2.2 LATAR BELAKANG PENGESAHAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2004.
Sesuai dengan penjelasan bab sebelumnya bahwa Perjanjian Protokol Kyoto dipandang penting dalam mengatasi perubahan iklim, oleh karena peraturannya yang
bersifat mengikat anggota-anggotanya secara hukum. Sebagai wujud komitmen para anggota diisyaratkan untuk mengadopsi perjanjian dan meratifikasinya melalui undang-
undang yang sah, negara-negara yang telah meratifikasi dipandang layak untuk berpartisipasi dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam hukum internsional konvensi
berada pada posisi utama, dan protokol sebagai penyempurna konvensi sebelumnya. Masalah perubahan iklim telah dibahas seelumnya dan Indonesia telah meratifikasinya
dengan Undang-undang No. 6 tahun 1994 pada masa rejim Soeharto namun pada konvensi tersebut anggota belum terikat secara tegas.
Dengan munculnya kesepakatan baru seperti Perjanjian Protokol Kyoto yang tujuannya sama dengan konvensi sebelumnya dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Protokol ini jauh lebih bersifat mengikat para anggotanya untuk menjalankan kewajiaban dibanding dengan konvensi sebelumnya. Selanjutnya Indonesia juga turut meratifikasi
perjanjian ini melalui Undang-undang No.17 tahun 2004 pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri di sahkan pada tanggal 28 juli 2004. Pengesahan ini memiliki
berbagai pertimbangan-pertimbangan yang mendorong Indonesia meratifikasinya yaitu: Pertama, bahwa Indonesia dengan Undang-undang No.6 tahun 1994 telah meratifikasi
konvensi perubahan iklim perlu menetapkan Perjanjian Protokol Kyoto. Kedua, bahwa perubahan iklim bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
menimbulkan pengaruh merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan
Universitas Sumatera Utara
common but differentiated responsibilities dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara. Ketiga, bahwa sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara
dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut. Keempat, bahwa sebagai
negara yang sedang membangun, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya yang rendah emisi. Kelima, bahwa sebagai negara tropis yang
memiliki hutan terluas kedua di dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi. Keenam, bahwa Perjanjian Protokol Kyoto mengatur emisi
gas rumah kaca akibat kegiatan manusia agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil dan tidak membahayakan sistem iklim bumi.
Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tersebut Indonesia perlu mengesahkannya melalui peraturan Undang-undang. Secara hukum ratifikasi atau
pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti dengan pengesahan Protokolnya, itu adalah hak negara tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang
merugikan. Dengan kata lain perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang didasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politik,
hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis. Secara konstitusional, pengesahan Perjanjian Protokol Kyoto sebenarnya dapat
dilakukan dengan keputusan presiden Keppres UUD 1945 pasal 11, demikian juga kovensinya Konvensi Perubahan Iklim telah diratifikasi dengan UU No.6 tahun 1994.
Namun demikian, menurut UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, diamanatkan bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup
harus dilakukan dengan UU. Pilihan antara UU dan Keppres sering dipertanyakan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat menyangkut kekuatan dan aspek praktis perangkat-perangkat hukum tersebut. Undang-undang jelas memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dan aplikasi yang lebih
luas mengingat implementasi Perjanjian Protokol Kyoto akan lintas sektoral menyangkut keberadaan pemerintah di daerah. Sementara itu, keppres tidak memiliki perangkat
implementasi seperti PP. Keppres dapat diimplementasikan melalui keputusan menteri, tetapi kemungkinan untuk mengiimplementasikannya di daerah akan banyak
tantangannya.Oleh karena itu, dengan undang-undang akan lebih efektif. Penyerahan status pengesahan kepada Sekretaris Jendral PBB dapat dilkakukan
dengan berbagai instrumen, diantaranya ratification, acceptance, dan approval.
58
Kekuatan dan implikasi masing-masing instrumen dan hukum internasional adalah sama artinya instrumen yang satu tidak lebih penting disbanding dengan yang lain. Bedanya
adalah ratification dan approval digunakan ketika suatu negara sudah mengadopsi perjanjian tersebut Indonesia telah mengadopsi Perjanjian Protokol Kyoto, sementara
accession dan acceptance digunakan bila negara yang bersangkutan bukan merupakan pihak dalam perjanjian diatasnya UNFCC United Nation Framework on Climate
Change. Secara singkat dengan berbagai alasan dan latar belakang tidak semua lapisan masyarakat di banyak negara berkembang dan mungkin juga di Indonesia menyetujui
ratifikasi, tetapi tidak sedikit pula yang melihat peluang-peluang baru dalam dunia bisnis dan usaha.
59
58
Daniel murdiyarso, Perjanjian Protokol Kyoto dan implikasinya bagi negara berkembang, Op Cit., hal. 113-114.
59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
BAB III IMPLEMENTASI PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA
Sebagai bagian dari negara berkembang yang tergabung dalam kelompok G77+Cina
60
sangatlah penting bagi Indonesia untuk menjaga solidaritas sejauh tidak mengorbankan kepentingan nasional. Sebab dalam negosiasi, dukungan, dan
kekompakan tidak hanya diperlukan satu masalah saja perubahan iklim, tetapi juga masalah-masalah lain yang akan lebih rumit dan komplek sehingga penting menjaga
kesatuan dan kebersamaan politis. Hingga saat ini sebagian besar negara yang telah mengesahkan Perjanjian Protokol Kyoto adalah negara berkembang. Bahkan sebagian
besar diantaranya adalah negara-negara kepulauan yang tergabung di dalam AOSIS
61
Oleh karena itu sangat strategis dan wajar bagi Indonesia yang telah mengesahkan Konvensi Perubahan Iklim sebagai kepeduliannya akan masalah global tanpa harus
mengorbankan kepentingan nasional melalui pengesahan Perjanjian Protokol Kyoto. Secara umum langkah ini akan membawa konsekuensi politik dalam hubungan
internasional yang menguntungkan bagi Indonesia. Implementasi Perjanjian Protokol yang secara geografis memiliki kondisi dan tantangan yang sama dengan Indonesia.
Sebagian negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand juga telah mengesahkan Perjanjian Protokol Kyoto dengan alasan dan pertimbangan masing-
masing. Perlunya solidaritas kepada sesama anggota ASEAN meskipun masalah perubahan iklim tidak pernah dibicarakan secara formal dalam forum ASEAN.
60
G77 adalah kelompok 130 negara berkembang bersama dengan AOSIS, 11 CEIT dan lain-lain tergolong kedalam non-Annex I.
61
AOSIS Alliance of small Island States adalah perkumpulan negara-negara kepulauan dan berbagai pantai landai yang sangat terancam dan rentan terhadap perubahan iklim karena naiknya permukaan laut.
Meskipun menjadi bagian dari non-Annex I, AOSIS dapat memiliki pandangan posisi yang berbeda dengan anggota lain karena kondisi sosial-ekonominya yang spesifik, kelompok ini beranggotakan 42
negara.
Universitas Sumatera Utara