ANCAMAN KONFLIK DAN KEKERASAN
ANCAMAN KONFLIK DAN KEKERASAN
Pada dasarnya, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan karena ada persaingan untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi sering
SEBUAH STUDI MENGENAI DINAMIKA PEMUNGUTAN SUARA DI PILKADA 2015
sekali pertarungan ini terbawa dalam konflik fisik yang menyebabkan kerugian materil hingga korban jiwa. Terlebih dalam Pilkada, ikatan emosional yang dekat antara pasangan calon dan pendukung dianggap salah satu faktor penyebab tingginya konflik di pilkada.
Dalam catatan The Habibie Center, selama kurun waktu 2005-2013, pilkada secara langsung telah menimbulkan konflik di beberapa daerah diantaranya Kabupaten Padang Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006), Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011), Provinsi Aceh (2012) dan Kota Palopo (2013). Konflik berujung pada terjadinya tindakan anarkis dan kekerasan. Dalam rentang waktu yang sama, konflik kekerasan fisik menyebabkan korban jiwa sebanyak 70 orang, korban luka sebanyak 107 orang, 279 rumah rusak dan pertokoan dibakar.
Dengan sejarah konflik di Pilkada, sejumlah pihak menghawatirkan pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 di 269 daerah. Sebab apabila konflik di sejumlah daerah juga terjadi serentak, jumlah personil keamanan tidak cukup mengantisipasi. Apalagi di daerah-daerah yang memiliki sejarah konflik horizontal seperti Papua dan Maluku.
Namun kenyataannya, konflik horizontal yang terjadi tidak begitu mencuat. Pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Desember cenderung aman. Justru ancaman kekerasan yang meningkat berasal dari konflik vertikal antara penyelenggara pemilu dengan masyarakat terlebih pasangan calon.
Hal ini terlihat dari terbakarnya sembilan gedung
Pemilu Jurnal & Demokrasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah. Hingga saat ini kasus terbakarnya gedung KPU belum diusut tuntas apakah memang terbakar atau adanya unsur kesengajaan. Jika dilihat dari tahapan pilkada, tujuh dari sembilan gedung diketahui terbakar setelah masa pendaftaran calon dan penetapan calon. Sementara dua lainnya sebelum dimulainya masa pencalonan.
KPU Buru Selatan terbakar 17 Maret 2015; KPU Mimika terbakar 6 Juni 2015; KPU Musi Banyuasin, terbakar 26 Juli 2015; KPU Provinsi Jawa Barat terbakar 7 Agustus 2015; agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi KPU Ketapang terbakar 21 September 2015; KPU Bengkulu Selatan terbakar 6 Oktober 2015; KPU Timor Tengah Utara terbakar 11 Oktober 2015 dan KPU Kota Surabaya terbakar
06 November 2015. Sementara pada tahun sebelumnya, hanya ada dua yang terbakar yakni kantor KPU Toraja Utara (2014) dan kantor KPU Maybarat (2011).
Dari beberapa kejadian memang terlihat adanya motif kesengajaan, seperti di kantor KPU Kabupaten Ketapang syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun yang terbakar pada September 2015. Di bagian luar kantor ditemukan adanya semacam bakaran yang berupa sumbu panjang dari luar kantor KPU hingga ke bagian bawah kantor KPU. Dalam rapat evaluasi Pilkada Serentak bersama Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo mengatakan KPU Kalimantan tengah ternyata sengaja dibakar sehingga diminta diusut.
Kekerasan terhadap penyelenggara juga dialami langsung seperti penusukan terhadap anggota KPU Kepahiang, Windra Purnawan. Penusukan terjadi pasca pengumuman keputusan panwaslu terkait dengan sengketa Pilkada antara
SEBUAH STUDI MENGENAI DINAMIKA PEMUNGUTAN SUARA DI PILKADA 2015
KPU dengan salah satu pasangan calon yang gagal mengikuti Pilkada Kepahiang. Pihak kepolisian akhirnya menetapkan empat orang tersangka penusukan.
Tindak kekerasan dan intimidasi terhadap komisioner KPU di daerah bukanlah kejadian pertama terjadi. Sebelumnya, menjelang pengundian nomor urut pasangan calon bupati dan wakil bupati Tolitoli, terjadi insiden pemukulan terhadap Ketua KPU Tolitoli, Hambali Mansur oleh massa salah satu pendukung pasangan kandidat.
Di Boven Digoel setelah KPU mengumumkan membatalkan salah satu pasang calon, Ketua KPU Boven Digoel dibawa oleh orang yang tidak dikenal dan dipukuli. Lainnya adalah perusakan Kantor KPU Manggarai Barat, dan intimidasi kepada anggota KPU Mataram. Bahkan ada pula pembacokan calon kepala daerah di Lamongan.
Dilihat dari masa terjadinya kekerasan, kebanyakan konflik muncul pada masa pencalonan maupun pasca penetapan calon. Tentu hal ini berkaitan dengan sudah semaksimal apa mekanisme sengketa pencalonan dan profesionalisme penyelenggara dalam menetapkan calon. Perlu juga dilihat, apakah konflik ini juga dipicu oleh diperbolehkannya partai yang mengalami dualisme kepengurusan mengusung calon. Kemudian ketika terjadi sengketa, kualitas putusan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas Sumber Daya Manusia yang memutus.