Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan

5.1 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Ruang lingkup peraturan ini meliputi perubahan peruntukan kawasan antara lain dengan prosedur tukar menukar kawasan dan pelepasan kawasan dan melalui perubahan fungsi kawasan hutan.

Dinamika kebijakan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan terjadi karena peningkatan kebutuhan hasil hutan dan lahan hutan, pertumbuhan ekonomi bangsa dan desakan pengelolaan hutan lestari. Permintaan pasar terhadap produk non-kehutanan seperti hasil tambang, pertanian dan perkebunan mengakibatkan permintaan lahan terus meningkat sehingga mempengaruhi ekonomi bangsa dan sekaligus sebagai ancaman keberadaan hutan dan kelestarian potensi hutan. Permintaan dan desakan baik secara internal maupun eksternal merubah paradigma pengelolaan kawasan hutan yang sekaligus mempengaruhi mental stakeholder sebagai aktor yang merubah pengelolaan hutan. Mengacu pada uraian di atas, dijelaskan dinamika kebijakan pengelolaan hutan yang dibagi atas 2 (dua) tipe waktu yakni waktu lampau yaitu waktu pelaksanaan kebijakan sampai dengan diganti atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Tipe waktu kedua yakni waktu kini yaitu pelaksanaan peraturan pengganti atau peraturan baru pada bidang yang sama.

5.1.1 Ijin pinjam pakai kawasan hutan

5.1.1.1 ijin pinjam pakai kawasan hutan sebelum tahun 2008 Sebelum terbit Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008

tentang ijin pinjam pakai kawasan, peraturan Menteri Kehutanan sebelumnya

tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Menurut kedua Peraturan Menteri Kehutanan tersebut bahwa pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut.

Kawasan hutan yang diatur dengan Peraturan Menteri ini adalah hutan dengan fungsi lindung dan produksi. Adapun ijin ini diterbitkan untuk kepentingan pembangunan strategis dan kepentingan umum. Ijin ini dapat bersifat ekonomi maupun tidak yang kemudian dengan perubahan P.46/Menhut-II/2006 menegaskan bahwa perlu adanya lahan kompensasi atas ijin tersebut.

Ijin pinjam pakai kawasan diberikan kepada kegiatan-kegiatan yang sifatnya strategis dan untuk kepentingan terbatas, seperti penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan religi, pertahanan keamanan, pertambangan, pembangunan ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi atau pembangunan jaringan instalasi air. Penggunaan untuk kepentingan umum terbatas adalah penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang meliputi antara lain jalan umum dan jalan (rel) kereta api, saluran air bersih dan atau air limbah, pengairan, bak penampungan air, fasilitas umum, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio atau stasiun relay televisi. Adapun prosedur ijin ini pinjam pakai kawasan hutan disajikan pada gambar 4.

PEMOHON PEMKAB

PEMPROV

MENHUT Tim kaji

Pimpinan Instansi Pemerintah/

Direksi perusahaan/

Permohonan Evaluasi

Amdal dan Izin Tambang (P.64/Menhut-II/2006)

Hasil penilaian

Persetujuan/ penolakan

Lama Izin 5 tahun (P.46 2006)

Gambar 4. Prosedur ijin pinjam pakai kawasan sebelum tahun 2008

Perencanaan ijin berawal dari persetujuan dan rekomendasi pemerintah daerah yang didasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis dari instansi yang mengurusi kehutanan dan disesuaikan dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Bupati akan menerbitkan rekomendasi bila kawasan yang diinginkan adalah kawasan yang berada di Kabupaten yang sama dan Gubernur akan menerbitkan rekomendasi atas dasar rekomendasi Bupati dan pertimbangan teknis instansi kehutanan di tingkat provinsi baik itu kawasan berada dalam 1 kabupaten atau lebih.

Besarnya peran yang dimiliki aktor di level pimpinan daerah dalam pengurusan ijin ini bisa saja selaras dengan ijin lanjutan misalnya dari segi pertambangan. Sesuai dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bahwa Gubernur dan atau Bupati berkewenangan untuk mengeluarkan ijin usaha pertambangan. Namun bila evaluasi ijin pinjam pakai kawasan tidak disetujui oleh Menteri Kehutanan maka apakah dengan sendirinya dapat menghapus IUP yang merupakan kewenangan Gubernur atau Bupati

polemik dan berpotensi konflik lintas sektoral dari sektor kehutanan yang mengatur ijin penggunaan kawasan hutan bila usaha tersebut dalam kawasan dan ijin pertambangan.

Rekomendasi ijin pinjam pakai kawasan dari Bupati dan Gubernur selanjutnya sebagai syarat kelengkapan permohonan untuk kegiatan pinjam pakai kawasan yang diajukan ke Menteri Kehutanan dengan tembusan pada jajaran eselon 1 Kemenhut. Setiap eselon 1 baik itu BPK, RLPS, Baplan dan PHKA melakukan analisis yang mengurai tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul ketika ijin tersebut diterbitkan. Kajian ini dilakukan dalam suatu tim terpadu yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Badan Planologi. Hasil penilaian selanjutnya merupakan masukan persetujuan prinsip Menteri Kehutanan atas ijin tersebut. Dari izin prinsip yang ada selanjutnya pemohon harus melakukan tata batas, survey potensi dan kegiatan lainnya dan kemudian merupakan bahan untuk diterbitkan izin oleh Menteri Kehutanan.

Pemohon ijin pinjam pakai kawasan berkewajiban untuk membayar seluruh kegiatan akibat perijinan dan sekaligus menjamin dan memberikan kemudahan bagi aparatur untuk melakukan monitoring dan evaluasi baik itu dari Dinas Kehutanan kabupaten, Dinas Kehutanan provinsi maupun dari UPT Kemenhut dan Inspektorat Jenderal Kehutanan. Biaya yang ditimbulkan sangat tinggi karena pemohon tidak hanya berhenti pada perijinan namun selama kegiatan tersebut berlangsung, dalam setiap periode 1 tahun dilakukan monitoring oleh aparatur yang berbeda yang mungkin dapat mengunjungi perusahaan tersebut lebih dari 1 kali karena terdapat beberapa instansi yang berbeda dengan kewenangan yang berbeda pula.

Selain itu terdapat beberapa kewajiban lainnya yang memang membutuhkan sumberdaya yang besar. Kewajiban yang timbul adalah membayar nilai tegakan pengganti dalam bentuk PSDH dan DR, melakukan reklamasi dan rehabilitasi kawasan, menjamin keamanan kawasan dan menjaga kawasan dari kebakaran dan lain-lain. Tentunya tingginya biaya yang dikeluarkan selama proses perijinan harus dikembalikan ketika ijin itu ada baik dengan menjual hasil tambang misalnya bila ijin itu untuk pertambangan atau menjual nilai tegakan dalam areal ijin atau melakukan eksploitasi hasil hutan sebesar-besarnya dari kawasan yang

bukan merupakan kawasan ijin. Hal inilah yang merupakan faktor penyebab terjadinya degradasi dan deforestasi hutan ketika ijin pertambangan ada.

Adapun contoh perijinan pertambangan yang telah diterbitkan IUP dari Bupati maupun Gubernur namun belum mendapatkan ijin penggunaan kawasan dari Menteri Kehutanan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rekapitulasi IUP di Provinsi Jambi

KP.

KP.

EKSPLOITASI TOTAL NO.

LUAS JML. JUMLAH

(Ha) KP 1 Batanghari

96 1.741 4 101 2 Muara Jambi

29 13.470 9 38 3 Tanjung Jabung

Sumber: Dinas Pertambangan, Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi (2010)

Berdasarkan statistik Semester II Tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha. Berdasarkan delineasi kedudukannya terhadap tata guna hutan kesepakatan, usaha pertambangan dalam kawasan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha. Dari 18 unit usaha pemegang izin pertambangan, terdapat 1 pemegang izin pinjam pakai kawasan yang telah diterbitkan oleh Kemenhut yakni PT. Wahana Alam Lestari yang mengeksplorasi batubara di kabupaten Tebo dengan luas areal mencapai 5.243 hektar antara lain di dalam kawasan terdapat 3.106 hektar dan di luar kawasan mencapai 2.136,75 hektar.

5.1.1.2 Pinjam Pakai Kawasan Hutan Berdasarkan P.43/Menhut-II/2008 Peraturan Menteri Kehutanan ini mengganti Peraturan Menteri Kehutanan sebelumnya yang mengatur pedoman ijin pinjam pakai kawasan. Materi pertimbangan timbulnya peraturan ini adalah ijin akan diterbitkan dengan memperhatikan perbandingan luas hutan dan luas daratan yang kemudian dipadukan dengan PNBP dan lahan pengganti sebagaimana diatur dalam PP Nomor 2 tahun 2008.

Pinjam pakai kawasan hutan dapat berbentuk (a) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat non komersial pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan Rp. 0,00 (nol rupiah), (b) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan (c) Pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daratan provinsi, dengan kompensasi lahan bukan kawasan hutan. Ijin ini mengatur pinjam pakai kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan batasan bahwa di hutan lindung tidak dilakukan pola penambangan terbuka dan hanya dilakukan di hutan produksi. Bila luas kawasan hutan lebih besar dari 30% maka kompensasi lahan ditiadakan dan pemohon hanya membayar PNBP. Namun bila luas hutan kurang dari 30% luas daratan maka pemohon harus menyediakan lahan kompensasi yang berada pada 1 DAS atau Pulau dan juga harus membayar PNBP. Adapun prosedur ijin disajikan pada gambar berikut 5.

PEMOHON TIM AMDAL

PEMKAB

PEMPROV

MENHUT Tim

kaji

Instansi Pemerintah/ perusahaan/

koperasi AMDAL

rekomendasi

rekomendasi Nilai

Permohonan

k penilaian Hasil

Pelaksanaan Kegiatan

Gambar 5. Prosedur pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan

P.48/Menhut-II/2008

Terbitnya peraturan ini tidak mengubah sama sekali konsideran ijin sebelumnya namun hanya merangkum dan menyesuaikan dengan PP Nomor

2 tahun 2008 tentang PNBP. Justru dengan timbulnya aturan ini penekanan pada kewajiban pemohon untuk membayar atas keinginan dalam memanfaatkan kawasan makin tinggi dengan membayar PNBP dan penyediaan lahan pengganti dan belum menjelaskan kedudukan peraturan ijin pinjam pakai kawasan dengan ijin-ijin lain yang timbul dari instansi berbeda sebagai langkah lanjut tujuan pinjam pakai kawasan misalnya untuk pertambangan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Peran aktor di level kabupaten maupun provinsi yang besar dan tingkat pemahaman serta kerjasama lintas sektoral sangat diperlukan agar kesepahaman penggunaan kawasan sama. Sama dalam arti bahwa di sektor pertambangan misalnya Bupati dan Gubernur berwenang menerbitkan IUP dan rekomendasi Bupati dan Gubernur atas ijin ini dapat merupakan pertimbangan kunci ketika

evaluasi dilakukan. Untuk itu dalam perijinan pinjam pakai kawasan hutan, evaluasi baiknya dilakukan secara saksama ketika peninjauan lokasi sebelum permohonan tersebut direkomendasikan oleh Gubernur atau Bupati sehingga rekomendasi Bupati dan Gubernur memang merupakan tinjauan teknis sektor kehutanan level daerah dan pusat yang merupakan tinjauan teknis atas ijin tersebut. Hal ini penting karena cenderung memicu konflik sektoral. Provinsi Jambi sendiri memiliki potensi tambang yang besar dan sebagian besar tersebar dalam kawasan hutan, sebagaimana dijelaskan pada gambar 6.

Gambar 6. Peta sebaran potensi tambang di Jambi (Sumber: data peta digital ICRAF 2010)

5.1.2 Pelepasan Kawasan

5.1.2.1 Sebelum Terbitnya PP Nomor 10 Tahun 2010

Perhatian untuk mengalokasikan sebagian lahan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan sudah ada sejak tahun 1990 dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/90 dan 23 – VIII – 1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian.

Definisi pelepasan kawasan hutan dalam SK bersama ini adalah pengubahan

keperluan Usaha Pertanian. Definisi usaha pertanian adalah usaha di bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang berdasarkan tanahnya cocok untuk usaha pertanian dan menurut tata guna hutan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lainnya. Dapat dibayangkan bahwa seluruh lahan yang cocok dan dianalisis baik untuk pengembangan usaha pertanian seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan akan dilepas menjadi lahan pertanian maka hutan yang berada di daerah dataran rendah, dengan ciri-ciri fisik baik untuk usaha pertanian dilepas sehingga laju deforestasi yang terjadi akan sangat tinggi di masa itu. Pertimbangan kondisi tanah sebagai parameter tunggal diartikan sebagai pengabaian faktor fisik lainnya seperti potensi tegakan dan topografi menjadikan pembabatan hutan terus berlangsung tinggi. Pelepasan kawasan selanjutnya diatur dalam suatu level perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan menyebutkan bahwa suatu kegiatan untuk mengubah status sebagian kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.

Berdasarkan data statistik Kemenhut bahwa pelepasan kawasan hutan untuk budidaya non-kehutanan di Provinsi Jambi terjadi mulai tahun 1994 – 1999, sekitar 18.090,5 hektar dan kemudian pada periode 2004 – 2007 terdapat 369 hektar. Ini artinya bahwa rata-rata luas kawasan hutan yang telah dilepas untuk kepentingan budidaya sektor bukan kehutanan adalah sebesar 18.116 hektar per tahun. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7.

Pelepasan kawasan hutan untuk budidaya non kehutanan

Gambar 7. Grafik pelepasan kawasan hutan untuk budidaya sektor bukan

kehutanan (sumber: Statistik Kemenhut)

Bila dalam pengelolaan kawasan hutan yang dipertimbangkan adalah nilai ekonomi sumberdaya dan pendapatan negara akibat kegiatan tersebut maka bukan mustahil luas kawasan hutan di Provinsi Jambi akan lebih kecil 30% dari luas daratan dan pendapatan negara dan daerah akan terus meningkat seiring laju pelepasan yang mencapai 18.116 hektar per tahun.

Keinginan untuk memanfaatkan ruang yang tidak bernilai ekonomi mengakibatkan fasilitasi yang memungkinkan kawasan hutan dilepas menjadi kawasan budidaya perkebunan, mengakibatkan luas kawasan hutan terus menurun dan pertumbuhan perkebunan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh nilai ekonomi konversi hutan menjadi kebun yang tinggi karena selain mendapatkan hasil penjualan komoditi perkebunan juga hasil kayu yang diperoleh dari hasil pembukaan lahan dengan sistem land clearing. Untuk mengetahui peran stakeholder dalam perijinan pelepasan kawasan dapat digambarkan sebagai berikut.

PEMOHON PEMPROV

MENTAN

MENHUT

Tim Terpadu BPN

pencadangan

Telaah lahan

Persiapan Usaha

Membayar Biaya

Kadastaral

Gambar 8. Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum tahun 2010

Dari gambar di atas, pelepasan kawasan hutan untuk usaha pertanian dapat dilakukan jika memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan memperoleh persetujuan dari Kementerian Pertanian dan Kemenhut. Kementerian Pertanian berwenang menerbitkan persetujuan prinsip usaha pertanian dan Kemenhut berwenang untuk menerbitkan ijin lokasi dan kemudian ditetapkan dengan Hak Guna Usaha yang merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional di Provinsi. Terdapat 3 (tiga) lembaga berbeda dengan tugas pokok dan fungsi tertentu sehingga motivasi yang diusung masing-masing Kementerian mempengaruhi kinerja ijin usaha pertanian dan proses pelepasan kawasan hutan.

Hal ini tentunya diserahkan pada pemahaman dan preskripsi setiap Kementerian dalam memanfaatkan lahan termasuk kawasan hutan serta sangat bergantung pada nilai investasi saat itu. Pemahaman akan manfaat hutan baik langsung dan tidak langsung serta nilai hutan selain kayu merupakan hal mendasar ketika dibandingkan dengan tawaran investasi lainnya yang memang memiliki nilai yang terukur dan dapat diperoleh dalam waktu singkat. Bila nilai investasi lebih besar dari pendapatan daerah akibat dipertahankan sebagai hutan maka pelepasan kawasan akan berlangsung dengan mudahnya sebagai bagian dari tujuan sebagaimana diatur dalam PP ini. Namun tindakan ini dikendalikan dengan

tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutan/Eks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan. Dalam SK Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang.

Terkait pertimbangan teknis dari instansi yang mengurusi hutan dan kehutanan, Dinas Kehutanan saat itu masih merupakan bagian dari Kemenhut dalam bentuk kantor wilayah di level provinsi dan kantor di level kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa peran aktor yang ada di Kemenhut telah memainkan perannya sejak usulan dan penilaian ijin berlangsung. Sehingga materi yang diteruskan ke Bupati dan selanjutnya disetujui atau tidak oleh DPRD merupakan tinjauan teknis dari Kemenhut. Bila yang diusulkan adalah kawasan yang bukan HPK maka hal ini akan dievaluasi 2 (dua) kali oleh Kemenhut yakni yang pertama oleh aparatur yang ada di daerah dan yang kedua di pusat. Bila ini berjalan dengan normal tanpa penciptaan situasi yang membuat tidak normal maka efisiensi seperti ini sangat baik karena tidak melibatkan banyak lembaga. Jumlah lembaga yang terlibat disini adalah sekurang-kurangnya 7 lembaga dan sekurang-kurangnya

5 langkah. Pengurusan izin pelepasan selanjutnya diperjelas dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan sebagaimana dijelaskan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 31/Menhut-II/2005.

Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Jambi bahwa sampai dengan saat ini telah diterbitkan ijin lokasi perkebunan seluas 1.333.203,75 hektar sebagaimana dicantum pada tabel 10 berikut. Trend cenderung meningkat mengingat permintaan komoditi perkebunan baik itu untuk pemenuhan bahan baku industri atau sebagai bahan pelengkap. Meningkatnya permintaan ini akan direspon positif oleh pengusaha dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk mengubah bentang alam menjadi areal perkebunan.

Tabel 9. Rekapitulasi Ijin Lokasi Perkebunan di Provinsi Jambi Ijin Lokasi (IL) No.

Jumlah Luas (Ha)

IL (BH) 1. Batanghari

(BH)

Tani

5 36 2. Muaro Jambi

17 1 0 28 253.969 7. Tanjung Jabung

32 93.577 Barat 8. Tanjung Jabung

14 84.135 Timur 9. Kerinci

- - JUMLAH

14 5 246 1.333.204 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jambi (2010)

Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, terdapat 160 perusahaan, 5 kelompok tani dan 14 koperasi yang memiliki ijin lokasi dan hanya sekitar 58 perusahaan yang memiliki HGU. Ini artinya dari sekitar 179 pemegang ijin lokasi hanya 32% pemegang ijin yang telah terbit HGU. Sebaran pemegang izin terbanyak terdapat di Muaro Jambi dengan luas areal garapan mencapai 212.314,51 hektar dan yang telah memperoleh HGU (hak guna usaha) hanya 40.129,69 hektar oleh 20 perusahaan dan 8 kelompok tani dan koperasi.

Selain pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, berdasarkan keputusan bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan Nomor SKB 126/MEN/1994 dan Nomor 422/Kpts-II/1994, perlu adanya penyiapan dan pelepasan kawasan untuk kepentingan transmigrasi dengan ketentuan pokok :

a. Areal hutan yang dapat dilepas untuk pembangunan pemukiman transmigrasi adalah hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

b. Areal HPK yang akan dilepas diutamakan areal yang tidak berhutan (semak, belukar, alang-alang, dan tanah terbuka).

Berdasarkan keputusan bersama tersebut maka dilakukan pelepasan kawasan hutan untuk urusan transmigrasi sebagaimana disajikan pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Rekapitulasi pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi Realisasi pelepasan menurut fungsi Tahun

HPK APL 2000

HL H.SA

345.564,56 37.198 Sumber: Statistik Kemenhut (diolah)

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa praktek pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi tidak hanya di HPK sesuai dengan SKB Menteri, namun juga terjadi di HPT dan HP. Di tahun 2001, dilepas HP seluas 2.712 hektar sedangkan di tahun 2002 dilepas HPT seluas 27.675 hektar dan 22.357 hektar di HP. Dengan demikian telah terjadi pelanggaran SKB sebesar 52.774 hektar.

5.1.2.2 Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Setelah PP. No. 10 Tahun 2010 Ijin pelepasan kawasan yang terbaru adalah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 10 tahun 2010 yang merupakan penyesuaian dari berbagai pra kondisi menuju pengelolaan hutan lestari. Dalam ijin ini terdapat beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1) Pelepasan kawasan hutan hanya bisa dilakukan di HPK;

2) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus), kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan.

3) Hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan.

4) Pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

5) Jenis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri

Adapun prosedur ijin berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 terkait ijin pelepasan kawasan hutan disajikan dalam gambar 9.

d Meneliti

Izin Prinsip

diterima

 Mengamankan hutan  Melaksanakan tata batas

IPK Lahan Dispensasi

Sertifikasi Hak Tanah

Gambar 9. Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010

Dari gambar di atas, mutlak ijin pelepasan kawasan hutan hanya berlangsung di HPK dan tidak ada pertimbangan lain bagi kawasan hutan dengan fungsi seperti fungsi lindung, fungsi produksi dan konservasi. Untuk itu tahapan yang melibatkan unsur legislatif untuk ikut terlibat diabaikan. Hal ini bisa dibenarkan pada suatu provinsi yang memang memiliki luas kawasan HPK yang besar dan mampu menampung aspirasi pembangunan sektor non-kehutanan. Namun

sejak dikeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 telah tidak mengalokasikan HPK dan sudah dilepas dalam bentuk APL. Tentu fenomena yang nantinya akan membatasi peruntukan lahan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan. Tentunya untuk mengakomodasi keperluan ini, maka perlu adanya proses tukar menukar kawasan. Sehingga untuk urusan pembangunan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan harus didahului dengan proses tukar menukar kawasan.

sebaliknya,

seperti

di

Jambi

yang

Ijin pelepasan kawasan hutan melibatkan 3 lembaga dan 6 langkah perijinan. Suatu prosedur yang singkat dengan keterbatasan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hal yang rumit untuk mempertahankan luas kawasan hutan tetap dan semua yang lepas dari kawasan hutan harus disertifikasi kepemilikannya sehingga status tanah merupakan tanah milik.

Adapun teknis pelaksanaan pelepasan kawasan HPK diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Dalam peraturan Menteri ini menegaskan bahwa HPK yang dapat dilepas hanya pada provinsi dengan luas kawasan hutan di atas 30%. Adapun kewajiban pemohon pelepasan HPK adalah menanggung biaya perijinan dan melakukan tata batas yang dapat dikontrakan kepada konsultan.

5.1.3 Tukar Menukar Kawasan

Kebijakan yang mengatur izin tukar menukar kawasan dimulai dengan diterbitkannya Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan dan selanjutnya hanya terjadi perbaikan- perbaikan selama 5 (lima) kali tanpa menghapus atau mengganti peraturan terdahulu sehingga dalam membahas kebijakan tukar menukar kawasan hutan ini hanya dibatasi pada perbaikan-perbaikan oleh peraturan Menteri Kehutanan yang memperbaiki Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995.

5.1.3.1 SK Nomor 292/Kpts-II/1995 Definisi tukar menukar kawasan adalah suatu pelepasan kawasan hutan

tetap untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukkan tanah pengganti menjadi kawasan hutan dan kegiatan pelepasan kawasan hutan tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara realokasi fungsi hutan produksi konversi (HPK) menjadi hutan produksi tetap (HP). Dengan demikian proses tukar menukar kawasan dimaknai dengan terjadinya proses pelepasan kawasan hutan tetap menjadi bukan kawasan hutan dan kemudian memasukan lahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan.

Dari definisi jelas bahwa HPK merupakan kawasan hutan tidak tetap sehingga dalam proses tukar menukar tidak merupakan bagian untuk digunakan dalam proses tukar menukar kawasan namun bila membutuhkan lahan untuk proses pelepasan kawasan berupa lahan HPK maka terlebih dahulu dilakukan tukar menukar kawasan hutan tetap menjadi kawasan hutan tidak tetap atau bukan kawasan hutan. HPK adalah kawasan hutan dan kawasan yang boleh dalam tukar menukar kawasan seperti areal penggunaan lain (APL).

Dasar ijin tukar menukar kawasan adalah kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dengan tidak mengakibatkan menurunkannya luas kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan tetap. Meskipun nilai kegiatan tersebut sangat penting namun kepastian luas kawasan harus tetap dipertahankan. Yang dimaksudkan dengan pembangunan di luar sektor kehutanan adalah kepentingan pembangunan yang bersifat strategis dan menyangkut kepentingan umum yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan (okupasi) dan untuk memperbaiki kawasan hutan.

Dengan membatasi bahwa kawasan yang boleh ditukar adalah kawasan hutan produksi tetap dan tidak boleh adanya proses perubahan fungsi kawasan dari HPK menjadi HP melainkan APL menjadi HP dengan demikian peran aktor adalah menetapkan APL yang mungkin untuk dijadikan kawasan hutan dengan batasan bahwa APL tersebut harus berbatasan dengan kawasan hutan, berada dalam suatu Sub DAS atau DAS atau dalam pulau yang sama di suatu provinsi tertentu serta memiliki ciri fisik untuk hutan lindung. Para aktor yang berperan adalah aktor yang berada di suatu provinsi dan mampu menginventarisir kawasan APL yang memiliki ciri fisik yang dapat dijadikan fungsi lindung serta memiliki potensi hutan sehingga ketika proses tukar menukar kawasan terjadi maka dapat dihutankan dengan cara konvensional.

Pada periode ini, belum terdapat otonomi daerah sehingga sistem pemerintahan masih sentralistik pada Kemenhut beserta UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang berada di daerah serta kantor wilayah Kemenhut di provinsi. Adapun prosedur perijinan ini disajikan pada gambar 10.

PEMOHO N GUBERNUR

MENHUT

SEKJE N

PERMOHONAN PERTIMBANG

KEPUTUSAN

Kewajiban:

1. Menyediakan dan menyerahkan lahan pengganti dalam tempo 2 (dua) tahun;

2. Membayar IHH atau IHH dan DR; 3. Membayar ganti rugi sarana dan prasarana;

4. Membayar biaya penataan batas pada areal pengganti

Gambar 10. Prosedur ijin tukar menukar kawasan hutan berdasarkan SK Menhut Nomor 292/Kpts-II/1995

Dari Gambar di atas, terlihat bahwa ijin tukar menukar merupakan pekerjaan yang dikendalikan dari Kemenhut beserta jaringan kerjanya yang berada di Provinsi lokasi kegiatan berlangsung. Aktor yang berperan dalam ijin ini adalah Kantor Wilayah Kehutanan di Provinsi dan Eselon 1 Kemenhut seperti Direktur Jenderal (Dirjen) Pemanfaatan Hutan (PH) dan Badan Planologi Kehutanan. Peran aktor dibatasi oleh ketentuan status kawasan dan fungsi juga besarnya rasio perbandingan lahan pengganti berdasarkan tujuan peruntukan ijin tukar menukar. Bila ijin tersebut untuk kepentingan umum terbatas oleh Pemerintah maka lahan rasio kawasan yang diijinkan dengan lahan pengganti adalah 1:1, namun jika untuk peningkatan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum maka rasionya 1:2 dan bila untuk okupasi, enclave dan pendudukan lahan oleh masyarakat tanpa izin Menteri Kehutanan serta proyek strategis Pemerintah maka rasionya adalah 1:3. Ketentuan-ketentuan ini merupakan faktor pembatas yang sangat mempengaruhi kinerja pembangunan di luar sektor kehutanan dan berlawanan dengan semangat UUD 1945 pasal 33 bahwa seluruh hasil bumi baik itu tanah dan air dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat

di kawasan hutan sehingga dapat meningkatkan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum, dibutuhkan lahan pengganti mencapai 2 sampai 3 kali luas kawasan hutan yang dimohonkan untuk ditukar. Bila areal itu tidak tersedia maka akankah ijin tersebut tidak terbit? Hal ini merupakan faktor pokok yang memicu tingginya tekanan masyarakat dan sektor lainnya pada kawasan hutan sehingga terjadi penyorobotan lahan hutan untuk pembangunan pertanian, pertambangan dan sebagainya.

Perlu dibuat rancangan peruntukan lahan yang sesuai kondisi fisik yang sebenarnya di lapangan serta mengidentifikasi potensi sumberdaya alam yang terkandung serta sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat dibatasi kawasan hutan tetap yang tidak didasarkan oleh skor lahan dan kandungan nilai tegakan semata. Karena ketika yang dilihat adalah skor lahan saja yang dipengaruhi oleh ciri topografi, ketinggian tempat, jenis tanah dan curah hujan tidak mewakili kondisi sosial ekonomi dan belum mempertimbangkan potensi-potensi lain selain hutan serta tidak dibandingkan antara nilai hutan ketika dipertahankan sebagai hutan dan bila hutan itu dibuka dan dimanfaatkan sumberdaya yang terkandung di dalamnya secara kontinyu.

5.1.3.2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 66/Menhut-II/2006 Perubahan yang terjadi dengan terbitnya peraturan Menteri kehutanan ini

hanya pada pasal 1 dengan menambah konsideran bahwa untuk tukar menukar kawasan di hutan bakau/mangrove, bila tidak tersedia lahan pengganti maka dapat digantikan dengan lahan kering lainnya yang bukan bakau/mangrove setelah dibuktikan dengan pengujian dan penelitian. Keberadaan lahan pengganti mangrove tidak dijelaskan apakah sama dengan ketentuan lahan kering sebagaimana rasio antara kawasan yang dimohonkan dengan lahan pengganti atau tidak namun bila hal tersebut untuk kepentingan umum seperti pembangunan pelabuhan laut atau sarana eksploitasi pasir dan tambak maka perlu dibangun ekosistem buatan sehingga ekosistem pantai dan mangrove yang telah ada tidak terganggu secara permanen akibat kegiatan ijin tersebut.

5.1.3.3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26/Menhut-II/2007 Dalam peraturan Menteri Kehutanan ini melakukan perubahan ketiga atas

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yakni pada Pasal 1 dengan merubah prinsip tukar menukar kawasan yang sebelumnya tidak diperbolehkan HPK diubah menjadi HP, maka dengan peraturan ini memperbolehkan HPK dapat dijadikan HP pada proses tukar menukar kawasan. Hal ini merupakan suatu kebijakan positif karena sebagaian besar APL telah diubah menjadi pemukiman dan pertanian lahan kering namun untuk perkebunan, pertambangan dan sebagainya masih terdapat dalam kawasan hutan dan HPK dinilai layak untuk ditukar menjadi HP sebagai kompensasi dari HP yang dilepas.

Kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pembangunan sarana prasarana terus meningkat seiring dengan upaya pemekaran wilayah administrasi sehingga tekanan pada kawasan hutan selanjutnya akan meningkat. Kebijakan untuk mengatur kembali rentang kendali administrasi serta tekanan pendirian daerah otonom mengakibatkan tingginya permintaan lahan dan sumberdaya hutan untuk penyediaan lahan serta pemenuhan bahan baku industri.

Dalam peraturan Menteri Kehutanan ini juga telah mengedepankan kriteria lahan yang diperbolehkan untuk proses ijin tukar menukar kawasan hutan. Areal yang diperbolehkan untuk ditukar adalah areal tidak berhutan, tanah kosong, padang alang-alang dan semak belukar serta tidak dibebani izin. Untuk lahan pengganti yang berasal dari HPK maka sebelum dilakukan tukar menukar kawasan maka sebelumnya melakukan proses pelepasan kawasan dari HPK menjadi APL. Selain itu diatur juga bahwa untuk areal pengganti harus dihapus kepemilikannya dari Badan Pertanahan Nasional.

Batasan lain yang harus dijadikan referensi adalah rasio tukar menukar kawasan. Bila tukar menukar kawasan untuk pembangunan kepentingan umum maka 1:1, namun jika untuk kepentingan strategis bagi kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum maka 1:2. Jika untuk okupasi maka 1:1 dan jika untuk budidaya pertanian dan pemekaran wilayah pada provinsi yang luas hutannya lebih dari 50% maka 1:1. Namun bila luas hutan suatu provinsi antara

30% - 50% maka 1:2 dan jika luas hutan suatu provinsi kurang dari 30% maka 1:3.

Secara umum proses perijinan sama sehingga peran aktor sama. Namun terjadi perubahan birokrasi karena pada era ini telah terbit UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sehingga untuk pertimbangan teknis lokasi dapat diurus oleh intansi otonom yang menangani kehutanan. Aktor yang berperan tentunya adalah aktor daerah dengan memperhatikan batasan-batasan yang diatur dalam peraturan ini. Bila hal tersebut dipenuhi maka eselon 1 Kemenhut tidak memiliki alasan yang cukup untuk menolak ijin tersebut. Peran yang tinggi serta tekanan

untuk meningkatkan PAD dan penyediaan areal untuk pembangunan/pemekaran wilayah mengakibatkan aktor di daerah melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan memberikan ijin pemekaran sebelum ijin tukar menukar kawasan tersebut ada.

5.1.3.4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2007

Peraturan ini merupakan perubahan keempat atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yang menegaskan pengertian umum terbatas yang berdampak pada peningkatan ekonomi nasional dan kesejahteraan umum seperti jalan umum, saluran air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, fasilitas pemakaman, fasilitas keselamatan umum, transmigrasi serta penempatan korban bencana alam yang tujuan penggunaannya tidak untuk mencari keuntungan.

5.1.3.4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38/Menhut-II/2008 Peraturan ini merupakan perubahan kelima atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa pemenuhan terhadap kewajiban tukar menukar kawasan hutan memerlukan proses sementara terdapat kondisi-kondisi tertentu terhadap kawasan yang dimohonkan sehingga diberikan dispensasi penggunaan kawasan tersebut untuk masa paling lama 2 tahun.

Peraturan ini akan berdampak positif bila pengelola lahan atau instansi pemerintahan atau pemerintah setempat mematuhi hal-hal yang menjadi

kewajiban berikutnya. Namun bila ini terjadi pada masa transisi pemerintahan yang sampai kini belum melihat suatu program pemerintahan sebagai program yang berkelanjutan maka peraturan ini justru akan membiarkan kawasan hutan berkurang dan hilang potensinya begitu saja.

5.1.3.5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 16/Menhut-II/2009

Peraturan ini merupakan perubahan ke-6 atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dengan pertimbangan bahwa masih terdapat beberapa kegiatan penggunaan hutan yang belum terakomodir dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 dan perubahannya. Salah satunya adalah fasilitas pendidikan.

5.1.4 Ijin Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

5.1.4.1 Sebelum Terbitnya PP. Nomor 10 Tahun 2010

Perubahan fungsi kawasan hutan adalah merubah sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam suatu kawasan hutan. Dari pengertian ini dipahami bahwa kawasan hutan dapat diubah pada bagian-bagian tertentu maupun secara keseluruhan dalam suatu wilayah SubDAS, DAS atau pulau namun terbatas pada fungsi tertentu. Tujuan dari perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 70 Tahun 2001 bahwa menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional, serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Tujuan lainnya adalah terwujudnya kepastian hukum atas kawasan hutan, serta optimalisasi pemanfaatan lahan/hutan dalam rangka pembangunan nasional, sektoral dan daerah.

Perubahan fungsi kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila kawasan yang akan diubah fungsi memenuhi kriteria dan standar penetapan fungsi hutannya, fungsi kawasan hutan yang akan diubah fungsinya harus didasarkan atas Peta Penunjukan Kawasan Hutan (dan Perairan) Provinsi yang ditetapkan oleh Menteri serta perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan hasil penelitian

yang dilaksanakan oleh Tim Terpadu. Adapun tata cara perubahan fungsi sebagaimana dijelaskan dalam PP ini disajikan pada gambar 11.

PEMKAB DPRD PEMPROV

DPRD

MENHUT BAPLAN

KAB PROV

Diteliti/ siapkan

SK

SK Alih Fungsi

Gambar 11. Prosedur ijin alih fungsi kawasan hutan sebelum PP No. 10 Tahun 2010

Dari gambar di atas terlihat bahwa pengajuan permohonan perubahan fungsi hutan di level pemerintah kabupaten dan provinsi merupakan hasil pembahasan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Peran stakeholder di daerah sangat kuat dan daerah yang menentukan sendiri pola manajemen lahan dan hutan. Ketika permohonan tersebut disampaikan ke Kemenhut dan diteruskan ke Tim Kaji dalam hal ini Badan Planologi Kehutanan, permohonan tersebut hanya mengalami beberapa tinjauan dari segi kepastian fungsi kawasan dan tidak dilakukan evaluasi makna alih fungsi tersebut. Hal ini dikarenakan pada saat itu, otonomi daerah belum ada sehingga peran Kemenhut di daerah masih sangat kuat sehingga pertimbangan teknis instansi kehutanan kepada pemerintah daerah dan DPRD merupakan kajian teknis kehutanan yang kemudian disesuaikan dengan kepentingan politik ekonomi daerah.

5.1.4.2 Setelah Terbitnya PP. No. 10 Tahun 2010

Menurut PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok

hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan fungsi kawasan hutan dapat berlangsung pada kawasan hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi yang dapat dilakukan secara parsial atau dalam suatu wilayah provinsi. Namun perubahan kawasan hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat dilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%. Perubahan fungsi kawasan hutan meliputi:

 kawasan hutan konservasi menjadi kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi; dapat dilakukan ketika kawasan ini tidak memenuhi kriteria

sebagai kawasan konservasi dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung atau hutan produksi. Selain itu ada beberapa hal yang memungkinkan yakni (a) sudah terjadi perubahan kondisi biofisik kawasan hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau manusia; (b) diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan hutan; atau (c) cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang tidak mendukung kelangsungan proses ekologi secara alami.

 kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan produksi; dapat dilakukan ketika kawasan ini tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung dan memenuhi kriteria sebagai hutan konservasi

atau hutan produksi.  kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan lindung.  kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa,taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;  kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;

 kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru;  kawasan taman hutan raya menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau taman buru;  kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman buru;  kawasan taman buru menjadi kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau taman wisata alam.

 hutan produksi terbatas menjadi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi;  hutan produksi tetap menjadi hutan produksi terbatas dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi;  hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi terbatas dan/atau hutan produksi tetap.

Adapun prosedur perijinan perubahan fungsi kawasan hutan disajikan pada Gambar 12.

PEMKAB PEMPROV

MENHUT

Tim Terpadu DPR

Usul Usul

Hasil Telaah

Persetujuan SK Alih Fungsi diterima

Gambar 12. Prosedur Ijin Alih Fungsi Kawasan Hutan Berdasarkan PP. No. 10

Tahun 2010

Berdasarkan gambar di atas, PP Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan bahwa kewenangan menerbitkan keputusan alih fungsi kawasan hutan merupakan kewenangan Menteri Kehutanan setelah mendapat persetujuan DPR sesuai Pasal

31 dan Pasal 32. Namun pada parkteknya birokrasi yang panjang dan melibatkan

itu kabupaten maupun provinsi. Hal ini dapat terjadi karena Bupati dan Gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan ijin perkebunan dan pertambangan yang mungkin saja berada dalam kawasan hutan tetap.

Pelanggaran kehutanan ini terjadi karena ketidakmampuan untuk menerapkan PP ini dalam waktu singkat. Suatu perijinan diajukan ketika melihat gejolak pasar atas komoditi tertentu dan cenderung pendek masa tersebut sedangkan perijinan untuk merubah fungsi terlalu panjang sehingga terkadang hal ini diabaikan. Peran aktor berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2010 adalah pemerintah kabupaten atau provinsi merekomendasikan atau mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan karena kondisi hutan di lapangan telah menjadi obyek perekonomian masyarakat dan susah untuk dipertahankan fungsinya. Hal ini tentunya telah didasarkan oleh tinjauan-tinjauan berbagai stakeholder di daerah yang selanjutnya disampaikan ke Menteri kehutanan untuk ditindaklanjuti. Menteri kehutanan membentuk tim terpadu untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas usulan tersebut dan selanjutnya dibahas bersama dengan DPR. Selanjutnya DPR berhak untuk memberi masukan atas usulan tersebut dan dilanjutkan dengan keputusan. Setiap aktor di level pemerintahan akan bernegosiasi namun pelaku perubahan fisik lapangan terkadang tidak dapat menunggu panjangnya garis birokasi dan siapa yang berwenang. Sehingga diprediksikan batas fungsi kawasan bukan lagi pembatas untuk pengembangan kegiatan di luar kehutanan karena lamanya perijinan yang dilakukan

dan sempitnya waktu untuk mempersiapkan investasi. Adapun peraturan teknis diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.