INTEGRITAS DAN AKUNTABILITAS PEMUNGUTAN SUARA

INTEGRITAS DAN AKUNTABILITAS PEMUNGUTAN SUARA

Tanpa mengenyampingkan berbagai tahapan pemilu lainnya, hari pemungutan suara menjadi tahapan penting dalam penyelenggaran pemilu. Hal ini karena:

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi pertama, pemungutan suara menjadi indikator dasar

penyelenggaran pemilu berlangsung secara demokratis dengan mengedepankan enam prinsip pemilu yakni jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, atau justru sebalikanya.

Kedua, pemungutan suara menjadi tolak ukur pemenuhan hak asasi manusia terutama hak politik warga negara untuk memilih dapat terpenuhi. Ketiga, pemungutan suara menjadi arena penentu bagi peserta pemilu khsusnya partai syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun politik dan kandidat untuk menjalankan fungsinya sebagai intermediary agent dalam rangka memperoleh kekuasaan melalui pemilu dengan cara meraih suara terbanyak.

Meski demikian, pada realitasnya proses pemungutan suara sering kali bertolak belakang dengan hakikat dasarnya untuk memastikan proses penyelenggaran pemilu berjalan secara demokratis karena terjadinya pelanggaran- pelanggaran pemilu seperti: tidak terdaftarnya wagra negara sebagai pemilih, terdapatnya pemilih ganda yang bertentangan dengan prinsip one person one vote one value (OPOVOV), adanya paksaan atau dihalang-halanginya

SEBUAH STUDI MENGENAI DINAMIKA PEMUNGUTAN SUARA DI PILKADA 2015

pemilih untuk memberikan suara, adanya praktek jual- beli suara, terkendalanya logistik pemungutan suara, adanya konflik atau kekerasan, dan lain sebagainya yang menghambat serta merusak jalannya pemungutan suara.

Jika ditinjau dari kacamata legal formal atau pengakan hukum dalam pemilu, terdapat dua pelanggaran yang dapat mengganggu pemungutan suara antara pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana. UU 8/2015 tentang pemilihan umum kepala daerah Pasal 138 mislanya, menjelaskan bahwa pelanggaran administrasi pemilihan adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan di luar tindak pidana Pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan. Sedangkan pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa UU disebut sebagai tindak pidana pemilihan, UU 8/2015 tidak mengatur secara lebih spesifik mengenai bentuk dan jenis pelanggaran pidana tersebut.

Namun demikian, salah satu bentuk pelanggaran pidana yang paling dominan terjadi ialah praktkek jual-beli suara atau yang lebih dikenal dengan istilah money politics (politik uang). Secara teoritik politik uang terbagi kedalam tiga bentuk yakni: pertama, vote buying atau pembelian suara. Model vote buying ini dilakukan dengan cara membeli suara pemilih melalui fresh money yang besarannya cukup bervariatif. Schaffer (2007, dalam Sumarto 2014: 30) paling tidak terdapat tiga kriteria dari vote buying diantaranya: Pertama, materi yang diberikan oleh politisi untuk ditukar dengan suara pemilih dibagikan beberapa hari atau beberapa

Pemilu Jurnal & Demokrasi

jam menjelang pemilihan umum. Kedua, target penerima materi yang dipertukarkan untuk memperoleh suara pemilih adalah individu dan atau rumah tangga. Ketiga, materi yang dipergunakan untuk membeli suara merupakan barang privat atau barang public yang di “personalisasi” (Scaffer 2007: Hicken 2007, dalam Sumarto 2014: 30).

Kedua, bentuk politik uang yang disebut dengan pork barrel atau dalam bahasa Indonesia dikenal politik gentong babi. Secara lebih spesifik konsep pork barrel didefinisikan sebagai suatu bentuk penyaluran barang bantuan materi agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi dalam bentuk kontral, hibah, atau proyek pekerjaan umum ke Kabupaten/Kota bahkan desa dari pejabat terpilih (Schaffer 2007, dalam Sumarto 2014: 32). Ketiga, politik uang dalam wujud club goods yakni pendistribusian barang kepada kelompok-kelompok sosial masyarakat menjelang hari pemungutan suara. Barang yang didistribusikan sendiri cenderung beranekaragam sesuai dengan kebutuhan kelompok sosial masyarakat tersebut. syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

Ditengah paradoks yang sering kali muncul menjelang bahkan hari pemungutan suara inilah, kemudian sering kali menjadikan proses pemungutan suara bahkan yang lebih secara umum pemilu itu sendiri menjadi tidak demokratis karena terdapat praktek-praktek yang tidak mencerimkan prinsip dasar demokrasi itu sendiri yang menitikberatkan hak politik warga negara tanpa adanya paksaan ataupun imbalan uang. Dari sinilah kemudian internasional IDEA dalam studinya “Standar-Standar Internasional Untuk Pemilihan Umum: Pedoman Peninjaun Kembali Kerangka Hukum Pemilu” (2002) menjelaskan paling tidak terdapat

SEBUAH STUDI MENGENAI DINAMIKA PEMUNGUTAN SUARA DI PILKADA 2015

tujuh indikator dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin integritas pemungutan suara antara lain:

1. Harus ada proses yang secara jelas mengidentifikasi pemilih yang berhak menggunakan ketentuan pemberian suara alternatif serta mencegah pemberian suara berganda.

2. Ketentuan pemberian suara khusus hanya boleh diterapkan dalam situasi yang didefinisikan dengan jelas, misalnya dalam hal-hal di mana pemilih tidak dimungkinkan secara fisik untuk pergi ke tempat pemungutan suara. Namun, beberapa wilayah hukum dapat memberikan pengecualian terhadap hal ini karena alasan-alasan khusus, misalnya, memperbolehkan sebagian besar pemilihnya untuk memberikan suara melalui surat pos.

3. Perwakilan partai dan calon serta pemantau pemilu harus diperbolehkan untuk memantau tempat pemungutan suara khusus.

4. Jumlah kertas suara dengan nomor seri dan fitur- fitur keamanan lainnya yang digunakan serta jumlah yang dikembalikan belakangan harus dicatat secara resmi dan terbuka.

5. Jumlah kertas suara yang dikeluarkan harus sesuai dengan jumlah permintaan yang diterima, ditambah sejumlah kecil kertas suara ekstra untuk para pemilih yang mendapatkan kertas suara rusak.

6. Nama dan jumlah pemilih yang mengajukan permintaan penggunaan ketentuan khusus itu harus

Pemilu Jurnal & Demokrasi

dicatat di tempat pemungutan suara.

7. Juga harus ada aturan-aturan lain untuk menghindari pemberian suara ganda. Harus pula diatur jika terjadi sesuatu yang mencurigakan seperti tingginya proporsi suara satu partai atau kandidat di daerah tertentu.