Model of sustainable urban settlement on peat areas at Sungai Raya Region, Kubu Raya District - West Kalimantan Province

(1)

MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN

PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA

KABUPATEN KUBU RAYA – PROVINSI KALIMANTAN BARAT

WENI DEWI UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya – Provinsi Kalimantan Barat adalah hasil karya tulis saya sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor, atas arahan dan bimbingan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dalam disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Agustus 2012

Weni Dewi Utami P 062070121 (PSL)


(3)

ABSTRACT

WENI DEWI UTAMI, 2012. Model of Sustainable Urban Settlement on Peat Areas at Sungai Raya Region, Kubu Raya District - West Kalimantan Province. Under the Advisory Committee of BAMBANG PRAMUDYA N as the Chairman of the Commission, SURJONO HADI SUTJAHJO, ARIS MUNANDAR and RUCHYAT DENI Dj, as a Member of the Commission.

Urban settlements will certainly affect the physical improvement of buildings and the economy. On the one hand the economic sector will increasingly attract the attention of investors and migrants, on the other hand the physical development of cities tend to have a negative impact by the loss of a number of catchment areas and declining function of the environment. Sungai Raya region other than the status of the Capital District of Kubu Raya, also acts as a Hinterland of Pontianak City that targeted housing needs. Progress in the development of Sungai Raya enough attention because given characteristic peatland that covers most of the Sungai Raya area. This study aimed to design a model of sustainable urban settlements in accordance with the existing characteristics of areas with a variety of approaches that are qualitatively and quantitatively. Multi Dimensional Scaling (MDS) approach is used to analyze the status of the sustainability of existing housing, observation and questionnaire method used to determine the preferences and interests of society against the housing and settlements. As well, the Dynamic Systems approach (Stella) to see and predict the behavior of the variable dimensions of the ecological, economic, social and technological. Study sites located in Sungai Raya district are classified as urban areas have been defined in the Spatial Plan of District (RTRW) Kubu Raya. The results of MDS methods indicate that the sustainability status of housing at Sungai Raya in general can be said not sustained yet. Therefore, we need a model of sustainable urban settlements are examined in a multidimensional (ecological, economic, social, cultural and technological), which is able to meet housing needs and demands on the other hand can reduce the environmental degradation. Apart from that, it is necessary to study the preferences and perceptions of the resulting models can accommodate the desires of the community and in accordance with the capabilities. With a model of sustainable urban settlements that suitable to the peats region is expected to be recommendations especially for the Local Government of Kubu Raya District in formulating policies related to the construction of settlements in the Sungai Raya peats area.


(4)

WENI DEWI UTAMI, 2012. Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Dibawah bimbingan BAMBANG PRAMUDYA N sebagai ketua komisi pembimbing, SURJONO HADI SUTJAHJO, ARIS MUNANDAR dan RUCHYAT DENI Dj, sebagai anggota komisi pembimbing.

Tuntutan kebutuhan akan perumahan dan permukiman menjadi fenomena yang dialami oleh sebagian besar kota-kota di Indonesia bahkan di dunia. Tingginya aktifitas di perkotaan serta derasnya arus urbanisasi menyebabkan pembangunan permukiman menjadi sektor industri yang sangat kompleks. Setiap proses pembangunan perkotaan akan dihadapkan pada suatu tantangan dan konflik terhadap pertumbuhan permukiman, khususnya masalah penataan ruang dan penggunaan lahan. Sungai Raya menjadi kawasan primadona yang mampu menjawab tuntutan akan kebutuhan permukiman. Selain berstatus sebagai Ibu Kota Kabupaten Kubu Raya, Sungai Raya juga merupakan wilayah hinterland Kota Pontianak yang cukup maju dibanding kawasan hinterland lainnya. Kemajuan pembangunan khususnya perkembangan permukiman di Sungai Raya menimbulkan kekhawatiran, mengingat sebagian besar karakteristik lahan di kawasan tersebut merupakan lahan bergambut, yang notabene memiliki fungsi ekologi sebagai pengatur sistem hidrologi (water balance) dan penyimpan karbon (carbon storage). Lahan gambut sangat rentan terhadap berbagai gangguan, sehingga eksploitasi gambut berpotensi memicu terjadinya bencana ekologis seperti banjir dan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kebijakan yang mengatur tentang penataan ruang dan pembangunan permukiman di kawasan bergambut.

Penelitian ini bertujuan untuk mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan yang sesuai untuk dibangun di lahan bergambut khususnya di kawasan Sungai Raya. Dengan adanya model ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan khususnya bidang penataan ruang dan pembangunan kawasan permukiman. Penelitian ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pendekatan Multi Dimensional Scalling (MDS) dengan menggunakan software Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-Peatsett (Rapid Appraisal Peat Settlement) digunakan untuk menganalisis status keberlanjutan perumahan eksisting. Metode observasi dan kuesioner digunakan untuk mengetahui preferensi dan minat masyarakat terhadap perumahan yang diminati, dan pendekatan sistem dinamik digunakan untuk melihat dan memprediksi perilaku variabel dimensi ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi.

Analisis keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS bersumber dari penilaian pakar dan stakeholders terpilih terhadap beberapa atribut (indikator) pembangunan berkelanjutan secara multidimensi (ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi). Analisis perumahan eksisting terfokus pada tipologi bangunan yang ada di lokasi penelitian yaitu tipologi rumah panggung dan tipologi rumah tapak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi rumah panggung secara umum


(5)

‘cukup berkelanjutan’ (54,27%) dengan nilai indeks pada masing-masing dimensi sebagai berikut: dimensi ekologi (65,52%=cukup berkelanjutan), dimensi ekonomi (41,18%=kurang berkelanjutan), dimensi sosbud (56,96%=cukup berkelanjutan) dan dimensi teknologi (46,69%=kurang berkelanjutan). Sementara status keberlanjutan tipologi rumah tapak secara multidimensi ‘kurang berkelanjutan’ (46,46%) dengan nilai indeks pada masing-masing dimensi sebagai berikut: dimensi ekologi (21,05%=tidak berkelanjutan), dimensi ekonomi (67,16%=cukup berkelanjutan), dimensi sosbud (69,36%=cukup berkelanjutan) dan dimensi teknologi (46,10%=kurang berkelanjutan). Untuk meningkatkan status keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya di masa mendatang, dilakukan analisis Leverage untuk mengetahui faktor pengungkit yang perlu dikelola untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Dari 20 indikator yang dianalisis dari keempat dimensi tersebut, terdapat 9 atribut sensitif dan 5 atribut dominan untuk rumah panggung, serta 15 atribut sensitif dan 3 atribut dominan untuk rumah tapak yang perlu dikelola untuk meningkatkan status keberlanjutan. Tingkat galat (error) sangat kecil pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis Monte Carlo memperlihatkan nilai yang tidak jauh berbeda dari hasil analisis MDS (0,23-0,59) atau < 1 yang menunjukkan bahwa tingkat presisi perhitungan cukup tinggi.

Hasil kajian terhadap persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum memiliki rumah sendiri dan tergolong keluarga kecil dengan dua orang anak. Sebagian besar responden memilih sistem pembayaran kredit dalam membeli rumah, secara financial pendapatan per bulan antara Rp. 1 – 5 juta dengan kemampuan mencicil maksimal Rp. 2.5 juta/bulan. Harga rumah untuk pembelian cash maksimal Rp. 250 juta. Sebagian besar responden menyatakan kurang paham terhadap isu lingkungan yang berhubungan dengan eksploitasi lahan gambut. Kawasan Sungai Raya paling banyak dipilih sebagai lokasi tempat tinggal dibandingkan kawasan hinterland lainnya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih rumah tinggal antara lain: kualitas bangunan, desain arsitektur yang menarik, ketersediaan sarana dan prasarana, kedekatan lokasi dengan tempat kerja dan harga rumah yang terjangkau. Sebesar 53% responden berminat terhadap model hunian vertikal (Model A), dan sebagian besar menyatakan struktur panggung cocok untuk konstruksi di lahan bergambut. Persepsi masyarakat terhadap kelebihan hunian vertikal antara lain: lebih praktis, hemat lahan, tertata rapih, lebih murah, sosialisasi baik, kredit mudah, dan bebas banjir. Sedangkan kelemahannya yaitu: pada beberapa kasus terkesan kumuh dan padat, berisik, serta rawan konflik.

Key Factor (faktor kunci) untuk meningkatkan status keberlanjutan perumahan eksisting adalah optimalisasi lahan yang meliputi upaya mempertahankan ekosistem gambut dan menekan laju konversi lahan gambut. Usulan model fisik terkait dengan upaya mempertahankan ekosistem gambut yaitu dengan solusi ‘Struktur Panggung’ (tipologi struktur) dan upaya menekan laju konversi lahan dengan solusi ‘Hunian Vertikal’ (tipologi bangunan). Implemetasi tipologi hunian vertikal mengacu pada standar dan kebijakan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio. Untuk zona yang berada dibawah ‘kawasan horizontal dalam’, ketinggian bangunan maksimal 4 lantai, dibawah permukaan kerucuk maksimal 6 lantai dan diluar KKOP maksimal 10 lantai (tergantung daya dukung lahan). Selanjutnya dilakukan analisis terhadap 4 varian dari tipologi struktur dan tipologi bangunan yang diusulkan


(6)

keputusan berbasis indeks kerja (Composite Performance Index – CPI), dimana hasil analisis menunjukkan bahwa model Vertikal Panggung (VP) merupakan model terbaik dengan skor 322.50, rangking kedua adalah Vertikal Tapak (skor: 300), rangking ketiga Horizontal Tapak (skor: 160), dan rangking keempat adalah Horizontal Panggung (skor: 154.17). Untuk pemilihan model dengan kecenderungan pada dimensi ekonomi, model Vertikal Tapak dapat direkomendasikan dengan pertimbangan harga unit hunian termurah. Sedangkan model Vertikal Panggung dapat direkomendasikan untuk kecenderungan pada dimensi ekologi.

Berdasarkan hasil analisis ketiga skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya, yaitu : Skenario 1: intervensi hunian vertikal 0% pada lahan eksisting dan 0% pada lahan baru, Skenario 2: : intervensi hunian vertikal 0% pada lahan eksisting dan 50% pada lahan baru, dan Skenario 3: : intervensi hunian vertikal 50% pada lahan eksisting dan 75% pada lahan baru. Pada dasarkan ketiga skenario tersebut dapat diimplementasikan di kawasan Sungai Raya tergantung dari kesiapan anggaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan (eksekutor) dan sistem kerjasama dengan berbagai stakeholders. Namun untuk perencanaan jangka panjang, pengembangan permukiman di Sungai Raya akan mengarah pada Skenario 3, dengan total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 952,61 ha, terdapat efisiensi lahan sebesar 34.41%, surplus lahan sebesar 565,27 ha, menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 1.068 unit, penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 35,65%, surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk 28.264 unit, atau menambah daya dukung (25 tahun) hingga 2057. Untuk perencanaan jangka panjang, maka skenario 3 diprioritaskan sebagai upaya untuk melakukan optimalisasi lahan permukiman dan minimalisasi konversi lahan gambut.

Subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diberikan pemerintah dalam bentuk suku bunga rendah yaitu 7.25% per tahun flat 15 tahun. Berdasarkan ilustrasi perhitungan hunian vertikal (rumah susun) tipe 36, diperoleh harga per unit hunian sebesar Rp. 99 juta/unit dengan cicilan Rp. 1.043.750,-/bulan selama 15 tahun. Hasil perhitungan tersebut sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat (responden).


(7)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

 Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidika, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

 Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(8)

Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Syaiful Anwar

(Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan) 2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto

(Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan)

Ujian Terbuka :

Dilaksanakan pada : Senin, 30 Juli 2012

Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA

(Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan) 2. Dr. Ir. Doni J. Widiantono, M.Eng.Sc


(9)

MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN

PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA

KABUPATEN KUBU RAYA – PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Oleh :

WENI DEWI UTAMI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor, pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(10)

Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya – Provinsi Kalimantan Barat

Nama : Weni Dewi Utami

NRP : P 062070121

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Jenjang : Doktor (S3)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS

Anggota Anggota

Dr. Ir. Aris Munandar, MS

Anggota

Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj., M.Eng

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(11)

RIWAYAT HIDUP

Weni Dewi Utami (penulis) dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1976 di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Ibrahim Salim dan Ibu Hj. Sumiyati. Penulis menikah pada tahun 2005 dengan Ir. Muhamad Hasan dan dikaruniai satu orang putri bernama Shafiqa Avelia Jasmine (7 tahun).

Penulis mengikuti pendidikan SD, SLTP dan SLTA di Kota Pontianak, dan pada tahun 1995 menempuh pendidikan sarjana di Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Bandung, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan melanjutnya studi S2 melalui beasiswa Departemen Kimpraswil di Universitas Hasanuddin Makassar, Jurusan Magister Teknik Perencanaan Prasarana, dan telah lulus pada tahun 2005. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk melanjutnya studi ke program doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB), pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) melalui beasiswa BPPS Dikti tahun 2007.

Penulis bekerja sebagai staff pengajar di Politeknik Negeri Pontianak (POLNEP) pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan sejak tahun 2001 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh antara lain: Teknik Lingkungan, Teori Arsitektur I, Estetika Bentuk, Studio Perancangan Arsitektur 1 dan 2, Kunjungan Industri, Praktek Kerja Lapang dan Tugas Akhir. Mengajar di kelas khusus Jurusan Teknik Sipil POLNEP pada mata kuliah Pengantar Teknik Lingkungan dan Pengantar Tata Ruang. Penulis merupakan anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalbar, dan menjadi Pengurus IAI Nasional periode 2012 – 2015 Wakil Bidang Penelitian dan Pengembangan.

Bogor, Juli 2012 Weni Dewi Utami


(12)

xiv

Halaman

DAFTAR ISI ……… xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR TABEL ……….. xxiii

GLOSARIUM ……….. xxiv

I. PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ... 5

1.4 Perumusan Masalah ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Kebaruan (Novelty) ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Perumahan dan Permukiman Perkotaan ... 9

2.1.1 Rumah dan Perumahan ... 10

2.1.2 Permukiman dan Degradasi Lingkungan ... 14

2.1.3 Developer dan Industri Perumahan ... 16

2.2 Infrastruktur Berwawasan Lingkungan ... 18

2.3 Konsep dan Teori Perkotaan ... 21

2.3.1 Teori Spasial Perkotaan ... 24

2.3.2 Teori Wilayah Inti – Hinterland ... 27

2.3.3 Perkembangan Kota Baru (New Town) ... 29

2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 34

2.4.1 Pembangunan Kota Berkelanjutan ... 37

2.4.2 Pembangunan Permukiman Berkelanjutan ... 38

2.5 Ekosistem Lahan Gambut ... 43

2.5.1 Pengertian Lahan Gambut ... 43

2.5.2 Luas Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Indonesia... 46

2.5.3 Sifat dan Karakteristik Gambut ... 49

2.5.4 Transformasi Karbon Gambut ………. 51

2.5.5 Fungsi Ekologis Gambut ……….. 51


(13)

xv

III. METODE PENELITIAN ... 56

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 56

3.2 Rancangan Penelitian ... 57

3.3 Batasan Penelitian ... 60

3.4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data... 60

3.5 Metode Analisis Data ... 61

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……….. 63

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kubu Raya ……… 63

4.1.1 Geografi ……….. 63

4.1.2 Kependudukan ……… 64

4.1.3 Kebijakan Penataan Ruang Kabupaten Kubu Raya ……… 66

4.2 Gambaran Umum Kecamatan Sungai Raya ……… 67

4.2.1 Geografi ……….. 67

4.2.2 Kependudukan ……….. 69

4.2.3 Posisi Strategis Sungai Raya ………. 72

4.2.4 Penatagunaan Lahan ………... 74

4.3 Kawasan Sungai Raya sebagai Hinterland Kota Pontianak ………….. 75

4.3.1 Kebijakan Pengembangan Permukiman ……… 75

4.3.2 Kawasan Sungai Raya sebagai Kota Baru Satelit ……… 76

4.4 Sebaran Gambut di Kawasan Sungai Raya ………. 77

4.5 Tipologi Perumahan di Kawasan Sungai Raya ……… 79

V. STATUS KEBERLANJUTAN TIPOLOGI PERUMAHAN EKSISTING DI KAWASAN SUNGAI RAYA 85 5.1 Pendahuluan ………. 85

5.2 Metode Penelitian ………. 86

5.3 Hasil dan Pembahasan ……… 89

5.3.1 Penentuan Indikator Dimensi Keberlanjutan ………. 89

5.3.2 Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung ………. 90

5.3.3 Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Tapak ……… 97

5.3.4 Status Keberlanjutan Multidimensi ………. 102

5.3.5 Analisis Monte Carlo ………. 103

5.4 Kesimpulan ……… 104

VI. STUDI PREFERENSI DAN MINAT MASYARAKAT TERHADAP PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN ……… 105

6.1 Pendahuluan ………. 105

6.2 Metode Penelitian ……… 106

6.3 Hasil dan Pembahasan ……… 107

6.3.1 Identitas Umum Responden ……… 107


(14)

xvi

VII. DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN

BERGAMBUT SUNGAI RAYA ………. 126

7.1 Pendahuluan ………. 126

7.2 Metode Penelitian ………. 129

7.3 Hasil dan Pembahasan ……… 133

7.3.1 Model Ikonik (Model Fisik) ……… 133

A. Sub Model Tipologi Bangunan ……… 134

B. Sub Model Spasial ……… 136

C. Sub Model Tipologi Struktur ……… 139

7.3.2 Model Dinamik ……… 142

A. Sub Model Pertumbuhan Penduduk ………. 142

B. Sub Model Kebutuhan Perumahan ……… 145

C. Penilaian Model Perumahan Menurut Tipologi Bangunan dan Tipologi Struktur ……… 146

D. Analisis Pengambilan Keputusan (Pemilihan Model) Berbasis Indeks Kerja (CPI) ………. 160

E. Rekomendasi Model ………. 162

F. Validasi Model Permukiman di kawasan Sungai Raya ……… 164

G. Skenario Pengembangan Permukiman di Kawasan Sungai Raya melalui Intervensi Model Hunian Vertikal ……….. 165

H. Rekomendasi Pemanfaatan Ruang ……….. 168

I. Subsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) …. 172 7.4 Kesimpulan ……… 173

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 175

8.1 Kesimpulan ……… 175

8.2 Saran ……….. 177

DAFTAR PUSTAKA ……… 179


(15)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi Kota Baru di Indonesia 32

2. Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia 47 3. Luas sebaran dan kandungan karbon gambut di Kalimantan Th. 2002 47 4. Luas sebaran dan kandungan karbon pada lahan gambut di Provinsi

Kalimantan Barat Th. 2002 48

5. Tingkat kedalaman gambut di Kalimantan Barat 48 6. Luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Kubu Raya 63 7. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk per kecamatan 65 8 Luas area, jumlah penduduk dan kepadatan perduduk per kecamatan 65 9 Jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga per kecamatan 66 10. Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan di Kecamatan Sungai Raya 69 11. Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 70 12. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan

Sungai Raya tahun 2010 70

13. Jumlah penduduk dan jumlah KK di Kecamatan Sungai Raya 71 14. Sebaran penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 menurut

kelompok umur dan jenis kelamin 71

15. Jumlah penduduk di Kelurahan/Desa Sungai Raya tahun 2010

menurut kelompok umur dan jenis kelamin 72 16. Jenis dan luas penggunaan lahan di Kecamatan Sungai Raya 74 17. Penilaian (scorring) setiap indikator berdasarkan hasil kuesioner pakar 88 18. Indikator keberlanjutan perumahan di kawasan bergambut 89

19. Analisis Monte Carlo rumah panggung 103

20. Analisis Monte Carlo rumah tapak 104

21. Analisis kebutuhan masing-masing pelaku sistem (stakeholders) dalam

penyusunan model permukiman perkotaan berkelanjutan. 130 22. Populasi penduduk di kawasan Sungai Raya 2009-2032 143 23. Simulasi kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya 145 24. Luas kebutuhan lahan untuk perumahan (trend negatif) 150 25. Luas ketersediaan lahan perumahan (trend positif) 151 26. Luas daerah resapan air yang hilang (trend negatif) 152


(16)

xviii

29. Perhitungan harga lahan per unit hunian 156 30. Perhitungan harga total per unit hunian 157 31. Pilihan responden terhadap tipologi struktur/bangunan 158 32. Justifikasi penilaian pakar terhadap introduksi high technology (hi-tech) 159 33. Matriks awal penilaian alternatif tipologi perumahan 161 34. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternatif 161 35. Skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya 166


(17)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Kerangka pemikiran model permukiman perkotaan yang berkelanjutan

pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya – Kalimantan Barat 6

2. Peran infrastruktur dalam suatu sistem lingkungan 18

3. Piramida keberlanjutan dan posisi green infrastructure 21

4. Teori Konsentri (Burgess) 25

5. Teori Sektoral (Homer Hoyt) 26

6. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman) 27

7. Daerah inti dan daerah pinggiran 28

8. Pola dasar lokasi kota dalam ukuran dimensi dan bentuk 33

9. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan 34

10 Indikator permukiman yang berwawasan lingkungan 40

11 Komponen-komponen sebuah kawasan perumahan 41 12 Ilustrasi penampang kubah gambut (dome) 45

13 Peta Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat 56

14 Hubungan dan keterkaitan antar Wilayah Kota 57

15 Bagan alir tahapan penelitian 59

16 Persentase luas wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kubu Raya 64 17 Peta kawasan Sungai Raya dan batas wilayah KKOP 68 18 Guna lahan eksisting di Kota Pontianak 75

19 Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kota Pontianak 75 20 Posisi Kawasan Sungai Raya sebagai Hinterland Kota Pontianak 77

21 Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya 78 22 Tipologi rumah panggung di Sungai Raya 79

23 Kondisi kanal Sungai Raya pada saat air pasang 80 24. Kondisi lingkungan di sekitar rumah panggung 81 25. Tipologi rumah tapak dengan desain arsitektur modern 82 26. Pekerjaan konstruksi rumah tapak yang dikembangkan developer 83

27. Pekerjaan konstruksi rumah tapak beton di lahan gambut 83

28. Hunian vertikal dengan struktur tapak di kawasan Ahmad Yani I 84 29. Diagram layang ilustrasi indeks keberlanjutan tiap dimensi 88


(18)

xx

31. Status keberlanjutan dimensi ekonomi (a) dan Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Panggung 92

32. Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya (a), Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Panggung 94

33. Status keberlanjutan dimensi teknologi (a), Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Panggung 96

34. Status keberlanjutan dimensi ekologi (a), Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Tapak 97

35. Status keberlanjutan dimensi ekonomi (a), Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Tapak 99

36. Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya (a), Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Tapak 101

37. Status keberlanjutan dimensi teknologi (a), Leverage analysis (b)

Tipologi Rumah Tapak 102

38. Diagram layang status keberlanjutan rumah panggung (a)

dan status keberlanjutan rumah tapak (b) 102

39. Distribusi Usia (a) dan jenis kelamin responden (b) 108 40. Distribusi daerah asal (a) dan pekerjaan responden (b) 109 41. Distribusi pekerjaan (a) dan tingkat pendidikan responden 110 42. Distribusi status pernikahan (a) dan jumlah anak (b) 110

43. Distribusi jumlah anggota keluarga 111

44. Distribusi penghasilan total per bulan 112

45. Distribusi status kepemilikan rumah 113

46. Distribusi pertimbangan terhadap status kepemilikan rumah (a)

dan minat untuk memiliki rumah sendiri (b) 114 47. Distribusi sistem pembayaran (a) dan kisaran harga rumah (b) 115

48. Distribusi kisaran harga cicilan rumah 116

49. Pemahaman lingkungan (a), minat terhadap hunian ramah lingkugan (b) 117 50. Alternatif pilihan lokasi tempat tinggal 118 51. Distribusi tipologi hunian yang diminati 119 52. Distribusi pertimbangan dalam pemilihan tempat tinggal (a)

dan pemilihan tipe struktur yang sesuai di lahan gambut (b) 120 53. Preferensi Model Hunian (vertikal, bertingkat, tidak bertingkat) 122 54. Distribusi pemilihan model hunian yang diminati 122 55. Penghasilan responden yang memilih model vertikal 123


(19)

xxi

56. Status kepemilikan rumah dan sistem pembayaran yang dipilih 123 57. Kisaran harga rumah (sistem pembayaran cash) 123 58. Kisaran cicilan rumah (sistem pembayaran credit) 124 59. Diagram black box sistem pengembangan permukiman perkotaan

berkelanjutan di wilayah bergambut 132

60. Diagram causal loop sistem pengembangan permukiman perkotaan

berkelanjutan di wilayah bergambut 132

61. Konversi hunian 1 lantai menjadi hunian 2-3 lantai (a) dan

konversi rumah tunggal menjadi rumah kopel (b) 135 62. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai rendah 135 63. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai sedang 136 64. Peta rencana zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan 137 65. Potongan A (zona di bawah kawasan pendekatan dan lepas landas) 138 66. Potongan B (zona diluar kawasan pendekatan dan lepas landas) 138 67. Ilustrasi struktur pondasi tiang pancang 140 68. Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya 141 69. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya 142 70. Simulasi pertumbuhan penduduk di Sungai Raya (2009-2032) 143 71. Simulasi kebutuhan perumahan di Kec. Sungai Raya 145 72. Varian tipologi bangunan dan tipologi struktur 147 73. Peta rencana pola ruang kawasan perkotaan di Sungai Raya 148 74. Peta penafsiran citra landsat di Sungai Raya (permukiman eksisting) 149

75. Sub. model dimensi ekologi 150

76. Grafik luas kebutuhan lahan (2009-2032) 151

77. Grafik luas ketersediaan lahan perumahan (2009-2032) 152 78. Grafik luas daerah resapan yang hilang (2009-2032) 153 79. Potensi volume genangan dari beberapa tipologi 153 80. Grafik emisi karbon akibat konversi lahan (2009-2032) 154

81. Grafik simulasi harga satuan bangunan 155

82. Grafik perhitungan harga lahan perumahan (2009-2032) 156 83. Simulasi perhitungan harga total lahan dan bangunan 157 84. Grafik hasil pemilihan tipologi bangunan/struktur oleh responden 158 85. Grafik justifikasi pakar terhadap introduksi high technology 159 86. Ilustrasi model vertikal tapak (VT) direkomendasikan pada areal


(20)

xxii

88. Ilustrasi model horizontal panggung (HP) direkomendasikan pada areal

gambut tipis (0.5-1 m) 163

89. Validasi Model (perbandingan hasil simulasi dan justifikasi pakar) 164 90. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 1 168 91. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 2 169 92. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 3 170 93. Rekomendasi model penataan RTH kawasan Sungai Raya 171


(21)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Ekologi) 185 2. Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Ekonomi) 188 3. Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Sosial-Budaya) 191 4. Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Teknologi) 194 5. Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Multidimensional) 197 6. Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Ekologi) 198 7. Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Ekonomi) 200 8. Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Sosial-Budaya) 203 9. Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Teknologi) 206 10. Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Multidimensional) 209


(22)

xxiv

Wilayah Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Kawasan Wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.

Kawasan lindung Wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

Kawasan budidaya Wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia dan sumberdaya buatan.

Kawasan strategis Wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena

mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.

Kawasan perdesaan Wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa

pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Kawasan perkotaan Wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Kawasan metropolitan Kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan

sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

Kawasan permukiman Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Daerah Rawa Kesatuan lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus

menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis.


(23)

xxv

Rumah Bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

Perumahan Kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni

Lingkungan Hunian Bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman

Permukiman Bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan

Prasarana Kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman.

Sarana Fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

Utilitas umum Kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian. Masyarakat Masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga Berpenghasilan perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah Rendah [MBR]

Rumah Tunggal Rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.

Rumah Deret Beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kaveling sendiri.

Rumah Susun Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu

lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Rumah layak huni Rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni.


(24)

xxvi

bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. Persyaratan ekologis Persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan

fungsi lingkungan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.

Hunian berimbang Perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara

berimbang antara rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.

Perumahan skala besar Perumahan yang direncanakan secara menyeluruh dan terpadu yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.

Tipologi Klasifikasi rumah yang berupa rumah tapak atau rumah susun berdasarkan bentuk permukaan tanah, tempat rumah berdiri meliputi rumah di atas tanah keras, rumah di atas tanah lunak, rumah di garis pantai/pasang surut, rumah di atas air/terapung (menetap), rumah di atas air/terapung (berpindah-pindah). Ekologi Persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan

keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.

Budaya Klasifikasi rumah berdasarkan hasil akal budi/adat istiadat manusia yang diwujudkan dalam bentuk dan arsitektural dan kelengkapan ruangan rumah.

Dinamika ekonomi Kondisi permintaan masyarakat dari berbagai selera yang dipengaruhi oleh tingkat keterjangkauan dan kebutuhan rumah. Rencana Rencana lokasi dan rencana teknis yang meliputi rencana jumlah

dan jenis prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang terintegrasi dengan perumahan yang sudah ada serta lingkungan hunian lainnya.

Rancangan Desain teknis untuk mewujudkan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.

Pengendalian upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai.

Bencana Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun Perumahan


(25)

xxvii

faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, seperti gempa bumi, akibat perang, tsunami dan lain-lain.

Penurunan kualitas Proses menurunya kondisi fisik, non fisik, fungsi perumahan dan kawasan permukiman yang dapat mengganggu

perikehidupan dan penghidupan penghuni dan sekitarnya

Ruang Terbuka area memanjang/jalur/ mengelompok, bersifat terbuka tempat Hijau [RTH] tumbuhan ditanam secara alamiah atau sengaja ditanam.

Perumahan dan Permukiman


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuntutan kebutuhan akan perumahan dan permukiman merupakan suatu fenomena perkotaan yang pasti dialami oleh sebagian besar kota-kota di Indonesia bahkan di dunia. Tingginya aktifitas di perkotaan serta derasnya arus urbanisasi menyebabkan pembangunan permukiman menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Setiap proses pembangunan perkotaan akan dihadapkan pada suatu tantangan dan konflik terhadap pertumbuhan permukiman, khususnya masalah penataan ruang dan penggunaan lahan. Aktifitas dan kepadataan yang tinggi di pusat kota berdampak pada semakin terbatasnya ruang dan semakin tingginya harga lahan di pusat kota (kota inti). Dengan kata lain terjadi ‘gentrifikasi’ yaitu pengambilalihan lahan-lahan potensial di pusat kota oleh pihak-pihak yang berkuasa. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan pola penggunaan lahan di perkotaan, dimana permukiman di pusat kota kemudian berubah fungsi menjadi bangunan perkantoran dan komersial. Akhirnya, secara berangsur-angsur permukiman tersebut bergeser ke daerah pinggiran (hinterland).

Demikian halnya di Kota Pontianak, pembangunan di ibu kota Propinsi Kalimantan Barat ini menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Kegiatan perekonomian masyarakat Kota Pontianak bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Tingginya aktifitas di pusat kota menyebabkan semakin padat dan semrawutnya wajah kota dengan munculnya bangunan-bangunan komersial. Kondisi ini pula yang menyebabkan permukiman di pusat kota mulai bergeser ke daerah pinggiran, dengan harga lahan yang relatif murah. Kawasan hinterland Kota Pontianak yang menjadi sasaran perkembangan permukiman kota antara lain: Sungai Raya, Siantan, dan Sungai Kakap. Ketiga kawasan tersebut memiliki karakteristik lahan bergambut. Diantara ketiga wilayah tersebut, Sungai Raya merupakan kawasan yang mengalami perkembangan permukiman paling pesat.

Sungai Raya menjadi kawasan primadona yang mampu menjawab tuntutan akan kebutuhan permukiman bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya. Posisi strategis dan aksesibilitas yang baik dengan dilalui jalur arteri primer yang menghubungkan antara pusat kota Pontianak dengan Bandara Supadio. Berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya, kawasan Sungai Raya ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kubu Raya (pemekaran).


(27)

2

Hal ini akan berimplikasi terhadap terjadinya metamorphosis kawasan, yang sebelumnya merupakan kawasan pedesaan, selanjutnya akan berkembang menjadi suatu kawasan perkotaan.

Bagi sebagian kota-kota di Indonesia yang memiliki kondisi alam serupa yaitu wilayah bergambut di daerah perkotaan, hal ini menjadi tantangan tersendiri khususnya dalam hal penataan ruang untuk mengantisipasi perkembangan dan pembangunan kota. Hal ini disebabkan ekosistem lahan gambut memiliki fungsi lingkungan yang sangat besar, yaitu sebagai: peredam banjir, pengatur hidrologi, buffer interusi air laut, cadangan sumberdaya air, keanekaragaman hayati (biodiversity), dan pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap/menyimpan karbon). Lahan gambut sangat rentan terhadap berbagai gangguan, gambut yang terusik dapat menyebabkan lepasnya sejumlah karbon ke atmosfer, sehingga eksploitasi lahan gambut memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (global warming).

Indonesia merupakan negara ke-4 yang memiliki lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat, bahkan menjadi negara pemilik gambut tropis terluas di dunia. Lahan gambut yang tersebar di Indonesia meliputi luasan sekitar 26 juta ha (Anderson, 1961). Sumber lain menyebutkan luas lahan gambut di Indonesia adalah 18,48 juta ha (Soekardidan Hidayat, 1988) dan seluas 20,6 juta ha (Subagyo et al., 2005). Informasi mengenai luas gambut di Indonesia seringkali berbeda, yang antara lain disebabkan oleh metode pengukuran yang beragam dalam setiap penelitian. Terlepas dari perbedaan tersebut, fakta menunjukkan bahwa luas lahan gambut di Indoenesia semakin berkurang. Salah satu penyebabnya adalah akibat alih fungsi lahan yang marak terjadi di Indonesia sejak tahun 1970an. Menurut Subagyo et al. (1998) dari 20,6 juta lahan gambut yang tersebar di Indonesia, sekitar 27,8% (5,77 juta ha) terdapat di Kalimantan, dan Kalimantan Barat merupakan terluas kedua (1,73 juta ha) setelah Kalimantan Tengah (3,01 juta ha). Angka kehilangan gambut di Kalbar terbilang cukup besar. Dari luasan 4,61 juta ha pada tahun 1988 (Soekardi dan Hidayat, 1988) menjadi 1,73 juta ha pada tahun 2002 (Wetland International, 2002), dengan angka kehilangan sebesar 62,47%.

Anderson (1961) menjelaskan bahwa lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang sangat penting karena secara alami mampu menyimpan cadangan air (water storage) dalam jumlah yang besar yaitu sekitar 0,8 – 0,9 m3/m3 artinya setiap 1 m3 gambut 90% nya adalah air, oleh karena itu areal gambut tergolong sebagai lahan basah. Berdasarkan sifat fisiknya, gambut dianalogikan sebagai


(28)

‘spons’ yang mampu menyimpan banyak air dalam waktu yang lama. Lahan gambut yang di-drainase-kan secara berlebihan akan menjadi sangat kering sehingga menyebabkan kondisi irreversibledrying artinya gambut yang mengering tidak dapat lagi menyerap air. Hal ini disebabkan gambut yang tadinya suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik), akibatnya kemampuan gambut dalam menyerap air menurun dan mengalami penyusutan (subsidence).

Eksploitasi lahan gambut juga sangat beresiko terhadap lepasnya sejumlah karbon (CO2) dan gas methan (CH4) ke atmosfer. Dalam Protokol Kyoto dijelaskan bahwa CO2 dan CH4 merupakan gas rumah kaca yang sangat berbahaya bagi lingkungan karena dapat memicu terjadinya pemanasan global. Lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon yang sangat besar dibandingkan ekosistem lainnya. Secara global, lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau setara dengan 75% dari total karbon yang ada di atmosfer (Maltby dan Immizi, 1996). Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai akibat dari aktifitas manusia (anthropogenic), yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fossil (fossil fuel), konversi lahan (land use change), industri, dan deforestasi (IPCC, 2001). Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992 (UNFCCC) telah menetapkan 6 (enam) jenis gas rumah kaca utama yang berbahaya bagi lingkungan global yaitu : CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, dan SF6. Dari keenam jenis gas tersebut, CO2 merupakan gas yang paling tinggi konsentrasinya di atmosfer dan memiliki waktu tinggal (live time) yang panjang, sehingga akumulasi dan tingginya konsentrasi gas CO2

Tingginya konsentrasi CO

di atmosfer sangat berbahaya bagi kehidupan.

2 di atmosfer disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil terutama bagi negara maju dengan tingkat konsumsi energi yang tinggi. Namun berbeda halnya dengan Indonesia, kontribusi CO2 terbesar dipicu oleh kegiatan konversi lahan dan deforestasi yaitu sebesar 64% dari total emisi CO2 Indonesia, yang antara lain disebabkan oleh kerusakan lahan gambut dan hutan tropisnya (Kementrian Lingkungan Hidup RI, 2005). Kondisi inilah yang membawa Indonesia menjadi negara pengemisi CO2 terbesar ke-3 didunia setelah Amerika dan China. Sungguh sangat ironis, dimana Indonesia sangat diandalkan menjadi paru-paru dunia yang berperan sebagai penyimpan karbon (net sink), namun sejak tahun 1990 Indonesia justru menjadi negara pengemisi karbon (net emitter).


(29)

4

Sumber emisi CO2

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan gambut mengemban fungsi lingkungan yang luar biasa besar, sehingga eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali dapat mengancam punahnya ekosistem gambut yang berdampak pada kerusakan lingkungan global dan terjadinya bencana ekologis. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kebijakan yang mengatur tentang pemanfaatan lahan gambut di daerah perkotaan khususnya yang terkait dengan pembangunan permukiman.

global yang dihasilkan dari proses peat drained mencapai 887 Mt/year dimana Indonesia merupakan penyumbang terbesar yaitu sebesar 58% dari total emisi (WI-IP, 2006).

Dengan adanya model permukiman perkotaan berkelanjutan di kawasan bergambut ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembangunan permukiman dan penataan ruang kota di kawasan bergambut. Dengan adanya model ini, diharapkan perkembangan kota-kota di Indonesia yang memiliki karakteristik wilayah bergambut dapat terwujud, tanpa harus menyebabkan kerusakan lingkungan. Melalui pendekatan sistem dinamik, akan dihasilkan model permukiman perkotaan berkelanjutan yaitu model permukiman yang memperhitungkan keseimbangan antara aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi (Sustainable Development).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah untuk menghasilkan model permukiman perkotaan berkelanjutan yang dapat diimplementasikan pada lahan bergambut, dalam upaya memenuhi tuntutan kebutuhan akan perumahan dan disisi lain meminimalisasi terjadinya degradasi lingkungan. Melalui perencanaan yang holistik akan terwujud permukiman yang ramah lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, layak secara teknis, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Tujuan khusus penelitian meliputi :

1. Menganalisis tingkat keberlanjutan tipologi perumahan eksisting di kawasan Sungai Raya.

2. Mengetahui preferensi dan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap tipologi perumahan yang diminati.

3. Mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya.


(30)

1.3 Kerangka Pemikiran

Maraknya kegiatan deforestasi dan alih fungsi lahan di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara pengemisi karbon terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Emisi karbon global didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, sementara Indonesia yang notabene memiliki hutan tropis terbesar ke-2 di dunia setelah Brazil, dan pemilik gambut tropis terluas di dunia seluas 20 juta ha atau setara dengan 50% luas gambut tropis dunia, justru sumber emisi karbon terbesar bersumber dari kegiatan deforestasi dan alih fungsi lahan. Indonesia yang diharapkan oleh dunia Internasional sebagai penyimpan karbon yang baik (net sink) sebelum tahun 1990, sekarang berganti menjadi pengemisi karbon (net emitter). Demikian besarnya kontribusi Indonesia terhadap pemanasan global menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi Pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kalimantan Barat merupakan satu provinsi dengan lahan gambut terluas kedua di Kalimantan setelah Kalimantan Tengah dengan luasan mencapai 1.729.980 ha (Subagyo et al., 2005). Beberapa areal gambut yang tersebar di Kalimantan Barat memiliki potensi sebagai pusat pertumbuhan kota, salah satunya adalah kawasan Sungai Raya yang menjadi tempat kedudukan ibukota Kabupaten Kubu Raya, sekaligus sebagai kawasan hinterland Kota Pontianak. Kawasan Sungai Raya dianggap mampu menjawab tuntutan terhadap kebutuhan permukiman masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya. Sungguh merupakan suatu kondisi yang dilematis, dimana disatu sisi kebutuhan perumahan terus meningkat, namun disisi lain lahan yang tersedia dengan karakteristik lahan gambut yang seharusnya tidak dieksploitasi secara berlebihan.

Secara umum, kerangka pemikiran tentang model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya dapat dilihat pada Gambar 1.


(31)

6

Gambar 1. Kerangka pemikiran model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya – Kalimantan Barat

Dimensi Ekonomi  Layak investasi  Harga terjangkau

Sustainable Development

Dimensi Sosbud  Preferensi dan

aspirasi masyarakat

 Utilitas, Firmitas dan Venustas Dimensi Teknologi Dimensi Ekologi

 Mengurangi GRK  Mencegah banjir.

Tuntutan Kebutuhan Perumahan dan Permukiman

1. Pusat kota (Pontianak) semakin padat :  Harga lahan di pusat kota meningkat.  Permukiman bergeser ke wilayah hinterland.

2. Pemekaran Kabupaten Kubu Raya yang beribukota di kawasan Sungai Raya:

 Meningkatnya industri perumahan  Meningkatkan laju imigrasi

 Karakteristik kawasan Sungai Raya sebagian besar merupakan lahan bergambut.

 Terjadi konversi lahan gambut menjadi perumahan dan permukiman

 (1997) : Kalbar pengemisi CO2 terbesar ke-2 di Indonesia akibat pembakaran hutan gambut (konversi).

 Indonesia pemilik gambut tropis terluas didunia dan terluas keempat untuk

gambut temperate. Minimalisasi konversi

lahan gambut untuk perumahan/permukiman

Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya Rekomendasi Perumusan Kebijakan Pemerintah Kab. Kubu Raya dibidang permukiman

 Indonesia pengemisi CO2 tersebar ke-3 di dunia setelah Amerika dan China.

 60% total Emisi Indonesia berasal dari konversi lahan/ deforestasi.

 Predikat buruk Indonesia dimata Internasional.

 UU No. 26/2007

 UU No. 32/2009

 UU No. 1/2011

 Kepres No.32/1990

 Degradasi Ekosistem Lahan Gambut  Potensi terjadinya

bencana ekologis: (banjir dan emisi GRK)


(32)

1.4 Perumusan Masalah

Permasalahan yang mendasari dilakukannya penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Meningkatnya kebutuhan perumahan dan permukiman di Kota Pontianak menyebabkan ketersediaan lahan di pusat kota semakin berkurang, harga lahan meningkat, dan permukiman di pusat kota mulai bergeser ke daerah pinggiran (hinterland). Fakta menunjukkan bahwa Kota Pontianak memiliki daerah hinterland yang sebagian besar merupakan wilayah bergambut. Kawasan Sungai Raya merupakan salah satu hinterland bergambut yang potensial sebagai pusat penyebaran permukiman. Disisi lain, status baru yang disandang oleh kawasan Sungai Raya sebagai Ibukota Kabupaten Kubu Raya (pemekaran tahun 2007), sehingga akan berimplikasi pada perkembangan dan perubahan kawasan Sungai Raya menjadi kawasan perkotaan.

2. Lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis yang sangat besar, yaitu sebagai carbon sink dan water storage. Indonesia pemilik lahan gambut terluas ke-4 di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat, dan pemilik lahan gambut tropis terluas didunia. Namun ironisnya pada tahun 1990 Indonesia divonis sebagai negara pengemisi karbon terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika serikat dan China. Data KLH RI (2005) menunjukkan bahwa 64% dari total emisi karbon yang dihasilkan berasal dari sektor alih fungsi lahan dan deforestasi. Sebelum tahun 1990 Indonesia berperan sebagai net sink, namun setelah tahun 1990 Indonesia justru menjadi net emitter. Jika konversi lahan gambut di kawasan Sungai Raya tidak dikendalikan, maka dikhawatirkan dapat memicu terjadinya bencana ekologis yang lebih besar. 3. Kebijakan pemerintah di bidang perumahan dan permukiman yang ada saat ini

masih bersifat umum. Arahan kebijakan maupun Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk wilayah-wilayah dengan kondisi topografi dan fisiografi yang spesifik seperti wilayah bergambut atau tanah rawa masih belum tersedia. 4. Belum ada kajian tentang model permukiman berkelanjutan yang sesuai untuk

wilayah bergambut di perkotaan, yang mampu menjawab tuntutan kebutuhan permukiman namun tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dalam merumuskan kebijakan khususnya yang terkait dengan konversi lahan


(33)

8

gambut untuk permukiman. Permukiman yang berwawasan lingkungan dan sesuai aspirasi masyarakat ini diharapkan dapat menjadi pilihan terbaik, karena disatu sisi mampu menjawab tuntutan akan kebutuhan perumahan, dan disisi lain mengandung misi penyelamatan lingkungan yaitu mengurangi emisi karbon dan mencegah terjadinya bencana ekologis yang lebih besar. Dalam upaya mewujudkan misi tersebut landasan berpikir global dan beraksi lokal (think globally – act locally) merupakan cara yang paling efektif, dimana aksi lokal yang dilakukan adalah meminimalisasi eksploitasi gambut agar tidak terjadi bencana ekologis berupa pemanasan global.

Melalui perencanaan yang komprehensif, diharapkan perkembangan kota-kota yang memiliki karakteristik wilayah bergambut seperti halnya di Kalimantan Barat dapat terwujud sebagaimana mestinya tanpa harus melakukan pengrusakan terhadap lingkungan. Model pembangunan permukiman perkotaan yang berkelanjutan pada wilayah bergambut ini diharapkan bisa menjadi prototype permukiman ideal yang dapat menjadi acuan bagi kota-kota di Indonesia yang memiliki karakteristik lahan bergambut. Dengan menekan laju ekspansi dan degradasi lahan gambut, artinya kita telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya menurunkan emisi karbon dan mengurangi dampak pemanasan global.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Novelty dari penelitian ini adalah :

1. Beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak membahas topik ‘permukiman’ dan ‘gambut’ secara terpisah. Permukiman seringkali dikaji dan dikaitkan dengan penataan ruang dan problematika perkotaan, sementara lahan gambut seringkali menjadi bagian dari kajian ilmu tanah dan pertanian. Sementara dalam penelitian ini, permukiman dan gambut akan dikaji secara komprehensif, yang ditinjau dari sudut pandang ilmu lingkungan.

2. Hasil pengamatan di lokasi studi mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap perkembangan permukiman (landed housing) yang diprediksi dapat memicu terjadinya degradasi lingkungan (akibat eksploitasi gambut). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengangkat sebuah hipotesa melalui intervensi model hunian vertikal yang dianggap mampu untuk mengatasi masalah kebutuhan permukiman dan degradasi lingkungan, sebagai upaya mitigasi terhadap bencana ekologis.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perumahan dan Permukiman Perkotaan

Menurut UU RI No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, disebutkan bahwa pengertian perumahan adalah kelompok rumah-rumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sementara pengertian permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian, dan tempat melakukan kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Kebijakan tentang perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000-2020 antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kemenpera, 2007).

Didalam UU RI No. 1/2011 dikatakan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar melalui penataan untuk mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, pengembangan perumahan dan permukiman juga mempunyai tujuan untuk memberi arahan pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran penduduk yang rasional serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain.

Didalam undang-undang tentang perumahan dan kawasan permukiman dijelaskan beberapa hal penting yang terkait dengan pengadaan perumahan di Indonesia, yaitu:

1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati/menikmati/ memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. 2. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan

kawasan permukiman skala besar yang terencana, menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan secara bertahap.

3. Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dalam bentuk pengaturan dan bimbingan, pemberian bantuan, kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.


(35)

10

Menurut Komarudin (1996), perumahan dan permukiman merupakan tempat aktifitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari suatu kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktifitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya perencanaan dan perancangan pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang.

Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa aspek perumahan dan permukiman sangat terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang, dimana lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan panataan tanah dan ruang, prasarana, dan sarana lingkungan yang terstruktur. Sementara itu, prasarana lingkungan merupakan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai fakta menunjukkan banyaknya permukiman yang dibangun tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai sebagai kelengkapan fasilitas, kalaupun ada kualitasnya sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik.

2.1.1 Rumah dan Perumahan

Rumah memiliki pengertian sebagai bangunan yang direncanakan dan digunakan sebagai tempat kediaman atau tempat tinggal oleh satu keluarga atau lebih. Perumahan adalah sekelompok tempat kediaman yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, sedangkan tempat kediaman adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari ruangan dan pekarangan. (Buku Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana – Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986). Jadi, rumah dan perumahan merupakan satu kesatuan sebagai tempat bermukim manusia.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari iklim dan makhluk hidup lainnya, serta sebagai tempat pengembangan kehidupan keluarga. Rumah terdiri dari ruangan, halaman dan area sekelilingnya, sedangkan perumahan terdiri dari rumah-rumah atau kelompok rumah, baik kelompok rumah dalam satu tapak ataupun kelompok rumah dalam


(36)

satu bangunan seperti rumah susun atau kondominium, beserta sarana dan prasarana pendukungnya.

Menurut Kirmanto (2002) beberapa permasalahan di bidang perumahan

yang terjadi saat ini adalah: a) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat, b) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan, c) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, d) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam, dan e) komunitas lokal yang tersisih dimana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu. Kirmanto (2002) juga mengemukakan tantangan perkembangan pembangunan perumahan yang akan datang antara lain:

1. Urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata,

2. Perkembangan tak terkendali pada daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh,

3. Marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global,

4. Kegagalan implementasi dari kebijakan penentuan lokasi perumahan.

Permen PU RI No. 45 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. menjelaskan bahwa berdasarkan luasannya, perumahan dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu: tipe rumah mewah, tipe rumah menengah, dan tipe rumah sederhana. Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tipe rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling lebih dari > 600 m2

atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan tertinggi per m2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas A yang berlaku. Tipe rumah menengah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 200 m2 – 600 m2 atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan tertinggi per m2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C sampai A yang berlaku. Sementara tipe rumah sederhana adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 54 m2 sampai200 m2 atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan tertinggi per m2

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia selain kebutuhan sandang dan pangan. Menurut Maslow (1954) dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:

untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C yang berlaku.

1. Kebutuhan fisiologis, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang meliputi:


(37)

12

a. Udara segar dan lingkungan yang hijau, b. Air bersih (minum, masak, MCK, dll),

c. Makanan yang sehat dan pakaian yang layak, d. Tempat tinggal yang memadai.

2. Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan dimana manusia terbebas dari rasa takut, yang meliputi :

a. Perlindungan dari bencana alam dan kriminalitas, b. Perlindungan dari kemiskinan, kelaparan, dan penyakit,

c. Struktur Kelembagaan, hukum, pemerintahan dan adat istiadat.

3. Kebutuhan interaksi sosial, yaitu kebutuhan dalam hidup bermasyarakat atau berkelompok, meliputi :

a. Rasa setia kawan, dicintai dan disenangi di dalam kelompok, b. Mau bekerja sama dalam hal positif.

4. Kebutuhan penghargaan dan pengakuan diri, meliputi : a. Penghargaan dari orang lain,

b. Memperoleh keadilan dan kebebasan, c. Mendapatkan kepercayaan diri, d. Prestise.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri, yaitu harapan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sesuai dengan potensi tanpa mengganggu orang lain, serta memberikan kebaikan kepada orang lain.

UU RI No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan definisi rumah yaitu sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa ruang yang memiliki fungsi yang berbeda. Berdasarkan pedoman teknis pembangunan perumahan, persyaratan bangunan rumah secara umum harus cukup memenuhi syarat teknis dan kesehatan, yaitu:

1. Udara di dalam ruangan tidak boleh lembab atau harus ada sirkulasi udara yang baik, yaitu dengan adanya ventilasi sehingga udara dapat mengalir dengan baik dan selalu berganti.

2. Penetrasi sinar matahari harus cukup bisa masuk ke dalam ruangan untuk membunuh bibit-bibit penyakit dan menghindari kelembaban.

3. Perletakan rumah sebaiknya mempertimbangkan arah mata angin guna memperlancar sirkulasi udara dari luar ke dalam bangunan atau sebaliknya. 4. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain harus memiliki jarak yang

cukup agar memperoleh sinar matahari yang cukup, menghindari bahaya kebakaran dan penyakit menular, serta untuk tujuan keindahan (estetika). 5. Kebutuhan ruang-ruang di dalam rumah harus sesuai dengan kebutuhan.


(38)

6. Rumah harus memberikan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi penghuninya.

Rumah sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan keluarga mempunyai arti penting dalam memberikan ruang dan suasana yang dapat menunjang kegiatan itu sendiri. Oleh karena itu, rumah yang sehat sangat diperlukan agar tercipta suasana hidup yang tentram, aman dan tertib.

Menurut Komarudin (1997) rumah sehat harus memenuhi persyaratan penyehatan lingkungan, ketertiban, dan keserasian lingkungan. Komponen lingkungan perumahan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat hendaknya dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, antara lain penyediaan prasarana lingkungan yang memadai dan sesuai dengan jumlah penghuni, serta pengamanan lingkungan perumahan terhadap pencemaran (pemeliharaan sumber air bersih, pengelolaan air limbah dan sampah).

Ditjen Cipta Karya menegaskan bahwa rumah sehat harus memenuhi 4 (empat) persyaratan yaitu: aspek kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan, dan keterjangkauan. United Nation Center for Human Settlement (UNCHS) menetapkan 11 (sebelas) persyaratan rumah sehat, yaitu: 1) Proteksi terhadap penyakit yang dapat menular, 2) Proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan pencemaran pada peralatan rumah tangga, polusi udara, zat kimiawi, dan penggunaan rumah untuk tempat kerja, 3) Promosi kesehatan mental, 4) Promosi kesehatan lingkungan permukiman, 5) Promosi kebersihan rumah dan lingkungan yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, 6) Penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu, wanita, dan anak-anak. 7) Penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan swasta, 8) Penciptaan kesehatan yang selalu dikaitkan dengan daya dukung tanah, ruang terbuka dan lingkungan, 9) Rumah merupakan wadah proses pengembangan sosial ekonomi, 10) Pendidikan kesehatan umum dan profesi hendaknya secara langsung mendorong upaya penciptaan rumah sehat, 11) Partisipasi masyarakat harus diwujudkan dalam proses pembangunan perumahan sehat dalam lingkungan yang sehat (UNCHS, 1999). Komarudin (1997) menjelaskan beberapa indikator rumah sehat, yaitu:

1. Perilaku hidup sehat penduduk kota. Membuang sampah ke sungai, buang hajat besar di sungai, membiarkan selokan kotor dan air tergenang di halaman, merupakan perilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup sehat adalah budaya hidup bersih di rumah, halaman, dan lingkungan.


(39)

14

2. Berkenaan denga kondisi fisik perumahan, yaitu ukuran rumah dan pengaruhnya terhadap kesehatan, lingkungan fisik perumahan, kualitas udara permukiman, ventilasi, dan sarana kesehatan lingkungan permukiman.

Program Perbaikan Kampung di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan jelas bahwa lingkungan permukiman sehat harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Fisik, yaitu tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik,

bakteriologis, dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah, air limbah, dan perumahan sehat.

2. Biologis, yaitu lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat.

3. Sosial, yaitu perilaku hidup bersih dan sehat. Indikator penting adalah menurunnya angka penyakit saluran pencernaan, pernapasan, dan kulit.

Komarudin (1997) mengatakan sehat tidaknya rumah ditentukan oleh sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan. Tersedianya fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus, sistem pembuangan air bekas atau limbah, pembuangan tinja, tersedianya ventilasi dan jendela untuk sirkulasi udara, serta kekuatan bangunan rumah. Komarudin (1997) menyimpulkan bahwa Rumah Sehat harus memenuhi 4 (empat) persyaratan utama, yaitu:

1. Memenuhi kebutuhan fisik penghuni, meliputi: suhu lingkungan dapat dipertahankan, cukup penerangan, ventilasi yang sempurna, dan terlindung dari pengaruh bising.

2. Memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin hubungan yang serasi antar anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan, membina dan menjamin kepuasan estetis, sesuai dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

3. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit.

4. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya/kecelakaan. 2.1.2 Permukiman dan Degradasi Lingkungan

Menurut Sujarto (1990), permukiman sebagai salah satu fungsi kawasan memiliki 3 (tiga) komponen utama, yaitu : tempat tinggal (place), tempat kerja (work), dan tempat bermasyarakat (folk), Sujarto juga menjelaskan bahwa Permukiman Manusia merupakan suatu totalitas lingkungan yang terbentuk oleh unsur-unsur yang eksistics yang terdiri dari ‘Alam’ (nature) yaitu bahwa permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan hidup maupun sebagai sumber daya (geografis, topografi, geologi, iklim, flora dan fauna).


(40)

Kualitas suatu lingkungan permukiman sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan demikian masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman yang bersih dan sehat akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik pula. Sebaliknya permukiman yang tidak direncanakan dengan baik, lambat laun akan mengalami penurunan kualitas lingkungan (degradasi) yang menyebabkan lingkungan permukiman menjadi tidak layak huni.

Pertumbahan penduduk yang sangat drastis serta derasnya arus urbanisasi, menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Menurut Budihardjo (1987), bahwa pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman merupakan prakondisi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan produktivitas manusia sangat tergantung pada tersedianya wadah yang memadai untuk bekerja, beristirahat, berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat.

Budihardjo (1987) juga mengatakan bahwa permukiman memiliki dwi fungsi yaitu fungsi pasif, sebagai penyedia sarana dan prasarana fisik dan fungsi aktif yaitu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kehendak, aspirasi, adat istiadat dan tata cara hidup para penghuni dengan segenap dinamika perubahannya.

Menurut Sinulingga et al. (1995) permukiman yang ideal harus memenuhi beberapa ketentuan seperti lokasi terletak sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain misalnya aktifitas pabrik, jauh dari lokasi pembuangan sampah, mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta mempunyai saluran drainase yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat sehingga tidak menimbulkan genangan air disaat hujan lebat. Selain itu juga harus tersedia fasilitas penyediaan air bersih, dilengkapi dengan pembuangan air limbah/tinja, pembuangan sampah, jaringan listrik, jaringan telepon serta fasilitas umum seperti taman bermain dan ruang terbuka umum (public open space).

Sinulingga et al. (1995) juga menyatakan bahwa secara garis besar permukiman terdiri dari berbagai komponen, yaitu:

1. Pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk permukiman, dimana kondisi tanah akan mempengaruhi harga rumah yang dibangun diatas lahan tersebut.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2003. Kota dan Lingkungan – Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Pustaka LP3ES Jakarta. Indonesia.

[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kubu Raya. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya 2012-2032. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuburaya. 2011. Kubu Raya Dalam Angka.

Kabupaten Kubu Raya. Provinsi Kalimantan Barat.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuburaya. 2011. Kecamatan Sungai Raya Dalam Angka. Kabupaten Kubu Raya. Provinsi Kalimantan Barat.

[Inpres] Instruksi Presiden RI No. 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. [IPCC] International Panel on Climate Change. 2001. Climate Change. The IPCC

Scientific Assesment. Cambridge Univ. Press.

[Kemendagri]. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional.. Jakarta. [KemenLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. 2005. Status Lingkungan Hidup

Indonesia. Jakarta.

[KemenLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. 2010. Master Plan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Barat 2010. Jakarta.

[Kemenpera] Kementrian Negara Perumahan Rakyat. 2007. Permenpera No. 07/PERMEN/M/2007 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan.

[KemenPU] Kementerian Negara Pekerjaan Umum. 2007. Permen PU No. 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan

Gedung Negara.

[Kepres] Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

[PP-RI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 Tentang Bangunan Gedung.

[PP-RI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun.

[UU-RI] Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

[UU-RI] Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

[UU-RI] Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

[UNDP] United Nations Development Programme. 1997. Agenda 21 Sektoral – Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. UNDP-KEMENLH. [WI-IP] Wetland International - Indonesia Programme. 2002. Warta Konservasi Lahan

Basah. Vol. 14 : 4. Bogor.

[WI-IP] Wetland International-Indonesia Programme. 2004. Atlas Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Kalimantan. Laporan. Bogor.


(2)

[WI-IP] Wetland International-Indonesia Programme. 2006. Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Laporan. Bogor.

[WI-IP] Wetland International-Indonesia Programme 2007. Lahan Gambut, Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Laporan.

[WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Report.

Affandi D. 2009. Pengkajian Kapasitas Daya Dukung Tanah Gambut di Daerah Pengembangan Irigasi di Kalimantan Tengah. Jurnal Puslitbang Sumberdaya Air Vol. 5 No. 2 Tahun 2009. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung.

Alexander. 1977. Intoduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons Inc. New York. Anderson JAR. 1961. The Ecology and Forest Types of the Peat Swamp Forest of

Sarawak and Brunei in Relation to their Silviculture, Typoscript. Kuching. Forest Department.

Andriesse. 1974. Tropical Peat in Southeast Asia. Department of Agriculture Research of the Royal Tropical Institut. Amsterdam.

Andriesse. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. FAO Soil Bulletin. Roma.

Anggraeni D. 2007. Analisis Morfologi Bangunan Sub Tropis Studi Kasus Bertingkat Tinggi dan Sedang di Benua Amerika. Jurnal Teknik Arsitektur. Universitas Trisakti. Jakarta.

Anshari, G. 2010. Drainage and Land Use Impacts On Changes in Selected Peat Properties and Peat Degradation.

Aulia DN. 2005. Permukiman yang Berwawasan Lingkungan. Jurnal Sistem Teknik Industri. Universitas Sumatera Utara.

Barchia MF. 2006. Gambut – Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Beatley T, Manning K. 2000. The Ecology of Place – Planning for Environment, Economy, and Community. Island press. Washington DC.

Budihardjo E. 1987. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Budihardjo E, Hardjohubojo, Sudanti. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Alumni. Bandung.

Budihardjo E, Sujarto D. 1999. Kota Berkelanjutan. Alumni. Bandung.

Campbell S. 1996. Green Cities, Growing Cities, Just Cities ? Urban Planning and The Contradiction of Sustainable Development. Journal of the American Planning Association. Vol. 62 No.3. Page : 296-312. Summer.

Christopher A, Neis H, Artemis A, King I. 1987. A New Theory of Urban Design. Oxford University Press. New York.

Corbusier L. 1977. The City of Tomorrow – and its Planning. The Architectural Press Ltd. London. England.

Djayadiningrat. 2001. Untuk Generasi Masa Depan – Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung.

Driessen PM. 1980. Problem Soil : Their Reclamation and Management. Page: 53-57. Peat Soils in Land Reclamation and Water Management. Wageningen.


(3)

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB. Press. Bogor.

Forester JW. 1971. World Dynamic. Wright-Allen Press. Cambridge dalam Hartrisari 2007 : Sistem Dinamik. IPB Press. Bogor

Friedmann J. 1967. A General Theory of Polarized Development. Urban and Regional Advisory Program. Chile.

Gallion AB, Eisner S, Eisner SA. 1992. The Urban Pattern : City Planning and Design. Golany G. 1978. International Urban Growth Policies : New Town Contribution dalam

Sujarto D (1993). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 9 Triwulan III. P3WK IPB. Bandung.

Grant J, Manuel P, Joudrey D. 1996. A Framework for Planning Sustainable Residential Landscapes. Journal of the American Planning Association, Vol 62 No. 3 Page : 331 - 344. Summer.

Grigg, Fontane GD, Neil. 2000. Infrastructure Systems Management and Optimization dalam Seminar Internasional ‘Paradigm and Strategy of Infrastructure Management’. Universitas Diponegoro. Semarang.

Grigg, Neil. 1988. Infrastructure Engineering and Management dalam Kodoatie 2003 : Sistem Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Universitas Diponegoro. Semarang.

Guitouni A, Martel JM. 1997. Multi Attribute Decision Making. Laval University. Quebec. Canada.

Handoko I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor Agriculture University. Bogor.

Hardjowigeno S, Abdullah. 1989. Sustainabilityof Peat Soil of Sumatera for Agriculture Development. International Peat Society. Symposium on Tropical Peat and Peat Land for Development. Yogyakarta.

Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik : Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. SEAMEOBIOTROP. Bogor.

Haryadi dan Setiawan B. 2002. Penyusunan Indikator-Indikator Keberlanjutan Kota di Indonesia. Jurnal Pusat Studi Lingkungan Hidup Vol. IX No. 3. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Indonesia.

Heripoerwanto ED. 2008. Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Permukiman di Kawasan Pinggiran Metropolitan (Studi Kasus : Koridor Jalan Cirendeu, Kabupaten Tangerang). Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 9 No. 2. Jakarta.

Hermawan. 2009. Kajian Geoteknik Lapisan Gambut untuk Fondasi Konstruksi bangunan. Jurnal Geologi Tata Lingkungan Vol. 19 No. 2. Pusat Lingkungan Geologi. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Hertzen HV, Spreiregen PD. 1973. Building a New Town : Finland’s New Garden City, Tapiola. Univ. of Wisconsin. MIT Press. Madison.

Hidayat A, Suparto, Hikmatullah. 2010. Atlas Peta Sumberdaya Tanah Tingkat Tinjau Provinsi Kalimantan Barat. Balai Besar Penelitian Pengembangan Sumberdaya Lahan. Balitbang Pertanian. Bogor.

Howard E. 1902. Garden City of Tomorrow. Massacchusetts Institute of Technology. The MIT Press. Cambridge. Massacchusetts.

Huovilla, Pekka. 1999. On the Way Towards Sustainable Building. VTT Building Technology. Finland.


(4)

Kirmanto. 2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan. Seminar Peduli Banjir “Forest”. Jakarta.

Kodoatie, RJ. 2003. Sistem Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Universitas Diponegoro. Semarang.

Komarudin, 1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Yayasan Realestat Indonesia, PT. Rakasindo. Jakarta.

Kurniawan AH. 2005. Model Pondasi Paku Ulir Bumi untuk Pekerjaan Bangunan Satu Lantai. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.

Lynch K. 1982. A Theory of Good City Form. Massachusetts Institute of Technology. Maclaren. 1996. Urban Sustainability. Journal of the American Planning Association.

Vol. 62 No.2. Page : 184-202. Spring.

Maltby E, Immizi. 1996. The Sustainable Utilization of Tropical Peatlands. Workshop on Integrated Planning and Management og Tropical Lowland Peatlands. IUCN: 1-16

Manetsh TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Systems dalam Hartrisari 2007 : Sistem Dinamik. IPB Press. Bogor.

Manuwoto. 2006. Pembangunan Berkelanjutan dan Kebijakan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.

Maslow AH. 1954. Motivation and Personality – Hierarchy of Needs model. University og Wisconsin.

Munasinghe, Mohan, Shearer W. 1995. Defining and Measuring Sustainability : The Biophysical Foundation. The UN University and The World Bank.

Murdiyarso D. 2006. Perubahan Iklim dan Peranan Lahan Gambut. Laporan WI-IP. Noor M, 2010, Lahan Gambut – Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim.

Gadjah Mada University Press. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Nugroho SA. 2011. Studi Daya Dukung Pondasi Dangkal Pada Tanah Gambut Dengan Kombinasi Geotekstil dan Bambu. Jurnal Teknik Sipil Vol. 18 No.1 tahun 2011. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Osborn FJ, Whittick A. 1963. The New Towns – The Answer to Megalopolis. McGraw-Hill Book Company.

Pitcher TJ, Preikshot DB. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (3); 255-270.

Priadi E. 2008. Behaviour of Tiang Tongkat Foundation Over Pontianak Soft Organic Soil Using 3D – Infinite Element Analysis. Dissertation. Faculty of Geowissenschaften, Geotechnik und Bergbau. Technischen Universitat Bergakademie Freinberg.

Radjagukguk B. 1997. Peat Soils of Indonesia: Location, Classification, and Problem of Sustainability. Samara Publishing.

Rahardjo A. 2004. Teori Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Rieley JO, Jaya A, Siegert F, Page SE. 2001. Carbon in Tropical Peatlands. BPPT. Jakarta.


(5)

Rieley JO, Jenkins PM, Doody K, Otway S, Hodgson S, Wilshaw S. 1997. Biodiversity of Tropical Peat Swamp Forest. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Rudiyono. 2005. Struktur dan Konstruksi Panggung Bangunan Tradisional Kalbar. Bahan Ajar Program Studi Teknik Arsitektur Politeknik Negeri Pontianak.

Rumbang N, Radjagukguk B, Prajitno D. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dari Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kalimantan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 page : 95-102. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Rutherford HP, Rowan AR, Pamela CM. 1994. The Ecological City. The University of Massachusetts Press.

Salim E. 2000. Kembali ke Jalan Lurus : Pengembangan Bangunan Tinggi Berwawasan Lingkungan. Alvabet. Jakarta.

Santoso, M. 2009. Desain Kebijakan Penataan Kawasan Permukiman Tepi Sungai Berkelanjutan – Sungai Ciliwung Jakarta. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Sarosa T. 2002. A Framework of the Analysis of Urban Sustainability Thingking - Theory

and Practice. Urban Regional Development Series.

Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan, TG, Regala BP, Uriarte GG. 2006. Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Sinulingga, Budi. 1995. Pengaruh Kondisi Lingkungan Permukiman, Ketersediaan Fasilitas Kota, Transportasi, dan Lapangan Pekerjaan terhadap Preferensi Bermukim Para Migran di Wilayah Metropolitan Mebidang. Thesis – Universitas Sumatera Utara.

Soekardi M, Hidayat A. 1988. Extent and Distribution of Peat Soils of Indonesia. Dalam Paper Presented at Third Meeting of the Cooperative Research on Problem Soils. Bogor.

Soemarwoto O. 2002. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soerjodibroto G. 2005. Model : City Development Strategy (CDS) sebagai Satu Alternatif Perencanaan Pembangunan Kota dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. Urban and Regional Development Institute (URDI). Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Soil Survey Staff. 2001. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Survey. Washington DC.

Subagyo, Wahyunto, Ritung S, Suparto. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan Tahun 2004. WI-IP. Bogor.

Subekti D. 2005. Inventarisasi Endapan Gambut di Daerah Encemanan dan Sekitarnya, Kabupaten Pontianak. Provinsi Kalimantan Barat.

Suhono A. 2008. Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Terpadu Dalam Pengembangan Wilayah Perkotaan Berkelanjutan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Sujarto D dan Benedictus K. 1989. Konsepsi Pedoman Perencanaan dan Perancangan Kota Baru di Indonesia, Seminar Strategi Perumahan Perkotaan, Bandung. Sujarto D. 1993. Perkembangan Kota Baru. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota.


(6)

Sujarto D. 2005. Pembangunan Kota Baru di Indonesia dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. Urban and Regional Development Institute (URDI). Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Sujatini S. 2010. Permukiman Berwawasan Lingkungan. Jurnal Menara Vol. 8 Tahun. Universitas Persada Indonesia.

Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara. Jakarta. The Terrestrial Carbon Group. 2008. How to Include Terrestrial Carbon in Developing

Nations in the Overall Climate Change Sollution. Terjemahan.

Timmer, Kate. 2006. The Sustainable Region Initiative. World Bank Forum. Canada. Yudohusodo S. 1988. Pembangunan Kota Baru dan Kota Satelit. Seminar Nasional Kota

Baru dan Kota Satelit. Bandung.