosial. Keadaan kelebihan berat badan dihubungkan dengan kemalasan, tekad yang lemah, dan kurangnya kontrol diri. Untuk wanita, tubuh yang ideal
adalah tubuh yang ramping. Untuk pria, tubuh yang ideal adalah tubuh yang langsing dengan tingkat otot sedang. Tubuh yang berotot telah menjadi simbol
untuk tekad,
energi, dan
kontrol yang
kuat Bordo,
2003.
Penelitian tentang gambaran tubuh pada pria masih merupakan fenomena yang relatif baru. Sampai tahun 1980-an, gambaran tubuh selalu
dihubungkan dengan wanita karena tubuh wanita lebih sering ditampilan di media daripada pria Bordo, 2003. Selama dua dekade terakhir, banyak
peneliti menjadi semakin tertarik dengan gambaran tubuh pria. Hal ini terutama disebabkan karena tubuh pria menjadi lebih sering terlihat pada
media dalam budaya populer seperti budaya barat. Baker 1994 menyatakan bahwa ada alasan komersial untuk peningkatan gambaran visual tubuh pria di
media. Perusahaan kosmetik mulai menyadari bahwa ada celah di pasar untuk kosmetik pria sehingga pria perlu dibujuk untuk membelinya. Hal ini
dijelaskan dalam pernyataan Baker sebagai berikut: “They had to find a way of persuading men that it’s actually macho to
use a moisturiser and not fey to have a facial, hence the pictures of hunks splashing on the perfume.” Baker, 1994: 132
Baker berpendapat bahwa gambaran ideal dari tubuh pria di media cenderung mengarah pada peningkatan masalah gambaran tubuh dan kepuasan
tubuh pada pria. Keadaan tersebut sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana tampilan yang ada di media massa seperti iklan
televisi iklan susu L-Men, iklan perawatan wajah Loreal Men, iklan perawatan tubuh Gatsby, dan sebagainya dan majalah-majalah khususnya
majalah pria seperti Men’s Health, Cosmopolitan Men, Men’s Fitness, dan sebagainya selalu menggunakan model pria yang bergaya metroseksual yang
memiliki bentuk tubuh yang atletis, kulit wajah dan tubuh yang bersih, gaya rambut serta gaya berpakaian yang paling modern. Kebanyakan kontes
pencarian bakat bagi pria di Indonesia L-Men of the Year, Men’s Health Be Our Cover, Cosmopolitan Bachelor Bash, dan sebagainya menjadikan
penampilan fisik sebagai syarat utama bagi pria untuk dapat ikut serta di dalamnya. Semakin bermunculannya grup band pria baik di Indonesia maupun
di luar negeri yang memiliki penampilan metroseksual juga mengakibatkan timbulnya citra positif terhadap penampilan tersebut sehingga dapat
mempengaruhi persepsi dan interpretasi pria terhadap penampilan fisiknya sendiri Kurnia, 2004.
Hal yang sama juga diutarakan Henwood dan koleganya 2002 yang menyatakan bahwa semakin hari, pria semakin didefinisikan melalui
penampilan fisik mereka, dan media menggunakan pria dengan wajah tampan serta tubuh langsing dan berotot untuk merepresentasikan produk yang mereka
jual. Hal ini dijelaskan dalam pernyataan Henwood sebagai berikut: “Media advertising routinely depicts in positive ways youthful toned
muscular male bodies or focuses on style in men’s clothing and physical appearance.” Henwood et al., 2002: 183
Sejalan dengan pernyataan Henwood 2002 tersebut, penampilan para model di media mengakibatkan para pria mulai memperhatikan dan menjaga
penampilannya. Para pria umumnya melakukan perawatan wajah, rambut dan tubuh di salon, memperbaiki cara berpakaian, memakai parfum, serta
membentuk badan di pusat kebugaran. Namun, semakin banyak pria di kota- kota besar yang melakukan usaha yang lebih ekstrim seperti operasi bedah
plastik di wajah dan tubuh, melakukan penyedotan lemak, menyuntikkan
hormon ke dalam tubuh, serta mengkonsumsi anabolik steroid untuk mendapatkan penampilan fisik seperti model Baker, 1994; Wilson, 1997.
McCreary dan koleganya telah melakukan penelitian mengenai kecenderungan pria untuk memiliki penampilan fisik yang atletis McCreary
Sasse, 2000, 2002; McCreary et al., 2006. Hasilnya menunjukkan seberapa pentingnya terlihat lebih atletis pada para pria dan juga menunjukkan
hubungan antara keinginan untuk atletis dan rendahnya harga diri, keadaan depresi dan munculnya gangguan psikologis Thompson Cafri, 2007.
Secara umum, tekanan sosial pada pria berbeda dan kurang ekstrim daripada wanita karena pria masih cenderung dinilai dari segi prestasi daripada segi
fisik Bordo, 2003. Namun, pria tetap berada di bawah tekanan sosial yang terus menerus meningkat agar mereka dapat memiliki penampilan fisik yang
menarik di tengah masyarakat. Hal ini mengindikasikan pentingnya memiliki bentuk tubuh yang atletis bagi para pria Henwood et al., 2002.
Ada suatu kesepakatan umum bahwa kebanyakan pria memimpikan bentuk tubuh mesomorfik yang berotot dengan ciri tubuh tegap dan otot yang
berkembang baik pada bagian dada, lengan dan bahu, serta pingang dan pinggul yang ramping daripada bentuk tubuh yang kurusektomorfik maupun
gemukendomorfik. Hal tersebut terkait erat dengan budaya maskulinitas dan peran gender pria yang mendeskripsikan bahwa pria harus memiliki fisik yang
terlihat tegap, sehat dan kuat agar dapat melindungi pasangannya OSullivan Tiggemann, 1997.
Kadar lemak tubuh yang rendah adalah bagian penting dari bentuk tubuh ideal karena memungkinkan otot agar lebih terlihat Cafri Thompson,
2004. Perut yang rata dan kencang dipandang sebagai suatu simbol kebanggaan bagi pemiliknya. Leith 2006 mencontohkan hal ini sebagai
berikut: “In some ways being thin is more of a status symbol than it’s ever been
because of how overweight some people are. If you have a flat stomach, you’re probably in control under very trying circumstances.
These days, everybody has an iPod. Everyone can afford a plasma TV. A flat stomach is a much more difficult thing to come by. It’s a way to
stand out.” Leith, 2006: 33
Sejalan dengan contoh yang diberikan Leith 2006, berdasarkan wawancara awal yang penulis lakukan pada pria-pria yang rutin melakukan latihan fitness
di Indonesia biasa disebut fitness mania, perut six-packs merupakan simbol kebanggaan tersendiri bagi mereka. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan
wawancara sebagai berikut:
“Paling salut nengok orang yang punya six-packs, soalnya itu paling susah didapat, perlu disiplin ketat dalam berdiet. Gak boleh makan
makanan berlemak, musti makan sehari 5 kali lah, pokoknya berat banget lah aturannya.” Komunikasi Personal, 6 April 2012.
Ungkapan yang serupa diungkapkan oleh fitness mania lainnya: “Saya lagi berusaha ngebentuk six-packs, ya tiap hari saya latihan
sekalian diet juga. Biar lebih pede aja pas buka baju depan orang. Rasanya minder banget kalo buka baju dekat orang yang punya six-
packs. Saya jadi kelihatan kurang macho.” Komunikasi Personal, 6 April 2012.
Ungkapan para fitness mania tersebut menunjukkan bahwa tubuh atletis dapat meningkatkan rasa percaya diri pemiliknya. Sesuai dengan hal
tersebut, Kimmel dan Wainer 1995, mengatakan bahwa rasa percaya diri yang dimiliki pria bertubuh atletis mempunyai kaitan yang cukup erat dengan
perilaku yang ditunjukkannya. Semakin positif gambaran tubuh seseorang maka akan semakin meningkatkan nilai diri orang tersebut, meningkatkan rasa
percaya diri serta mempertegas jati dirinya pada orang lain maupun pada dirinya sendiri, dan dari kesemuanya itu akan mempengaruhi harga dirinya.
Menurut Larsen dan Buss 2008, harga diri merupakan apa yang dirasakan individu berdasarkan pengalaman yang diperoleh selama menjalani
hidup. Harga diri mulai terbentuk sejak individu lahir, ketika berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan
sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak
bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap
dirinya sebagai orang yang berarti dan berharga Burn, 1998. Harga diri pada manusia dipengaruhi oleh pengalaman, pola asuh,
lingkungan dan status sosial ekonomi Coopersmith dalam Burn, 1998. Lingkungan memberi dampak besar kepada individu melalui hubungan yang
baik antara individu dengan orang tua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan
harga dirinya Yusuf dalam Burn, 1998. Pada masa dewasa, lingkungan
sekitar, teman sebaya, serta media massa mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan seorang pria, sehingga hubungan sosial yang terjalin
antaranya semakin meningkat intensitas seorang pria untuk membandingkan dirinya dengan apa yang dilihatnya Kurnia, 2004.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya mengenai adanya peningkatan signifikan yang terjadi pada jumlah individu yang melakukan
operasi bedah plastik, yang mengunakan obat-obatan untuk membentuk tubuh, serta yang melakukan program diet dan olahraga secara berlebihan telah
menjadi bukti yang kuat bahwa semakin banyak pria yang merasa tidak puas dengan gambaran tubuhnya sendiri sehingga mempengaruhi harga diri mereka.
Hal tersebutlah yang menginspirasi penulis untuk mencoba memahami “Apakah ada hubungan antara gambaran tubuh dengan harga diri pada pria?”.
B. RUMUSAN MASALAH