Mindanao Basis Sosio-Kultural Muslim Mindanao

B. Mindanao Basis Sosio-Kultural Muslim Mindanao

Ketika Islam datang ke Mindanao, ia tidak memperkenalkan struktur sosial kultural dan politik baru, melainkan cenderung menyesuaikan dengan struktur sosial yang ada di daerah tersebut, yaitu sistem datu-ship (ke- datu-an). Sistem ini mengandaikan bahwa masyarakat Mindanao terbagi menjadi tiga lapis sosial, yaitu kelompok elit atau pemimpin yang disebut “datu,” kelompok awam atau massa sebagai pengikut para datu, dan budak. 32 Sedangkan para datu juga memiliki kesetiaan ailiasi politik terhadap kepemimpinan di atasnya yang juga tidak bersifat tunggal, yaitu kalangan kesultanan. Ini bisa dilihat dari lahirnya Kesultanan Maugindanao yang berpusat di bagian tengah Pulau Mindanao pada pertengahan abad ke-19.

Sebelumnya wilayah ini menjadi bagian dari Kesultanan Sulu yang berpusat di Kota Jolo Pulau Sulu yang telah terbentuk pada pertengahan abad ke-16. Perbedaan antara datu dan

32 Peter G. Gowing, “The Muslim of the Philippines,” dalam Herausgegeren von H. KÂhler, Indonesian, Malaysia und die Philippines (Leiden, E. J. Brill, 1975), 96-102.

Munculnya Gerakan Alternatif Untuk Perdamaian

kesultanan adalah dalam cakupan penguasaan wilayah: datu lebih sempit dari atau di bawah kesultanan 33 . Di samping itu, Bangsamoro juga dicirikan oleh adanya Rido, yaitu ketegangan dan konlik yang terus menerus terjadi dan sewaktu-waktu pecah kekerasan dan perang antar-kelompok datu atau

klan. 34 Karena itu, hingga masa penjajahan Amerika yang dimulai 1898, menurut Fedespiel, 35 Islam bukanlah identitas yang menonjol bagi penduduk di Mindanao melainkan masing-masing kelompok, yang sebagian besar menguasai wilayah geograis tertentu, diikat oleh sebuah komunitas di bawah kontrol datu-ship meskipun term-term Islam tidak pelak dipakai dalam berbagai perlawanan terhadap penjajah

tersebut. 36 Secara sosial dan politik mereka lebih diikat oleh identitas etnis seperti Tausug, Maugindanao, Maranao, Iranun dan sebagainya yang masing-masing dikontrol oleh pemimpin lokal yang bersifat kultural atau sistem datu tersebut. 37

Baik pada masa penjajahan Spanyol maupun Amerika, melalui sistem datu inilah mereka melakukan perlawanan terhadap penjahan. 38 Meskipun Muslim Mindanao tercatat melakukan perlawanan terhadap penjajahan sepanjang masa itu, 39 hal itu sesungguhnya tidak bersifat menyeluruh di mana masing-masing datu memiliki sikap sendiri, baik yang konfrontatif maupun yang akomodatif terhadap kehadiran

34 Peter G. Gowing, “The Muslim of the Philippines,” 97. Walfred Magno Torres III, ed. Rido: Clan Feuding and Conlict Management in Mindanao

35 Howard M. Federspiel, “Islam and Muslims in the Southern Territories of the (Manila: The Asia Foundation 2007), 3-15. Philippine Islands During the American Colonial Period (1989 t0 1946),” Journal of

Southeast Asian Studis 29, no. 2, (September 1998): 347. 36 Samuel K. Tan, The Filipino Muslim Armed Struggle (Manila, Filipinas

Foundation Inc., 1977), 1-18. 37 Howard M. Federspiel, “Islam and Muslims in the Southern Territories,” 347- 347. 38 Samuel K. Tan,

39 Samuel K. Tan, The Filipino Muslim Armed Struggle, 17-77. The Filipino Muslim Armed Struggle, hlm. 1-18. Lihat Salah Jubair, Bangsamoro: A Nation Under Endless Tyranny (Kuala Lumpur: IQ Marin SDN

BHD, 2009), Updated and Expanded Edition, 1-15.

Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai

Spanyol dan Amerika. 40 Namun dari keseluruhan masa itu terdapat masa di mana perdamaian atau tingkat kekerasan dan resistensi relatif rendah di antara rentang penjajahan Amerika selama sekitar setengah abad, yaitu masa ditariknya pasukan tentara dan diserahkannya kekuasaan pada sipil pada tahun

1913. 41 Melalui kebijakan tersebut, Amerika melakukan perubahan pendekatan dengan memberi toleransi dan konsesi terhadap sistem datu yang berlaku pada Muslim Mindanao. Kebijakan ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya, di mana penghapusan perbudakan dan pelarangan poligami serta kehadiran angkatan bersenjata AS dianggap menganggu struktur sosial yang mapan dan posisi datu yang terhormat secara sosial di Mindanao sehingga menimbulkan resistensi yang tinggi. Kebijakan tersebut juga mengakomodasi kuktur Islam yang sudah berlaku di Mindanao seperti pengadilan agama dan pendidikan madrasah. Meski demikian, pada masa pemerintahan tersebut tidak semua datu berada dalam satu barisan atau berkolaborasi dengan penjajahan Amerika, melainkan sebagian datu yang lain terus melakukan

perlawanan. 42 Dengan kata lain, diversitas Muslim Mindanao pada saat itu lebih ditunjukkan oleh ikatan etnisitas dan ikatan kepemimpinan datu dalam suatu sistem yang feodal, termasuk dalam sosial politik dan sikapnya terhadap penjajahan.

Toleransi terhadap sistem feodal yang mapan dengan menjaga posisi elit-elit tradisional para datu maupun kesultanan oleh penjajah Amerika memang telah menurunkan

40 Thomas M. McKenna, Muslim Rulers and Rebels: Everyday Politics and Armed Separatism in the Southern Philippines (Pasig City: Regents of the California University,

1998), 80-85. 41 Thomas M. McKenna, Muslim Rulers and Rebels,” 88-112.

42 Samuel Tan, The Filipino Muslim Armed Struggle, 30-34.

Munculnya Gerakan Alternatif Untuk Perdamaian

tingkat resistensi dan perlawanan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Namun, akibatnya di satu pihak ia menyebabkan tidak terjadinya transformasi dan proses egalitarianisme di dalam masyarakat Muslim sendiri. Di lain pihak, dengan toleransi terhadap Amerika maka menyebabkan toleransi terhadap imigran disertai dengan pengalihan kepemilikan tanah dan kekuasaan oleh kalangan migran yang Katolik, menimbulkan potensi konlik dan kesenjangan bahkan diskriminasi terhadap penduduk lokal yang notabene Muslim tersebut.