Hak Publik dalam Penyiaran

A. Hak Publik dalam Penyiaran

Menurut Undang-undang Dasar 1945, sebagaimana disebut dalam Pasal 33, bumi, laut, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun, tidak disebutkan di situ tentang udara yang dalam perkembangan lebih lanjut kemudian menjadi bernilai strategis dan bahkan bernilai ekonomi. Ini karena pada waktu itu, barangkali, para penyusun Undang-undang Dasar kita belum menyadari bahwa udara mengandung potensi dan bernilai strategis, baik secara politik maupun ekonomi. Oleh karena itu, ketika sekarang kawasan udara mengandung nilai strategis baru disadari bahwa perlu adanya pengaturan tentang udara yang ditujukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prinsip ini perlu diterapkan dalam pengaturan penyiaran publik, termasuk di dalamnya digitalisasi penyiaran. Argumen ini dilandasi oleh konsep bahwa publik dalam istilah penyiaran publik diposisikan dalam dua pengertian, yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk

Digitalisasi Televisi di Indonesia

mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju civil society. Deinisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun dengan dasar kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik. Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Berkaitan dengan aspek material teknologinya, keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah (domain) telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi sinyal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang ‘dikuasai’ negara. Regulasi penyiaran publik harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang tersebut dalam bingkai penguatan publik.

Dengan dasar pemikiran seperti itu, frekuensi yang sekarang telah menjadi kekayaan baru atau paling tidak sebuah aset, perlu pengaturan oleh negara. Berkaitan dengan frekuensi ini kemudian sektor bisnis komunikasi menjadi begitu penting dan semakin menduduki peringkat atas, dan bahkan nilai strategisnya mendekati sektor migas. Salah satu varian dari bisnis komunikasi dan telekomunikasi adalah bisnis media massa, terutama media televisi yang secara teknologis semakin berkembang. Teknologi yang paling mutakhir adalah perubahan dari sistem analog menjadi sistem digital dengan segala implikasi politik, ekonomi, dan sosio- kulturalnya. Oleh karena televisi semakin menentukan kehidupan publik, digitalisasi perlu mempertimbangkan hak publik.

Jika setiap barang publik digunakan untuk kepentingan layanan publik maka perlu mengikuti logika demokrasi. Salah satu gagasan menarik yang berkait dengan isu barang publik dan

Perlindungan Publik

demokrasi adalah konsep tentang ruang publik. Sebagaimana dikatakan oleh Habermas, ruang publik adalah satu wilayah yang muncul pada ruang spesiik dalam “masyarakat borjuis”. Ruang publik adalah ruang yang memperantarai masyarakat sipil dengan negara, di mana publik mengorganisasi dirinya sendiri dan di mana “public opinion” dibangun. Dalam ruang ini, individu mampu mengembangkan dirinya sendiri dan terlibat dalam debat tentang arah dan tujuan masyarakat. Habermas kemudian mendokumentasikan apa yang dia lihat sebagai kemunduruan ruang publik akibat perkembangan kapitalisme yang mengarah kepada monopoli dan penguatan negara. Jadi, ruang publik dikonsepsikan sebagai satu ruang bagi debat yang didasarkan pada kesetaraan konversasional.

Orang mendukung ruang publik demokratis karena lebih memercayainya sebagai kebaikan ketimbang sebagai kebenaran. Prinsip yang dipandang baik oleh tradisi demokratis adalah nilai keadilan, keragaman, kebebasan, dan solidaritas. Konsep keadilan dan keragaman berarti ada kebutuhan bagi pluralisme budaya dan representasi bagi begitu banyak opini publik, praktik cultural, dan berbagai kondisi sosial dan kondisi geograis. Kebebasan dan solidaritas berarti adanya bentuk berbagi dan kerja sama yang tulus dan tidak dipaksakan. Artinya, itu semua lebih bermakna sebagai kebebasan suportif dan kebersamaan ketimbang sebagai

pengendalian. 56 Mengacu pada argumen ini, digitalisasi penyiaran pertama-

tama harus disepakati sebagai barang publik (public goods). Oleh karena itu, digitalisasi penyiaran, khususnya digitalisasi televisi perlu diluncurkan dalam diskusi publik agar terjadi perdebatan, sebelum diterapkan secara nasional. Ini semua agar digitalisasi

56 (Barker, 2000: 385)

Digitalisasi Televisi di Indonesia

televisi yang ideal memperoleh kesepakatan dari beragam warga negara yang plural dilihat dari segi apapun. Dengan demikian, konsep digitalisasi yang akan diterapkan betul-betul berorientasi bagi kepentingan publik, dan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bersama. Ini penting mendapat penekanan karena digitalisasi televisi berpotensi dikontrol oleh kekuatan kapital.

Dengan meletakkan digitalisasi penyiaran sebagai public good, maka orientasinya harus untuk pelayanan publik, dan bukan hanya menguntungkan segelintir kepentingan. Munculnya kekuatan baru, yaitu media dan politik sekarang ini cenderung menjadi satu kekuatan sendiri yang berhadapan dengan kekuatan masyarakat sipil. Dengan demikian, perubahan teknologi tidak serta-merta mendorong ke pemihakan terhadap publik, meskipun secara substantif kelahiran itu mendorong ke sana. Oleh karena itu, teknologi digital yang substansinya mendorong populisme, tetap ada kecenderungan dikuasai oleh para elite politik dan kekuatan kapital, yang tujuannya adalah pengendalian, yang memang demikian itulah watak dasarnya. Oleh karena itu, perubahan ke arah digitalisasi televisi harus memerhatikan hak publik, bukan saja untuk akses yang lebih luas, tetapi juga sejak awal ikut terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan penting seperti pelebaran kanal frekuensi, slot siaran, dan penentuan harga. Dengan kata lain, partisipasi publik harus dipandang sebagai manifestasi atas hak publik dalam menentukan kesepakatan penting tentang kapasitas, daya jangkau, dan harga yang ditetapkan. Sementara itu, menjadi sebuah kewajiban bagi pengelola negara untuk mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan operasionalisasi televisi digital untuk sebesar-besarnya kemakmuran publik, kemakmuran rakyat banyak.

Perlindungan Publik