NUCP: Mendorong Kembali ke Penguatan Ummat

NUCP: Mendorong Kembali ke Penguatan Ummat

NUCP (National Ulama Council of the Philippines) sesungguhnya gerakan yang bersifat nasional, namun ia merupakan respons langsung maupun tidak langsung terhadap berlarut-larutnya kekerasan politik dan perpecahan umat Islam di Mindanao sehingga melupakan masalah Islam di daerah lain di Filipina. Organisasi yang baru dirintis oleh kalangan ulama ini hendak mengambil posisi netral dari

55 Steven Rood, “Forging Sustainable Peace in Mindanao: The Role of Civil Society”, East-West Center Washington, Policy Studies 7 (2005): 20-26. Lihat juga

Philipp Bück, “Civil Society and Conlict in Mindanao,” dalam Rainer Werning dan Peter Kreuzer, eds. Voices from Moro Land: Perspectives from Stakeholders and Observers on the Conlict in the Southern Philippines (Petaling Jaya: SRIRD, 2007), 99-123.

Munculnya Gerakan Alternatif Untuk Perdamaian

pertengkaran politik termasuk terhadap pemerintah pusat dan berusaha untuk konsentrasi pada penguatan ummat. 56 Pada tanggal 24-27 Januari 2010 NUCP mengadakan konferensi di Davao City untuk pertama kalinya secara nasional yang dihadiri sedikitnya 500 ulama, terdiri dari 300 Ulama dan 200 Aleemah (perempuan), 70% berasal dari kawasan Mindanao. Dalam konferensi itu mereka juga melibatkan pada aktivis perdamaian, pemuka Islam dari semua asal-usul, MILF, MNLF, dan bahkan dari kalangan Lumad atau indigenous people, aktivis LSM, serta LSM internasional yang memiliki concern terhadap perdamaian di Mindanao. Amina Rasul, 57 direktur dan pendiri PCID (Philippine Council for Islam and Democracy) yang berada di balik berdirinya NUCP sekaligus sebagai fasilitator konferensi, mengatakan bahwa meskipun NUCP baru pertama kalinya mengadakan pertemuan nasional setelah secara legal memperoleh pengesahan dari pemerintah Filipina namun itu dilakukan melalui proses sedikitnya empat tahun sebelumnya.

Dimulai dari proyek pemberdayaan ulama di seluruh daerah Filipina secara bertahap mulai dari tingkat bawah, maka akhirnya para ulama alumni workshop itu sepakat untuk membentuk organisasi yang netral secara politik dan non- partisan yang bertujuan untuk permberdayaan masyarakat sipil khususnya masyarakat Islam di Filipina serta melibatkan

semua unsur dan faksi di dalam masyarkat Muslim Filipina. 58 Mula-mula PCID berusaha mengumpulkan ulama dari banyak kelompok dan latar belakang yang berbeda-beda untuk pemberdayaan masyarakat sipil. Mereka melakukan pelatihan tentang Islam dan demokrasi dan pluralisme dengan

56 Wawancara dengan Dr. H. Hamid Barra, Ketua Umum NUCP terpilih pada 09 Februari 2010.

57 Wawancara pada tanggal 26 Januari 2010. 58 Wawancara pada tanggal 26 Januari 2010.

Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai

latar belakang pluralitas masyarakat Filipina serta tantangan- tantangan perdamaian. Kegiatan ini dilakukan di hampir semua provinsi di Filipina. Barulah kemudian alumni terpilihnya diundang untuk mengikuti kegiatan yang hampir sama pada tingkat regional yang melingkupi beberapa provinsi. Dari sanalah kemudian digagas oleh mereka dibentuknya NUCP.

NUCP, menurut Presiden terpilihnya, Dr. H. Hamid Barra, 59 lebih berkonsentrasi pada fasilitasi ulama-ulama di tingkat bawah untuk pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan pendidikan secara profesional. Mereka hendak mengambil jarak yang sama terhadap kelompok-kelompok politik yang sudah terbentuk di dalam masyarakat. Namun, bagi Rasul, “Para ulama itu sebenarnya sudah melakukan secara sendiri- sendiri tetapi NUCP ingin mengordinasikan mereka sehingga menjadi kekuatan bersama”. Dalam konferensi ini antara lain dibicarakan tentang strategi keterlibatan Ulama dan masyarakat dalam usaha perdamaian, pencegahan konlik, dan terlaksananya pemilu yang damai pada Mei 2010.

Menurut Amina Rasul maupun Barra, keterlibatan Ulama dalam perdamaian dalam posisi netral sangat penting, mengingat sepanjang pengalaman selama ini para ulama lebih banyak terlibat langsung di dalam gerakan politik dengan segala faksinya sehingga ulama rentan terlibat di dalam pertentangan baik di dalam kelompok-kelompok Islam sendiri maupun dengan pemerintah pusat. Suara Ulama dalam posisi netral tetapi tidak berkurang pekanya terhadap ketidakadilan dan diskriminasi, menurut Rasul, sangat penting. Namun untuk itu, lanjutnya, Ulama harus memiliki akar dan dukungan yang kuat dari ummatnya. Di dalam rekomendasi hasil konferensi ini disebutkan strategi untuk memperkuat lembaga-lembaga

59 Wawancara pada tanggal 09 Februari 2010.

Munculnya Gerakan Alternatif Untuk Perdamaian

pendidikan yang selama ini menjadi domain dan dikelola oleh para ulama. Kurikulum perdamaian juga direkomendasikan untuk menjadi program NUCP dalam mendorong penguatan lembaga-lembaga pendidikan tersebut.

Aleemah: Ulama Perempuan untuk Penguatan Kewiraswastaan Salah satu yang tampak lain dari Konferensi Ulama di NUCP adalah keterlibatan ulama perempuan (Aleemah) yang jumlahnya lebih dari separo ulama laki-laki, 200 dari 500 peserta konferensi adalah perempuan. Sebagaimana peserta Ulama, peserta Aleemah juga terdiri dari berbagai aktivis sosial dan guru di berbagai daerah, 70% di antaranya berasal dari Mindanao. Mereka di samping melakukan sidang-sidang tersendiri menyangkut tema partisipasi perempuan dalam sosial politik untuk pertemuan hari pertama juga bergabung dengan ulama laki-laki untuk membahas masalah-masalah umumnya. Konferensi Aleemah ini, menurut Amina Rasul, melibatkan semua unsur dan aliran di dalam masyarakat mulai yang sangat tertutup atau fundamentalis atau konservatif hingga yang liberal. Karena, menurutnya, perempuan di dalam Islam, di luar tantangan partisipasi perempuan dalam perdamaian dan partisipasi dalam sosial politik, perempuan di Mindanao atau Filipina atau dunia pada umumnya masih menghadapi tantangan stereotype perempuan Muslim. Karenanya, Konferensi Aleemah ini sengaja melibatkan semua aliran dalam masyarakat Muslim di Filipina, termasuk mereka yang masih menggunakan penutup muka hampir penuh kecuali mata (cadar).

Seorang utusan dari provinsi Lanao, Nyai Sapia, misalnya, memberikan presentasi dalam bahasa Tagalog kemudian diterjemahkannya sendiri dalam bahasa Arab. Sebelum

Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai

menyampaikan uraiannya ia terlebih dahulu meminta maaf, karena memakai burdah hanya mata yang terlihat meskipun baju atas dan bawahnya memakai batik adat Mindanao. “Saya minta maaf,” katanya memulai, ”saya memakai pakaian begini karena ini adat di daerah kami. Kami ke sini juga membawa adat kami.”

Menurut Amina Rasul, penggagas NUCP yang juga patron konferensi itu, memang NUCP yang dirintisnya sejak tiga tahun lalu itu di samping melibatkan perempuan, juga hendak mendorong para Aleemah untuk berperan lebih luas dalam penguatan masyarakat dan perdamaian. “Karena itu kami harus bersatu tanpa memandang aliran dan paham kita,” ujarnya. Aleemah, katanya, memiliki agenda dan pekerjaannya sendiri di luar Ulama, namun mereka akan membicarakan bersama dan mengonsultasikannya. Salah satu tantangan bagi Aleemah, kata Amina, adalah stereotype penampilan Muslim baik secara internasional maupun nasional: bahwa perempuan yang memakai burdah selalu cenderung dianggap fundamentalis dan sebaliknya, yang tidak memakai jilbab dianggap sekuler dalam konotasi negatif. “Burdah tidak selalu menunjukkan pandangan fundamentalis. Begitu juga yang tidak berjilbab tidak selalu tidak Islami,” ujarnya. Karena itu, katanya, mereka harus bersatu dan menunjukkan bahwa pakaian tidak mempengaruhi pergaulan dan cita-cita bersama Aleemah.

Di samping itu, lanjut Amina Rasul, perempuan di Mindanao juga sudah banyak bekerja untuk menciptakan perdamaian dengan berbagai cara. Irene Tillah, wakil dari Sulu yang juga Presiden Muslim Professional Business- Women Association Sulu, bahkan sejak tahun 1989 melakukan usaha perdamaian itu melalui pendekatan keluarga dan kewiraswastaan. Menurut Tillah, salah satu

Munculnya Gerakan Alternatif Untuk Perdamaian

akar kekerasan dan konlik di Mindanao khususnya Sulu adalah keterbelakangan pendidikan dan ekonomi. Karenanya, ia bersama kelompoknya melakukan pemberantasan buta huruf dan training entrepreneurship. Kelompok ini, yang juga memiliki cabang-cabang di hampir semua kota di Mindanao, melakukan berbagai kegiatan penguatan perempuan di dalam keluarga untuk meningkatkan partisipasi mereka di dalam sosial politik. Dengan begitu, kata Tillah, mereka akan mampu mempengaruhi usaha-usaha perdamaian di dalam masyarakat.

”Para alumni dari training itu kemudian disalurkan ke lembaga-lembaga advokasi perdamaian, di samping didorong untuk melakukan bisnis mengatasi kemiskinan dan buta huruf,” ujarnya. Kegiatan yang sama, katanya, dilakukan di daerah-daerah lain di Mindanao. Menurutnya, setiap tahun setidaknya dilakukan pelatihan sebanyak dua kali dengan melibatkan 40-50 orang peserta. Beberapa alumni itu kemudian dipertemukan dengan alumni-alumni di kota lain untuk membangun sinergi. Melalui NUCP Aleemah, Tillah membangun program penguatan terhadap organisasi dan aktivis organisasi itu di daerah-daerah khususnya di kawasan Mindanao.

Memang tidak semua gerakan di Mindanao sepaham dengan baik gerakan NUCP maupun Aleemah. Beberapa tokoh yang ditemui di dalam MNLF seperti Nur Misuari dan Sema Muslim Sema, keduanya pemimpin tertinggi MNLF maupun MILF seperti Michel Masturo dan Abhoud Lingga, keduanya penasehat khusus pemimpin tertinggi MILF menganggap NUCP dan Aleemah sebagai bagian dari usaha pemerintah untuk mengoptasi gerakan mereka. Meski demikian, para ulama anggota baik MNLF maupun MILF

Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai

tetap berpartisipasi di dalamnya.