Model Usaha Penyiaran Digital

E. Model Usaha Penyiaran Digital

Ada dua model bisnis siaran digital yang harus mendapatkan perhatian demi mengembangkan sistem penyiaran digital yang demokratis, baik secara ekonomi maupun politik. Pertama, model bisnis lembaga penyiaran publik dan komunitas. Kedua, model bisnis lembaga penyiaran swasta. Untuk lembaga penyiaran publik,

TVRI menjadi multiplekser yang menyediakan frekuensi untuk televisi komunitas dan televisi pendidikan yang lebih berorientasi

kepada publik. 45 Di sisi lain, TVRI juga harus diberi kesempatan dan menjadi satu-satunya lembaga siaran yang diperkenankan siaran nasional. Iklan komersial bisa saja menjadi sumber pemasukan, tapi tidak menjadi sumber masukan utama. Lebih penting, iklan tersebut tidak bertentangan dengan misi lembaga penyiaran tersebut.

Model bisnis kedua adalah lembaga penyiaran swasta. Untuk lembaga penyiaran swasta, perlu kiranya dibedakan antara penyelenggara multipleksing dan penyelenggara penyiaran demi menghindari conlict of interest dan kecenderungan monopoli. Bagaimanapun frekuensi adalah ranah publik dan karenanya tidak bisa dimiliki oleh perorangan atau badan hukum. Mereka hanya bisa menggunakan frekuensi selama diizinkan. Oleh karena itu,

45 Arif Wibawa, Subhan Aii, dan Agung Prabowo,. Op.Cit, hal 129

Digitalisasi Televisi di Indonesia

regulasi harus menjamin seluruh pihak untuk mendapat akses terhadap frekuensi tersebut. Selama implementasi siaran analog, frekuensi dikuasai oleh lembaga siaran Jakarta yang tergabung dalam ATVSI. Penguasaan tersebut terjadi dalam skala nasional sehingga menghalangi atau bahkan mematikan lembaga penyiaran swasta lokal. Akibatnya, terjadi dominasi dan penguasaan frekuensi pemilik tv Jakarta terhadap frekuensi lokal yang bertentangan dengan undang-undang otonomi daerah. Padahal, demokratisasi lokal hanya mungkin terbangun dengan baik jika di tingkatan lokal juga tumbuh media lokal dengan content lokal pula. 46 Dengan demikian, kualitas demokrasi akan semakin baik.

Persoalan serius yang kita hadapi selama implementasi UU No. 32 tahun 2002 bahwa dominasi televisi Jakarta yang tergabung dalam ATVSI telah menggerogoti kualitas demokrasi melalui dominasi siaran komersial yang sangat Jakarta minded. Kondisi ini menjadi semakin parah jika dilihat kenyataan bahwa hampir sebagian besar televisi Jakarta yang melakukan siaran nasional beraliansi dengan kekuatan politik tertentu. Hal ini jelas akan menjatuhkan demokrasi ke dalam titik yang mengkhawatirkan karena tak terpenuhi prasyarat demokrasi, yakni informasi yang baik dan berkualitas. Oleh karena itu, agar hal ini tidak terjadi, perlu pemisahan antara lembaga penyelenggara multipleks dengan penyelenggara siaran. Konsorsium barangkali juga perlu dipertimbangkan sebagai model bisnis terbaik agar monopoli bisa dicegah. Dalam memberikan izin siaran bagi penyelenggara siaran di setiap wilayah layanan, haruslah diperhitungkan daya dukung ekonomi di wilayah tersebut untuk mengatur sumber daya iklan yang mungkin dapat diperoleh stasiun televisi di daerah tersebut.

46 Diskusi mengenai peran media dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dalam tulisan Puji Rianto, 2006. “Pers Daerah, Profesionalisme, dan Demokrasi Lokal.” Dalam Rahayu (ed.) Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar di Indonesia, Yogyakarta: PKMBP, Dewan Pers, dan Departemen Komunikasi dan Informatika Sekretariat Dewan Pers.

Peta Persoalan di Seputar Isu Digitalisasi

Pemain lokal tentunya lebih diutamakan. Kemudian, untuk mencegah dominasi pada segelintir orang atau badan, kepemilikan untuk setiap daerah layanan harus dibatasi. Demi mendorong demokratisasi politik dan ekonomi lebih jauh, setiap badan hukum dalam satu zona layanan hanya diperkenankan menyelenggarakan satu izin siaran. Beroperasinya di tingkatan nasional juga dibatasi dengan mempertimbangkan komposisi daerah maju dan kurang berkembang. Pembatasan itu bisa dilakukan berdasarkan daya jangkau masyarakat yang mempunyai akses televisi maupun populasi.