PUTUSAN DKPP YANG MASUK RANAH ADMINISTRASI

PUTUSAN DKPP YANG MASUK RANAH ADMINISTRASI

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) disebut sebagai penyempurnaan dari Dewan Kehormatan. Sebelum menjadi DKPP, penanganan pelanggaran etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan. Sifatnya yang masih ad-hoc menimbulkan kesan ketika ada pelanggaran maka ada Dewan Kehormatan.

Dari statusnya ad-hoc, kemudian Dewan Kehormatan dipermanenkan lewat UU no 15/2011 tentang penyelenggaraan pemilu sebagai perubahan atas UU 22/2007. Namanya pun berganti menjadi DKPP.

Perubahan status dari ad-hoc menjadi permanen

Pemilu Jurnal & Demokrasi

ditengarai akibat tidak netralnya penyelenggara pemilu 2009. Penyelenggaraan pemilu 2009 diwarnai persoalan serius soal data pemilih, hingga akurasi penghitungan suara.

Harun Husein menuliskan dalam buku Pemilu Indonesia, usulan awal mempermanenkan DKPP muncul dalam Naskah Akademik Perubahan UU No 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu. Naskah Akademik tersebut membuat kesimpulan Komnas HAM yang menyatakan KPU telah terbukti melakukan penghilangan hak konstitusional warga negara dalam pemilu. Kesimpulan yang sama agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi dikemukakan Panitia Angket Daftar Pemilu Tetap DPR yang menyatakan bahwa KPU patut dinilai tidak mampu melakukan pemutahiran data pemilih.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/ PHPU.B.VII/2009, tanggal 12 agustus 20019 tentang sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 mengatakan KPU terkesan kurang kompeten dan kurang professional, serta kurang menjaga citra independensi dan syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun netralitasnya.

DKPP pun berdiri menjadi alat ukur integritas pemilu. DKPP menjadi bersifat tetap/permanen dan mandiri. Cakupan tugasnya mulai dari penyelenggara di tingkat pusat hingga penyelenggara di lapangan. Lembaga ini berwenang menindak penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran etika mulai dari teguran hingga pemecatan dengan keputusan yang sifatnya final dan mengikat.

Mengenai fungsi dan wewenangnya, secara tegas ditentukan di dalam UU No. 15 Tahun 2011, di mana DKPP dapat menjalankan fungsi dan wewenangnya:

PENYELESAIAN SENGKETA PENCALONAN PILKADA 2015 YANG BERLARUT-LARUT

a. menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;

b. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;

c. menetapkan putusan;

d. menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

DKPP mempunyai wewenang untuk:

a. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;

b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan

c. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.

Namun dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, DKPP tidak hanya bertindak diranah etika penyelenggara. Mengulang hal yang pernah terjadi di tahun 2013, DKPP justru masuk ke ranah sengketa administrasi dengan mengoreksi putusan KPU mengenai pencalonan.

Dua putusan DKPP meminta penyelenggara pemilu di dua daerah membatalkan putusan mereka terkait penetapan pasangan calon, yakni di Pematang Siantar dan Kalimantan Tengah. Putusan DKPP Nomor 61/DKPP-PKE-IV/2015

Pemilu Jurnal & Demokrasi

sengketa Pilkada Pematang Siantar, selain menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara kepada Darwan Edyanto Saragih selaku Ketua merangkap Anggota Panwas Kota Pematangsiantar, DKPP juga meminta keputusan Rekomendasi Panwas Kota Pematangsiantar dikoreksi oleh Bawaslu Provinsi Sumatera Utara. Sehingga status Pasangan Calon yang dirugikan akibat pelanggaran kode etik oleh Ketua dan kedua Anggota Panwas Kota Pematangsiantar dipulihkan sebagaimana mestinya (restorative justice).

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi Putusan DKPP No. 56/DKPP-PKE-IV/2015 dan No.81/ DKPP-PKE-IV/2015, sengketa Pilkada Kalimantan Tengah,

DKPP juga menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Sementara kepada Ahmad Syar’i sebagai Ketua merangkap Anggota, Daan Rismon, dan Sepmiwawalma masing-masing sebagai Anggota KPU Provinsi Kalimantan Tengah sampai keputusan tentang pasangan calon yang mengakibatkan penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik ini dikoreksi oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagaimana syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun mestinya dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak putusan dibacakan.

Dari putusan DKPP tersebut yang terlihat DKPP dianggap terlalu jauh melakukan tindakan tersebut. Mengingat tidak ada satu norma pun yang memberikan wewenang kepada DKPP yakni dapat memerintahkan KPU RI atau Bawaslu RI untuk meninjau putusan dalam rangka pemulihan hak konstitusional.

Arifuddin (2013) dalam studinya yang berjudul Pergeseran Kewenangan DKPP RI mengatakan bahwapenerapan keadilan subtantif ini perlu, tetapi kepastian hukum tidak

PENYELESAIAN SENGKETA PENCALONAN PILKADA 2015 YANG BERLARUT-LARUT

dapat di abaikan begitu saja dan seolah-olah terfokus pada makna keadilan. Keadilan tanpa kepastian hukum tentu tidak akan menimbulkan keadilan yang sebenarnya. Karena keadilan tanpa kepastian hukum akan menimbulkan hukum yang obscuur (tidak jelas) dan tidak pasti.

DKPP sebagai lembaga penegak etik pemilu, yang sejak awal memang dibentuk untuk menjaga nilai-nilai etika yang disepakati dan mengawal pelaksanaan pemilu yang berintegritas dengan cara menjaga tingkah laku penyelenggara pemilu. Dan bukan sebagai interventor dari tindakannya terlepas Penyelenggara Pemilu itu salah atau dinyatakan tidak bersalah. Tentu hal ini adalah berkaitan erat dengan integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu yang merupakan profesi vital, sehingga integritas dan profesionalitas itu wajib dijunjung tinggi tanpa alasan yang dibenar-benarkan.