Interaksi Stakeholder Dengan Kawasan Hutan
6.2 Interaksi Stakeholder Dengan Kawasan Hutan
Pemanfaatan kawasan hutan disadari tidak hanya untuk pembangunan sektor kehutanan namun juga sektor non-kehutanan. Alokasi lahan untuk usaha pertanian sebagaimana Surat Keputusan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/90 dan 23 – VIII – 1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian sebagai contoh tingginya permintaan lahan hutan untuk usaha-usaha non- kehutanan.
Kebijakan pelepasan kawasan hutan mengakomodir pembangunan kebun dan usaha pertanian tanaman pangan lainnya. Tercatat 18.116 hektar per tahun, kawasan hutan Jambi harus dilepas untuk usaha pertanian. Tercatat 7 juta hektar sampai tahun 1997 lahan hutan yang harus dikonversi menjadi areal perkebunan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan lahan hutan Indonesia yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta hektar. Dari angka ini, menurut penelitian lainnya 1,8 juta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 (FWI 2003). Dan untuk itu respon tercepat terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut Kartodihardjo dan Supriyono diacu dalam FWI (2003) bahwa di tahun 1997 tercatat 7 juta hektar telah disetujui untuk dikonversi untuk perkebunan ditambah pencadangan 9 juta hektar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Casson diacu dalam FWI (2003) menyebutkan bahwa 840.000 hektar telah disetujui untuk dilepas dan 70% adalah untuk perkebunan kelapa sawit.
Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003 tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutan/eks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang.
Dalam aturan ini, tidak didefinisikan nilai historis dari lahan. Apakah lahan itu dari awalnya tidak berhutan atau lahan tersebut bekas pengelolaan yang tidak lestari dan akhirnya tersisa tanah kosong atau alang-alang atau semak belukar. Bila, yang dilihat hanyalah kriteria penutupan lahan yang bervegetasi sebagai pembatas, maka dapat saja dilakukan penebangan dan kemudian ditelantarkan sehingga kriteria ini terpenuhi.
Selain interaksi sktakeholder dalam bentuk pelepasan kawasan, interaksi lain adalah pinjam pakai kawasan hutan dan tukar menukar kawasan hutan. Pinjam pakai kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan sektor non-kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Salah satu kegiatan sektor non-kehutanan yang sangat akrab dengan ijin ini adalah pertambangan. Usaha pertambangan hadir ketika ada potensi tambang dalam kawasan hutan. Dan kebanyakan potensi tambang tersebut terdapat dalam kawasan hutan tetap. Artinya terdapat upaya untuk merelakan potensi hutan dieksploitasi untuk keperluan pertambangan.
Berdasarkan statistik Semester II Tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha. Berdasarkan delineasi kedudukannya terhadap tata guna hutan kesepakatan, usaha pertambangan dalam kawasan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45% dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49% dari luas areal usaha. Dari 18 unit usaha pemegang izin pertambangan, terdapat 1 pemegang izin pinjam pakai kawasan yang telah diterbitkan oleh Kemenhut yakni PT. Wahana Alam Lestari yang mengeksplorasi batubara di kabupaten Tebo dengan luas areal mencapai 5.243 hektar antara lain di dalam kawasan terdapat 3.106 hektar dan di luar kawasan mencapai 2.136,75 hektar. Hal ini berarti bahwa terdapat 7% dari ijin usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan dan 93% illegal.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan, menjelaskan cara perhitungan PNBP dengan rumus PNBP = (L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif ) + (L3 x 2 x tarif ) Rp/tahun. L1 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan (ha). L2 adalah area terganggu karena
penggunaan kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi (ha). L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi (ha). Dengan luas ijin yang telah diterbitkan seluas 43.978,5 hektar maka dalam tahun pertama saja, nilai PNBP yang harus diterima mencapai 24,9 milyar rupiah. Bila realisasi hanya 7% dari luas tersebut, maka PNBP hanya mencapai 1,7 milyar rupiah. Ini artinya kerugian negara mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahun.
Kerugian yang sangat besar ini harus berlangsung selama 30 tahun ijin. Atau dapat dikatakan mencapai 695 milyar rupiah hilang akibat ketidakmampuan para pemangku kepentingan di Jambi. Hilangnya nilai ini, berdampak pada pemulihan kondisi hutan dan pengembangan masyarakat.