Salam Peace Movement

Salam Peace Movement

Cukup lama bekerja sama dengan Silsilah, “Salam Peace Movement” di Zamboanga City melakukan pemberdayaan masyarakat akar rumput untuk perdamaian di kalangan komunitas Muslim. Salam bersinergi dengan Silsilah dalam cukup banyak hal, di antaranya dalam pemberdayaan pendidikan masyarakat miskin di pulau-pulau terpencil di sekitar Zamboanga dan Pulau Basilan. Beberapa daerah ini banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama Islam dan sangat miskin karena kehidupan mereka umumnya sebagai nelayan tradisional. Dari penghasilan menjadi nelayan ini, menurut Direktur Salam Movement, Dr. Alih S. Aiyub, hanya cukup untuk makan pas-pasan sedangkan fasilitas pemerintah seperti gedung pendidikan dan kesehatan belum sampai ke pulau-pulau tersebut. Maka, Salam bekerjasama dengan Silsilah menugaskan fasilitator untuk memberikan pendidikan, baik pendidikan formal maupun ketrampilan, selain kehidupan rutin mereka sebagai anak-anak nelayan. Salam juga secara khusus membangun generasi muda dan seusia anak untuk perdamaian mengingat pengalaman sehari- hari melihat kekerasan yang terus-menerus yang dimulai dari

65 Wawancara pada tanggal 22 Maret 2010. 66 Wawancara pada tanggal 27 Januari 2010.

Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai

membangun kelompok-kelompok di masjid dan mushalla (tempat ibadah Muslim untuk komunitas kecil) serta madrasah Salam Peace Movement membangun jaringan di berbagai desa di Zamboanga City.

Dr. Aiyub juga aktif dalam membangun jaringan dengan kelompok-kelompok sipil NGO dan para pemimpin agama untuk perdamaian. 67 Sejak 2004 Salam Peace Movement mendirikan madrasah yang kini telah memiliki beberapa cabang di desa-desa yang memasukkan Islam dan perdamaian sebagai salah satu mata pelajaran di Madrasah-madrasah tersebut. Akan halnya kelompok sipil yang berorientasi kepada perdamaian seperti Silsilah Movement dan Salam Moevement oleh para aktivis politik seperti MNLF dan MILF dianggap sebagai disetir oleh kepentingan gereja, khususnya geraja Katolik sehingga tidak cukup menolong kepentingan umat Islam, khususnya masalah tanah. Keduanya dikritik sebagai hanya terfokus kepada dialog agama yang notabene menguntungkan kalangan katolik tetapi tidak memecahkan masalah sebenarnya, yaitu masalah tanah orang Islam yang diambil alih oleh para transmigran yang hampir seluruhnya beragama Katolik. Keduanya juga dikritik sebagai mengabaikan masalah politik tentang hak-hak kepemilikan dan mengelola sumberdaya alam oleh kalangan mayoritas Muslim di wilayah Mindanao.

Jalan buntu politik yang dialami oleh Muslim di Patani

67 Wawancara pada tanggal 16 Maret 2010.

Munculnya Gerakan Alternatif Untuk Perdamaian

dan Mindanao telah memunculkan kelompok-kelompok baru yang kreatif untuk mencari jalan keluar terjadinya perdamaian. Meskipun tidak mudah, bukan hanya dalam menghadapi pemerintah pusat dengan segala kepentingan mayoritas tetapi juga menghadapi perbedaan-perbedaan di dalam komunitas Muslim itu sendiri dan juga antara kalangan Muslim dengan Katolik dan Protestan. Mereka tampaknya lebih hendak membawa diskusi dan perjuangan ke arah substansi ketimbang simbolik seperti slogan merdeka atau bahkan otonomi. Kepada publik mereka mencoba mengangkat tema-tema yang bersentuhan langsung dengan substansi aspirasi masyarakat seperti hak pengelolaan tanah dan hak berorganisasi dan untuk mendapatkan informasi dan menyatakan pendapat. Kepada masyarakat, mereka melakukan penguatan kesadaran dan pengetahuan politik, kesadaran, kecintaan dan usaha pelestarian budaya sendiri, serta penguatan ekonomi dari berbagai sudut, mulai dari ibu rumah tangga hingga penguasa kecil dan menengah. Semua itu dilakukan tanpa memerlukan suatu organisasi besar dengan mobilisasi massa seperti terjadi pada kelompok separatis.

Mereka juga mencoba mendayagunakan berbagai bantuan dari luar negeri, bukan hanya bantuan inansial melainkan terutama adalah arus informasi dan hak-hak asasi manusia yang memberikan perlidungan kepada mereka untuk bersuara, menulis dan bahkan menerbitkan media. Tidak kalah penting adalah pemanfaatan terhadap sumber-sumber kultural seperti tradisi keagamaan, bukan hanya Islam dan Melayu tetapi juga agama lain yang memungkinkan untuk mengundang simpati dan bahkan kerjasama banyak pihak.[ ]

Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai