Paradigma Permen: Simbiosis Otoritarianisme Politik

2. Paradigma Permen: Simbiosis Otoritarianisme Politik

dan Kapital

Untuk melihat apakah digitalisasi penyiaran versi peraturan menteri ini demokratis ataukah otoriter, akan digunakan tiga indikator. Pertama, akses terhadap kanal atau saluran siaran digital harus tersedia secara adil kepada semua orang. Di beberapa negara, ketersediaan frekuensi dipublikasikan secara luas sehingga

Digitalisasi Televisi di Indonesia

masyarakat yang berminat mengajukan izin penyelenggaraan penyiaran bisa mendaftar. Kedua, adanya keseimbangan antara lembaga penyiaran publik/komunitas dan swasta. Bisnis penyiaran merupakan bisnis yang unik, tidak sama dengan model bisnis yang lain. Ia menggunakan public domain, menggunakan frekuensi terbatas, dan mempunyai fungsi utama melayani sistem politik demokrasi di samping melayani sistem ekonomi. Oleh karena itu, selain dilindungi oleh undang-undang kebebasan berusaha, lembaga siaran juga dilindungi oleh prinsip universal hak asasi manusia yang terangkum dalam freedom of the press dan freedom of expression. Maka, sebagaimana media lainnya, lembaga penyiaran

dalam sistem demokrasi tidak akan diberedel tanpa alasan kuat yang didasari oleh kepentingan publik. Kemudian, agar sistem penyiaran bisa melayani sistem politik demokrasi dengan baik, maka perlu ada keseimbangan antara lembaga penyiaran swasta dan publik karena kedua jenis penyiaran ini mempunyai misi yang berbeda. Lembaga penyiaran publik didirikan untuk melayani publik tanpa berpretensi mencari keuntungan, sedangkan lembaga penyiaran swasta ada demi memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, dalam lembaga penyiaran swasta, rating biasanya menjadi ukuran tertinggi sehingga acapkali yang dilayani adalah kelompok masyarakat yang secara ekonomi potensial. Sebaliknya, lembaga penyiaran publik harus melayani berbagai kelompok masyarakat,

utamanya kelompok minoritas. 10 Kriteria ketiga adalah model usaha yang menjamin kesetaraan bagi semua, dan menghalangi terjadinya monopoli dan oligopoli. Kriteria ketiga ini akan dilihat dari bagaimana pemisahan atau kerja sama dilakukan antara lembaga penyelenggara penyiaran dan penyelenggara multipleksing. Relasi kedua lembaga ini haruslah menjalin demokratisasi penyiaran.

10 Efendi Gazali. 2002. Penyiaran Alternatif tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Kondisi Objekif Kebijakan Penyiaran

a. Permen: Suatu Bentuk Otoritarianisme Baru?

Dilihat dari prosesnya, peraturan menteri tentang digitalisasi penyiaran ini menegasikan proses demokratis karena tanpa melibatkan perdebatan di parlemen. Di negara- negara demokratis, migrasi dari sistem siaran analog ke digital hampir senantiasa melibatkan perdebatan di parlemen karena penyiaran menyangkut hajat hidup orang banyak dan mempunyai implikasi serius bagi sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dalam konteks Permen No. 22, migrasi dari penyiaran digital ke analog menegasikan perdebatan itu. Digitalisasi penyiaran melalui Permen dibuat di tengah undang-undang penyiaran yang masih analog. Padahal, seharusnya, undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002 yang masih analog tersebut diamandemen terlebih dahulu baru kemudian dibuat peraturan operasional di bawahnya. Kondisi ini menjadi semakin memprihatinkan karena sekarang ini sedang dilakukan amandemen—bahkan sepertinya akan dibuat undang-undang baru di bidang penyiaran untuk menggantikan undang-undang yang lama. Ketika Permen ini dibuat, setidaknya, telah ada empat versi draf undang-undang baru, yakni versi DPR, pemerintah, KPI, dan masyarakat sipil (KIDP-PR2Media). Namun, pemerintah—dalam hal ini Kementerian Komunikasi—tidak mau menunggu undang-undang tersebut selesai disusun. Dari sini, lantas muncul berbagai pertanyaan kritis: agenda apa yang dimiliki Kementerian Kominfo sehingga migrasi dari sistem analog ke digital tidak menunggu undang-undang penyiaran baru selesai lebih dahulu? Pertanyaan berikutnya: bagaimana jika permen ini pada akhirnya bertentangan dengan undang-undang yang dihasilkan parlemen yang

Digitalisasi Televisi di Indonesia

merupakan representasi paling sah kedaulatan rakyat yang nota bene pemilik frekuensi?

Di luar proses demokratis yang dihilangkan oleh pemerintah, keseluruhan peraturan menteri yang dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ini tampak dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Keseluruhan proses migrasi dari analog ke digital tidak sedikitpun melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dalam undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002 diberi peran penting dalam membangun infrastruktur penyiaran di Indonesia. Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 tahun 2002 menyatakan bahwa “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.” Meskipun penyiaran telah berubah menjadi digital, ia tetap penyiaran sehingga KPI mestinya tetap harus diberi peran dalam proses tersebut. Kemudian, jika migrasi penyiaran analog ke digital sebatas dipahami dari aspek teknologi, meskipun mengandung kesalahan besar, maka perlu melihat Pasal 8 ayat (3) sebagai berikut.

KPI mempunyai tugas dan kewajiban:

a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;

b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;

Kondisi Objekif Kebijakan Penyiaran

d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan

f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Dengan melihat Pasal 8 ayat (3) di atas, jelas bagaimana tugas dan kewajiban KPI dalam bidang penyiaran. Namun, keseluruhan peraturan menteri menegasikan pasal ini.

Bukan hanya fungsi KPI dalam penataan infrastruktur yang tidak diakomodasi sedikitpun dalam Permen, tapi juga kewenangan Kementerian Kominfo teramat besar dalam mengatur penyiaran digital di Indonesia. KPI sama sekali ‘dihapuskan’ dalam permen ini. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam pemerolehan izin LPPPM. Pasal 10 yang berbicara mengenai Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM). Dalam ayat (1), disebutkan bahwa dalam melaksanakan penyelenggaraan penyiaran multipleksing, LPPPM harus memperoleh penetapan dari Menteri. Dalam kaitan ini, tidak ada keterlibatan KPI lebih jauh. Hal yang sama berlaku untuk LPPPS yang diatur dalam Pasal 9. Dominasi Kementerian Komunikasi dalam pengaturan penyiaran digital di Indonesia bisa dilihat dalam tabel 1.

Digitalisasi Televisi di Indonesia