Permen vs UU Penyiaran dan Telekomunikasi
B. Permen vs UU Penyiaran dan Telekomunikasi
Suatu pertanyaan dasar dari Permen tentang penyiaran, bagaimana kedudukan peraturan menteri ini jika dihadapkan dengan undang-undang penyiaran? Seperti telah dikemukakan di awal, undang-undang penyiaran masih analog, sedangkan peraturan menteri mengatur migrasi ke digital. Lebih parah lagi, Peraturan Menteri tersebut dalam banyak hal bertentangan dengan undang-undang. Pertama, dalam Undang-Undang Penyiaran hanya diakui empat terminologi lembaga penyiaran, yaitu lembaga penyiaran swasta (LPS), lembaga penyiaran publik (LPP), lembaga penyiaran berlangganan (LPB), dan lembaga penyiaran komunitas (LPK). Namun, Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 tersebut membuat kategori baru berupa LPPPM dan LPPPS. Jelas ini bermasalah dari sisi legalitas hukumnya. Kedua, varian lembaga penyiaran baru dalam peraturan menteri tersebut berimplikasi pada proses pemberian izin bagi lembaga penyiaran. Peraturan Menteri tersebut mengatur pelaksanaan LPPPM cukup dengan memperoleh penetapan dari Menteri. Padahal, dalam Undang- Undang Penyiaran, pelaksanaan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memperoleh izin berdasarkan kesepakatan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah dalam suatu forum rapat bersama. Ketiga, seperti telah disinggung di muka, Permen No. 22 mengabaikan KPI sebagai lembaga independen yang mengatur siaran.
Pelanggaran-pelanggaran dalam undang-undang yang dilakukan Permen itu terjadi karena migrasi ke digitalisasi penyiaran tidak dilakukan studi mendalam dan tidak transparan. 15 Di sisi lain, Permen itu sepertinya melihat digitalisasi sebatas persoalan
15 Arif Wibawa, Subhan Aii, dan Agung Prabowo. 2010. “Model Bisnis Penyiaran Digital di Indonesia” dalam Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 2, Mei-Agustus 2010.
Kondisi Objekif Kebijakan Penyiaran
teknologi tanpa melihat implikasi lebih jauh, terutama kaitannya dengan undang-undang penyiaran yang masih analog meskipun dalam mengingat keberadaan undang-undang penyiaran ini dicantumkan. Namun sayangnya, spirit undang-undang penyiaran hampir sama sekali tidak diadopsi. Migrasi sebatas dilihat sebagai persoalan ekonomi (eisiensi) dan teknologi (kualitas gambar dan eisiensi frekuensi), namun tidak pada semangat demokratisasi politik sebagaimana dalam undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002. Sebaliknya, Permen ini mencerminkan suatu semangat otoritarianisme Orde Baru di mana pemerintah selalu berhasrat untuk meregulasi bidang media dan penyiaran. Akibatnya, beberapa poin pokok dalam undang-undang penyiaran diakui, tapi beberapa hal lainnya dinegasikan.
Kemudian, jika dilihat dari undang-undang telekomunikasi, pelanggaran terjadi dalam konteks persyaratan LPPPM yang pada bagian sebelumnya telah disebutkan menciptakan barrier to entry. Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yaitu:
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
3. badan usaha swasta; atau
4. koperasi. Namun, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
lembaga yang berhak mengajukan diri untuk mendapatkan
Digitalisasi Televisi di Indonesia
penetapan sebagai LPPPM adalah lembaga yang sudah mengantongi izin penyiaran. Akibatnya, lembaga lain tidak mempunyai kesempatan untuk masuk dalam industri ini padahal mereka punya hak. Oleh karena itu, dalam konteks Permen dan relasinya dengan UU Penyiaran dan Telekomunikasi, penting dikemukakan poin-poin pendapat KPI mengenai hal ini. Pertama, UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran belum mengatur tentang penyiaran digital. Kedua, UU Penyiaran “lex specialist” dari UU Telekomunikasi sehingga dasar hukum tentang penyiaran wajib berlandaskan pada UU Penyiaran. Ketiga, UU Penyiaran hanya mengenal “lembaga penyiaran” sebagai entitas yang menyelenggarakan secara menyeluruh sistem dan struktur penyiaran. Keempat, UU Penyiaran tidak mengenal istilah Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) maupun Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS). Penggunaan istilah “lembaga penyiaran” pada nomenklatur baru tersebut menyalahi secara normatif dan substantif lembaga penyiaran yang diatur dalam UU Penyiaran. Kelima, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia, sifat Peraturan Menteri hanya mengatur hal-hal teknis administratif dan tidak membuat klausul atau formula normatif baru yang tidak diatur oleh peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Sementara pada bagian lain, Hayono Isman, Pimpinan Komisi I, dalam wawancara dengan Suara Karya mengatakan sebagai berikut. 16
Permen Nomor 22/2011 tidak memiliki payung hukum. Inilah masalahnya yang utama. Karena undang- undang sedang dibahas oleh Komisi I untuk dilakukan perubahan. Seharusnya sebelum permen tersebut keluar, pemerintah terlebih dahulu mengajukan isi dari perubahan
16 Wawancara aturan penyiaran: Permen 22/11 Harus Dikaji Ulang http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=298956 , diunduh tanggal 7 Agustus 2012.
Kondisi Objekif Kebijakan Penyiaran
itu kepada DPR. Dalam usulan tersebut setiap pasal yang bertujuan untuk diubah juga harus dijelaskan secara rinci agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda. Karena di dalam undang-undang tersebut belum disebutkan kata “digital”, sehingga Permen itu prematur.
Lebih lanjut, Hayono Isman mengatakan bahwa menteri seharusnya menunggu undang-undang (selesai dibahas Komisi I DPR) terlebih dahulu. Setelah itu, baru Permen Nomor 22/2011 bisa dikeluarkan. Dalam UU Penyiaran disebutkan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Faktanya, dalam penyusunannya, peraturan menteri tersebut tidak melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
Roadmap Pemerintah
Di luar persoalan perundangan-undangan atau pengaturan bidang penyiaran, pemerintah telah membuat roadmap digitalisasi penyiaran. Ada berbagai argumentasi yang diajukan oleh pemerintah mengapa roadmap digitalisasi ini dibuat. Pertama, di tingkatan global, negara-negara telah mempersiapkan digitalisasi penyiaran mereka. Di negara-negara maju, seperti bisa dilihat pada bab lima buku ini, mereka bahkan merencanakan switch of pada akhir tahun ini. Beberapa negara lainnya juga telah mencanangkan switch of di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, muncul
banyak pandangan bahwa digitalisasi merupakan sesuatu yang sudah terberi (given) dan jika suatu negara tidak melangkah ke format digitalisasi ini maka akan ketinggalan. Roadmap, karenanya, memang harus dibuat demi kelancaran migrasi dari sistem siaran analog ke digital.
Digitalisasi Televisi di Indonesia
Alasan kedua yang diajukan pemerintah adalah digitalisasi penyiaran memberikan banyak keuntungan. Bagi konsumen, digitalisasi berarti kualitas gambar dan program lebih baik. Ini akan memanjakan konsumen dengan berbagai alternatif tayangan, baik tayangan hiburan dan informasi. Roadmap pemerintah rencananya akan dibuka 6 kanal frekuensi yang masing-masing bisa diisi hingga
12 saluran siaran. Dengan demikian, dalam satu zona layanan, akan ada kurang lebih 72 saluran siaran. Suatu pilihan yang sangat banyak dan menguntungkan. Kedua, dari sisi penyelenggara siaran, digitalisasi berarti eisiensi infrastruktur (hingga 75%) dan biaya operasional serta mendukung teknologi ramah lingkungan. Sebagaimana dapat dilihat pada paparan lain di bab ini, digitalisasi akan menghemat setidaknya biaya untuk pengadaan dan perawatan tower. Dalam sistem siaran analog, satu siaran televisi memerlukan satu pemancar. Dalam sistem siaran digital, satu pemancar bisa digunakan oleh banyak lembaga siaran. Saat ini, dengan teknologi yang tersedia, satu kanal yang akan dikelola oleh satu pengelola multipleks akan mampu menyediakan setidaknya 12 kanal siaran. Penyelenggara siaran tinggal menyewa ke pengelola multipleks. Dengan demikian, jelas akan lebih menghemat biaya perawatan dan pengadaan infrastruktur. Di sisi lain, mata rantai produksi- distribusi-ekshibisi bisa menjadi lebih singkat dan lebih murah. Film Eliana Eliana, misalnya, seperti dicontohkan Mila Day (2002), hanya memakan waktu shooting 14 hari. Dengan kamera digital, proses dan biaya produksi bisa dipangkas, tidak perlu “cuci ilm” ke Hongkong, tidak perlu transfer materi 10 kopi ke Jepang. Selain itu, menurut Mila Day, distribusi materinya juga bisa langsung via internet atau Wide Area Network (WAN) yang terhubung antara production house dengan stasiun TV. Hal ini sudah dilakukan, sekali lagi, oleh PBS dengan rumah produksi rekanannya serta stasiun
Kondisi Objekif Kebijakan Penyiaran
ailiasinya. Ekshibisi bisa dilakukan hanya dengan tombol-tombol digital, operasional antardepartemen menjadi lebih mudah.
Ketiga, dari industri kreatif, akan menumbuhkan industri content lokal dan nasional. Logikanya sederhana, jika penyelenggara siaran lebih banyak, maka kebutuhan penyedia layanan akan lebih banyak. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong industri content tumbuh dengan baik. Dengan catatan, segala kondisi atau prasyarat- nya terpenuhi. Keempat, industri perangkat. Industri lokal bisa membuat set-top box. Kelima, eisiensi spektrum frekuensi radio dan potensi PNBP dari digital dividen serta peningkatan pertumbuhan ekonomi dari broadband. Dalam sistem siaran analog, satu frekuensi diperuntukkan bagi satu lembaga siaran. Oleh karenanya, keadaan sekarang tidak memungkinkan tumbuhnya industri televisi baru karena keterbatasan alokasi frekuensi. Digitalisasi mengatasi hal itu, dan sisa frekuensi yang ada bisa digunakan untuk kepentingan lain.
Digitalisasi Televisi di Indonesia
Bagan 1
Tahapan Digitalisasi Penyiaran
Kementerian Komunikasi dan Informatika
Tahapan Digitalisasi sampai saat ini
Steering Committee & IMPLEMENTATION Working Group
Steering Committee & Working Group
PSA, Mall to Preparation Sosialisasi: Bandung
Trial TV
digital
mall, seminar
Penyelenggaraa Implementasi
Kajian tentang TV Digital
Ujicoba TV
n TV Digital Seleksi
Penyeleng- Penetapan
Audience
TV digital
PERMEN 23/2011
gara dan Standar
Master Plan Digital on air DVB-T
Survey
Peresmian
Soft Launching
Pemancar TV
Ujicoba TV
digital (Jkt,
Frekuensi
digital
Btm, Sby)
39/2009 Kerangka Penyelenggaraan TV Digital
Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika
roadmap
Secara garis besar, tahapan atau roadmap digitalisasi penyiaran di Indonesia bisa dilihat dalam bagan 1 yang dikeluarkan Working Group Master Plan
Frekuensi Penyiaran Digital 2008 Kemenkominfo. Dalam bagan itu, bisa dilihat bahwa kebijakan digitalisasi penyiaran sudah dimulai pada tahun 2003 dengan -
melakukan berbagai kajian. Salah satu hasil kajian penting dilakukan
oleh Working Group Master Plan Frekuensi Penyiaran Digital 2008. Rekomendasi Working Group tersebut berupa rekomendasi model- model usaha. Ada dua rekomendasi yang ditawarkan sebagaimana bisa dilihat dalam bagan 2.
Kondisi Objekif Kebijakan Penyiaran
Bagan 2
Model Usaha Direkomendasikan Working Group Bagan 2
Model Usaha Direkomendasikan Working Group
Usulan No.1
Usulan No.2
Usulan No.1 model usaha sistem TV digital free-to-air Usulan No.2 model usaha sistem TV digital free-to-air
Program Siaran Publik 1
Program Siaran
Kanal 1
(nasional) MUX 1
Publik 1
Kanal 1 MUX 1
Kanal 2 (nasional) Program Siaran
Kanal 2 MUX 2 (nasional) Kanal 3 Program Siaran
Publik n
Publik n Program Siaran
MENARA PANCAR Swasta 1
MUX 2
MENARA PANCAR
Kanal 3 BERSAMA DENGAN
(regional)
BERSAMA DENGAN
Program Siaran
CAKUPAN LUAS
Kanal 4 Swasta 1
Kanal 4 MUX 3
CAKUPAN LUAS
(regional)
Program Siaran Kanal 5 Swasta m
Kanal 5 (regional)
MUX 4 Komunitas 1 Program Siaran
MUX 3
Program Siaran
Swasta n
Kanal 6 Program Siaran
Kanal 6 (regional)
Kanal x MUX 4 MENARA PANCAR
MENARA PANCAR
Komunitas 1
(per wilayah Komunitas p Program Siaran
(pilih diantara
(per wilayah
BERSAMA DENGAN
Kanal x MUX 5
(pilih diantara
BERSAMA DENGAN
12 kanal lain)
layanan)
CAKUPAN 2.5 KM
Program Siaran Komunitas n
12 kanal lain)
layanan) CAKUPAN 2.5 KM
Penyelenggara Program Siaran
Penyelenggara Infrastruktur TV Digital
Penyelenggara Program Siaran
penyelenggara infrastruktur TV Digital
WorkingGroup MasterplanFrekuensi
WorkingGroup MasterplanFrekuensi
Switch off, menurut roadmap di atas, akan dilakukan pada tahun 2018. Sebelum switch Switch of, menurut roadmap di atas, akan dilakukan pada off, pemerintah akan melakukan siaran simulcast. Siaran simulcast adalah satu siaran yang tahun 2018. Sebelum switch of, pemerintah akan melakukan dilakukan bersamaan antara analog dan digital. Siaran simulcast dilakukan sebagai siaran simulcast. Siaran simulcast adalah satu siaran yang dilakukan transisi sebelum siaran analog sama sekali dihentikan.
bersamaan antara analog dan digital. Siaran simulcast dilakukan sebagai transisi sebelum siaran analog sama sekali dihentikan.
Digitalisasi Televisi di Indonesia
Bagan 3
Bagan 3