Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan

5.5 Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan

5.5.1 Organisasi bentang alam

Penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai peruntukan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan sektor bukan kehutanan seperti pemukiman (transmigrasi), tambang dan kebun. Perubahan peruntukan lahan dapat dilakukan dengan prosedur pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan.

Luas kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 sebagaimana tabel 14. Luas hutan negara mencapai 2.179.440 hektar atau 43% dari luas daratan provinsi Jambi. Bila diasumsikan bahwa luas kawasan hutan sifatnya statis dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan stakeholder lain untuk memenuhi kebutuhan lahan dan potensi sumberdaya alam maka luas kawasan hutan dapat diproyeksikan tetap, yakni luas kawasan hutan konservasi tetap 676.120 hektar, luas kawasan hutan lindung 191.130 hektar, luas kawasan hutan produksi 1.312.190 hektar dan kawasan areal penggunaan lain 2.920.560 hektar (gambar 21).

LUAS DARATAN JAMBI

KAWASAN HUTAN

BUKAN KAWASAN HUTAN

TETAP

TIDAK TETAP

APL

H NH

KONSERVASI LINDUNG

COMMUNITY LOGGING

LADANG PEMUKIMAN

NH : TIDAK BERTUTUPAN VEGETASI HUTAN H : BERTUTUPAN VEGETASI HUTAN

: TERDIRI ATAS

: STOCK

Gambar 21. Organogram bentang alam provinsi Jambi

Luas lahan pertanian lebih besar dibandingkan dengan luas kawasan hutan tetap. Lebih dari 50% luas daratan dialokasikan untuk usaha pertanian. 17% dari luas daratan dipertahankan sebagai kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung. Interaksi stakeholder pada lahan ini akan semakin kecil terbatas pada pemanfaatan jasa lingkungan dan bukan produksi hasil hutan kayu (Tabel 18).

Tabel 18. Luas Hutan Menurut Paduserasi dan TGHK Luas hutan menurut paduserasi dan TGHK

Luas (Ha)

1. Suaka alam 30.400

a. Cagar Alam 3.940

b. Suaka Margasatwa -

c. Cagar Biosfer 26.460

2. Hutan pelestarian alam 648.720

a. Taman Nasional 608.630

b. Taman Hutan Raya 36.660

c. Taman Wisata 430

d. Hutan Diklat 3000

3. Hutan Lindung 191.130

a. Hutan lindung 105.550

b. Hutan Lindung Gambut 85.630

4. Hutan Produksi

b. HP tetap 938.000

c. HP pola partisipasi masyarakat 30.490 Luas kawasan hutan tetap

2.179.440 Kawasan pertanian dan non pertanian

5.100.000 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2009)

Luas Daratan

5.5.2 Identifikasi stakeholder kunci

Kawasan hutan mengandung sumberdaya lahan dan sumberdaya alam lainnya yang tinggi. Potensi sumberdaya hutan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan daerah dan negara. Kebutuhan lahan untuk kebun, tambang dan permukiman terus meningkat mengikuti laju permintaan pasar dan kepadatan penduduk. Kebutuhan akan kayu terus meningkat sehingga memerlukan daya dukung hutan alam yang tinggi. Akibatnya terjadi penurunan potensi. Untuk itu dibangun hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal demikian mengakibatkan hutan mengalami perubahan fungsi dan tutupan vegetasi.

Perubahan tutupan lahan vegetasi dan penggunaan kawasan hutan mengakibatkan simpanan karbon yang terdapat di hutan mengalami perubahan baik positif maupun negatif. Perubahan positif bila HTI yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan kayu industri pada lahan yang tidak bervegetasi atau semak belukar dan tanah kosong. Kegiatan reboisasi dapat meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan. Dampak negatif yakni perubahan hutan menjadi kebun, akan mengakibatkan menurunnya serapan karbon di awal waktu pembangunan kebun namun setelah tanaman perkebunan tumbuh maka serapan karbon akan meningkat. Pembukaan lahan untuk eksplorasi dan eksploitasi tambang akan menurunkan dan bahkan menghilangkan serapan dan simpanan karbon, dan berlangsung dalam waktu yang lama.

Perubahan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sangat bergantung pada peran stakeholder. Peran stakeholder didasarkan pada motivasi dan tujuan kebijakan manajemen hutan. Stakeholder yang mempengaruhi manajemen hutan di Jambi dapat terdiri dari sektor pemerintah baik itu pemerintah pusat,

pemerintah provinsi dan kabupaten. Stakeholder lainnya dapat berupa LSM (lembaga swadaya masyarakat), akademisi dan pengembang proyek (Tabel 19). Tabel 19. Hubungan antar stakeholder dalam manajemen bentang lahan

Stakeholder (Provinsi Jambi)

Warsi Walhi UNJA D is

Dishut Bappeda

Tabel di atas menjelaskan bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (Dishut) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi berhubungan langsung dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), BPN (Badan Pertanahan Negara Wilayah Jambi), Dinas Perkebunan Provinsi Jambi (Disbun), ESDM (Dinas Pertambangan, Energi dan Sumberdaya Mineral) dan BLHD (Badan Lingkungan Hidup Daerah) serta Universitas Jambi (UNJA). Namun interaksi balik (loop negatif) sebagai kontrol terhadap manajemen bentang alam akan dikendalikan oleh BLHD, Warsi (Warung Konservasi) dan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup).

Interaksi antar stakeholder dipengaruhi oleh tujuan yang ingin dicapai. Interaksi antara Dishut dengan BPN terletak pada penetapan HGU atas sebidang lahan dari kawasan hutan yang dilepas menjadi bukan kawasan hutan atau

kawasan hutan tetap. Interaksi Walhi dan Warsi terhadap Dishut yakni kontrol terhadap kebijakan pelepasan, pinjam pakai kawasan serta konversi fungsi kawasan hutan dengan pertimbangan daya dukung dan fenomena konservasi di lapangan (Tabel 20). Tabel 20. Hubungan stakeholder dengan variabel flow

Variabel Flow

Alokasi Alokasi Alokasi Alokasi Luas

Alokasi Alokasi Luas

Pemulihan

hutan dengan Luas HP Luas HP HPH ke

HP/HL ke

Tabel di atas menjelaskan bahwa ketertarikan hubungan antar stakeholder bergantung pada aliran informasi/materi (flow). Dinas Kehutanan memiliki ketertarikan lebih pada alokasi lahan kawasan hutan untuk dikelola melalui HPH, HTI dan melakukan rekondisi dengan reboisasi. Namun kewenangan dinas kehutanan juga untuk menerbitkan ijin prinsip dalam pertimbangan perijinan tambang, kebun dan transmigrasi. Tentunya Dinas Kehutanan akan berinteraksi dengan stakeholder lain. Dinas ESDM akan berinteraksi dengan Dinas Kehutanan terkait pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Dinas Perkebunan akan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Badan pertanahan Nasional untuk alokasi lahan serta status lahan. Walhi dan UNJA mempunyai ketertarikan untuk memberikan masukan dan kritik atas kebijakan-kebijakan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dari stakeholder yang berwenang.

Untuk memodelkan interaksi antar stakeholder dalam menentukan kebijakan manajemen bentang alam maka dilakukan pembobotan pengaruh stakeholder. Bobot yang diberikan didasarkan pada tinjauan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana diurai pada BAB sebelumnya. Semakin tinggi bobot suatu stakeholder maka semakin tinggi peran stakeholder tersebut dalam menentukan pola manajemen bentang alam (Tabel 22). Dalam model ini, interaksi aktor hanya dibatasi pada 2 (dua) aktivitas pemanfaatan lahan yakni alokasi lahan bekas HPH untuk pembangunan HTI dan pengendalian perambahan kawasan hutan konservasi oleh masyarakat untuk menanam kopi. Tabel 21. Bobot hubungan antar stakeholder dalam mempengaruhi flow

Variabel Flow

Alokasi Pengendalian Luas HPH

Alokasi

Alokasi Luas

Alokasi Luas

Luas HPH Perambahan (P S

HP/HL

HP ke kebun

ke Transmigrasi ro TNKS v ta

ke HTI

ke Tambang

Tabel di atas menjelaskan bahwa stakeholder yang sangat memainkan peran manajemen bentang alam adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Ijin usaha pelepasan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang, tukar menukar kawasan hutan untuk pemukiman, transmigrasi dan lain-lain serta alih fungsi kawasan hutan berada pada kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Tentunya semakin tinggi bobot stakeholder tersebut menunjukkan bahwa stakeholder tersebut sebagai pengambil keputusan.

5.5.3 Dinamika Perubahan Kawasan Hutan dan Bentang Alam Jambi

Luas daratan provinsi Jambi mencapai 5.100.000 hektar yang terdiri atas kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Dinamika perubahan bentang alam di kawasan hutan mencakup semua fungsi kawasan hutan. Kebijakan pelepasan

kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, tukar menukar kawasan, pinjam pakai kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan (gambar 22).

5: Luas…atanJambi 1:

1: LuasHKonserv asi

2: LuasHL

3: Luas Hutan Tetap

Y ears

8:10 AM Wed, Dec 15, 2010

Gambar 22. Dinamika perubahan bentang alam Jambi

Gambar di atas menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi luas hutan tetap (garis bernotasi 3). Fluktuasi disebabkan oleh terjadinya alokasi lahan untuk usaha di sektor kehutanan maupun bukan sektor kehutanan. Selama 40 tahun, simulasi menunjukkan bahwa luas hutan tetap menurun dari 2.179.440 hektar atau 42% dari luas daratan Jambi menjadi 594.495 hektar atau berkurang menjadi 12% dari luas daratan Jambi.

Kebijakan mengalokasikan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertambangan, perkebunan dan transmigrasi merupakan faktor penyebab berubahnya peruntukan lahan. Sejak awal periode tahun 1980, intensitas pengelolaan hutan berbasis kayu telah gencar dilakukan. Namun, di tahun 2010 tersisa 2 (dua) perusahaan pemegang ijin HPH dan hanya 1 (satu) yang masih beroperasi. Selain itu, pertumbuhan perkebunan baik legal maupun illegal terus meningkat sehingga terjadi koreksi luas kawasan hutan.

Tekanan masyarakat sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat ikut mempengaruhi terkoreksinya luas taman nasional, meski secara de jure status kawasan tersebut masih taman nasional namun secara de facto sebagian dari

kawasan tersebut dikelola oleh masyarakat dalam bentuk kebun kopi dan permukiman (gambar 23).

4: LuasTambang 5: LuasTrans 1:

Y ears

8:42 AM Sat, Jan 01, 2011

Gambar 23. Dinamika Luas Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan

Gambar di atas menunjukkan bahwa trend ijin tambang akan terus bertambah, demikian juga dengan ijin kebun, HTI dan perambahan taman nasional. Laju kerusakan taman nasional oleh masyarakat untuk membuat kebun kopi, dianggap sebagai ancaman keberadaan taman nasional. Himbauan Bupati Kabupaten Merangin melalui Surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin nomor 522/710.A/DISBUNHUT/2010 yang isinya meminta kepada Petani-petani kopi di Sungai Tebal Kecamatan Lembah Masurai Kabupaten Merangin untuk segera meninggalkan kebun kebun kopi mereka paling lambat tanggal

30 September 2010. Luas HPH menunjukkan trend yang terus menurun, disebabkan oleh menurunnya potensi hutan alam dan tekanan masyarakat. Masyarakat sekitar areal konsesi sering melakukan pungutan-pungutan sebagai bentuk kompensasi serta areal sisa tebangan sering dijadikan sebagai kebun oleh masyarakat. Tingginya nilai produksi dan pajak menyebabkan perusahaan tidak mampu melanjutkan bisnis pengusahaan hasil hutan kayu.

5.5.4 Perubahan Cadangan Karbon

Dinamika penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan mengakibatkan berubahnya cadangan karbon di hutan dalam menyerap CO 2 dan mengubahnya melalui proses fotosintesis menjadi biomasa. Perubahan cadangan karbon diduga dengan menggunakan nilai cadangan karbon yang telah ditemukan oleh beberapa peneliti seperti pada Tabel 5.

4: C stock Hutan Tetap 1:

Y ears

8:46 AM Sat, Jan 01, 2011

Gambar 24. Perubahan Cadangan Karbon

Gambar di atas menunjukkan bahwa cadangan karbon secara keseluruhan mengalami penurunan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan oleh pada setiap fungsi hutan, cadangan karbon yang ada mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan oleh pembukaan luas hutan primer untuk dimanfaatkan hasil hutan kayu untuk HPH, alokasi lahan untuk HTI, alokasi lahan untuk transmigrasi dan kebun. Cadangan karbon di hutan lindung mengalami penurunan, disebabkan oleh pembukaan lahan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang. Hutan konservasi mengalami penurunan cadangan karbon karena tekanan masyarakat untuk memperoleh lahan usaha, seperti di kabupaten Merangin oleh petani kopi.

Perubahan luas hutan tetap menjadi bukan kawasan hutan disebut sebagai deforestasi. Perubahan luas hutan mengakibatkan penurunan simpanan karbon yang disebut degradasi hutan. Laju deforestasi akibat alokasi kawasan hutan untuk

HPH, kebun, tambang dan transmigrasi di provinsi Jambi sebesar 45.571 ha/tahun (Tabel 22). Tabel 22. Laju deforestasi hutan tetap provinsi Jambi

Kawasan Hutan

Luas Deforestasi

Laju Deforestasi

(%/tahun) Konservasi

(Ha/Tahun)

33 Rata-rata total

Tabel di atas menunjukkan bahwa laju deforestasi terbesar di hutan produksi mencapai 79% dari laju deforestasi di hutan Jambi. Tingginya laju deforestasi disebabkan oleh tingginya peruntukan lahan untuk HPH, HTI dan kebun serta permintaan lahan untuk permukiman.

Tingginya laju deforestasi menyebabkan penurunan areal bertutupan hutan. Penurunan ini disebabkan oleh pembukaan lahan yang sebelumnya diasumsikan bertutupan hutan dan kemudian dibuka untuk pembangunan kebun, tambang dan HTI serta permukiman. Adapun laju degradasi simpanan karbon di hutan disajikan pada tabel berikut. Tabel 23. Laju Degradasi simpanan karbon hutan

Kawasan Hutan

Perubahan Simpanan Karbon

Laju Degradasi

(%/tahun) Konservasi

(MT/Tahun)

33 Rata-rata total

Tabel di atas menunjukkan bahwa kehilangan simpanan karbon terbesar terjadi di hutan produksi. 82% per tahun, simpanan karbon hutan produksi diambil dan diubah menjadi bentuk lain. Kehilangan simpanan karbon di atas menunjukkan berkurangnya simpanan karbon hutan alam yang belum mempertimbangkan dampak konversi menjadi bentuk penggunaan lahan lain seperti HTI dan kebun serta bentuk perbaikan seperti kegiatan reboisasi. Bila hal

tersebut terjadi maka pengembalian simpanan karbon yang terjadi pada suatu areal disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Simpanan Karbon Akibat Konversi Hutan Alam

Simpanan Karbon Pada Berbagai Penggunaan Lahan Tahun

HTI

Kebun Sawit 1 0 0 0 0 2 991.188

Kebun Kopi

Tabel di atas menunjukkan bahwa penanaman HTI mampu mengganti simpanan karbon hutan alam yang dikonversi. Mindawati et al (2010) menyebutkan bahwa simpanan karbon di hutan tanaman industri Eucaliptus urograndis sebesar 157 ton/ha. Bila konversi hutan alam dilakukan dengan tebang habis dan kemudian menanam E. urograndis maka pengembalian simpanan karbon akan sebesar 157 ton/ha atau terjadi penurunan sebanyak 150 ton/ha dari simpanan karbon hutan alam. Penurunan ini untuk memacu serapan pada tegakan muda.

Perambahan hutan alam di TNKS untuk menanam kebun kopi juga mampu meningkatkan serapan karbon meski tidak sebesar nilai karbon pada awalnya. Penanaman kebun sawit mampu memberikan sumbangan simpanan karbon sebesar 16 ton/ha (Yulianti 2009). Bila dilihat dari konsep serapan karbon, konversi hutan alam ke kebun atau HTI mampu memberikan serapan baru yang cenderung meningkat bila dibandingkan hutan tersebut dibiarkan. Hal ini karena hutan alam yang telah mencapai pertumbuhan klimaks nilai serapannya akan mendekati titik nol (balanced) atau NPP sama dengan nol.

5.5.5 Pengaruh Aktor Terhadap Cadangan Karbon BAU

Perilaku aktor dapat disimulasikan terhadap 3 (tiga) bentuk kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yakni kegiatan alokasi lahan bekas tebangan HPH untuk HTI, perbaikan lahan kritis melalui reboisasi dan upaya untuk menghentikan laju perambahan kawasan hutan konservasi untuk kebun kopi masyarakat.

Perilaku aktor terhadap alokasi lahan bekas HPH untuk HTI dipengaruhi oleh perilaku aktor bisnis dan kebijakan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Perilaku ini selanjutnya disimbolkan dalam nilai kuantitatif (Tabel 25).

Tabel 25. Kuantifikasi Perilaku Aktor terhadap Alokasi Lahan Bekas HPH untuk HTI

Makna Dinas kehutanan

Aktor

Pelaku Bisnis

HTI

Dinas

1 0 Bila kebijakan ada, namun kehutanan

tidak ada interest dari pelaku bisnis maka kegiatan HTI tidak ada

Pelaku

kebijakan Dinas Bisnis

0 1 Bila

Kehutanan tidak ada, HTI

interest pelaku bisnis tinggi maka kegiatan ada

Tabel di atas menunjukkan bahwa peran pelaku bisnis sangat besar dan dapat merubah kebijakan di Dinas Kehutanan. Yang dimaksud dengan kebijakan adalah tidak adanya keinginan untuk mengalokasikan lahan bekas tebangan HPH untuk HTI. Pelaku bisnis dapat menempuh jalur lain untuk intervensi kebijakan Dinas Kehutanan terhadap kegiatan alokasi HPH untuk HTI (Gambar 25).

hasil interaksi HTI: 1- 2- 3- 4- 1:

Y ears

9:07 AM Sat, Jan 01, 2011

Gambar 25. Perubahan cadangan karbon di hutan produksi akibat perilaku aktor

dalam alokasi lahan bekas tebangan HPH untuk HTI

Gambar di atas menunjukkan bahwa bila interaksi stakeholder positif terhadap konversi dan perbaikan simpanan karbon di hutan. Interaksi negatif atau tidak terlaksananya konversi hutan alam ke HTI maka luas hutan akan tetap atau yang telah terdegradasi akan dipulihkan secara alami dan nilai serapan akan semakin rendah.

Perilaku aktor terhadap pencegahan perusakan taman nasional atau mengeluarkan masyarakat petani kopi dari taman nasional. Aktor yang sangat berperan tentunya ada di Dinas Kehutanan. Surat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin nomor 522/710.A/DISBUNHUT/2010 yang isinya meminta kepada Petani-petani kopi di Sungai Tebal Kecamatan Lembah Masurai Kabupaten untuk segera meninggalkan kebun kebun kopi mereka paling lambat tanggal 30 September 2010. Tabel 26. Kuantifikasi Perilaku Aktor terhadap perambahan TNKS

Makna

Dinas kehutanan

1 Bila kebijakan untuk menghentikan perambahan tersebut dijalankan

0 Kebijakan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin tidak dapat dilaksanakan

Tabel di atas menunjukkan bahwa peran Dinas Kehutanan sangat besar

Bengkulu, Lampung dan Palembang. Diperkirakan bahwa 10 tahun yang lalu, jumlah petani yang masuk ke sekitar TNKS hanya 6 kepala keluarga (KK) dan di tahun 2010 telah mencapai 3000 KK. Bila luas yang dikelola oleh 1 (satu) KK adalah 2 hektar maka di tahun 2010 telah membuka 6000 hektar hutan TNKS dan dapat menurunkan cadangan karbon di kawasan taman nasional.

HAsilKebijakanPerambahanTNKS: 1- 2- 1:

Y ears

1:34 PM Sun, Jan 02, 2011

Gambar 26. Perilaku Dishut Terhadap Perambahan TNKS

Gambar di atas menunjukkan bahwa ketika Dishut tidak ada tindakan untuk mengendalikan laju perambahan TNKS, maka perambahan akan terus ada sebagaimana ditunjukkan dengan garis bernotasi 2. Namun, bila himbauan Bupati Merangin dilaksanakan maka laju perambahan dapat dikendalikan ke titik nol sebagaimana ditunjukkan dengan garis bernotasi 1.

5.5.6 Simulasi Skenario REDD+

Skenario REDD+ yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah mengurangi alokasi kawasan hutan tetap untuk pembangunan sektor kehutanan dan bukan sektor kehutanan yang lebih mengarah pada pembukaan luas bidang dasar hutan. Kegiatan dimaksud seperti alokasi kawasan hutan produksi untuk HPH, HTI dan kebun. Alih fungsi kawasan hutan lindung dan hutan konservasi menjadi hutan produksi dan hutan produksi yang dikonversi.

Intensitas pengurangan laju perubahan luas dan status kawasan hutan dilakukan pada 3 (tiga) level yakni 30%, 50% dan 70%. Setiap level akan mempengaruhi luas dan simpanan karbon yang ada pada setiap fungsi hutan.

Tabel 27. Hasil simulasi penurunan laju deforestasi Kawasan Hutan

BAU

SKENARIO REDD

13.303 9.025 Rata-rata total

Berdasarkan tabel di atas, bila diterapkan skenario REDD+ untuk mengurangi alokasi lahan untuk pembangunan sektor kehutanan dan sektor non-kehutanan sebesar 30% dari besarnya alokasi lahan hutan pada skema BAU dapat menurunkan laju deforestasi 9% atau 41.256 ha/tahun. Bila skenario REDD+ sebesar 50% mampu menurunkan laju deforestasi sebesar 17% atau 37.991 ha/tahun dan bila skenario REDD+ sebesar 70% mampu menurunkan laju deforestasi sebesar 43% atau 25.997 ha/tahun.

Penurunan laju deforestasi sangat berpengaruh pada degradasi yang terjadi. Dari hasil simulasi, terdapat 15.859 Mt/ha akan mengalami kehilangan simpanan karbon. Kehilangan simpanan karbon dalam penelitian ini, tidak mempertimbangkan faktor pertumbuhan (growth) yang terjadi pada setiap fungsi hutan. IPCC (2006) menyebutkan bahwa growth hutan alam tropika mencapai

4 ton/ha. Tabel 28. Hasil Simulasi Penurunan Laju Degradasi (Mt)

Kawasan Hutan

BAU

SKENARIO REDD

3.786 2.507 Rata-rata total

Tabel di atas menunjukkan bahwa skenario REDD+ sebesar 30% mampu mengurangi hilangnya simpanan karbon atau degradasi hutan menjadi 14.357 Mt/tahun. Bila skenario REDD+ sebesar 50% dapat menurunkan degradasi hutan menjadi 13.221 Mt/tahun dan bila skenario REDD+ sebesar 70% dapat menurunkan laju degradasi menjadi 9.045 Mt/tahun.

Ahli ekonomi ekologi menyarankan perlu adanya metode CSE (Compensated Succesful Efforts) sebagai input dalam perhitungan kompensasi atas usaha menurunkan emisi dari deforestasi. Pendekatan CSE berbeda dalam melihat hubungan pendugaan usaha menghindari deforestasi. Pemberian kompensasi kepada negara berkembang atas usahanya untuk menghindari terjadinya deforestasi dianggap sebagai metode yang tepat dalam menurunkan laju deforestasi (Tacconi 2008).

Perhitungan biaya dan upah serta harga nilai per ton CO 2 digunakan standar harga sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (Tabel 29).

Tabel 29. Standar biaya dan upah serta nilai CO 2

Biaya, upah dan harga

Standar

Standar Carbon

Sistem dan Voluntary

CCB

Fix

Standar Plan Carbon

(US$)

Vivo Standard (US$)

(AFOLU) (US$) Jangka waktu sertifikasi

2-5 tahun 5 tahun Validasi

5 tahun

3-5 tahun

Upah sertifikat CO 2 -

0.68 per VER

0.3 per VER 0.04 per VER

terjual Harga CO 2 sertifikat

Setiap standar yang terdapat pada tabel di atas, memiliki tujuan, metode dan ukuran transparansi dan permanen yang berbeda. Selain itu, biaya transaksi yang timbul akibat proyek pada setiap standar berbeda. Secara umum, standar yang dapat memberikan keuntungan maksimum adalah voluntary carbon standard AFOLU (VCS AFOLU).

Penentuan nilai karbon yang dijual didasarkan pada penetapan REL (Reference of Emission Level) yang disepakati. Kesepakatan ini disesuaikan

sama yakni 20% dari rata-rata kehilangan simpanan karbon di hutan selama 10 tahun terakhir. Untuk menjaga permanen nilai karbon dan terhindar dari kebocoran akibat kegiatan pembangunan, maka ditetapkan 10% dari REL sebagai faktor koreksi yang disebut dengan DAF (Development Adjustment Factor), sehingga REL adalah rata-rata kehilangan simpanan karbon ditambah 10% dari rata-rata kehilangan tersebut.

6:43 AM Wed, Dec 08, 2010

Gambar 27. Nilai simpanan karbon pada setiap fungsi terhadap REL

Grafik di atas menggambarkan bahwa bila skenario REDD+ dijalankan income REDD+ akan menguntungkan di hutan konservasi dengan nilai korbanan yang lebih kecil. Namun untuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi akan positif dengan korbanan yang besar.

Diasumsikan bahwa lama proyek REDD adalah 5 tahun dengan harga C/ton adalah 5 US$ dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+ selama periode untuk standar CCB bila REDD+ 30% adalah -0.39 milyar US$, -0.03 milyar US$ untuk standar Carbon Fix dan -0.03 milyar US$ untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30% mencapai -0.04 milyar US$.

Tabel 30. Perbandingan income REDD pada berbagai skenario dan standar (x 1 M US$)

SKENARIO REDD+

Periode CCB

5 -0.42 -0.31

1.01 -0.78 -0.02 1.06 10 -0.56

0.55 -0.95 -0.49 0.58 15 -0.56

0.57 -0.94 -0.50 0.60 20 -0.55

0.61 -0.94 -0.49 0.64 25 -0.55

0.66 -0.94 -0.47 0.70 30 -0.54

0.66 -0.93 -0.43 0.70 35 -0.52

0.63 -0.91 -0.38 0.66 Rata- rata 5

tahun -0.42 -0.31

1.01 -0.78 -0.02 1.06

Dari tabel di atas, terlihat bahwa penerapan skema REDD+ sebesar 30% tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan REDD+ lebih dari 50%. Bila standar CCB (carbon, community and biodiversity) yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar -0,42 milyar US$ - 1,35 milyar US$. Standar Carbon Fix (CF) akan memberikan income REDD+ sebesar -0,68 milyar US$ - 0,93 milyar US$. Standar Plan Vivo (PV) akan memberikan income REDD+ sebesar -0,74 milyar US$ sampai dengan 1,01 milyar US$. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar -0,78 milyar US$ sampai dengan 1,06 milyar US$. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+ tertinggi adalah standar CCB.

Income REDD+ akan berbeda bila skenario REDD+ dilaksanakan pada intensitas berbeda di masing-masing fungsi. Income REDD+ akan positif bila penerapan skenario REDD+ pada semua fungsi hutan sebesar 70% namun bila pada intensitas berbeda pada berbagai fungsi maka hasilnya akan sangat bervariasi.

Tabel 31. Simulasi REDD+ pada kombinasi fungsi hutan (x 1 M US$) setiap periode

0.80 0.28 0.03 0.28 -0.46 0.23 2.63 HL

-2.26 -1.57 0.83 50%

30% -1.49 -0.87

-1.76 -1.07 1.32 HP

30% -1.73 -1.11

Tabel di atas menunjukkan bahwa bila hutan konservasi hanya diturunkan 30% maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif dengan hutan produksi sebesar 70% yakni sebesar 136 juta US$. Bila hutan lindung diturunkan sebesar 30% akan memberikan income REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan hutan produksi yang diturunkan sebesar 70%. Income REDD+ akan mencapai 830 juta US$. Bila hutan produksi akan diturunkan 30%, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70%. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70% di hutan konservasi dan hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 1,32 milyarUS$-2,63 milyar US$ setiap periode (5 tahun).

5.5.7 Uji Sensivitas Model

Sensivitas model dilakukan untuk melihat variabel yang sangat sensitif ketika skenario dinaikkan 1 taraf. Bila terdapat variabel yang tidak sensitif, tidak berarti variabel itu salah atau tidak mempengaruhi model. Namun variabel tersebut tidak menjadi bagian dari skenario.

Tabel 32. Uji Sensivitas VARIABEL

SKENARIO

Persen

Luas Persen Luas Hutan

Hutan Tetap

Berdasarkan Fungsi

S TS Luas Kawasan Hutan Konservasi

TS

√ Luas Kawasan Hutan Lindung

√ Luas Kawasan Hutan Produksi

√ ALokasi Luas Hutan untuk HPH

√ ALokasi Luas Hutan untuk HTI

√ ALokasi Luas Hutan untuk Kebun

√ Pinjam Pakai HL untuk Tambang

√ Perambahan HK

C Stock HK

C Stock HL

C Stock HP

C Stock HTI

C Stock HPH

C Stock Kebun

√ Biaya Transaksi

C Stock Kebun Kopi

√ Income REDD

√ Keterangan: S= sensitif, TS = tidak sensitif

Dari tabel di atas, terlihat bahwa semua variabel akan sangat sensitif ketika skenario dijalankan. Perubahan skenario sebesar akan berdampak pada setiap variable. Ini artinya semua variabel tersebut saling berhubungan membentuk suatu sistem yang utuh.

5.5.8. Keterbatasan Model

Terdapat beberapa keterbatasan model yang dibangun dalam menduga kenyataan di lapangan. Adapaun keterbatasan model tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ketersediaan data yang tidak kontinyu pada semua variabel mengakibatkan keterbatasan dalam melaksanakan simulasi berdasarkan tahun yang

93

sebenarnya. Hal ini mengakibatkan pendugaan dilakukan berdasarkan satuan tahun proyeksi.

b. Model tidak mempertimbangkan prosedur ijin sebagaimana dijelaskan pada bagian pertama hasil penelitian, namun model hanya menyediakan data proyeksi akibat dijalankan kebijakan.

c. Penentuan REL dianggap sama pada semua periode verifikasi dan validasi project REDD+, sehingga additionality yang timbul pada akhir periode tidak menjadi REL untuk project berikutnya.

d. Penggunaan bobot pada submodel interaksi aktor merupakan penyederhanaan dari suatu kompleksitas interaksi sehingga belum mampu menggambarkan secara detil sesuai dengan keadaan di lapangan.