Pemahaman stakeholder tentang REDD
5.4 Pemahaman stakeholder tentang REDD
Isu emisi dari sektor penggunaan lahan yang telah menyumbang emisi antara 18-20% emisi gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi perhatian utama melalui skema perdagangan karbon REDD. Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi 26% dari sektor penggunaan lahan di tahun 2020 dan bila ada dukungan internasional maka tekad tersebut akan ditingkatkan menjadi 41%. Untuk sektor kehutanan dibebankan 14% untuk menurunkan emisi gas rumah
1 Februari 2010 bahwa penetapan pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Rakyat dan Hutan Desa sebagai salah satu upaya sektor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi karbon sebesar 14% dari target yang ditetapkan Presiden RI sebesar 26% pada 2020. Program mitigasi
sektor kehutanan ini fokus pada penyerapan CO 2 melalui penanaman pohon seluas 500 ribu ha/tahun melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa, 300 ribu hektar Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Daerah Aliran Sungai (DAS) super kritis, 500 ribu hektar pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 300 ribu ha/tahun HPH Restorasi Ekosistem dan
50 ribu hektar Hutan Rakyat Kemitraan dengan industri perkayuan. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga meningkatkan pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, perambahan hutan dan pengurangan laju konversi hutan.
Suatu perhatian yang perlu diuji di level pelaksanaan program pemerintah di daerah dalam hal ini Provinsi Jambi. Pengujian dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi. Wawancara ditekankan pada pengambil kebijakan atau yang mewakili pada masing-masing institusi untuk dievaluasi pengetahuan dan pemahaman pengambil kebijakan terhadap program REDD.
Evaluasi yang dilakukan di Dinas Kehutanan Provinsi Jambi adalah pemahaman keberadaan target penurunan emisi dari skema REDD hanya berada pada level pimpinan yakni pada level eselon III dan II. Inisiatif-inisiatif penentuan penggunaan lahan belum dilakukan dan masih menunggu kebijakan atau pedoman pemerintah pusat. Namun untuk menanggulangi laju penurunan luas dan potensi hutan telah dikembangkan pola budidaya tegakan hutan yakni penanaman buffer zone sekitar kawasan hutan di APL dengan tanaman jelutung dan karet, membuat demplot HTR, pendampingan HTR dengan dana APBD dan OMOT (one man one tree). Untuk kegiatan OMOT dilakukan beberapa kegiatan seperti Pembagian bibit gratis untuk ditanam di tempat kosong, di RT-RT, ada kebun bibit dan Tanaman Unggulan Lokal (TUL) seperti jernang, jelutung, bulian/ulin dan meranti yang semuanya memiliki persemaian atau dibeli dari masyarakat.
Selain itu Dinas Kehutanan Provinsi Jambi telah memiliki kebun tanaman hutan yang disebut Kenali Asam yang berada di Km 11 dengan luas mencapai 10,25 hektar. Untuk mengakses wilayah ini maka pengunjung harus membayar retribusi. Selain itu terdapat juga kebun raya bukit sari dengan luasan mencapai 425 hektar yang dikelilingi oleh kebun sawit.
REDD dianggap sebagai suatu program yang positif dan mampu untuk menjaga keberadaan hutan dan potensinya. Namun penekanan yang diharapkan adalah tindakan manajemen hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat sekitar hutan. Karena bila masyarakat di sekitar hutan tidak diperhatikan maka kebocoran atas kredit karbon yang diproyekkan akan terjadi dan bisa saja target penurunan emisi akan gagal. Untuk menyukseskan REDD, terdapat beberapa institusi yang menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dapat diajak bekerjasama yakni UPTD Dinas Kehutanan, UPT Kementerian dan Dinas Perkebunan. Sedangkan Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral di Kabupaten dianggap sebagai institusi yang sering mengeluarkan ijin yang tidak memperhatikan peruntukan dan penunjukan kawasan hutan sehingga terkadang terdapat ijin pertambangan yang dikeluarkan di dalam kawasan hutan.
Dinas Energi dan sumberdaya mineral merupakan stakeholder lain yang perlu dievaluasi terkait dengan dampak pelaksanaan REDD terhadap usaha pertambangan. Hasil yang ditemukan adalah pemahaman REDD belum memadai namun pemahaman pemulihan areal bekas tambang sebagai konsekuensi pembukaan lahan pertambangan cukup baik. Demikian juga pemahaman akan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Batubara dan Mineral serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain kedua produk hukum tersebut terdapat produk hukum lainnya yang membatasi usaha pertambangan yakni UU no 26 tahun 2007 dan UU Nomor
41 tahun 1999. Dukungan terhadap perlindungan lingkungan hidup adalah melalui penertiban kegiatan reklamasi lahan pasca tambang serta jaminan bank atas dana reklamasi sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan. Namun yang menjadi permasalahan lanjutan adalah institusi apa yang lebih bertanggung jawab dalam mengontrol areal bekas tambang dan apa sanksi atas pelanggaran bila reklamasi areal bekas tambang tidak dapat mengembalikan tutupan lahan? Hal ini yang
sampai kini masih menjadi masalah klasik yang menurunkan potensi dan luas hutan Indonesia.
Permasalahan lain yang ditemui adalah dari sejumlah ijin yang diterbitkan baik oleh Bupati atau Gubernur hanya terdapat 1 ijin pertambangan yang telah mendapatkan ijin pinjam pakai kawasan seluas 5.243 hektar diantaranya 3.106 hektar terdapat di dalam kawasan hutan dan 2.136,75 hektar di luar kawasan hutan. Padahal luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha dan yang terdapat di dalam kawasan hutan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha.