Model Dinamika Kebijakan Perdagangan Kar

MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI LUTFY ABDULAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Lutfy Abdulah NRP. E151080081

ABSTRACT

LUTFY ABDULAH. Model Dynamic of Forest and Land Use Change and Carbon Trade Scenario in Jambi. Under Direction of HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

The rate of deforestation and forest degradation in the sector of LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) continues to increase along with the increase in land and forest products. In 2009, the release of forest area in Jambi province reached 77,216 hectares, land use 344,305 hectares, and forest area exchange 80,861 hectares. The importance of non-forestry sector development has resulted in the decrease in forested areas (deforestation) and the cover of forested areas (forest degradation). The rate of deforestation in Jambi reached 165,665 hectares, in which 39.75% occurred in West Tanjung Jabung Regency. The use of forest area for non-forestry sector development is set out in the national development policy. The policy changes bring about the changes in the interaction of forest stakeholders to the forest areas. To reduce the rates of deforestation and forest degradation, the government has used REDD + scheme. One scenario in REDD+ scheme is with a moratorium on the use of forest areas. Projected deforestation and forest degradation can be done through dynamic system when a moratorium on forest area utilization is conducted on the intensity of 30%, 50% and 70% out of the forest area use permit in BAU. The implementation of a moratorium can decrease deforestation and degradation about 9% -43%. Implementation of a moratorium of forest area use permit in REDD+ scheme does not provide a very large income. The income of REDD + is only about 0.76 to 1.35 billion USD in every 5-year contract, much lower compared to BAU income of Jambi which reaches USD 678,912 per year and it may threaten 1,290,854 employment opportunities for people.

Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction

RINGKASAN

LUTFY ABDULAH. Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga 2004. Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar. Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB (Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut 2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp. 4.433,3 Milyar (Kemenhut 2010). Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi.

Penelitian ini bertujuan untuk menduga laju deforestasi dan degradasi hutan di provinsi Jambi. Sub tujuan yang ingin dicapai adalah dinamika kebijakan penggunaan kawasan hutan, simulasi interaksi aktor dengan kawasan hutan, nilai ekonomi REDD+ pada masing-masing fungsi hutan dan kombinasi fungsi kawasan hutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendugaan deforestasi dan degradasi hutan secara historis dengan bersumber pada data pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Pendugaan laju deforestasi dan degradasi hutan menggunakan metode IPCC tahun 2006 volume 4.

Terdapat 4 kebijakan utama yang mengatur penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan, yakni pinjam pakai kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan alih fungsi. Setiap stakeholder baik itu di pusat maupun di daerah memegang perannya masing- masing. Setiap stakeholder saling berinterasi dan bergantung satu sama lain. Ketika stakeholder kunci tidak dapat memainkan perannya maka tidak akan ada perubahan pada penggunaan kawasan tersebut. Isu REDD+ sangat dikenal oleh pengambil keputusan di pemerintah daerah Provinsi Jambi, namun tidak dengan pimpinan pada level yang rendah dan staf. Hal ini menyulitkan pada komunikasi kebijakan dengan masyarakat.

Luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 412/Kpts-II/1999 adalah 2.179.440 hektar atau 42,73% luas daratan yang telah mengalami deforestasi mencapai 45.571 hektar/tahun. Luas kawasan hutan lindung mencapai 191.130 hektar terdeforestasi mencapai 3.140 hektar/tahun, kawasan hutan produksi 1.312.190 hektar mengalami deforestasi mencapai 34.147 hektar/tahun. Luas hutan konservasi mencapai 676.130 hektar mengalami

Melalui REDD+ diharapkan mampu mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu skenario yang ditawarkan adalah moratorium ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana BAU. Bila moratorium ijin sebanyak 30% dari BAU maka laju deforestasi akan menurun menjadi 41.256 hektar/tahun. Bila moratorium ijin sebanyak 50% dari BAU maka dapat menurunkan laju deforestasi menjadi 37.991 hektar dan Bila moratorium ijin sebanyak 70% dari BAU akan menurunkan laju deforestasi mencapai 25.997 hektar/tahun.

Penerapan skema REDD+ pada taraf 30%, 50% dan 70% diharapkan akan memberikan dampak positif pada penerimaan usaha kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no. P.36/Menhut-II/2009, dilakukan simulasi pendapatan dan biaya transaksi yang harus timbul ketika skema REDD+ dijalankan.

Bila waktu proyek REDD adalah 30 tahun dengan harga C/ton adalah 5 US$ dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+ selama periode untuk standar CCB bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebanyak 30% adalah -0,42 milyar US$, -0,68 milyar US$ untuk standar Carbon Fix dan -0,74 milyar US$ untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30% mencapai -0,78 milyar US$.

Penerapan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebesar 50% tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan REDD+ 70%. Bila standar CCB (carbon, community and biodiversity) yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar 1,36 milyar US$. Standar Carbon Fix (CF) akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 milyar US$. Standar Plan Vivo (PV) akan memberikan income REDD+ sebesar 1,01 milyar US$. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar 1,06 milyar US$. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+ tertinggi adalah standar CCB.

Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan konservasi dilakukan sebesar 30% maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif dengan hutan produksi sebesar 70% yakni sebesar 136 juta US$. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan lindung sebesar 30% akan memberikan income REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 70%. Income REDD+ akan mencapai 83 juta US$. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 30%, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70%. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70% di hutan konservasi dan hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 2,63 milyar US$ setiap periode (5 tahun).

Penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan salah satunya disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan atas dasar faktor biofisik di lapangan

tanpa memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi. Pemberian ijin usaha pertambangan yang tidak disertai ijin pinjam pakai kawasan hutan mengakibatkan

negara mengalami kerugian mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahunnya. Selain itu, pemberian ijin HPH dan HTI serta perkebunan, dapat meningkatkan perubahan luas kawasan hutan. Namun, timbul dampak positif dari sektor sosial negara mengalami kerugian mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahunnya. Selain itu, pemberian ijin HPH dan HTI serta perkebunan, dapat meningkatkan perubahan luas kawasan hutan. Namun, timbul dampak positif dari sektor sosial

Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi kewajiban berdasarkan sumbangan emisi. Secara sederhana, penentuan basis emisi disepakati pada jumlah penduduk, penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, perubahan tutupan areal berhutan dan lain-lain. Bila yang dikehendaki adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality akibat project tersebut adalah sebesar simpanan karbon yang mampu dipertahankan di hutan. Nilai karbon yang ada dari sejumlah lahan yang dicegah alih fungsi dan alih tutupan dikurangi hasil kali luas lahan yang ada sebelum project dengan faktor konversi pencegahan deforestasi dan degradasi

Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL DINAMIKA PERUBAHAN HUTAN DAN LAHAN DAN SKENARIO PERDAGANGAN KARBON DI PROVINSI JAMBI LUTFY ABDULAH

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Judul Tesis : Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi

Nama : Lutfy Abdulah NRP

: E151080081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. Dr. Ir. Dodik R.Nurrochmat, M.Sc. Anggota

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Sc

Tanggal Ujian: 18 Januari 2011

Tanggal Lulus:

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tania June, M.Sc

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2010 ini ialah Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc. selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc sebagai penguji luar komisi. Tak lupa diucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pimpinan sidang. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Gubernur Maluku dan Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan memperdalam ilmu dan pemahaman tentang pengelolaan hutan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Desy Ariyadhi Suyamto, Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Bapak Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Bapak Ketua BAPPEDA Jambi dan Bapak Kepala Dinas Pertambangan

Provinsi Jambi. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu penulis dalam diskusi untuk mempertajam analisis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada istri tercinta Yeni Ratnasari dan anakku sayang Siti Syafirasari Thio serta kepada kakanda Drs. M. Saleh Thio, MS dan saudara-saudaraku tercinta lainnya. Terima kasih atas dukungan materiil dan doa yang selama ini diberikan.

Batubara

dan

Sumber

Mineral Mineral

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Perumusan Masalah

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan

5 Lahan

2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap

8 Cadangan Karbon Lahan

2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi

2.4 Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka pendekatan masalah

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3 Alat dan Bahan

3.4 Metode penelitian

3.5 Tahapan analisis data

3.6 Simulasi penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Administrasi Provinsi Jambi

4.2 Kawasan Hutan dan Organisasi

5 HASIL PENELITIAN

5.1 Dinamika Kebijakan Pengelolaan Hutan

5.2 Dinamika Pembangunan Sektor Kehutanan

5.3 Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi

5.4 Pemahaman Stakeholder tentang REDD

5.5 Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan

72 Kawasan Hutan

6.1 Penentuan Kawasan Hutan

95

6.2 Interaksi Stakeholder dengan Kawasan Hutan

6.3 Faktor Pendorong Deforestasi dan Degradasi Hutan

98 Jambi

6.4 Perdagangan Karbon dan Skenario REDD 108

7 SIMPULAN DAN SARAN 111

8 DAFTAR PUSTAKA 112

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai karbon terikat terhadap kandungan biomasa

2 Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan

3 Rencana strategi peningkatan serapan karbon di provinsi

13 Jambi

4 Karbon terikat pada setiap penggunaan lahan

5 Wilayah administrasi dan kependudukan Provinsi Jambi

6 Klasifikasi hutan menurut TGHK dan tutupan hutan

29 tahun 2003-2006

7 Deforestasi provinsi jambi di dalam dan diluar kawasan hutan

8 Rekapitulasi IUP di Provinsi Jambi

9 Rekapitulasi ijin lokasi perkebunan di Provinsi Jambi

10 Rekapitulasi pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi

11 Jumlah ijin dan luas areal konsesi yang dikelola

12 Sebaran HPH menurut status pengelola

13 Rekapitulasi potensi hasil hutan kayu Provinsi Jambi

14 Rekapitulasi realisasi penanaman HTI di Provinsi Jambi

15 Daftar perusahaan HTI di Jambi

16 Deforestasi Jambi Periode 2003 – 2006

17 Laju deforestasi menurut kabupaten di Provinsi Jambi periode

65 tahun 2003 – 2006

18 Luas hutan menurut paduserasi dan TGHK

19 Hubungan antar stakeholder dalam manajemen bentang lahan

20 Hubungan stakeholder dengan variabel flow

21 Bobot hubungan antar stakeholder dalam mempengaruhi flow

22 Laju deforestasi hutan tetap di Provinsi Jambi

23 Laju degradasi simpanan karbon hutan

24 Simpanan karbon akibat konversi hutam alam

25 Kuantifikasi perilaku aktor terhadap alokasi lahan HPH untuk

84 HTI

26 Kuantifikasi perilaku aktor terhadap perambahan TNKS

27 Hasil simulasi penurunan laju deforestasi 27 Hasil simulasi penurunan laju deforestasi

29 Standar biaya dan upah serta nilai CO 2 88

30 Perbandingan income REDD di hutan produksi berdasarkan

90 standar

91

31 Hasil simulasi REDD+ pada kombinasi fungsi hutan

92

32 Uji sensivitas

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian

2 Hubungan antara aktor-arena dan institusi

3 Model konseptual

4 Prosedur ijin pinjam pakai kawasan sebelum tahun 2008

5 Prosedur ijin pinjam pakai kawasan berdasarkan

37 P.48/Menhut-II/2008

6 Peta sebaran potensi tambang di jambi

40 bukan kehutanan

7 Grafik pelepasan kawasan hutan untuk budidaya sektor

8 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum tahun 2010

9 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP. No.

10 Tahun 2010

10 Prosedur ijin tukar menukar kawasan hutan berdasarkan SK

48 Menhut Nomor 292/KPTS-II/1995

11 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan sebelum PP. No. 10

53 Tahun 2010 tahun 2010

12 Prosedur ijin pelepasan kawasan hutan berdasarkan PP. No.

10 Tahun 2010

13 Peta sebaran ijin HTI di provinsi jambi

14 Peta deforestasi periode tahun 2003 – 2006 di provinsi Jambi

15 Cadangan karbon pada tahun 1990

16 Cadangan karbon pada tahun 2000

17 Cadangan karbon pada tahun 2005

18 Kondisi penggunaan lahan tahun 1990-an

19 Kondisi penggunaan lahan tahun 2000-an

20 Kondisi penggunaan lahan tahun 2005

21 Organogram bentang alam provinsi jambi

22 Hasil simulasi dinamika perubahan bentang alam Jambi

23 Hasil simulasi dinamika luas penggunaan dan pemanfaatan

79 kawasan hutan

24 Perubahan cadangan karbon

25 Perubahan cadangan karbon di hutan produksi akibat

84 perilaku aktor dalam alokasi lahan bekas tebangan hph untuk HTI

26 Perilaku DISHUT terhadap perambahan TNKS 26 Perilaku DISHUT terhadap perambahan TNKS

89

27 Nilai simpanan karbon terhadap setiap fungsi terhadap REL

28 Pertumbuhan biomasa HTI 104

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Laju deforestasi pada kawasan hutan tetap 117

2 Laju degradasi pada kawasan hutan tetap 118

3 Laju deforestasi pada setiap fungsi 119

4 Simulasi Income REDD berdasarkan tingkat harga karbon di 120 semua fungsi hutan

5 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar 121 CCB

6 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar 122 Carbon Fix

7 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar 123 Plan Vivo

8 Simulasi Income REDD+ pada semua fungsi pada standar 124 voluntary carbon AFOLU

9 Spesifikasi model kuantitatif 125

xiii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70% dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24% selama periode tahun 1990 hingga 2004. Dari angka tersebut 40% disumbang dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dan deforestasi dan degradasi hutan (IPCC 2007). Menurut Stern (2006) menyebutkan sektor deforestasi dan degradasi hutan telah menyumbang 18% emisi ke atmosfer. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun 2003 – 2006 mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kemenhut 2009).

Secara umum, penurunan cadangan karbon di kawasan hutan dan non-kawasan hutan Indonesia dari sektor pengelolaan lahan baik hutan maupun non hutan terus menurun terjadi pada periode tahun 1990-2000, yaitu sebesar 3.646,1 Mt atau rata-rata per tahun sebesar 364,64 Mt, kemudian turun menjadi 1.046,78 Mt pada periode 2000-2003 atau 348,93 Mt /tahun, dan periode 2003-2006 menurun lagi menjadi 531,68 Mt atau 177,56 Mt/tahun (Budiharto 2009). Penurunan terbesar terjadi di P. Kalimantan dan P. Sumatera dengan rata-rata perubahan sebesar 112,35 Mt/tahun dan 77,57 Mt/tahun. Saharjo (2009) menyebutkan bahwa jumlah karbon yang tersimpan di wilayah tropika mencapai 83,3 Gt, 44,5 Gt atau sekitar 53,1% terdapat di Indonesia yang terbagi pada 3 pulau besar yakni Sumatera tersimpan 18,3 Gt (41,1%), Kalimantan 15,1 Gt (33,8%) dan Papua Barat 10,3 Gt (23%). Menurut FAO (2010), cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta ton/hektar.

Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB (Product Domestic Bruto) kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56% namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18%. Tahun 2008 mencapai 0,81% (Kemenhut

2009) dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85% atau Rp. 4.433,3 Milyar (Kemenhut 2010).

Penurunan potensi hutan dan konversi lahan hutan terjadi merata di seluruh wilayah termasuk provinsi Jambi. Menurut Wurjanto diacu dalam Prasetyo (2009), dari perubahan citra landsat terlihat ada pengurangan jumlah tutupan hutan sebesar 2% per tahun dari total luas 1,2 juta hektar hutan di Jambi. Sampai dengan tahun 2008, tersisa 2 IUPHHK Hutan Alam dengan luas mencapai

45.825 hektar dan jatah tebangan tahunan 2008 mencapai 60.000 m 3 atau turun 14.130 m 3 di tahun 2006 (Kemenhut 2008). Untuk keperluan kayu industri, di

provinsi Jambi telah dibangun HTI dari tahun 2004 – 2008 mencapai 101.907,34 hektar. IUPHHK Hutan Tanaman terdapat 13 unit usaha yang mengelola lahan seluas 572.054 hektar. Realisasi produksi kayu bulat untuk tahun 2008 hanya

3 mencapai 4.895.484,55 m 3 dari rencana sebanyak 8.334.519,58 m . Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang

terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Portela dan Rademacher (2001), menggunakan model dinamika untuk menganalisis pola deforestasi yang ditunjukan oleh perbedaan pola degradasi lingkungan di hutan Amazon Brasil.

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya angka emisi sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) kebutuhan lahan dan hasil hutan yang terus meningkat. Pada tahun 2005 telah dilepas kawasan hutan sebesar 66.180.70 hektar, tahun 2006 seluas 151.892,73 hektar dan tahun 2007 sebesar 73.673.99 hektar. Sedangkan tahun 2008 dilepas kawasan hutan seluas 77.216,73 hektar (Kemenhut 2008).

non-kehutanan mengakibatkan berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebutuhan lahan hutan untuk eksploitasi sumberdaya tambang, alokasi lahan hutan untuk kebun dan transmigrasi serta pemanfaatan hasil hutan kayu melalui HPH dan pemenuhan

Pentingnya pembangunan

sektor sektor

Untuk mengurangi laju penurunan tutupan hutan dan meningkatkan pendapatan dari pengelolaan hutan, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan merencanakan pembangunan HKm seluas 45.500 hektar, hutan desa 39.000 hektar, RHL 62.100 hektar sampai dengan tahun 2014. Untuk memenuhi kebutuhan kayu industri, di provinsi Jambi akan dibangun HTR dan HTI sampai tahun 2020 seluas 508.000 hektar. Selain itu akan dilakukan pemanfaatan LOA (Log Over Area) seluas 163 ribu hektar (Kemenhut 2010).

Upaya menurunkan emisi pada BAU (business as usual) dengan skema REDD+ melibatkan unsur stakeholder pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal dan stakeholder yang berkepentingan lainnya. Setiap stakeholder memiliki tujuan dan motivasi tertentu dalam manajemen peruntukan lahan. Perubahan peruntukan lahan dapat berdampak positif maupun negatif baik terhadap penutupan lahan, ekonomi masyarakat dan pendapatan negara dan daerah.

Pertanyaan yang menjadi masalah penelitian adalah : (1) bagaimanakah bentuk manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan rencana akan datang? (2) bagaimana peran stakeholder di level provinsi Jambi dalam menentukan peruntukan lahan hutan selama ini? dan (3) bila REDD+ dilaksanakan, berapa nilai ekonomi yang dapat diterima?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Menganalisis institusi pengurusan hutan pada masa lampau dan rencana akan datang serta peran aktor dalam manajemen hutan;

2. Membangun model simulasi pemanfaatan dan peruntukan hutan sebagaimana BAU (business as usual) dijalankan

3. Mengetahui nilai REDD+ yang dapat diperoleh berdasarkan standar pasar karbon yang ada.

1. 4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang :

1. Peran yang dikendalikan oleh setiap stakeholder yang berwenang dalam pengurusan kawasan hutan;

2. Membangun model dinamika perubahan lahan berdasarkan ketertarikan agen;

3. Fluktuasi cadangan karbon ketika BAU dan REDD+ dijalankan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan

Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan cadangan karbon ketika terjadi perubahan penggunaan lahan, misalnya dari areal berhutan menjadi kebun atau sebaliknya dari tanah kosong menjadi areal bertutupan vegetasi hutan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menduga simpanan karbon pada setiap jenis lahan diantaranya dilakukan oleh Rahayu et al (2005) dan Agus et al (2009). IPCC (2006) memberikan pedoman pendugaan cadangan karbon pada areal berhutan, pemukiman, lahan pertanian, padang rumput dan bentuk penggunaan lahan lainnya yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan di beberapa negara.

Karbon merupakan fungsi dari biomasa pohon. Biomasa merupakan fungsi dari volume yang dibentuk dari dimensi tinggi dan diameter. Pertambahan dimensi tinggi dan diameter terbentuk karena adanya proses fotosintesis yang

mengubah CO 2 dan H 2 O menjadi selulosa. Besarnya kandungan karbon dapat menduga besarnya serapan CO 2 untuk keperluan fotosintesis yakni sebesar nilai karbon dikalikan dengan berat molekul CO 2 yakni sebesar 44/12 yang dinyatakan dengan satuan ton/ha (Aminudin 2008). Kandungan karbon dalam biomasa diasumsikan sebesar 50% dari nilai biomasa (Brown 1997). Penelitian lain menemukan bahwa angka konversi biomasa ke nilai kandungan karbon tidak mencapai 50% atau hanya mencapai 10% atau kurang dari 50%. Kesalahan dalam penggunaan nilai konversi ini akan berakibat pada kesalahan pendugaan cadangan karbon pada satu individu pohon dan suatu hamparan penggunaan lahan (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai Karbon terikat terhadap kandungan biomasa No. Tipe hutan/jenis pohon

Persen Karbon

Sumber Pustaka

Hilmi (2003) diacu dalam Widyasari (2010)

2. Hutan Kerangas, Kalimantan

Onrizal (2004) Barat

19.00 – 27.00

3. Acacia mangium, Sumatera Ismail (2005) Selatan

diacu dalam

a. Areal Bekas Tebangan

14.70 – 28.80

Widyasari (2010)

b. Areal Bukan Bekas

14.40 – 28.40

Tebangan

4. Pohon Puspa, Sumatera Selatan Salim (2005)

a. Kelas diameter 2 – 10 cm

31.53 diacu dalam

b. Kelas diameter 10 – 20 cm

28.51 Widyasari (2010)

33.54

c. Kelas diameter > 20 cm

5. Acacia crassicarpa, Sumatera Limbong (2009) Selatan

15.21 diacu dalam

a. Umur 2 tahun

18.69 Widyasari (2010)

17.63

b. Umur 4 tahun

c. Umur 6 tahun

Novita (2010) Sumatera Selatan

6. Hutan Gambut bekas tebangan

13.7 – 22.99

7. Hutan gambut bekas terbakar Widyasari (2010)

17.7

a. Kelas diameter 2-10 cm

16.83

b. Kelas diameter 10-20 cm

16.99

c. Kelas diameter >20 cm

Tabel di atas menunjukan bahwa presentasi karbon terikat pada biomasa pohon tidak merupakan setengah dari biomasa pohon sebagaimana disampaikan oleh Brown. Hal ini sangat mempengaruhi pendugaan nilai karbon pada suatu jenis peruntukan lahan. Widyasari (2010) menyebutkan bahwa perbedaan pendugaan karbon terikat pada biomasa dengan hasil penelitian Brown (1997) karena Brown (1997) tidak menggunakan pendekatan perhitungan kadar abu seperti penelitian yang dilakukan sebagaimana tabel di atas. Hygreen dan Bowyer (1993) diacu dalam Aminudin (2008), sepotong kayu terdiri atas 49% unsur C, 6% unsur H dan 44% unsur O serta 0.1% abu.

Kandungan biomasa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar 68,08-82,28% terdapat di batang, di daun terdapat 4,17-14,44%, di ranting terdapat 6,16-10,32% serta 7,15-7,45% terdapat di cabang (Widyasari 2010).

Pendugaan cadangan karbon berkorelasi positif dengan nilai transaksi perdagangan karbon dan sangat mempengaruhi rekomendasi untuk partisipasi dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon. Berdasarkan ketelitian dan ketersediaan data, IPCC (2006) mengklasifikasikan metode pendugaan karbon dalam 3 (tiga) tingkat ketelitian yang disebut dengan tier. Semakin tinggi angka tier yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon, data yang digunakan semakin rumit dan lengkap sehingga hasilnya semakin teliti. Metode tier 1 dirancang untuk penggunaan sederhana dalam menduga cadangan karbon, dengan mengalikan nilai cadangan karbon yang telah ditetapkan dengan luas peruntukan lahan maka dapat diketahui cadangan karbon yang terdapat pada suatu peruntukan lahan. Tier 2 dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama seperti tier 1 tetapi angka-angka yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon menggunakan data spesifik pada satu negara atau wilayah tertentu ditambah faktor yang mempengaruhi pengambilan karbon. Tier 3, menggunakan model dan teknik pengukuran disesuaikan untuk mengatasi keadaan nasional, berulang dari waktu ke waktu, dan didorong oleh resolusi data yang tinggi. Metode ini memberikan estimasi kepastian lebih besar dari tingkatan yang lebih rendah. Pemilihan metode pendugaan cadangan karbon bergantung pada ketersediaan dan ketelitian pengumpulan data.

Perubahan gas-gas rumah kaca di sektor AFOLU (agriculture, forestry and other land use) dapat diduga dengan 2 cara yakni (1) perubahan bersih karbon stok pada suatu periode waktu tertentu dan (2) laju perubahan aliran CO 2 ke dan dari atmosfer. Besarnya serapan CO 2 dari atmosfer bergantung pada kerapatan biodiversitas tumbuhan yang melakukan fotosintesis dan menyimpan hasilnya dalam bentuk biomasa. Sebagian besar CO 2 dipindahkan dari atmosfer ke ekosistem daratan melalui fotosintesis dan respirasi. Serapan CO 2 melalui fotosintesis sering disebut dengan gross primary product (GPP). Setengah dari GPP akan terlepas kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan yang tersisa pada tubuh tumbuhan disebut sebagai net primary production (NPP) yakni total produksi biomasa tumbuhan dan bahan organik mati dalam satu tahun (IPCC 2006).

2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Cadangan Karbon Lahan

Perubahan bentuk penggunaan lahan berkorelasi negatif dengan cadangan karbon, namun tidak berarti bahwa perubahan bentuk akan mengemisi sejumlah cadangan karbon yang dimiliki. Pada tanah mineral, konversi hutan primer dan hutan sekunder dengan simpanan karbon rata-rata berturut-turut 300 dan 132 t/ha, dapat menurunkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto positif). Jika lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan karbon masing-masing 15 dan 2 t/ha direhabilitasi menjadi lahan perkebunan, pada umumnya akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon neto negatif). Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut (jika ada), dan emisi karbon dari tanaman. Pembangunan kebun di lahan gambut terlantar yang ditumbuhi semak belukar (dengan simpanan karbon 15 t/ha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm) akan meningkatkan cadangan karbon. Hal ini berpotensi menurunkan emisi sebesar 862

tCO 2 -e/ha/25 tahun (34 tCO 2 -e/ha/tahun), karena besarnya penurunan kehilangan karbon dari biomasa dan tanah gambut. Bila belukar gambut dipertahankan maka akan mengemisi sekitar 22 CO 2 -e/ha/tahun. Bila belukar gambut dikonversi menjadi sawah, perkebunan karet atau perkebunan sawit, tingkat emisi berturut- turut menjadi 11, 7, dan 30 CO 2 -e/ha/tahun. Dengan demikian, rehabilitasi belukar gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut

11 dan 15 CO 2 -e/ha/tahun, sedangkan rehabilitasi belukar gambut menjadi perkebunan kelapa sawit hanya menambah emisi 8 CO 2 -e/ha/tahun, dibandingkan bila belukar gambut diterlantarkan. Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah

mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO 2 netto juga berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat (Agus et al 2009). Konversi hutan gambut bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 ton/ha/tahun dan 61,02 ton/ha/tahun (Rochmayanto 2009).

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa konversi lahan kosong atau

Namun jika perkebunan dibangun dengan mengkonversi hutan alam dengan cadangan karbon di hutan alam maka akan menurunkan simpanan karbon di lahan tersebut. Penurunan cadangan karbon tidak berarti akan mengemisi sebesar nilai cadangan karbon, namun dapat diduga dengan menghitung selisih perubahan cadangan karbon hutan alam ke perkebunan dikalikan dengan rendemen pengolahan kayu. Rendemen pengolahan kayu bulat dari hutan alam mencapai 57% – 70% dari volume yang dipanen (Kemenhut, 2007). Hal ini menunjukan bahwa pengambilan cadangan karbon dalam bentuk kayu tidak langsung diuapkan

menjadi CO 2 bebas di atmosfer namun dikonversi menjadi bentuk simpanan karbon lainnya seperti mebel, kayu pertukangan, konstruksi, kayu lapis, veneer dan lain-lain (Soedomo 2010).

Untuk meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan, maka tegakan hutan yang pertumbuhannya telah mencapai klimaks perlu ditebang dan dilakukan permudaan sehingga selisih fotosintesis terhadap respirasi positif. Tumbuhan muda lebih membutuhkan karbohidrat untuk pertumbuhan dibandingkan

tumbuhan yang tua yang telah mencapai keseimbangan antara serapan CO 2 untuk proses fotosintesis dan melepaskan CO 2 sebagai hasil respirasi. Pada awal penebangan akan terjadi kehilangan cadangan karbon, namun akan memberi ruang untuk tumbuh tanaman muda. Pinard dan Cropper (2000) menyebutkan bahwa, cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton C/Ha menjadi 97 ton C/Ha. Untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50% dari AAC (Annual Available Cutting) maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26% di 40-60 tahun mendatang.

Lasco et al (2006) menyebutkan bahwa kegiatan penebangan akan menurunkan paling sedikit 50% dari simpanan karbon yang ada di hutan. Konversi hutan alam menjadi padang rumput atau lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan cadangan karbon kurang dari 40 ton/ha dari 500 ton/ha yang dimiliki. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman juga mengakibatkan penurunan cadangan karbon sekitar 50% dari cadangan karbon yang ada. Kegiatan pemanenan dan perlakuan TPTJ (tebang pilih tanam jalur)

memberikan pengaruh nyata pada kandungan karbon serasah. Kandungan karbon serasah di areal bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan hutan primer. Kandungan karbon di serasah segar sekitar 6,1 ton C/ha pada areal bekas tebangan dan hanya 2,4 ton C/ha di hutan primer. Namun pelaksanaan silvikultur TPTJ tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan karbon tanah pada kedalaman 0-40 cm (Almulqu 2008). Beberapa penelitian untuk menduga cadangan karbon pada jenis penggunaan lahan yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan

No. Jenis Penggunaan Lahan

Cadangan

Sumber Pustaka

Karbon Ton/Ha

1. Hutan Primer 348.02 Tresnawan dan Rosalina (2002) 2. Hutan Bekas Tebangan

189.26 Tresnawan dan Rosalina (2002) 3. Kebun Karet

206.8 Widayati et al (2005) 4. Kebun Kelapa Sawit

16.43 Yulianti (2009) 5. Alang-alang

4,8 Widayati et al (2005) 6. Agroforestry

4,2 Widayati et al (2005) 7. Hutan rakyat jati

37,7 Widayati et al (2005) 8. Kerangas di Taman Nasional

66,3 Aminudin (2008) 9. Hutan gambut bekas terbakar

176,1 Onrizal (2004) 10. Hutan gambut bekas tebangan

29,1 Widyasari (2010) 11. Hutan Gambut

41,82 Novita (2010)

2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi

Menurut Lund (2008) bahwa definisi deforestasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori : perubahan penutupan lahan, perubahan penggunaan lahan, perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berikut ini beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional, antaranya adalah : UNFCCC 11/CP.7 mendefinisikan deforestasi sebagai konversi langsung yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan. FAO (2010) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan petutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi

hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi.

Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi (Lund, 2007). Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga menurunkan kapasitas produksi (FAO 1993 dalam Lund 2007). Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh manusia, untuk jangka panjang (terjadi selama X tahun atau lebih) atau sedikitnya Y% dari persediaan karbon hutan (dan nilai hutan) sejak waktu T dan tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi. Parameter X, Y dan T belum ditetapkan.

Tingginya angka deforestasi adalah peluang pelaksanaan REDD (Masripatin 2007). Bila angka deforestasi tersebut dapat ditekan maka akan terpelihara carbon sink yang mampu menyerap CO 2 bebas di atmosfer. Bila carbon sink ini ditingkatkan maka kemampuan untuk menyerap CO 2 akan makin meningkat. Menurut FAO (2010) bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun 1990-2000, perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun 2000-2005 menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun 2005-2010 mengalami penurunan sebesar 1,7 juta ton. Menurunnya cadangan karbon menjadi perhatian utama pemerintah. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14% emisi karbon dari sektor LULUCF dari Bussines As Usual (BAU) yang telah dijalankan selama ini, manajemen sampah yang benar 6%, dan efisiensi energi 6%. Bila BAU dijalankan

sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24 Gt CO 2 e dan kemampuan serapan CO 2 e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan 0.71 Gt CO 2 e (Kemenhut 2010). Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1%. Sektor transportasi dan industri

masing-masing 0,3% dan 0,01%, sektor pertanian 0,3%, sektor kehutanan 13,3%, pengelolaan limbah 1,6%, dan pengelolaan lahan gambut 9,6%.

Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti mampu menyerap 1.31 Gt CO 2 e dengan menanam 500.000 hektar per tahun dan upaya lainnya. Skema REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation) dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir tahun 2007. Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP (Conference of Parties) ke 15 di Kopenhagen – Denmark memutuskan REDD sebagai suatu instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat.

Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin (2007) vegetasi dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO 2 atau dua kali lipat lebih banyak CO 2 di atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO 2 lebih besar dari gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 14%. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan,

3 pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m 3 menjadi 9 juta m serta pengendalian jumlah titik api. Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu

yang diekstraksi dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode RIL (Reduced Impact Logging). Diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya dilakukan penanaman seluas 500.000 hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Beberapa rencana strategi peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.

Rencana strategis peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi (Kemenhut 2010)

Jenis Kegiatan Rencana Pelaksanaan (Ha)

2014 Jumlah

Hutan Desa

4.300 3.600 39.000 HTI/HTR

13.400 13.900 62.100 Pengelolaan LOA

Skema REDD diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Insentif yang disiapkan negara-negara maju untuk mempersiapkan pelaksanaan REDD di negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis dalam Copenhagen Accord sebesar 30 milyar US$ dan untuk pembayaran REDD sampai tahun 2020 disiapkan dana sebesar 100 milyar US$ (UNFCCC 2009). Skema REDD perlu dilihat dari dua sisi perhitungan pilihan kerangka kerja yakni (1) pilihan untuk mengikutkan REDD pada semua kerangka kerja hanya di sektor kehutanan, dan (2) pilihan untuk mengikutkan sektor kehutanan dalam semua kerangka kerja pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Total stok karbon hutan pada suatu waktu ditentukan melalui dua faktor yakni (1) luas areal berhutan atau kawasan hutan dan (2) kerapatan karbon per hektar hutan (Angelsen et al 2008). Hal ini berarti bahwa dalam mengestimasi kandungan karbon suatu tegakan hutan perlu melihat keberadaan dan status kawasan hutan (tidak berkurang) yang disebut deforestasi dan tidak menurun stok karbon pada setiap hektar hutan yang disebut degradasi hutan.

Menurut Stern (2008) diacu dalam Angelsen dan Kanounnikoff (2008) , terdapat tiga kriteria dalam mengevaluasi pencapaian tujuan REDD yakni effectiveness yakni mitigasi dan adopsi emisi gas rumah kaca (GHG) pada skala yang disyaratkan untuk menjaga resiko dari perubahan iklim pada level yang dapat diterima. Kriteria kedua adalah efisiensi, yakni mitigasi emisi GHG harus diimplementasikan pada cara-cara yang efisien dan biaya yang minimum, dan equity yakni hasil penjualan karbon harus terdistribusi bagi seluruh masyarakat dan komponen bangsa.

Mekanisme pembayaran REDD+ harus (i) efektif, yakni berkontribusi nyata dan bebas dari tekanan pihak ketiga dalam verifikasi stabilisasi konsentrasi GHG atmosfer, (ii) efisien, yakni menghasilkan nilai uang dan menyertakan

kelembagaan sektor swasta maupun publik untuk berpartisipasi secara adil, (iii) kesamaan, yakni meminimumkan atau menghindari resiko yang lebih besar dari masyarakat miskin dan marjinal yang mata pencahariannya bergantung pada hutan, mengalihkan/mencegah distorsi pasar hasil hutan dan melibatkan partisipasi pemerintah dalam kesepakatan keadilan pada level nasional dan internasional.

2.4 Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD

REDD merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan atas serapan CO 2 bebas di atmosfer oleh hutan melalui mekanisme fotosintesis. REDD merupakan skema untuk memperoleh nilai jasa hutan yang tidak semata karena kayu namun REDD dapat berjalan karena adanya potensi kayu dan bentuk serapan karbon lainnya. Adapun beberapa skenario yang mungkin dapat ditawarkan dalam pengelolaan hutan bersama REDD antara lain:

1. Moratorium Penebangan Moratorium penebangan adalah penundaan produksi atau ekstraksi hasil

hutan kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga carbon sink dari hutan serta menjaga serapan karbon di atmosfer. Kebijakan ini

berlangsung ketika hutan dianggap sebagai pabrik O 2 dan ketika pabrik itu diganggu maka kemampuan serapan akan menurun. Emisi rujukan adalah proyeksi emisi dari deforestasi dan degradasi yang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran pengurangan emisi. Emisi rujukan dapat dinyatakan sebagai tolok ukur peta tutupan hutan yang menunjukkan lokasi hutan dan bagaimana variasi hutan-hutan tersebut terkait dengan karbon, atau kepentingan nasional lainnya (IFCA 2007b diacu dalam Budiharto 2009).

Moratorium penebangan sering disebut dengan jeda tebangan sebagaimana kini telah dipraktekkan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Instruksi Gubernur NAD Nomor 5 Tahun 2007. Menurut Instruksi Gubernur (INGUB) No. 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, latar belakang lahirnya kebijakan ini didasari oleh kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali, sehingga kerap melahirkan bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor,

serta konflik antara satwa dan manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberlakukan moratorium logging adalah “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” melalui tiga program pokok, yakni redesign, reforestrasi, dan reduksi laju deforestrasi (Gumay 2008).

Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m 3 kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri

kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m 3 ,

dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu illegal untuk memenuhi

kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m 3 , yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006

(Syumada 2010). Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan. Bila kebijakan pemenuhan kebutuhan kayu mengimpor, akan sangat mempengaruhi nilai investasi yang diperlukan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp. 75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan 77 perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) (Effendi 2009).